11 Band Metal Pendatang Baru Wajib Didengar Sebelum Mati
“Mulai dari grindcore, death, black, hingga doom metal inilah 11 band metal pendatang baru yang siap menggempur telinga.“
Apa yang membuat skena metal bertahan dan tumbuh subur hingga detik ini? Semuanya harus dimulai dari dasar yang kuat. Kita sudah sepatutnya berterima kasih dan sangat mengapresiasi kepada band-band metal generasi terdahulu, karena telah berhasil menaruh pondasi yang sangat baik dan begitu kokoh. Tetapi untuk apa membangun sebuah pondasi kuat, bila tidak dilanjuti dengan menciptakan sebuah gedung hebat di atasnya?
Fungsi dari sebuah gedung adalah untuk merealisasikan dan menjalankan visi jangka panjang yang tercipta melalui pondasi, sehingga dampaknya terlihat dan manfaatnya mampu dirasakan oleh banyak orang. Misalnya ketika sebuah gedung rumah sakit didirikan, anda dapat menilai dan merasakan bahwa gedung tersebut di bangun di atas pondasi yang memiliki visi membantu mengatasi masalah sanitasi masyarakat. Begitu juga dengan gedung perhotelan yang didirikan di atas pondasi yang memiliki visi menaikkan angka pariwisata.
Sama halnya dengan skena metal, ekosistem musik ini membutuhkan penerus-penerus kompeten yang dapat menjalankan visi untuk terus tetap mengibarkan dan mengembangkan skena metal. Dalam jangka 10 – 15 tahun mendatang para penerus inilah yang berjuang untuk membuat skena musik metal tetap lestari hingga generasi-generasi selanjutnya tiba. Jadi sudah sepatutnya kita harus memberikan apresiasi berimbang kepada para debutan yang tengah berbenah dan mempersiapkan diri melakukan hal besar untuk skena metal kedepannya.
Berikut ini terdapat beberapa band metal debutan di tahun ini yang kami rasa pantas untuk mengemban tugas mulia tersebut. Perlu dicatat bahwa kriteria kami memilih band-band debutan di bawah ini berdasarkan album pertama yang baru dirilis tahun ini dari masing-masing band. Beberapa band sudah terbentuk dengan waktu cukup lama dan bahkan beberapa diantaranya sudah merilis sejumlah ep dan demo sebelumnya. Jadi pastikan untuk mendengarkan karya-karya terdahulu mereka juga.
Verbum
Sekelompok pemuda misterius asal Chile mendirikan sekte “sesatnya” dengan moniker Verbum pada tahun 2014. 2 tahun berselang mereka menggelontorkan EP pertamanya berjudul “Processio Flagellates”. Setelah mengalami masa hibernasi yang cukup panjang selama 6 tahun, akhirnya Verbum kembali muncul di tahun ini untuk mengenalkan album debutnya berjudul “Exhortation to the Impure”.
Hal paling mencolok di sini adalah pengupayaan mereka dalam memadukan 3 elemen metal berbeda sekalgius: black, death dan doom metal secara selaras, demi mencapai perpanjangan visi mereka yang hendak mendeskripsikan kematian dan siksaan ragawi secara sonik.
Di satu sisi, mereka menggilas dan menghukum secara kejam melalui serbuan-serbuan tamparan drum yang begitu mengintimidasi dengan gaungan kick drum becek yang tergiling satu oleh gerakan tremolo riff yang secara sembrono mengeluarkan serpihan distorsi tajam, serta vokal yang seperti dikumandangkan dalam timbunan tanah longsor.
Sementara dalam beberapa kesempatan mereka terus menggali dan mencari kemungkinan yang dapat membangkitkan kesadaran atmosfer lebih sering. Dalam kasus ini peranan doom metal bekerja lebih ekstra, riffing-riffing gitar kering yang tentunya diperagakan dengan tempo lambat menjadi indikasi untuk mengalihkan perhatian pada pikiran mereka yang sedang mengembara sembari membayangkan kengerian ajal yang kian dekat menghampiri.
“Exhortation to the Impure” dirasa mampu mempergunakan sonoritas minimalis dan aspek kualitas produksi musik untuk menunjukkan sebuah siklus penuh mengenai kejatuhan emosional manusia. Ketika bagian musik merangkak pada bagian lebih lambat serta suara setiap instrumen yang lebih diperjelas, ini merupakan simbolisasi individu yang mulai dilanda oleh rasa bingung dan putus asa.
