Kali Uchis – Red Moon In Venus – Review
Merah dan cinta merupakan 2 contoh lambang simbol yang masing-masing memiliki definisi dan gagasan dualisme yang kuat. Merah dapat menjulang pada keberanian, kekuatan, dan romantisme yang begitu bergairah. Namun tabir dan sisi lain mengungkapkan merah dapat bertransformasi menjadi tanda peringatan marabahaya, kekerasan, dan bahkan dapat menjadi lambang pertumpahan darah yang memilukan.
Tidak mengherankan cinta dan merah memiliki kaitan yang erat dan berdampingan, dikarenakan cinta memiliki kesamaan berjalan di atas seutas tali yang hanya memiliki perbedaan tipis antara kesenangan dan tragedi. Ia dapat mengikat pada perasaan saling memiliki yang bersifat erotis, membutakan permasalahan sejenak kehidupan yang semuanya hanya dipandang dengan sudut asmara buta. Namun, menggenggam pasir atau menjerat leher terlalu keras dapat menimbulkan rasa kehilangan yang tentu menjadi salah satu pemicu timbul rasa kesepian dan kesedihan yang mengerucut menjadi semacam akumulasi kecemasan berlebih.
Kali Uchis sadar akan makna dan kekuatan dari ke-2 simbol yang saling berkaitan ini, dan bukannya segera mundur perlahan lalu berbalik menjauhinya, penyanyi kelahiran Alexandria ini justru menelanjangi dirinya, dan segera terjun dengan bebas ke dalamnya untuk terlibat lebih intim pada setiap sentuhannya “Red Moon in Venus”, selaku judul album ke-3 nya merupakan hasil temuan Uchis tentang pendapat para astrolog, mengenai fenomena bulan merah (Red Moon).
Seperti yang dikatakannya pada saat wawancara bersama Vogue, ia memaparkan bahwa astrolog berpendapat tentang peristiwa bulan merah, merupakan saat dimana emosi seseorang akan bergejolak menjadi lebih bergairah, liar, dan gila dari biasanya. Kumparan emosi yang memiliki ketegangan setara nafsu birahi itu, ia arahkan untuk membahas seluruh rongga-rongga yang menempel pada cinta dan memberikan gambaran dan makna keseluruhannya.
Untuk itu, Uchis menyertakan planet Venus yang menurutnya sebagai sebuah perlambangan planet cinta. Dia tidak memiliki kepentingan untuk memihak bahwa cinta hanyalah soal kesenangan, pada album ini ia juga merangkul kemungkinan cinta sebagai tempat pengajaran sempurna mendalami artinya kehilangan yang meninggalkan kerinduan mendalam. Pada “I Wish You Roses”, selaku single utama album ia langsung mengajak pada bagian yang tersulit namun esensial dalam merubah pandangan. Dia menancapkan kerelaan untuk melepas orang-orang yang mungkin membuatnya terluka, namun melepaskannya dengan cara yang tidak menyimpan rasa dendam dan kepahitan.
Ia juga mengharapkan pendengarnya untuk tumbuh seperti mawar yang mekar meski dikelilingi oleh situasi dan lingkungan tidak menyehatkan, seperti apa yang diucapkan pada penggalan versenya : “Saya adalah bunga mawar di taman rumput liar”, dan ia juga berharap orang-orang memiliki keyakinan demikian yang ia lontarkan pada chorus : “Saya berharap Anda mencintai / saya berharap Anda baik-baik saja / Saya berharap Anda mawar, selagi Anda masih bisa menciumnya / Dengan bunga yang cantik bisa muncul sengatan lebah.”
Ini juga sekaligus menjadi kritik terselubung Kali Uchis, pada orang yang menganggap bahwa musik hanyalah sekedar pelampiasan emosi yang toxic dan berlarut-larut di dalamnya, di sini ia memaparkan bahwa musik memiliki daya detoksifikasi orang untuk melepas segala emulsi negatifnya dan menjadi pribadi yang lebih baik. Pada proyek terdahulunya, Kali Uchis terkenal dengan kepiawaiannya menabrakan elemen musik ke lahan berbeda secara mengejutkan.
Dari lantunan neo-soul yang halus ia bisa menikung tajam secara mendadak untuk beralih pada musik musim panas di daerah latin, atau reggaeton yang menghentak. Namun situasinya berbeda di sini, ia membuat semuanya menjadi lebih kohesif dan menampilkan keberagaman yang menyatu. Memang, di sini masih ditemukkan jejak-jejak eksperimen bebas yang pernah ia lakukan dahulu, seperti keseluruhan lagu yang memiliki tempo mengalun merupakan gaya yang diadopsi dari bedroom-pop, selingan elemen jazz, psychedelic, latin, dan funk yang muncul secara bergantian, tetapi ia menempelkan serpihan-serpihan itu lalu membungkusnya menjadi satu kesatuan dalam balutan musik neo-soul / R&B.
