2023FolkIndie PopPopReviews

Feist – Multitudes – Review

Feist-Multitudes-Review

Waktunya telah tiba, ketika Leslie Feist sudah tidak bisa lagi mengenakan celana denim ketat bergaya rock ‘n roll nya dan menjadi pribadi yang ego-sentris dalam menyikapi hubungan yang tenggelam dalam lamunan indie-pop dan rekahan distorsi gitar sebagai wadah katarsis baginya. Selama 2 dekade lebih dalam berkarya, penyanyi kelahiran Kanada ini melalang buana mencari berbagai serpihan musik yang mampu menutupi rasa murung dan menambal hatinya yang compang-camping.

Pada awal karirnya, ia tergabung dalam sebuah grup alternative rock, Placebo dan merasakan sensasi bagaimana menyanyi dengan nada datar sambil dilatarbelakangi oleh riff gitar chuggy yang terus memompa. Sementara ia sempat singgah pada beberapa band indie-rock lainnya, Broken Social Scene dan By Divine Right, namun memutuskan untuk bersolo karir. Bahkan kesuksesan album “The Reminder” dan salah satu lagunya yang terpilih sebagai soundtrack iklan IPOD, tidak membuatnya jera untuk terus berjalan menyusuri tanah yang asing.

2 album sebelumnya, Feist masih menenteng gitar listrik dan memainkan alunan rock ‘n’ roll, namun gayanya lebih santai dan sikapnya lebih terkendali. Perubahan yang mendalam terjadi, ketika selama masa pandemi Feist hanya menetap bersama ayah dan anak semata wayangnya. Itu membuat dirinya lebih memahami mengenai arti cinta dan kehilangan secara langsung.

Terlebih setelah ayahnya meninggal di usia 77 tahun, Feist dalam masa berkabungnya mampu menuangkan gagasan lirik yang tidak lagi hanya berputar pada renungan dan penyesalan, melainkan sebuah catatan untuk dirinya di masa depan, tentang bagaimana menjaga agar semuanya bisa menjadi lebih baik. Sehingga dalam “Multitudes” selaku album ke-6 nya, Feist seperti terlahir kembali.

Feist-Multitudes-photo-session

Vokalnya yang bersinar melenggang secara anggun di atas seutas dentingan akor gitar akustik yang dibunyikan sebagai kepentingan menaungi perasaanya. Salah satu aransemen musik yang paling kaleidoskopik dalam album ini barangkali terletak pada lagu pembuka, “In Lightning” dengan tabuhan beat elektrik dengan suara yang ketat, serta layer vokal yang muncul dalam keadaan terdistorsi dan ditarik dalam langkah mundur, seperti menampilkan keadaan retrospektif.

Memang demikian adanya, ketika secara narasi Feist sedikit mengingat masa lalunya yang lebih condong untuk membaringkan tubuhnya ke dalam hal-hal yang bersifat mengikat dalam kegelapan atau rasa bersalah yang tidak didampingi bersama kesadaran untuk segera bangkit. Suaranya seperti panorama yang dilematis apakah ia memilih untuk tetap berkubang dalam rangkaian musik yang bising itu, atau memilih opsi lain untuk segera meletakkannya dan menuju pribadi baru.

Feist akhirnya memposisikan diri sebagai guntur yang datang setelah kilat, dimana ia akhirnya mampu melihat cahaya dibalik kegelapan dan seketika pergeseran musik secara drastis mencuat pada lagu-lagu berikutnya. Feist sekarang seperti seseorang yang tengah duduk di hari senja yang sejuk sembari menulis catatan-catatan mengenai transformasi dirinya, sambil sesekali tersenyum melihat secara kilas balik kesalahan-kesalahannya yang berubah menjadi pengalaman berarti.

Ia sekarang sudah lebih berani dalam menyuarakan kekuatan magis dari cinta, tetapi dia tidak serta-merta mendorong orang untuk langsung terlibat secara inklusif dengan cinta, ia mengingatkan cinta tetap butuh pertimbangan lebih mendalam, terlebih jika ingin menjalani cinta melalui hubungan orang tua dan anak yang harus datang dalam kesadaran dan pertimbangan secara matang.

“Saya belum pernah memulai selamanya sebelumnya / Sampai aku tidak menginginkan apapun lagi / Sepanjang waktu di dunia / Anda tidak dapat mulai mempersiapkan Untuk selamanya sebelumnya / Dia sedang tidur di sana.” Feist mengingatkan pada bait terakhir di lagu “Forever Before”. Berangkat dari pengalaman pribadinya, ketika ia mulai menimang anak perempuan pertamanya, Feist seperti rela membuang ambisinya dan bahkan produktivitasnya menjadi sempat terbengkalai.

