2022Black MetalDark AmbientDungeon SynthIndonesiaInterview

Marma Menangkap Esensi Optimisme Dari Paradoks Eksistensialisme

Apa realitas dari kehidupan dan keberadaan manusia sebenarnya? Pertanyaan ini lebih rumit daripada kelihatannya. Selama berabad-abad, manusia senantiasa meneliti, memikirkan, dan mempelajari hal ini secara terperinci. Berbagai filsuf dari belahan dunia mengerahkan segala pemikiran, pengamatan, dan intuisinya untuk menciptakan cabang-cabang ilmu filsafat yang menjelaskan hakikat dan realitas kehidupan manusia.

Setiap pemikir bermain dengan nalar, teori, dan fantasinya, menafsirkan bahwa rumusan masing-masing dari mereka mengenai realitas kehidupan merupakan sebuah kebenaran mutlak. Setiap kali seseorang mengikuti suatu keyakinan tertentu dan meyakini kebenarannya secara absolut, secara tidak sadar mereka telah menambahkan nilai bahwa kebenaran dalam kehidupan bersifat abstrak. Sejatinya tidak ada kebenaran mutlak yang bersifat universal dalam kehidupan. Kebenaran mutlak hanya menjadi konkrit apabila setiap individu menyadari dan meyakini eksistensialisme nya masing-masing.

Saya menangkap esensi serupa dikala mendengarkan lagu-lagu dari Marma. Alih-alih mengikat dan menyeragamkan pendengar untuk turut meyakini apa yang dirasakannya, Marma memberikan kebebasan penuh pada pendengar untuk menginterpretasikan pandangan dan kebenarannya sesuai dengan imajinasi masing-masing. Marma sendiri merupakan sebuah proyek dungeon synth / dark ambient asal Jakarta yang didirikan dan dimotori seorang diri oleh Loka. Kali ini saya memiliki kesempatan untuk berbicara banyak bersama Loka. Bersamaan dengan itu Marma sendiri baru saja melepas album studio ke-2 nya dengan judul “Meadows and Untold Things” melalui laman resmi bandcamp nya

Kami berdiskusi mengenai proses pembuatan album terbaru Marma, awal mula Loka berkenalan dengan musik dark ambient dan dungeon synth, penjabaran Loka mengenai musik dark ambient yang dapat memfasilitasi praktik-praktik bersifat kontemplatif di balik kegelapan menyelimuti, hingga membahas lebih jauh mengenai konsep album “Meadows and Untold Things” yang mengangkat tema akan kesadaran paradoks eksistensialisme tanpa harus terjebak pada pola pikir nihilisme.   

Marma-Meadows-And-Untold-Things

IMW : Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat atas perilisan album terbaru Marma berjudul “Meadows And Untold Things”, tetapi sebelum membahas lebih jauh mengenai album, dapatkah anda menceritakan kisah awal mula Marma terbentuk, dan apakah makna dibalik nama Marma itu sendiri?

Loka : Terima kasih banyak kepada Indonesian’s Most wanted atas kesempatan ini untuk berbicara tentang Marma. Saya memprakarsai Marma di penghujung tahun 2021 sebagai sebuah proyek audial eklektik. Ide awal proyek ini semata-mata hanya fokus membiarkan musik menghubungkan orang dengan apa yang mereka rasakan, bukan apa yang mereka pikirkan. Dalam musik instrumental, ada lebih banyak ruang untuk interpretasi oleh pendengar. Ini sekaligus juga menjadi penegasan bahwasanya Marma memfasilitasi praktik kontemplatif saya, namun tidak semua kepribadian saya muncul dalam musik yang saya buat. Saya hanya ingin membuat musik dengan setiap opsi yang saya miliki. Saya percaya bahwa berimprovisasi berarti merangkul sebanyak mungkin kemungkinan. Perlu kalian ketahui, nama Marma  (memiliki arti “sangat meresap”) berasal dari bahasa kawi. 

