Dødheimsgard – Black Medium Current – Review
Pada saat black metal memulai perkembangan pesatnya di Norwegia, seluruh perancang serta penggagas kultur ini hidup dalam negara yang tentram dengan angka kriminalitas rendah. Tidak ada keadaan secara eksternal yang secara langsung mengintimidasi dan tampak mengancam bagi mereka. Imbasnya, obsesif mereka justru diarahkan pada hasrat yang selalu ingin menjadi ancaman dari peradaban itu sendiri.
Dalam representatif gaya musiknya yang abrasif, mentah, dan tidak ramah konsumsi ruang keluarga, mereka mengkritik keras akan konsep kepercayaan simbolik, mempertanyakan eksistensialisme manusia, dan membuang jauh semua dogma-dogma yang dianggapnya sebagai alat pengekang. Mereka tetap ingin hidup dalam pengasingan yang penuh kehendak absolut, meski itu harus ditempuh pada jalan yang gelap, berliku, dan sempit sekalipun.
Bahkan ketika modernitas berusaha menjulurkan tanganya melalui kemajuan teknologi mutakhir untuk menawarkan kesenjangan dan kehidupan yang lebih layak, mereka menampiknya dan justru menganggapnya sebagai kiamat distopia bagi umat manusia. Tetapi sikap dan perspektif yang berbeda ditunjukkan oleh salah satu perwira tua black metal kelahiran Oslo, Dødheimsgard.
Secara musikalitas maupun pendekatan produksi, Dødheimsgard melakukan perpanjangan tangan terhadap teknologi untuk menerapkan artikulasi hasil akhir produksi yang jernih, serta menempatkan elemen-elemen industrial dan techno yang direkatkan dalam pola pikir progresif dan cenderung berperilaku avant-garde. Mereka juga terkadang menenggelamkan sengatan elemen elektronik getir itu pada pusaran elemen psikedelik yang murung, menjadikan gubahan Dødheimsgard tidak hanya sekedar inventif, tetapi bantuan teknologi telah benar-benar menjerumuskan mereka pada atmosfir dasar spiral kosmis yang berisi kegelapan kekal tanpa dasar.
Mereka telah beroperasi sejak 1994, dan hanya menyisakan sang frontman, Vicotnik sebagai wajah asli dan 3 sisa anggota baru bergabung pasca album A Umbra Omega yang dilepas 2015 lalu. Sadar akan kerumitan karyanya yang membutuhkan waktu lama untuk diresapi, Dødheimsgard memiliki kebiasaan baru untuk melonggarkan jadwal perilisan album dengan menarget siklus setiap 5 tahun sekali bahkan lebih.
Tetapi penundaan itu sebanding akan apa yang dipertontonkannya kelak, karena Dødheimsgard terus memperbaharui dan melebarkan cara mereka mengeksekusi idenya pada setiap menambah katalog diskografi dan itu masih bertahan dalam “Black Medium Current”, selaku album ke-6 sepanjang karir mereka. “Et Smelter” membuka dengan cara yang paling tradisional, dingin, dan misantropia cahaya.
Dengan blast-beat yang dibiarkan melaju dalam lintasan terdepan dan diikuti oleh riff tremolo picking melodis yang meninggalkan kerak ambience, itu seperti mengambil pendekatan gaya atmospheric black metal. Dengan konten lirik yang memiliki inspeksi konteks dan makna yang bersifat tertutup, Dødheimsgard memiliki tanggung jawab lebih untuk mengkomunikasikan musiknya pada penekanan seutuhnya terhadap atmosfer dan tingkat emosional, sehingga akan banyak ditemukan dinamisme yang memiliki urgensi untuk membangun tensi tersebut.
Sifatnya bisa jadi sangat berorientasi pada detail, ketika mereka juga memiliki ragam dukungan variasi akor gitar akustik yang kombinasinya tidak dapat ditemukan di sembarang proyek black metal lainnya. 8 menit awal “Et Smelter” terasa seperti merupakan tampilan menipu, ketika secara tiba-tiba mereka merubah tatanan kostum seutuhnya dengan drum menjadi lebih atraktif, pancaran synth berwarna mengitari dari segala penjuru lubang, hingga soloing gitar klasik rock yang diberi efek overdrive.
Sektor vokal akan banyak di-highlight pada sepanjang album, karena ini menjadi semacam tonggak utama album ini, dan baru menginjak lagu pembuka sudah menunjukan impresi melalui performa vokal yang bersifat teatrikal dan begitu luwes dalam mengganti warna suara. Dødheimsgard tau percis, mereka tidak memiliki banyak waktu luang untuk merancang banyak sesi riff, karena kebutuhan musik mereka yang rumit, namun disinilah menjadi ajang bagi mereka untuk memperlihatkan kematangannya.
Dødheimsgard hanya melakukan seleksi ketat untuk menempatkan 2-3 riff section per lagu, merentangkan repetisi dalam durasi yang lama, tetapi hasil kurasi yang mereka terapkan begitu efektif. “Tankespinnerens Smerte” merupakan potongan terbaik jika berbicara mengenai pendekatan riff melodic black metal yang memorable, mencolok, dan begitu kuat secara melodi. Lagu ini memiliki interplay emosi yang bergerak di antara kesuraman dan perenungan, tetapi belokannya tidak melemahkan daripada karakter keseluruhan aransemen menjadi sesuatu yang lembek dan mendayu-dayu.
