Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Ep 2
“Sebuah panduan untuk memahami lebih dalam mengenai Black Metal dari segi estetik, struktur, serta kenikmatan yang dapat merangsang untuk terus terperosok ke dalamnya.“
Pada dasarnya kita tidak akan sanggup mempengaruhi dan mengarahkan secara efektif proses perubahan seseorang dalam memaknai sesuatu, sampai ia bisa menggali dan menemukkan kesadaran diri akan realitas di dalamnya. 300 tahun silam seorang fisikawan sekaligus filsuf terkemuka asal Italia, Galileo pernah memperingatkan hal serupa: “Anda tidak dapat mengajarkan apapun kepada seseorang; Anda hanya bisa menolongnya menemukan hal itu dalam dirinya sendiri.” Setiap manusia terdiri dari pola-pola pengulangan, namun untuk mengidentifikasi pola tertentu, ini melibatkan pengalaman-pengalaman pribadinya secara umum.
Sumber-sumber literasi seperti buku, musik, dan media pembelajaran lainnya hanya sebatas alat kognitif untuk membantu dalam membuka pikiran menuju jalan yang diinginkan, tetapi untuk sampai ke sana tidak ada cara lain selain menelusurinya hari demi hari. Proses ini memang membutuhkan waktu, sangat kompleks, dan memerlukan keterlibatan emosional dan pikiran secara langsung. Tidak mengherankan bila banyak ratapan jiwa yang menyerah, menganggap bahwa pijakannya di masa sekarang adalah tempat terakhir perhentian mereka. Saya hanya ingin menanyakan apakah kondisi yang dialami sekarang sudah merasa paling ideal? Jika iya, tanyakan lagi pertanyaan ini esok hari, dan jika jawabannya adalah tidak segeralah cari cara untuk beranjak.
Paparan di atas mungkin tidak ada kaitannya secara langsung dengan apa yang saya bahas kali ini, tetapi saya menemukan korelasinya secara tersirat. Saya sadar bahwa setelah kalian membaca daftar album ini, tidak ada jaminan kalian langsung tertarik untuk memahami lebih dalam mengenai musik black metal. Tugas saya di sini hanya menyediakan jalan-jalan untuk mempermudah dalam memahami musik black metal dari segi struktur, estetik, dan bentuk musiknya. Tentunya saya sangat mengapresiasi orang-orang yang sudah mau meluangkan waktu untuk mendalami sesuatu hal merepotkan yang belum mereka kenal secara baik, sementara mereka bisa saja menghabiskan waktu seharian untuk berjumpa dengan pasangan fantasinya melalui fyp Tiktok, fanspage Facebook, maupun komunitas Discord.
Sedikit catatan list ini tidak memiliki keterkaitan langsung dengan bagian sebelumnya. Kalian tidak berkewajiban untuk mendengarkan seluruh album dari bagian pertama lebih dulu untuk memahami konteks dari isi post kali ini. Kalian bisa memperlakukan list ini sebagai alternatif, bilamana merasa bahwa 10 album black metal yang saya rekomendasikan sebelumnya tidak bekerja untuk kalian.
Baca Juga : 13 Penerus Norwegian Black Metal Saat Ini
Jord – Mane
Barangkali cara serta pendekatan Jord dalam menulis materi, dapat ditiru oleh beberapa musisi yang ingin menciptakan sebuah karya sentimentil yang berpadu dengan alam. Sebelum memulai merekam album, dirinya mengaku bahwa ia sering berjalan mengitari hutan di pagi hari untuk menemukan inspirasi. Ide-ide mengenai melodi, suasana, dan gambaran atmosfer semuanya berdatangan secara sendirinya dan tentunya berkesan natural, hingga pria kelahiran Swedia ini memutuskan untuk mendirikan proyek solo-nya sendiri. Rutinitas sepele tersebut sekaligus menjadi konsep lirik daripada album-album Jord mulai dari album debutnya, “Sol”, hingga album sophomore, “Mane” yang baru saja dilepas April lalu.
Pencarian jati diri dengan merefleksikan pandangan pada cara alam bekerja masih menjadi isu yang diangkat di sini, tetapi ‘Mane’ datang dengan menampilkan elemen post-rock, shoegaze yang terkoneksi secara integral dan berperan sebagai protagonis. Eksekusi dari hasil akhir produksi memiliki kesan yang sangat baik. Bagian-bagian melodi baik dari sektor gitar maupun synth semuanya tersampaikan dengan jelas, bersih, dan berseri. Dengan semakin banyaknya dilibatkan peranan synth, Jord mampu merengkuh nuansa dan emosi lebih luas. Ini semakin memberdayakan penekanan melodi-melodi sayup yang mampu menuntun secara perlahan pada sudut-sudut tergelap dan kelam sekalipun.