Menciptakan kesan inklusif dan eksklusif secara bersamaan, dimana ia ingin mengajak orang untuk terlibat lebih dalam mengenai kisahnya, tetapi secara eksklusif ia membatasi elemen-elemen musik tertentu, yang dirasa memiliki satu paham untuk dapat memberikan getaran dalam menggambarkan berbagai susana yang berkaitan dengan cinta. “Love Between” seperti memberikan kenyamanan bagi Uchis dalam berperan sebagai diva soul, yang sangat didukung oleh potongan elemen musik soul lawas, namun dengan ketukan beat yang lebih subur.
Keterampilan vokal selalu dipuji, ketika secara konsisten dapat melenggang secara anggun, meski terpaan instrumen yang terkadang menghardik lebih keras seperti pada lagu “Endlessly” yang memiliki perputaran elemen musik new jack swing sebuah elemen pop-funk era 90’an. Getaran bass lebih menebal, namun dapat bersinergi dengan ad-libs lembut yang memukau atau melodi-nya yang bersifat sensual. Bahkan, untuk membuat semua omongan ini terlihat nyata dan serius, Uchis mengundang musisi soul, Don Toliver pada lagu “Fantasy”.
Toliver tidak hanya sekedar musisi undangan, tetapi ia merupakan kekasih dari Uchis di era sekarang dan sepasang kekasih itu mengamini bahwa cinta terkadang berjalan tidak mulus, tetapi mereka tetap mampu mempertahankannya. Pada “Como To Quiero Yo”, Uchis masih terbawa suasana pada album terdahulunya, yang sempat memposisikan diri sebagai malaikat. Ia menggunakan bahasa latin di sini, dan backing vocal bernuansa surgawi itu seperti mengisyaratkan bahwa ia enggan untuk melepas sayap malaikatnya di sini.
“Moral Conscience” salah satu lagu yang menjadi pengumpul fakta terkait segala pendapat orang mengenai kemahiran vokal Uchis. Dengan elemen psikedelik dan lirik yang lebih sedih, Kali Uchis mengambil vokal yang lebih tinggi di sini, kemudian ia berteriak sekencang-kencangnya sampai pada titik kesadaran bahwa seharusnya ia tidak terus-menerus menyalahkan siapapun, termasuk dirinya. Namun itu sulit dilakukan, sementara ia masih menyimpan sedikit dendam pada mantannya dengan menyerapahi dalam hati bahwa suatu saat karma akan menghampiri dan mencelakai mantannya itu, tetapi itu tidak berhasil, ketika ia semakin terperosok pada kesedihan yang lebih mendalam pada lagu “Blue”.
Sebuah gaya pop-jazz yang masam dan dingin, serta vokal yang lebih meratap membuatnya menjadi bimbang antara takut merasa kehilangan dan menyalahkan diri sendiri, dikarenakan ketidaksanggupan mempertahankan hubungan. “Karena apa gunanya semua hal indah di dunia jika aku tidak memilikimu? Apa gunanya semua hal indah di dunia jika aku tidak memilikimu? (Aku tidak ingin melihatmu dengan orang lain, aku hanya ingin mencintaimu, sayang, ooh) / Kurasa itu salahku sendiri karena menjadikanmu duniaku, sekarang yang kurasakan hanyalah kesedihan” Uchis meletakan kegundahannya pada chorus berulang, mengimplikasikan penyesalannya yang mendalam dan terakumulasi.
“Happy Now” selaku lagu penutup mengembalikan pemaknaan cinta yang begitu terbebas dari aspek dualitas dan konklusi album ini juga memiliki nada serupa. Uchis memilih untuk berdamai baik dengan dirinya maupun eks-kekasihnya dan memutuskan untuk bergerak secara hati-hati ke depannya. Lagu ini pun turut mendukung kesenangan dan pelepasan Uchis, dengan gaya produksi yang terang serta ketukan drum yang lebih banyak melompat kegirangan bertempo riang.
Ia mungkin mengambil simbolisasi yang terasa jauh dan mengawang-ngawang, tetapi Uchis menampilkan siklus cintanya dengan keterbukaan yang lengkap. Ia melempar maknanya sebagai umpan daya tarik di awal, lalu menarik masuk lebih dalam pada pengalaman pribadinya yang dilukiskan dengan kejujuran yang menyala-nyala dan mata yang berbinar-binar. Dia tidak hanya sekedar menggurui, melainkan memberi pemaparan nyata bagaimana agar setiap orang mencontohnya, sehingga mampu memahat arti cinta sebenarnya.
Rating : 7.5 / 10
Lagu yang direkomendasikan : I Wish You Roses, Love Between, Fantasy, Como Te Quiero Yo, Endlessly, Moral Conscience, Blue, Happy Now
Baca Juga : Bolbbalgan4 – Two Five – Review