Sementara, momen penuh pertimbangan itu muncul pada pertengahan album, ketika lagu “I Took All Of My Rings Off” berkumandang. Dia bernyanyi sambil melihat sekitar bahwa dunia erat kaitannya dengan lingkaran keluarga penuh komitmen yang disimbolisasikan sebagai cincin. Ia kembali mengambil spidol merahnya untuk mulai mengoreksi kesalahannya di masa lampau, tetapi di sini ia tidak mengambil pendekatan untuk menyalahkan ketidaktahuan dirinya, dan ia justru mengucap rasa syukur atas kesalahannya yang diperbuat, justru mendatangkan pemahaman yang lebih matang.

Timbunan melodi synth yang tiba-tiba mekar di penghujung lagu meninggalkan perasaan yang berbunga-bunga atas konklusi akhir lagu yang menunjukkan perubahan perspektif Feist. Pada lagu “Love Who We Are Meant To” Feist menulis sepucuk surat dan dikirimkan kepada sepasang merpati dari surga untuk mendiang ayahnya.

Emosinya tumpah di sini, ketika bersamaan dengan gitar akustik yang menenun perpindahan kor sentimentil dan vokal berekspresi dalam penekanan vibrato dan memberikan banyak ruang hening untuk merasakan getaran perasaan. Dengan narasi yang bergerak dalam waktu non linier antara melompat pada masa lampau menuju masa depan yang transformatif, ia justru berusaha mengaburkan batasan itu dengan pendekatan musiknya yang sama sekali baru baginya, tetapi itu sebenarnya merupakan gaya country / folk americana yang diambil dari nuansa musik era 70’an, sehingga ia memposisikan karakter barunya yang terbentuk atas kepingan-kepingan kepribadian lamanya yang dirubah dengan sudut pandangnya di masa kini.

Tetapi vokalnya, cukup menawarkan detil yang secara emosional maupun aransemen dapat bergetar secara langsung. Ini dapat ditemukan pada lagu “Borrow the Earth”, ketika drum meletup lebih keras menghantarkan Feist di ujung bukit. Dia bernyanyi lebih tegas namun tetap tenang kali ini, sembari menunggu momentum pelepasan yang hebat, ketika menjelang penghujung lagu ia berteriak nyaring dan disokong oleh perkusi yang berdebar menjadi penanda bahwa, maaf ia hanya meminjam masalah lampaunya untuk dilontarkan ke luar dan membuangnya jauh-jauh bersama getaran suaranya yang terbawa angin.

“Multitudes” secara narasi seperti memiliki momen yang tercecer dan bisa menempelkan sisi personal dari Feist, atau justru pesannya bisa mewakili secara universal. Tetapi secara holistik, “Multitudes” tetap saling berkaitan dengan bagaimana Feist akhirnya menemukan jati dirinya yang baru dan ia mengembalikan konklusi akhirnya pada saat masa-masa pandemi, yang tentunya sangat krusial bagi titik belok strategis dalam hidupnya.

Setelah ia menutup lembaran hariannya dan selesai menggaris kurva kehidupannya, pada lagu penghujung “Songs for Sad Friends”, Feist menyempatkan diri untuk menulis surat-surat demi menyemangati beberapa kerabatnya. Dengan kali ini vokalnya yang lebih terhimpit oleh alunan gitar akustik maupun perkusi yang lebih rimbun, Feist menggambarkan daya ruang geraknya yang lebih terbatas, terap mampu dimanfaatkan oleh lantunan vokalnya untuk memberikan pesan hiburan pada kerabat-kerabatnya yang terpisah dikarenakan masa pandemi yang saat itu tengah berlangsung.

Dalam beberapa titik pada “Multitudes”, dengan perasaan tidak gentar sedikitpun, Feist menyelami titik kerentanan masa lalunya dan ia bisa mengatasi persoalan yang runyam itu, untuk kemudian dihubungkannya sebagai catatan masa depan yang lebih baik bagi dirinya maupun dapat diberlakukan secara massal.           

Rating : 8 / 10

Lagu yang direkomendasikan : In Lightning, Forever Before, Love Who Are Meant To Be, I Took All My Rings Off, Become the Earth, Borrow Trouble, Calling All The Gods

Baca Juga : NUOVO TESTAMENTO – Love Lines – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link