HMLTD – The Worm – Review
Pada lagu pembuka, “Worm’s Dream” suara desisan vokal opera yang merayap secara perlahan, menindih tubuh dengan sekuat tenaga agar tidak mampu menyeberang dari kondisi mimpi menuju sadar. Namun dalam sekejap lanskap atmosfir musik berubah menjadi tegang dengan intervensi yang bersifat memaksa dari ledakan gitar yang memecah kesunyian, membuat seseorang melonjak secara paksa dari tempat tidur dan tersadar dari mimpi buruknya.
Barangkali ini merupakan sebuah adegan rekonstruksi dari sang frontman, Henry Spychalski ketika ia mendapat wangsit akan inspirasi untuk album ke-2 band art-rock asal London besutan nya ini. Dalam mimpinya, dia menjadi seorang bocah tentara yang berada di tengah pertempuran gerilya. Bersama dengan regu tentara bocah lainnya, Spychalski dititahkan untuk membunuh siapapun musuh yang ditemuinya. Musuh semacam sebuah metafora dari mereka yang tidak menghormati seseorang dan berperilaku brengsek (bahasa slang dalam bahasa Inggris, disebut Worm).
Namun setelah menyusuri hutan belantara, Spychalski baru tersadar bahwa dirinyalah yang sedang diburu oleh regu tentara lainnya. Dia terhempas ke tanah, tubuhnya dipenuhi dengan cacing dan segerombolan anak datang menghampiri, mencabik-cabik, dan memakan campuran tubuh dan cacingnya itu. Setelah mimpi aneh itu menggentayangi, hari berikutnya Spychalski menghampiri rekannya dan memutuskan mengintegrasikan mimpi absurd itu pada narasi tema besar album HMTLD kali ini.
Sekarang untuk membuat kisahnya bergetar pada setiap jiwa banyak orang dan memiliki rasa keterlibatan secara inklusif di sana, Spychalski menggunakan keresahan dan kecemasan pribadinya. Pada lagu “self-titled” yang dibangun oleh atmosfer musik hukuman eksekusi menegangkan pada abad pertengahan, Spychalski berteriak nyaring: “cacing itu hidup jauh di dalam diri Anda, dan Anda hidup jauh di dalam cacing itu.” Ia sedang mengoceh mengenai korelasi sebab akibat yang dialaminya maupun banyak orang, bahwa kerapuhan bersifat eksternal akan berbanding lurus membangkitkan secara ganas perasaan krisis eksistensial seseorang.
Ini terjangkit pada Spychalski yang tengah berjuang melawan penyakit trauma dan depresinya, pasca menghadapi kejadian pahit yang menimpa band. Mereka yang sempat dikontrak oleh label mayor Sony, hanya untuk sampai pada kesia-siaan menghabiskan waktu dan uang ratusan ribu pound membuat album debut yang terbengkalai dan tidak pernah dirilis di bawah lisensi Sony. Kontrak diputus, kehilangan sosok kibordis, Zac, dan HMLTD sempat mengalami masa-masa kolaps. Mereka bahkan pernah menyuarakan persoalan ini dengan lantang pada salah satu lagunya berjudul “Loaded” : “Saya menjual jiwaku kepada iblis malam ini / Dan saya masih sangat miskin.” teriak Spychalski yang masih menyimpan amarah dendam dalam hatinya. “Menjadi seorang musisi tidak akan menghasilkan banyak uang kecuali jika Anda adalah Rihanna.” Seru Spychalski pada sebuah wawancara.
Namun reaksinya dibarengi dengan tindakan melecehkan secara masif persepsi dan pandangan banyak orang mengenai musik seharusnya bekerja. Mereka berdansa bersama dengan cercaan dan hinaan lalu menghasilkan gen hibrida musik yang tampak seperti anatomi mutan. Dalam debutnya, HMLTD tampil dalam balutan pakaian dan kosmetik glam-rock ala Bowie, lalu menggandakan emosi pada potongan musik post-punk / synth-pop. Mereka juga menampung kebiasaan urakan dan liar terhadap agresi musik punk di luar kendali.
Sekarang tampak seperti kolase musik alternative era 80’an? Tunggu sampai mendengar dekorasi drum yang dilumuri oleh pendekatan gaya pop-modern / trap, dan disitulah parade mengaduk-ngaduk perasaan Ironi HMLTD dimulai, sebuah upaya untuk mengolok-olok dan mengencingi standar dan ketetapan dari industri hiburan modern. Tetapi pada catatan ke-2 nya ini, HMLTD seolah menjadi sekumpulan seniman penganut luddisme yang muak terhadap apapun bentuk yang telah dimodernisasi.
