2023Doom MetalReviews

Bell Witch – Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate – Review

Bell-Witch-Futures-Shadow-Part-1-the-Clandestine-Gate-album-cover

Pada tahun 2017 duo funeral doom metal asal Seattle, Bell Witch seperti diberikan wahyu untuk mengintip secara langsung dunia daripada orang-orang yang sudah mati. Melalui “Mirror Reaper” album yang dirilisnya pada tahun tersebut, Bell Witch menganalogikan sentimen itu dengan orang tengah sekarat yang sedang menunggu ajalnya yang menjemput dari balik cermin dengan wujud refleksi mengerikan.

Secara level emosional dan musikalitas, album tersebut mendatangkan nuansa berkabung yang pekat, jeritan luka akan kehilangan, dan keheningan menghadap peristirahatan terakhir. Mengingat bahwa saat album tengah digarap, Adrian Guerra selaku drummer utama berpulang setahun sebelum album dirilis, dan itu membuat narasi dongeng mimpi buruk yang dilantunkan pada setiap bait lirik, berubah menjadi suatu pengalaman paling nyata dan luapan duka tak tertahankan.

Namun secara pencapaian, album tersebut justru mendatangkan banyak respon paling positif dan sebagian menyebutnya sebagai upaya terbaik yang pernah mereka kerahkan. Seperti diketahui, funeral doom metal bekerja dengan cara paradoks, ketika jenis musik yang satu ini memainkan nada yang lebih sedikit dari segi variasi maupun kemunculannya, serta atmosfir musik yang harus selalu terdengar serumpun dalam pallete kesedihan, kesuraman, dan nestapa.

Tetapi secara beriringan, ketersediaan aransemen dan perangkat minimal tersebut harus ditekan pada batas ketahanan durasi yang begitu panjang dan tampak seperti sebuah perjalanan melelahkan. Namun disitulah letak kelihaian dari Bell Witch, ketika setiap personel bekerja dan memaksimalkan apa yang mereka miliki, bermain dalam dinamika yang begitu sinematis, mengalunkan melodi-melodi ratapan dari lead gitar yang terus menghujani pelataran dan pukulan drum yang berdetak keras penuh kewaspadaan membuat setiap karya mereka tidak terkesan memiliki pengalaman bersifat monolitik dan tidak berjalan di tempat.

Bell-Witch-Future's-Shadow-Part-1-the-Clandestine-Gate-Bell-Witch

Sementara pasca “Mirror Reaper”, Bell Witch masih senantiasa mengejar tingkat eksperimen musik yang bersifat lebih meluas. Pada album, “Stygian Bough: Volume I” Bell Witch yang berkolaborasi bersama musisi folk Erik Moggridge dengan moniker panggungnya, Aerial Ruin menghadirkan gesekan akor folk gitar masam, ditengah terpaan power chord baja yang berderu. Sementara penggarapan daripada kisah kelanjutan “Stygian Bough” tertunda untuk beberapa saat, mereka kembali melebarkan serentetan album konseptual berikutnya yang diberi nama “Future Shadow”.

Bell Witch mungkin dianggap sebagai segerombolan orang paling pesimistik yang pernah berjalan di muka bumi, tetapi mereka justru menerapkan prinsip paling optimistik mengenai “mengubah kemalangan menjadi keuntungan tak ternilai”, salah satu prinsip yang juga disodorkan oleh Napoleon Hill. Pada salah satu sesi interview baru-baru ini, Bell Witch mengungkapkan bahwa ide daripada konsep album “Future Shadows” justru muncul ketika mereka ditimpa musibah tidak dapat datang pada sesi studio untuk jangka waktu cukup lama dan terpenjara dalam pandemi.

Akhirnya, gagasan album konsep tersebut dilahirkan dan memuat konsep trilogi. Artinya dalam waktu dekat, Bell Witch seperti sudah memberi peringatan akan segera melepas 3 album dan “Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate” sebagai bab pembuka dari trilogi misterius ini. Dibangun pada lagu tunggal berdurasi 83 menit, sebuah keanehan mengarungi awal perjalanan, ketika pada 8 menit pertama, Bell Witch menyembunyikan seluruh sisi agresi dan kenestapaan doom metal sesaat dan hanya menyisakan kombinasi daripada harmoni keyboard dan synth yang memukul garis start lebih dulu.

Peranannya kini semakin dekat dan seakan mengerubungi sepanjang dinding aransemen, setelah pada 2 album terdahulu posisinya hanya jauh mengamati dari tepian yang dikaburkan oleh distorsi kasar bersifat drony. Dalam penjelasannya, album pertama seperti menampilkan siklus daripada perpindahan pagi menuju tengah hari, tetapi mendengar dengungan keyboard yang tampak tampil memelas dengan melodi dan petikan bersih gitar listrik yang meratap, tentunya ini bukanlah merupakan gambaran pagi yang cerah dan bersinar, semacam diserang kecemasan secara mendadak ketika mata baru saja membentangkan penglihatannya di tempat tidur.