Tentunya Mane tidak tercipta hanya mengacu pada 1 warna emosional. Layaknya sebuah siklus perjalanan kehidupan, lika-liku ekspresi datang secara silih berganti mulai dari rasa amarah yang direpresentasikan dengan naiknya tensi pada tempo permainan, serta pekikan vokal parau black metal. Lalu perasaan menyala-nyala yang diwakili oleh petikan reverb chorus cleany gitar yang merangkai sambutan melodi secara hangat. Bagian tersedihnya dimainkan oleh nada-nada minor lebih rendah, tekstur growl vokal mendalam, serta aransemen lagu yang menaiki tangga nada-nada minor.
Temnozor – Горизонты…
Saya harus kembali tekankan bahwa sub-turunan folk black metal tempat sempurna untuk memulai petulangan dalam menjelajahi musik black metal. Sementara kalian dapat mempelajari karakteristik dasar dari black metal, terdapat iringan-iringan folky tune merdu mengiringi dibelakangnya untuk menjadi sebuah penyimbang yang baik dan memberikan kedalaman unsur baik dari segi historis maupun estetika. Temnozor bisa jadi merupakan pilihan yang bijak untuk mulai menyelami ranah folk black metal.
Band yang terbentuk di Moscow, Russia pada tahun 2001 ini hanya memiliki 3 materi album penuh, namun memberikan kualitas serta pengalaman mendengar folk black metal berkesan, sehingga usaha untuk mendalami diskografinya yang begitu singkat sekan tampak mudah dan menyenangkan. Album debut mereka, “Горизонты…” sangat sempurna untuk menjadi titik awal. Bahkan 5 menit pertama album hanya berisikan tiupan suling setipis selaput, vokal bercorak viking, serta interlude-interlude keyboard pengaruh dari dungeon-synth – sebelum menyentuh teriakan crescendo vokal pertama yang meninggi dan serak. Alih-alih melabeli mereka dengan sebutan black metal pada tagline terdepan, saya malah berprasangka bahwa sejatinya Temnozor datang sebagai band dengan akar dasar musik slavic folk yang disusupi oleh adegan black metal.
Hal tersebut dikarenakan, elemen folk menjadi tulang punggung yang mendasari lanskap musik mereka dan bukan terjadi sebaliknya. Porsi clean vokal lebih dominan, integrasi ornamen instrumen tradisional lebih beragam, serta tempo musik yang tidak banyak menampilkan gelagat-gelagat selayaknya musik ekstrim kebanyakan. Urusan kualitas produksi menampilkan citra yang anggun bagi pendengar awam, dalam artian kualitasnya begitu rapih, bersih, dan tidak menimbulkan masalah-masalah berarti pada tingkat kenyamanan. Namun ini sedikit mengorbankan suara drum yang tak dapat menggelegar dengan kencang dan lantang seperti fungsionalitas drum musik metal secara umum.
A Light in the Dark – Insomnia
Perasaan FOBA (Fear of Being Alone) tidak hanya muncul ketika keadaan dan suasana di sekitar lingkungan sepi. Fenomena ini dapat hinggap pada seseorang yang merasa kesepian di tengah keramaian. Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik mengenai tema lirik yang diangkat, tetapi saya merasa one-man post black asal Rusia ini mencoba menghadirkan esensi serupa melalui musiknya. Bogdan Makarov selaku konseptor utama memang memiliki segudang proyek black metal dengan lanskap berbeda, seperti: Abstract Void yang mencoba memvisualkan fenomena aurora melalui perpaduan black metal dengan synth-wave, Skyforest yang berusaha menyatu dengan alam, atau Moondweller sang ahli nujum yang menarasikan rahasia dibalik bulan.
Sementara moniker A Light in the Dark dirasa relevan untuk dihayati bagi para pengejar rutinitas 9 hingga 5. 8 lagu tidak hanya dipadati oleh elemen post-black dengan penekanan melodi-melodi catchy melankolis beriringan bersama vokal shrieking, tetapi Makarov mengupayakan agar keseluruhan lagu memiliki benang merah untuk memproyeksikan nuansa kota metropolitan secara naratif. Hasilnya potongan-potongan suara sampling dari subway bus, ketukan-ketukan trap / trip-hop, serta pancaran sinar neon dari liukan synth menjadi pengarah untuk menjauhkan komposisi musik dari kebenaran naturalisme.