IMW : Dengan musik Marma diasosiasikan sebagai musik ber-genre dungeon synth, ambient dan beberapa jenis turunannya, bagaimana awal mula anda mengenal Dungeon synth dan musik Ambient?  Siapa saja musisi yang sangat mempengaruhi Marma untuk mulai mengkreasikan dunia fantasinya sendiri? 

Loka : Awal mulanya karena ketertarikan saya mendengar Wongraven (album “Fjelltronen”) dan Brian Eno (album “Discreet Music”), dua album ini pula yang menjadi pintu gerbang untuk mengenal lebih banyak artis dungeon synth maupun ambient. Masing-masing nama seperti Tangerine Dream, Klaus Schulze, Ann Chase, Sopor Aeternus, Goethes Erben, Corvus Neblus, Trial Of The Bow, Vordven, Limbonic Art, Erreth-Akbe, Castle Zagyx, Arktau Eos, Secret Stairway, Aiden Baker, White Chamber, Aeoga, dan Blut Aus Nord memiliki andil memberi corak musikalitas Marma. 

IMW : Saya menyadari adanya perbedaan kontras mengenai konsep album “Meadows And Untold Things” dengan album debut “Entering The Journey Of Unknown”. Dalam album debut, anda menerangkan bahwa album ini berisikan sebuah perjalanan misterius, sedangkan “Meadows And Untold Things” bercerita mengenai suatu hal yang bersifat paradoksal dan perbedaan sudut pandang. Bisakah anda menjelaskan lebih lanjut mengenai hal paradoksal apa yang coba ingin angkat? Apakah ini ada kaitannya dengan diri manusia yang memiliki bilik emosi begitu beragam dalam dirinya, sehingga anda mencoba untuk menafsirkan dan menerjemahkan setiap warna emosi manusia ke dalam setiap keping lagu?

Loka : Pada dasarnya, seluruh karya Marma memang dengan sengaja membangkitkan tema atau subjek tertentu, saya sengaja membiarkan musik menceritakan kisahnya. Nada-nada yang tercipta layaknya catatan tambahan, memperluas imajinasi dan membiarkan orang memberikan makna sepenuhnya (seperti yang mereka lakukan untuk misteri kehidupannya). Sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan antara album “Entering The Journey Of Unknown” maupun “Meadows And Untold Things”, kedua album tersebut tetap berkutat dengan tema eksistensialis. Ibaratnya, jika album pertama seolah-olah di dunia yang kita ciptakan, banyak yang mendekati kehidupan secara rasional, dan berfokus pada pemikiran daripada perasaan, di album kedua saya melakukan sebaliknya dengan lebih banyak menggali perasaan sembari memanfaatkan filosofi absurdisme, ” hidup adalah mimpi buruk dan tawa itu adalah cara untuk membangunkan diri sendiri ” Dalam pengertian ini, saya memberi gambaran kehidupan eksistensial yang paling mendalam dan sesuai dengan dunia yang semakin bosan, lelah, dan putus asa. esensi kemanusiaan menjadi paradoks karena hal ini. Kita memiliki naluri untuk bertahan hidup namun kadangkala kita dikutuk dengan kesadaran akan kematian.

Di album kedua ini, saya seolah mengisyaratkan bahwa kita kerap mendambakan makna, saya akui jika “Meadows And Untold Things” bukan sekedar hasil kreativitas belaka, melainkan salah satu cara terbaik untuk tetap sadar akan paradoks eksistensial tanpa menyerah pada nihilisme. Fakta bukan lagi fakta sebagaimana adanya, melainkan fakta dalam proyek manusia. Mereka tampak diartikulasikan dan memiliki makna atau kepentingan hanya sejauh mereka untuk tujuan tertentu. Seperti yang dikatakan Sartre, keberadaan kita mendahului esensi kita. Dengan kata lain, kita ada dan menciptakan sifat kita sendiri; kita memutuskan esensi kita sendiri. Bagi saya, bicara eksistensialisme, khususnya kebebasan radikal sebagai pribadi atau agen dengan perilaku manusia, hubungan keduanya sudah banyak menghasilkan paradoks. 

