2023ReviewsSlowcore

ISON – Stars & Embers – Review

ISON-Stars-Embers

Terkunci dalam kotak pengap yang hanya menyisakan masalah dan pribadi yang terkapar sudah bukan fenomena yang aneh bagi Daniel Anghede selaku penggerak utama dari proyek ambient post-rock / slowvcore, ISON. Pada 2019 lalu, Anghede seperti berdiri di ambang tepi jurang yang diselubungi awan mendung, menyaksikan refleksi dari masa depan suram dari bandnya yang terancam bubar. Dia masih menimang-nimang pikiran dan membuat kedekatan diri dengan band yang dibentuknya sejak 2015 ini menjadi lebih mendalam dan tertutup.

Hingga pada tahun 2020 Anghede mengambil keputusan bahwa ISON hanya akan bergerak di bawah kendali pengawasan tunggal dirinya. Tak disangka titik balikdiperoleh ketika ISON hampir berada diambang kepunahan dengan melepas album studio ke-4 nya, “Aurora” pada 2021 lalu. Mentrandensikan pengalaman yang sebelumnya tidak pernah dirasakan semasa karir band, menyanyi dengan lolongan merdu memecah kesunyian kosmis galaksi.

Dalam album tersebut ia justru mendapat sokongan dari segerombol pasukan elit dari persilangan kampiun metal dan musik-musik bernafas ethereal, dan nama-nama seperti Sylvaine, Cammie Gilbert (Oceans Of Slumber), Tara Vanflower (Lycia), Vila, Carline Van Roos (Lethian Dreams), Gogo Melone (Aenoian Sorrow), circle&wind & Lisa Cuthbert membantunya mengekspansi serta mencari rahasia-rahasia tersembunyi dari balik kolong langit. Namun sekali lagi Anghede harus mengeluarkan peluh keringat darah dan menguras kesabarannya yang harus berhadapan dengan blok kepenulisan materi 13 bulan lamanya.

Apakah ini menjadi semacam simbol Ouroboros bagi Anghede, tetapi yang jelas kemalangan justru memecutnya ekstra keras agar dapat melahirkan gagasan-gagasan karya yang brilliant. “Stars & Embers” lahir dengan total runtime mencapai 72 menit, menandakan di tengahnya krisis ide dan kreatifitas, Anghede tidak sedikitpun berhasrat untuk melemahkan konsep dan justru mampu meningkatkan durasi per individu lagu keseluruhan hingga merentang di atas 5 menit.

ISON-Stars-And-Embers-Photo

Ketika mencoba menanamkan kesadaran untuk mengkategorikan ISON sebagai kelompok doom metal, itu akan mengundang perasaan ambiguitas secara pengambilan keputusan. Pasalnya, meski dalam keseluruhan album mereka melaju dalam alunan yang lamban dan melambai selayaknya musik-musik doom metal, tetapi jejak kehadiran daripada distorsi berat gitar tidak disebarluaskan secara massal di sini.

Fungsionalitasnya bergeser dari yang semestinya sebagai penghasil serangkaian repetisi nada-nada kuat sebagai tonggak utama pada lagu, meresap menjadi upaya ledakan astral klimaks secara sonik, ketika mereka mencoba menerapkan gaya peralihan crescendo pada beberapa lagu yang membutuhkan suatu unsur kuat untuk menggetarkan bunyi gong di garis akhir. Itu kontras terjadi pada 2 lagu pembuka, yang menggunakan rumus untuk meledakan aransemen di penghujung lagu dengan melontarkan ledakan gitar dahsyat.

Namun mereka mengetahui bahwa gerakan kejutan tersebut tidak akan selamanya menunjukan tingkat keberhasilan yang sama, mengingat tren musik post-rock yang tengah naik daun, sudah begitu tumpah ruah meniru punchline ini, sehingga di beberapa lagu selanjutnya ISON merubah sedikit formasi dan kontur musiknya menjadi memiliki lebih banyak ketersediaan tikungan. Seperti pada lagu “Pregnation”, dimana duet vokal Mikael Stanne dan Lisa Cuthbert menunggangi gelombang tekanan hempasan gitar dengan melakukan kontraksi dan pengenduran terhadap teknik dan juga tekstur vokal mereka.

Slowcore menjadi terminologi yang tepat sasaran dalam mendeskripsikan kekuatan utama musik mereka, karena disanalah mereka bersinar, ketika warna musik yang meredup dan tempo lambat penuh ruang dan waktu untuk menatap jauh dan melakukan perenungan mendalam. Mereka melapisi perjalanan yang bagi sebagian orang terdengar membosankan karena seperti menunjukkan kondisi yang stagnan dengan kombinasi melodi dan harmoni lembut dan subur yang digelontorkan dari melodi gitar maupun kibor.