Sektor drum sendiri tidak terlalu hiperaktif dalam merangsang kecepatan dan eksplosivitas, sehingga ada banyak ruang merenungi kesendirian secara reflektif sembari diiringi melodi-melodi kelabu pembangkit rasa fake nostalgic yang ampuh. Tanpa sedikitpun memahami frasa dan makna lirik yang terkandung dibalik vokal Bogdan, anda masih mampu 100% menghayati pesan visual album ini dan turut merasakan emosi yang terkandung di dalamnya.
Spite Extreme Wing – Yatra
Disaat band pengusung black metal berbondong-bondong melabeli dirinya sebagai pasukan misantropis pemutus siklus kehidupan dan eksistensialisme, Band asal Italia ini dengan bangga mendeklarasikan dirinya sebagai band pengusung “Anti-Depressive Black Metal”. Hal tersebut tidak mengherankan, karena lirik-lirik mereka lebih bersinggungan dengan hal-hal berbau spiritual, esoterik, dan politik. Mereka kerap dilabeli sebagai band pengusung politik sayap kanan, hingga berujung pada tuduhan-tuduhan bahwa band mendukung ideologi sosialis nasional kembali ditegakan. Beralih dari penemuan kebenaran bersifat paradoks, dari paham kontroversi yang dianutnya, Spit Extreme Wing sendiri memang menyajikan komposisi black metal eksentrik.
Memang masih banyak ditemukan pola-pola dasar musik black metal yang tertinggal di sini, tetapi mereka melakukan ekspansi hingga menyentuh batasan blues rock dan punk. Distorsi gitar begitu kering, lick-lick blues minimalis serta pacuan drum memberontak sering dijumpai pada jalanya album. Namun bukan berarti mereka sepenuhnya lupa dalam menciptakan aransemen musik black metal sarat dengan atmosfer dan lantunan nada-nada kelam. Dengan durasi lagu yang relatif panjang (bagi beberapa lagu) serta struktur musik lebih progresif memungkinkan mereka memiliki lahan lebih luas untuk ditanami berbagai ide dan mengimplementasikan multi-section riff bergaya melodic black metal merupakan realisasi ide yang paling banyak dijumpai. Singkatnya akan ada banyak sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk dijadikan titik awal dalam menjelajahi “Yatra”.
Stjärnfält – Ascension
Mari sedikit beranjak pada zona nyaman, dimana kali ini saya akan merekomendasikan album yang akrab dengan tata vokal lo-fi serta serpihan-serpihan tajam dari efek distorsi gitar. Kendati demikian one-man black metal asal Sweden ini tidak membiarkan begitu saja aransemen musiknya dipenuhi oleh aransemen one-dimensional, yang hanya mendaur ulang taktik-taktik serupa. Dengan bebunyian synth berkarakter dreamy, lembut, dan gelap hasil pengaruh elemen dark ambient serta penerapan melodi arpeggio darinya, agak-agaknya telah membuahkan rangkaian melodi repetitif yang mengacu pada sebuah perjalanan transendental dalam mengarungi luasnya tatanan kosmis yang dirundung oleh misteri serta nuansa paradoksal dari sinar milyaran bintang yang tak dapat menerangi seluruh sudut wilayah galaksi.
“Ascension” seperti meminjam ide dan perpanjangan tangan dari Lustre ketika mereka sedang mengkonsepsi musik dark-ambient, namun Stjärnfält mengoleskan tekstur black metal lebih pekat, serta menaburinya dengan elemen musik trance. Saya tekankan sebelumnya, bahwa Stjärnfält enggan untuk menciptakan sebuah keadaan stagnansi pada proses mereka beralih dari dimensi lagu menuju dimensi berikutnya. Berbagai cara digunakan dan hal paling mencolok ialah merangkai melodi–melodi catchy, memorable dan begitu mengandung sebuah makna mendalam dibaliknya.