Victonik melakukan pemilihan eklektik dari gabungan vokalis black metal yang dirasa memiliki warna kuat. Dia dapat melakukan dengkuran ala vokal Dagon yang dibuang rasa kemalasannya, senandung Atilla Csihar yang dingin dan mengerikan, serta rasa maniak dan hamburan kegilaan Niklas Kvartfoth. Selingan perubahan vokal tidak diturunkan ketika ia hanya mengenakan jubah sebagai seorang frontman black metal, tetapi bagian clean vocal pun memiliki gelombang spektrum perubahannya sendiri dari merayap pada suara falsetto yang meratap, hingga gaya vokal epic bangsa nordik.
Pada pembukaan paruh kedua album, lagu “Halow” kembali membangun secara perlahan tensi dengan mencoba formula yang terasa lebih straightforward dan tidak neko-neko dalam merubah bentuk. Kurang lebih lagu ini lebih menenggelamkan pada sisi ambient dan emosi daripada album. Ada sesuatu yang bersifat keluar dari lintasan, dimana teknik avant-garde yang mereka terapkan justru tidak berhasrat menunjukan pandangan post-modernisme secara struktur musik.
Bahkan jika ditelisik, perubahan setiap segmen masih terlihat linear. Artinya tidak ada ketukan dan penempatan ritem ganjil yang melampaui batas di sini, bongkar pasangnya struktur musik masih dapat diantisipasi perubahannya ketika mereka sengaja membuat aransmen hening sesaat atau tiba-tiba drum bergerak lebih panik dari biasanya, menandakan sesuatu yang besar berikutnya akan segera terjadi.
Kata-kata avant-garde atau eksperimental di luar batas hanya relevan jika itu ditujukkan pada gagasan ide liar mereka yang mencoba menabrakan elemen black metal dengan berbagai komposisional musik yang hidup jauh dari ekosistem metal sekalipun. Itu terjadi pada lagu “Interstellar Nexus” yang sedari awal sudah menampilkan gelagat paling aneh. Ritem maupun drum bergerak cekatan dan lincah, bahkan secara struktur lebih cocok diklasifikasikan dalam gaya alternative / industrial metal.
Sarana eksperimen semakin bergejolak menjelang akhir lagu yang tiba-tiba menampilkan sengatan techno / elektro yang mengancam menaikan rasa ketegangan. Eksperimen mereka terkadang tidak bekerja secara maksimal, seperti elemen trap yang menggantung pada lagu “It Does not Follow” tidak memiliki substansi khusus, atau kehadirannya hanya sekedar layer ambient terbawah. Tentu itu merupakan sifat mubazir dengan salah satu unsur paling melekat dan dominan dalam silsilah musik elektronik hanya dimanfaatkan sebatas transisi fade-out akhir lagu.
“Det Tomme Kalde Mørk” secara penyatuan seperti lagu yang memiliki eksperimen terputus-putus pada tengah menuju akhir, seperti beberapa lagu acak tanpa benang merah yang direkatkan menjadi satu kesatuan. Sementara pada “Abyss Perihelion Transit” daya eksperimen mereka seperti terkena serangan korslet seutuhnya. Beberapa lapisan musik yang tertumpuk maupun performa individu timbre seperti tidak bekerja secara maksimal di sini.
Secara laju terlalu bertele-tele dan setiap segmen tampak tidak terintegrasi dan sulit untuk diikuti secara alur. Terlepas daripada beberapa titik lemah album, jelas “Black Medium Current” masih merupakan album black metal yang sensasional dan inventif. Dinamisme yang ditampilkan sangat bervariasi dan tidak monoton, namun secara bersamaan album ini tetap mempertahankan kedalaman gelombang emosional dan perasaan, sehingga ini bukan seperti karya artifisial belaka yang hanya mengejar kerumitan teknis dan mengabaikan esensi asli dari sebuah seni.
Mungkin sudah waktunya untuk segera mengevaluasi daftar vokalis black metal terbaik, karena performa Mikrolav di sini begitu fantastis dan exceptional. Jika anda begitu kagum ketika King Diamond memainkan begitu banyak peran dalam drama macbeth horror versinya, Mikrolav benar-benar melakukan penghayatan mendalam pada setiap individu karakter.
Jangkauan vokalnya begitu luas secara tekstur dan sama sekali tidak ada bagian yang bersifat melemahkan, bahkan Borknagar (tanpa mendiskreditkan upaya mereka) memerlukan 4 vokalis berbeda untuk mencapai level dinamisme seperti ini. Apalagi didukung dengan upaya produksi yang sengaja meningkatkan level vokal pada layer teratas, itu membuatnya menjadi instrumen yang paling bersinar dalam keseluruhan album.
Satu keluhan teknis pada album mungkin terletak pada suara yang dikeluarkan dari kit drum selain daripada kick bass terdengar terlalu sintetis dan cenderung datar. Mungkin mereka harus mencontoh penerapan daripada karya terakhir Ulcerate, “Stare Into Death and Be Still” yang sama-sama memiliki pendekatan produksi ekstrim metal modern, tetapi terampil menghasilkan pukulan bersifat gigantic dan begitu menggelegar.
Rating : 8.5. / 10
Lagu yang Direkomendasikan : Et smelter, Tankespinnerens smerte, Interstellar Nexus, It Does Not Follow, Halow, Det tomme kalde morke
Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1