Ledakan pertama baru muncul ketika secara bersamaan drum, bass, dan riff gitar menerjang perasaan terombang-ambing yang sebelumnya dirasakan. Ketegangan yang diberikan daripada sisi ekstrim metal mereka di sini tidak begitu intens kehadirannya, bahkan Shreibman dapat mengistirahatkan kerongkongannya dalam rentang waktu yang panjang untuk tidak digetarkan sesering mungkin.

Imbasnya justru tarikan halus vokal Desmond yang memiliki peran lebih luhur, apalagi semenjak mereka memutuskan untuk tidak melibatkan sementara Erik Moggridge yang biasanya memberikan lapisan tambahan clean vocal bersifat getir dan murung. Tetapi di sini menunjukan bahwa lekukan vokal Desmond juga lebih dari cukup untuk memberikan siraman lolongan kesedihan yang menyentuh.

Jika diamati lebih jeli, tidak lebih dari 10 menit, ada sesuatu intervensi yang memiliki pengaruh kentara, entah terdapat penambahan timbre, atau merubah dinamika dari unsur keheningan menuju sesuatu yang meledak-ledak (crescendo) dan terjadi sebaliknya. Sementara pada sektor bass yang merayap pada interval nada lebih rendah terus ditempel pada harmonisasi synth membuat dan getaran bass lebih ramping dalam memainkan peranan.

Fokusnya tetap dapat diarahkan hanya sebagai pengiring yang mengerikan, tetapi itu cukup melunturkan elemen drone daripada keseluruhan album. Di sepanjang lintasan, Bell Witch semakin jarang bersandar pada elemen drone, bahkan unsur sludge metal seperti hilang daripada peredaran. Mereka semakin memperkaya dan memasyurkan kombinasi tekstur melodi dan potongan terbaik mengenai hal itu ditemukan pada sekitaran menit 50.

Dengan sekonyong-konyong, gitar memiliki variasi harmonisasi yang kaya dan menggali nada-nada penuh harapan yang dipetakan dalam gaya produksi yang didorong paling atas, seolah mencoba untuk bersinar dibalik rundungan kesedihan. Seperti biasanya, pemanfaatan daripada drum tidak untuk diperas pada kemampuan teknis, melainkan lebih pada membesarkan daya ruang gema kick drum dan desisan simbal yang begitu tajam. Itu memberikan efek semacam ritual pemanggilan Kraken dari dasar laut yang dengan mudah mengkaramkan kapal dengan daya serang berukuran raksasa dan tak mampu terelakan.

Klimaks yang terjadi muncul pada pertengahan menit 60 hingga hampir menjelang akhir lagu, ketika susana menjadi lebih keruh dan gaduh, guncangan yang bersifat lebih dahsyat dan intens terus menggempur bar demi bar. Namun justru hal tersebut yang tampaknya menjadi semacam oase, ketika disepanjang album lebih banyak ditemukan unsur keheningan dan penuh dengan menimbang-nimbang perasaan di antara kesunyian. Shreibman mengeluarkan upaya geraman rendah terbaiknya di sini dan sukses memporak-porandakan perasaan seperti tidak ada yang tersisa.

Apabila dalam “Mirror Reaper” bergerak secara linear di atas seutas tali yang menghubungkan dualitas antara kehidupan dan kematian, pada “Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate” mereka seperti mengilhami semacam teori bahwa dunia tercipta dari siklus perputaran fase kehancuran dan penciptaan yang terakumulasi secara terus-menerus.

Tidak mengherankan karena ketika menggarap album ini, mereka secara tidak langsung sedang dirasuki oleh ajaran Friedrich Nietzsche melalui karya terkenalnya, “The Gay Science”. Mempertanyakan apabila kehidupan yang dijalani ternyata tidak sesuai harapan dan telah kehilangan esensinya, namun perputaran terus berlanjut dalam wujud penciptaan kembali, apakah itu semacam membuat kematian yang umumnya dihindari menjadi sesuatu akhiran yang pantas untuk dituju, demi membebaskan jeratan akumulasi penciptaan yang secara terus-menerus bersifat menyiksa?

Itu semacam gagasan dari salah satu ajaran Buddha yang dikenal dengan istilah Samsara, ketika manusia yang tidak mampu bebas dari ikatan karma akan tetap diturunkan untuk hidup, bahkan ketika alam semesta hancur, perjalanan akan tetap berlangsung. Harapan filosofis itulah yang ingin ditanamkan pada “Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate” dan sekaligus menegaskan alasan dibalik mengapa pergeseran dinamisme antara bagian yang lembut pada bagian yang bersifat lebih destruktif di sepanjang album diurutkan secara teranyam. Semacam kode untuk menggambarkan siklus perputaran antara kehancuran dan reinkarnasi tanpa akhir, hingga seseorang bersedia untuk menemukan setitik cahaya yang mampu membebaskannya. 

Rating : 8 / 10

Lagu yang Direkomendasikan : Dengar Lagunya Dari Awal Hingga Akhir

Baca Juga : EA – EA II – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link