Dari sekian banyaknya band raw black metal yang mencoba mengintegrasikan elemen dark-ambient agar terdengar koheren dan berkesinambungan, saya berpendapat bahwa Stjärnfält dapat memperoleh nilai mendekati sempurna. Tidak ada rasa kecanggungan yang didapat ketika seringkali mencoba interplay dari bagian agresif menuju bagian lebih ethereal dari kilauan-kilauan synth. Dapat dikatakan dinamisme dalam penulisan lagu menjadi sebuah solusi yang baik di sini demi menghindari rasa kebuntuan dan kebosanan, meskipun 3 dari 4 lagu yang tersedia berdurasi di atas 5 menit.
Baca Juga : Marma Menangkap Esensi Optimisme Dari Paradoks Eksistensialisme
Germ – Grief
Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang yang didiagnosa pengidap Bipolar? Apa yang memicu seseorang secara tiba-tiba dapat merubah emosinya tanpa terkendali, hingga mencapai derajat yang sulit dimengerti oleh orang biasa. Mungkin ada banyak penelitian medis, buku, serta video yang dapat menerangkannya secara gamblang. Tetapi itu hanya menguatkan dari sisi teoritis dan fakta, sementara dari segi pengalaman dan realitas kalian tidak bisa berbuat banyak untuk mengidentifikasi lebih dalam, terkecuali kalian terdaftar sebagai seorang psikolog yang terbiasa menangani kasus-kasus tersebut.
Namun untuk saat ini kalian tidak perlu repot-repot mengambil jurusan spesialis ilmu kedokteran atau ilmu psikologi manapun untuk mengetahuinya. Kalian hanya membutuhkan keterbukaan hati dan imajinasi pikiran, waktu luang selama 70 menit, serta album “Grief” milik band black metal asal Australia yang dimainkan dalam media pemutar musik. Kalian mungkin terheran-heran bagaimana album ini “seolah-olah” menangkap esensi dari perilaku Bipolar pada setiap lika-liku musiknya. Bayangkan saja ketika bagian instrumen tidak henti-hentinya menampilkan estetika begitu indah mulai dari penerapan melodi-melodi melankolis merdu, elemen synth yang melukis cakrawala bertekstur dreamy, bebunyian keyboard elektronik berkelip-kelip, serta tempo yang menghentak. Sementara disaat bersamaan elemen vokal masuk membuat kegaduhan dan menciptakan sensasi bergidik ngeri sembari mengundang rasa ketidakpercayaan. Jeritan vokal meronta-ronta tiada habisnya dalam meluapkan kesedihan dan emosi negatif tak terkendali.
Saya tidak tahu apakah kalian lebih menghayati sesi instrumentasi yang berkilau itu atau suara gundah gulana dari vokal, namun yang jelas ketika mendengar album ini, kalian akan turut dibawa pada persimpangan emosional itu dan jika kalian sudah berdiri di sana, kalian akan merasakan apa yang orang-orang itu rasakan.
Falls of Rauros – Vigilance Perennial
Barangkali turunan black metal yang memadukkan gaya permainan antara cascadian black metal dengan elemen musik folk bisa menjadi pertimbangan untuk menjelajahi genre black metal secara keseluruhan. Tak terhitung berapa banyaknya band yang menggunakan pendekatan serupa untuk menyikapi musik black metal menjadi sebuah album yang dapat mengejawantahkan dalam memaknai keindahan alam liar dan Falls of Rauros dapat dikategorikan ke dalam bagian tersebut. Band asal Portland ini sudah merampungkan 6 buah album termasuk album terakhirnya, “Key to a Vanishing Future” yang dirilis beberapa waktu lalu. Namun “Vigilance Perennial” tidak hanya menjadi sebuah catatan dominan dari Falls of Rauros, tetapi sekaligus menjadi sebuah album black metal yang begitu banyak memforsir melodi, nuansa, dan ketenangan batin menyeluruh pada setiap sudut aransemen musik mereka.