Semua upaya pada album pertamanya, terkunci rapat dalam lemari dan elemen opera klasik membentang kokoh menjadi bentuk musik yang paling nyaring dalam beresonansi disini. Tentunya transformasi yang terjadi didasari dengan alasan mendasar yang menguak fakta bahwa paparan kritik sosial, pengalaman, dan kecemasan yang mereka lontarkan dibungkus dalam sebuah tema metaforis besar lainnya.
Album “The Worm” menaruh latar waktu abad-11 di Inggris yang mengisahkan sebuah peristiwa rekahan hidrolik yang memunculkan cacing raksasa ganas dan memangsa apapun yang berdiri di hadapannya. Cacing tersebut yang merupakan simbolisasi dari biang keresahan (kapitalisme sewenang-wenang, pergolakan mental, teknologi) yang menumbuhkan berbagai sensasi ketakutan pada setiap orang.
Prasangka kecurigaan mereka terhadap teknologi pengganti manusia, semakin menjadi-jadi ketika menemukan fakta bahwa “The Wormbook” sebuah buku puisi bergaya abad ke-11 yang sengaja mereka tulis menggunakan bantuan AI sebagai pelengkap album, menunjukan tingkat akurasi yang mencengangkan. Itu seperti membenamkan perasaan mereka lebih jauh lagi akan kekhawatiran kehidupan di era modern ini.
Kegelisahannya langsung tumpah ruah pada lagu “The Wyrmlands” yang disambut dengan terjangan melodi piano memusingkan, sinkopasi drum yang mempermainkan tensi ketegangan, dan raungan gitar psychedelic rock kotor yang lewat sekelebat, seperti sambaran kilat pertanda malapetaka akan segera melanda. Sementara, Spychalski tengah berkaca dan membenamkan suaranya pada nada-nada murung bercorak post-punk sambil mulai melontarkan keresahannya : “Rasanya seperti melihat ke cermin / Untuk pertama kalinya dalam hidupku / Saya tahu siapa saya dan saya menangis / Mengapa saya merah muda? Mengapa saya buta? / Mengapa saya menggeliat di dalam tubuh ini?”.
Kisah daripada kelahiran “cacing-cacing” perusak ini seperti terbagi 2 pada lagu ini. Penduduk-penduduk Wymrlands yang secara fakta sejarah mendapat perlakukan penindasan dari kaum masyarakat feodal, merasa bahwa merekalah cacing yang berusaha mengganggu dan membunuh mereka. Sebaliknya, Spychalski menyadari bahwa cacing itu tumbuh di dalamnya ketika ia mulai merasakan getaran yang tidak wajar mulai merayap pada tubuhnya.
HMLTD tidak menonjolkan sisi inventif-nya di album ini dalam menabrakan atau melakukan pergeseran yang bersifat radikal. Spychalski ingin melakukan penekanan pada narasi yang dibarengi dengan urgensi tingkat tinggi, sehingga pada sepanjang album lebih banyak melodi piano minor yang menjuntai panjang serta ambient yang terus menghantarkan pada perasaan merenung.
Eksperimen lebih bekerja untuk mendukung peningkatan keramahtamahan sesi instrumen untuk dapat menjelaskan setiap emosi yang terjadi dalam lagu dengan lebih hidup. Mereka tidak lagi berniat untuk membuat pendengar hanya sekedar menganga merasa tak percaya apa yang baru saja mereka dengar, tetapi merajut seluruh kepingan musiknya menjadi sebuah album yang penuh dengan rasa introspeksi diri.
Bahkan secara berkala HMLTD menambahkan narasi teks yang detail dalam menggambarkan emosi dan kisah pada beberapa lagu. Pada “Liverpool Street” Spychalski menggunakan teknik “Breaking the Fourth Wall” , ketika ia keluar sejenak untuk menceritakan gejala depresifnya pada seorang psikiater.