Selain itu, Saya juga turut mempromosikan kebijaksanaan reseptif yang ditemukan dalam kegelapan dari genre dark ambient dan meminjam fantasi dari dungeon synth, baik secara harfiah maupun kiasan. Seperti yang diketahui oleh penggemar dark ambient, kegelapan bisa menjadi sarana kontemplasi yang ampuh untuk meningkatkan kesadaran. Hanya sedikit orang di luar komunitas yang tahu betapa efektifnya musik ambien gelap sebagai bantuan untuk meditasi dan perjalanan liminal. Saya menyarankan anda untuk membaca Darkness Visible: Awakening Spiritual Light through Darkness Meditation karya Ross Heaven & Simon Buxton serta Hygienic Darkroom Retreat (profound rest for the self-healing psyche) karya Andrew Durham.

Baca Juga : Great Mercenary – First Story of a Young Mercenary & Magical Tree – Review

Marma-Entering-The-Journey-Of-Unknown

IMW : Apa yang sangat anda harapkan dari pendengar ketika mereka mendengar album “Meadows And Untold Things”?  

Loka : Saya tidak pernah ingin mengatur pendengar dengan musik saya, terlepas dari urusan mereka suka atau bahkan tidak menyukai musiknya. Bahkan sekalipun bagi sebagian pendengar mengatakan bahwa nada di album ini meliuk-liuk melalui sudut-sudut gelap dan relung-relung yang terlupakan dari imajinasi manusia, Saya tidak terlalu banyak berharap selain membiarkan diri saya menerima berbagai interpretasi yang datang atas karya yang sudah saya buat.

IMW :  Anda menggaet Marine Favrier (Arsule), Lody Andrian (Fakecivil & Gowa) dan Yudha Kelana (Svardans) untuk berkolaborasi bersama dalam album “Meadows And Untold Things”. Apa pertimbangan anda sehingga memutuskan untuk menggaet musisi-musisi tamu pada album kali ini?  Apakah mereka terlibat lebih jauh terkait proses kreatif pembuatan album secara keseluruhan, atau mereka berkontribusi sebatas pada porsi lagu-lagu yang mereka bawakan?

Loka : Pertimbangan saya melibatkan Yudha Kelana, Marine Favrier dan Lody Andrian karena musik adalah medium dimana orang-orang dapat menunjukkan koneksi yang kuat tetapi sama sekali tidak dapat dijelaskan. Saya menghubungi mereka untuk berkolaborasi di satu track yang telah saya pilih. Bermodalkan tenggat waktu 3 hari sampai dua minggu untuk menyelesaikan satu materi yang saya kirim serta tanpa terlalu banyak bercerita mengenai konsep yang saya inginkan. Hasilnya, saya kagum dengan cara improvisasi mereka dalam memberikan sentuhan di album Marma tanpa merubah karakter mereka. Mereka musisi berbakat dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Khusus Lody Andrian, saya perlu angkat topi atas upaya visionernya meskipun saya sama sekali tidak menjelaskan nuansa dark ambient yang saya ingin hadirkan di album ini.

IMW : Tentunya membutuhkan sebuah usaha dan keberanian besar untuk bergerak dari zona nyaman dan menembus batasan-batasan yang lebih baru. Saya rasa Marma telah berhasil melewati itu, dimana “Meadows And Untold Things” datang dengan konsep musik yang lebih berwarna, terdapat potongan elemen musik neoclassical terpampang di sana, permainan emosi terkesan lebih beragam. Lantas apa yang memotivasi anda, untuk membuat dan merombak konsepan album “Meadows And Untold Things” sehingga terdengar 180 derajat berbeda dari album debut Marma?

Loka : Sayangnya saya hanya memiliki motivasi sederhana yakni hanya berusaha untuk menjadi lebih baik. Itu sudah cukup memberi standar bagi saya untuk lebih banyak mengeksplorasi lanskap emosional antar individu. Saya sangat menikmati berimprovisasi bersama dengan pemain lain. Dengan cara ini, musik sering muncul yang tidak dapat dibayangkan oleh para pemainnya sendiri, saya percaya bahwa setiap orang yang terlibat dalam begitu banyak proses akan memiliki perhatian dan kesadaran terselubung, musik akan selalu menjadi bagian dari ini. Butuh alasan lain? Saya percaya manusia terprogram untuk belajar dari segala sesuatu dan kita hanya perlu merayakannya. Terlalu banyak aturan dan kemutlakan membuat anda malas.