Terdiri atas sebuah lagu instrumental dan 4 lagu berdurasi 7 menit lebih, Falls of Rauros memiliki berbagai resep jitu untuk membuat setiap lagu begitu dramatis, berkesan, dan langsung mudah dicerna dengan baik hanya pada putaran pertama. Mereka dapat menahan diri untuk tidak terlalu berorientasi pada pergerakan musik kecepatan tinggi, atau hantaman blast-beat yang memberi serangan bertubi-tubi. Atas dasar pendekatan pragmatis inilah justru membuat eksekusi daripada bagian agresif menjadi lebih berarti dan terorganisir dengan baik
Tidak diragukan lagi bahwasanya penerapan petikan akustik gitar, melodi-melodi gitar post-rock ish, serta tabuhan drum yang lebih natural di sini – banyak terinspirasi oleh band semacam Agalloch, Winterfylleth, Alcest, dan Wolves in the Throne Room. Meski begitu saya rasa mereka cukup pandai dalam menyamarkan itu semua dengan cara mencampurinya menjadi sebuah polesan karya yang menampilkan ciri mereka tersendiri, sehingga terhindar dari tuduhan-tuduhan sebagai penjiplak band-band yang telah mempengaruhinya. Tekstur maupun mood yang dihasilkan beragam, ada permainan groovy, harsh, melancholy semuanya terpampang dengan meninggalkan kesan kuat. Sementara serpihan-serpihan nuansa ter-sentral menjadi suatu kesatuan tema yang menghayati kesendirian dan kesedihan di sebuah padang rumput luas sembari memandangi langit mendung dan merasakan tiupan angin kencang.
Macabre Omen – Gods of War – At War
Band asal Rhodes, Yunani ini memberi bukti bahwa kualitas mengalahkan kuantitas. Berdiri sejak tahun 1994, Macabre Omen baru melepaskan 2 album studio sepanjang mereka aktif selama kurang lebih 28 tahun. Tetapi ini menjadikan penggodokan materi, akurasi, serta proses kreatif mereka sangat efektif dan menjadi jaminan bahwa album yang mereka rilis mampu melekat dan berkesan dalam jangka waktu lama.”The Ancient Returns” selaku debutnya baru dilepas pada 2005, 9 tahun sejak band berdiri. Sedangkan album keduanya berjudul “Gods of War – at War” dirilis 10 tahun kemudian pasca debutnya.
Apa yang membuat saya tertuju pada album ke-2, tentu saja secara garis besar mereka lebih menyajikan sebuah album black metal sinematis, dimana alur “Gods of War – At War” terkesan seperti kisah utuh. Kemudian jika memperdalam elemen-elemen yang menjadi tonggak utama, Macabre Omen menghadirkan arsitektur musik begitu dinamis, ditandai oleh perubahan tempo berkelok-kelok. Ini tidak ada korelasinya dengan menjadi band progressive yang rumit, tetapi lebih kepada fungsionalitasnya sebagai sarana untuk memfasilitasi instrumen maupun vokal agar mampu memancarkan nuansa yang lebih epik dan heroik.
Dengan kesadaran tinggi akan hidup dalam skena Yunani black metal seperti para pendahulunya, Macabre Omen memberikan melodi-melodi gitar bergaya classic epic metal, nuansa yang berdiri pada persimpangan antara hal yang menggairahkan dan tingkat kenestapaan doom metal, atmosfir hangat, hingga pemakaian drum mesin. Kedalaman atmosfer dan emosi keseluruhan album terkesan jelas dan memegang peranan vital. Iringan akustik gitar, potongan-potongan alat instrumen tradisional seperti Timpani, Bodhrán, Tambourine, Gongs, Mouth harp terkadang menjadi petunjuk untuk menjelaskan secara sonik mengenai kejadian apa yang sedang terjadi tanpa harus menengok booklet lirik. Kekuatan penulisan serta kreativitas mereka dalam menulis lagu memang menjadi pembeda di sini. Meski secara keseluruhan mereka tidak dapat lepas dari pengaruh-pengaruh para pendahulunya, namun tetap saja “Gods of War – At War” terbilang sukses dalam menghadirkan musik black metal sarat akan kejutan dan elemen bervariasi.
Melodi-melodi catchy, permainan latar vokal fleksibel, serta tidak terlalu terpaku pada rumusan black metal konservatif yang terlalu mengglorifikasi kecepatan membabi buta – merupakan kunci dasar dalam menjadikan “Gods of War – At War” sebuah album black metal exceptional. Tetapi bagi penggemar musik black metal dengan intensitas tinggi tidak perlu risau, bahwa rumusan tersebut masih ada dalam daftar checklist mereka, hanya saja posisinya tidak menjadikan sebagai sebuah prasyarat utama dalam aransemen musik.