Perubahan progresi akor mereka terbungkus dengan synth yang bertekstur cair beruap, sekaligus menjadi siasat untuk membius pendengar masuk ke dalam mitos sebuah kabut misterius antar galaksi yang membuat orang yang terperosok melakukan time wrapping secara tidak sadar. Itu pun seperti teraplikasikan seutuhnya di sini, ketika anda sesekali dengan iseng mengintip sampai mana lagu berjalan dan anda terperanjat bahwa durasi penyetelan sudah menyentuh angka 9 menit, padahal anda merasa baru saja memutar lagu itu beberapa detik yang lalu. Hal yang membuat terasa kontras bahwa pendekatan pasca-produksi album ini terdengar begitu kolosal ditandai dengan sangat berkelimpahan ruang.

Pengaturan synth atau beberapa ornamen instrumen yang diberi mandat sebagai penghasil atmosfer utama, benar-benar ditaruh di bagian paling belakang lapisan struktur aransemen sembari ditingkatkan level volume, sehingga meski eksistensinya hanya terlihat di ujung mata, itu tetap mampu beresonansi dengan perasaan yang sangat terasa dekat. Selain daripada elemen gitar yang dialihkan fungsi, bagian drum juga terkena restrukturisasi secara peran dan sangat jauh dari hanya sekedar sebagai mesin penghasil letupan perkusif rumit yang hanya memuaskan rasa atraktif.

Pemenuhan perannya di sini bersifat lebih substansial sebagai jejak setapak, menuntun pengembaraan yang terus menarik ke bawah agar rute petualangan tidak sampai tersesat. Suaranya pun lebih terelektrifikasi seakan terintegrasi dengan tema besar album yang penuh dalam nuansa futuristik fiktif mengenai penjelajahan kehidupan astral di atas langit sana.

Ditengah ekspektasi pendengar terhadap jenis musik seperti ini yang tentunya menekankan peranan instrumen menunjukan peranan lebih dominan sebagai pelempar emosional, dengan berani mereka melentingkan peranan vokal menjadi suatu yang paling vital dan menjadi pusat perhatian utama di sini. tu terlihat ketika Anghede menetapkan vokalis Lisa Culbert sebagai daftar anggota resmi ke-2 dari band, ditambah dengan beberapa daftar musisi tamu yang terlibat di sini.

Anghede melihat vokal dengan cara eklektik, dimana ia menempelkan berbagai karakteristik vokal yang berbeda namun tetap mampu bekerja secara maksimal dengan gaya penulisan musik dan emosionalnya yang bersifat tunggal dan caranya berhasil untuk mengubah album memiliki serangkaian dinamisme. circle&wnd yang muncul pada lagu “Radiant Void” memilih olah vokal dengan nada lebih meninggi tidak ingin eksistensinya tenggelam dalam bentangan kekosongan dan kehampaan tiada akhir.

Mereka bahkan tidak begitu banyak menambahkan overdub, menunjukkan optimisme tingkat tinggi terhadap apa yang diletakkan pada bagian lead vocal dan bahkan terkadang meminimalisir atau mengosongkan peran instrumen untuk menunduk sesaat, sehingga daya tuju utama hanya terpusat pada vokal. Sesekali mereka menambahkan backing vocal dan itu cukup membuat perannya lebih subur, seperti pada lagu “Horizons” yang memiliki teknik harmonisasi yang diterapkan oleh Cocteau Twins, atau cara-cara dari diva soul dalam bersitegang dengan melibatkan emosi yang hendak dilontarkannya.

Sekelompok penerapan legato dari synth yang terkadang ditempelkan bersamaan atau sesudah vokal sebagai konjungsi untuk menguatkan rasa penasaran terhadap apa selanjutnya yang merayap dalam aransemen entah itu ledakan dahsyat berikutnya atau lolongan yang lebih kuat meluluhlantakkan sisi emosional. Sementara senandungan muram dari Mikael Stanne seperti representasi dari kegelapan itu sendiri yang meratap untuk menarik segala apa yang mengambang masuk ke dalam singularitas gravitasional yang gelap namun berujung mendapatkan kebebasan tak terhingga yang tidak lagi bergantung pada titik koordinat manapun, seperti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh setiap orang kebebasan tanpa kekangan. 

Rating : 7 / 10

Lagu yang direkomendasikan : Horizons, Pregrination, Radiant Void, Beings og Light

Baca Juga : Bell Witch – Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link