IMW : Saya ingin mendengar cerita dibalik proses Marma dalam mengerjakan album. Apakah anda menggunakan metode berbeda dalam pembuatan album “Meadows And Untold Things”? Berapa lama waktu pengerjaan album dan adakah kendala yang dialami ketika proses pengerjaan album berlangsung?

Loka : Saya mengerjakan “Meadows And Untold Things” selama 4 bulan setelah saya merilis debut album. Proses kreatifnya berlangsung selepas jam kerja hingga tengah malam, hal lainnya yang bisa saya utarakan, sumber inspirasi terkuat saya untuk berkreasi berasal dari menonton film atau membaca buku. ketika saya membuat musik, saya biasanya tidak berpikir sama sekali. Saya hanya menggunakan intuisi dan berkeliling untuk melihat apa yang harus ditemukan. Terlalu sering saya mencoba memaksakan ide maka akan selalu menghasilkan kekecewaan. Saya hanya mengerjakan materi Marma terdengar lebih jujur.

Baca Juga : 10 Album Dungeon Synth Edisi Juni 2022

IMW : Kita tahu belakangan ini skena dungeon synth mengalami pertumbuhan pesat dari sisi pelaku dan juga penikmat. Di Indonesia sendiri musik dungeon synth dari sisi pelaku mulai tumbuh dan berkembang. Namun dari sisi penikmat saya tidak memungkiri bahwa dungeon synth masih menjadi ruang lingkup minoritas. Saya berujar bahwa minimnya apresiasi dungeon synth di Indonesia bukan dikarenakan musik ini sulit diapresiasi bagi masyarakat awam, melainkan minimnya literasi masyarakat akan keberadaan jenis musik ini. Saya sebelumnya sudah melakukan eksperimen terkait hal ini pada beberapa kerabat saya, dimana saya memberikan album-album dungeon synth pada mereka yang belum pernah mendengarkannya. Di luar ekspektasi 90% kerabat saya menyukainya dan mengatakan bahwa ini musik bagus, dan reaksi diakhiri oleh mereka menanyakan apa nama dari genre musik yang baru saja didengarkan. Menurut Marma sendiri sebagai pelaku dari skena ini langsung, apakah anda merasakan fenomena yang serupa? Atau apakah anda memiliki pendapat lain terkait mengapa dungeon synth masih dikatakan minim mendapat apresiasi di Indonesia?    

Loka : Saya tidak terlalu khawatir jika genre dark ambient dan dungeon synth tidak terlalu banyak mendapat sorotan layaknya band death metal di indonesia. Sebagai mikro genre, saya dan pelaku lainnya hanya fokus menghasilkan karya dan beberapa proyek dungeon synth sudah mendapat sorotan dan apresiasi di komunitas dungeon synth global.  Sejauh yang saya tahu, Saat ini saya mungkin bisa menghitung jumlah artis dungeon synth di Indonesia dan itu terpusat berada di pulau jawa. Hal lainnya, dalam beberapa waktu kedepan akan muncul kompilasi “dungeon synth Indonesia”.

IMW : Terima Kasih telah meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, kita sudah sampai pada penghujung pertanyaan, apakah ada hal atau pesan yang ingin anda sampaikan kepada pembaca?

Loka : Saya ingin berterima kasih kepada semua orang yang telah mendekati saya untuk memberitahu saya bahwa album ini sudah mendapat hasil positif dan sorotan. Saya sangat berharap sekarang kami dapat menjangkau lebih banyak orang yang menyukai genre ini, dan untuk siapa saja yang ingin mengikuti Marma di media sosial di bandcamp dan Instagram.

Baca review ekslusif album ke-2 Marma, “Meadows and Untold Things” selengkapnya Di Sini.

Marma On Instagram

Marma On Bandcamp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link