Wiegedood – De Doden Hebben Het Goed II
Wiegedood adalah sebuah moniker yang kembali mempertemukan 3 punggawa Oathbreaker, yakni Gilles Demolder (Gitar), Wim Sreppoc (Drum), dan Levy Seynaeve (Gitar, Vokal). Tentunya ada alasan dibalik mengapa mereka membentuk proyek baru alih-alih menuangkan gagasannya ke dalam Oathbreaker. Apalagi Oathbreaker telah memiliki reputasi cukup baik setelah 2 album studio terakhir mereka, “Eros|Anteros”, dan “Rheia” mendapat sambutan hangat. Tidak seperti Oathbreaker yang tenggelam dalam atmosfer kelabu dari shoegaze / blackgaze dan kebengalan musik hardcore, Wiegedood terkesan lebih menyatu dengan alam dan kemarahan. Teksturnya lebih kasar, build-up instrumen mengarah pada karakteristik pivotal dari traditional / atmospheric black metal, serta lebih terbuka terhadap pengaruh dari gelombang true norwegian black metal.
Singkatnya saya merasa Wiegedood lebih memiliki kemarahan yang tersulut oleh rasa kebencian, dibanding Oathbreaker yang lebih mengambil pendekatan retrospektif untuk meratapi kesedihan. Terlepas dari kemarahan memuncak yang direpresentasikan oleh bagian-bagian gemuruh blast-beat, tremolo riff intens, serta teriakan vokal yang kikir, Wiegedood juga dapat berperilaku sentimentil pada beberapa momen. Sebuah gerbang awal yang menipu alih-alih menjadi sebuah tempat relaksasi, justru bagian-bagian tersebut patut diwaspadai kehadirannya, karena berpotensi menimbulkan kemarahan lebih hebat.
Saya tidak tahu dengan kalian tapi kehadiran album ini bisa secara tidak sadar menarik anda untuk mulai mencermati adegan norway black metal. Meski Wiegedood berasal dari dunia yang berbeda (Belgia), tetapi mereka mampu mengintegrasikan elemen tersebut secara tepat, tanpa menutup kemungkinan adanya pergeseran untuk melepaskan stereotip primitif bahwa black metal hanya selalu berurusan dengan gaya penulisan minimalis tanpa mempertimbangkan estetika dari arsitektur instrumentasi serta kualitas output suara memadai.
Sad Legend – Self-titled
Saya terkadang berpikir bagaimana seandainya jika band black metal asal Korea Selatan ini, lahir di dataran Eropa, lalu masuk ke dalam inner circle black metal, apakah nama mereka dapat dikenal luas? Jika ditelisik dari segi musikalitas, saya rasa Sad Legend memiliki kriteria yang cukup untuk bersanding dengan nama-nama sepertI Limbonic Art, Old’s Man Child, Lunar Aurora dalam ruang lingkup symphonic black metal. Sayangnya nasib mereka tidak semujur SIGH, band black metal asal Jepang yang pernah merilis album di bawah naungan label kepunyaan Euronymous, Deathlike Silence Productions. Sad Legend sendiri juga tidak produktif, dimana mereka hanya merilis 2 album sebelum akhirnya resmi bubar pada tahun 2014.
Namun untuk apa menyesali itu semua, karena kualitas musik sebenarnya tidak dinilai berdasarkan parameter tersebut. Melainkan seberapa baiknya musik tersebut menjalin koneksi emosional dengan pendengarnya. Kembali berkaca pada Sad Legend, album debut mereka yang dilepas tahun 1998 berpegang pada konsep symphonic black metal yang mengaktualisasikan peranan melodi dari sektor gitar, synth, maupun vokal dengan karakteristik berubah-ubah. Bahkan pada 1-2 lagu secara berani mereka menempatkan peranan clean vocal pada komando suara, dimana ini merupakan sebuah penistaan bagi kancah black metal pada masanya.
Tetapi sisi baiknya ada energi alternatif yang dijadikan tempat pusat perhatian, ketika merasa ketidakcocokan dengan elemen musik lainnya. Dengan hanya berisikan 7 lagu, Sad Legend mampu memanfaatkan kreativitasnya sebaik mungkin pada setiap individu lagu. Setiap lagu memiliki orientasi dan elemen pembangun yang berbeda, beberapa diantaranya ada yang bertindak sebagai tembang-tembang melankolis dengan permainan melodi sedih yang lebih nyaring. Sementara bagian lainnya memiliki pukulan lebih keras dalam menampilkan aransemen-aransemen rusuh dan berkecepatan tinggi. Klimaksnya beberapa lagu dibangun dalam emosi lebih utuh, dimana bagian yang lebih keras menekankan luapan kemarahan, serta nada-nada minor berlabuh pada kesedihan yang menimbulkan kemalangan.
Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1