Lagu ini juga secara tidak langsung menunjukkan kebingungan akan perasaanya yang tidak dapat membedakan apakah selama ini “cacing-cacing” yang ia sering sebutkan adalah sebuah kenyataan atau hanya sekedar khayalan belaka. Ketangkasan mengelola musik tidak diarahkan pada seberapa “avant-garde” sentrisnya mereka memperlakukan musik, tetapi justru dikerahkan pada kejelian teknis daripada gaya produksi cukup terasa Ironis, memang ketika pada pengerjaan album ini, pihak band malah sanggup mempekerjakan 47 musisi sekaligus untuk mengatur penataan aransemen classical yang justru memakan anggaran jauh lebih sedikit daripada apa yang mereka dapat bersama dengan label mayor.
“The End is Now” selaku single utama album, menarik perhatian dengan upaya peleburan berbagai instrumen yang dirangkai bersama vokal memikat dan gaya produksi yang mampu mengangkat setiap garis instrumen pada perhatian utama. Menggelegar dalam kemegahan musik bernuansa opera yang dipasangkan dalam melodi berlapis dari gitar, bassline groovy, hamparan hammond organ bernuansa psikedelik, dan piano yang ramping mengeluarkan melodi efektif.
Menurut sang vokalis, lagu ini yang menjadi pemicu pertama kali cacing raksasa itu timbul dari rekahan hidrolik, dan suara tangis memecah pada bagian akhir lagu, ketika struktur musik tiba-tiba terjungkal menjadi raungan blues dan soul yang meratap. “Days” kembali memutarkan ekspektasi pada sudut lain, ketika musiknya jauh berbeda dari beberapa daftar lagu sebelumnya. Lagu yang menceritakan kehilangan mendalam ini dibingkai dalam lantunan melodi piano sendu, dan gesekan tipis ambient, serta dentuman drum yang menyerupai deru ombak bergelora.
Meskipun lagu ini lebih banyak bergerak dalam alunan piano pop minimalis, tetapi kedengarnnya bukan seperti sesuatu yang cheesy dan tidak inspiratif. Lentingan efek vokal pada album ini begitu dinamis, dan seiring menjelang akhir lagu melodi gitar berhamburan membentuk begitu banyak buih-buih yang semakin menenggelamkan perasaan kehilangan yang semakin terbawa pada dasar laut. “Saddest Worm Ever” mengembalikan sisi berisik yang absen dalam beberapa lagu dan lonjakkan distorsi yang lebih tajam.
Tetapi ada beberapa bagian yang dirasa berhasil dan tidak di sini, seperti pada pertengahan lagu yang membuat transisi yang dihasilkan oleh backing vokal monster yang canggung dan hanya tampak terkesan seperti kekanak-kanakan. Sungguh sedikit sulit dipercaya, tema album yang penuh dengan metafora bersifat apokaliptik justru ditutup dengan pesan yang begitu positif dan optimistik pada lagu “Past Life (Sinnerman Song).”
Salah satu highlight tertinggi di album ini yang mempertontonkan dinamisme segala aspek dari pihak band, terutama ayunan sempurna dari perputaran ritem jazz yang dipenuhi ketukan ganjil menuju elemen berbinar-binar dari musik gospel bernuansa surgawi sembari menemani Spychalski berlutut memanjatkan doa dan keinginannya. Dia mendapatkan apa yang diinginkan ketika cacing-cacing itu akhirnya keluar dari tubuhnya dan dengan lantang ia mengucapkan bahwa “hidup itu indah, sangat-sangat indah”.
HMLTD menunjukkan kapabilitas mereka juga dapat menulis lagu-lagu balada yang penuh makna dan menyentuh secara emosional dalam kreativitas aransemennya. Sejatinya akan terasa lebih klimaks bila narasi lirik berhenti pada lagu “Past Life (Sinnerman’s Song), namun gubahan musik yang ditawarkan pada lagu penutup, “Lay Me Down” terlalu sayang untuk dikucilkan.
Menggunakan periode waktu yang secara paradoks menyentuh masa lalu dan masa kini, “The Worm” seperti secara terselubung memberikan kritik yang luhur akan perbedaan dan persamaan keresahan manusia pada tiap zaman. Mereka boleh saja mengklaim era sekarang lebih baik, dikarenakan kemajuan teknologi yang bersifat intensif, tetapi perihal sosial, emosi, dan moral, peradaban saat ini serupa dengan orang-orang pada abad pertengahan yang setiap harinya selalu terusik oleh cacing-cacing yang terus berupaya memakan kebebasan individu dari luar dan dalam.
Rating : 8 / 10
Lagu yang direkomendasikan : The End Is Now, Days, The Worm, Past Life (Sinnerman’s Song), Lay Me Down
Baca Juga : Deerhoof – Miracle-Level – Review