Kemudian semuanya dihantarkan pada bagian musik yang lebih destruktif hasil kombinasi dari drum yang terus membombardir di sekitaran membran timpani, lantunan riff death/doom bersifat korosif, dan vokal yang terus menenggelamkan seseorang pada kondisi kekacauan-balauan dan ketidakberdayaan. Siklus ini berulang hingga mereka terbangun dari mimpi buruk dan menyadari bahwasanya tidak ada perbedaan signifikan dari realitas dan mimpinya.
Rafales
Beberapa tahun belakangan Kanada memang telah membangun kedekatan secara intim terhadap melodic black metal. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya ditemukan band melodic black metal di sana yang tidak hanya dibekali oleh pemahaman dan kematangan musikalitas melainkan mindset yang sigap untuk mengemasnya menjadi sebuah karya yang meninggalkan kesan begitu mendalam. Lebih luas bahwa black metal Kanada dirasa lebih open-minded dalam menarasikan dan menyuarakan tema lirik yang tidak hanya tersentral pada tema-tema paganisme, satanisme, dan anti-dogmatisme.
Misalnya Délétère yang menjadi ahli sejarah dan menarasikan berbagai wabah yang terjadi di sepanjang abad kegelapan. Forteresse dengan hasrat lebih membumi mampu mengisahkan perilaku alam dan gerakan separatisme Kanada. Lalu ada Gris yang mengajarkan mengenai keseimbangan spiritual, dimana hidup seutuhnya memanglah tentang keceriaan dan kesedihan. Namun nampaknya kita harus menahan dulu sejenak untuk menerka apa yang ingin coba disampaikan oleh salah satu band pendatang baru asal Quebec, Rafales.
Tidak seperti band yang baru disebutkan, Rafales baru saja menghirup manisnya udara skena Kanada black metal pada 2020 lalu. Band yang terdiri dari Volshebnik dan Rafales in baru merampungkan album perdananya “La tempête des morts”, September lalu. Tetapi setidaknya Rafales menyajikan potongan musik melodic black metal yang begitu menggugah, sehingga mereka boleh bernafas lega bahwa kehadirannya di tengah skena black metal Kanada bukanlah sebagai hama.
Tentunya menilai bagus atau tidaknya karya melodic black metal tidak hanya berdasarkan seberapa radikalnya band tersebut membawa perubahan, melainkan seberapa efektifnya menciptakan melodi-melodi bernada epik, piawai merealisasikan nuansa, serta tidak mengalami kecanggungan ketika setiap kali bergeser pada setiap bagian lagu. Harus dikatakan Rafales memenuhi kriteria seluruhnya meski belum mendapat nilai sempurna. Kombinasi melodi yang dipasangkan terhadap gebukan blast-beat yang terus berkecamuk tampaknya menjadi titik kritis kekuatan album.
Vokal yang begitu lantang dalam tata lanskap suara, serta karakteristik raspy-nya yang begitu menggeram sekuat tenaga menjadikan kehadirannya sulit dilupakan meski album berhenti diputar. 4 keseluruhan lagu memiliki poin untuk bersinarnya masing-masing. Namun sayangnya lagu penutup yang menjadi durasi terpanjang hanyalah berisi instrumen ambient yang tidak terlalu essensial dan bahkan tidak dapat menjangkau atmosfer yang berikatan kohesif dengan 4 lagu sebelumnya.
Reeking Aura
Adegan death metal sudah terlalu sesak dipenuhi oleh narasi-narasi kerusakan patologis, selera humor absurd, dan pandangan-pandangan visioner mengenai kehancuran umat manusia secara ragawi. Lantas masih adakah rahasia yang tertinggal di balik tumpukan-tumpukan daging membusuk dan tiang-tiang gantungan itu? Band death metal supergrup yang berlokasi di New Jersey, Reeking Aura segera memberi tahu bahwa dunia tidak pernah kehabisan tempat untuk menyimpan rahasia mengenai kesengsaraan dan rasa sakit tanpa tanding.
Melalui album konsep debutnya berjudul “Blood and Bone Meal”, mereka memperlihatkan bahwa keadaan psikosis yang sangat menyiksa batin dan mental dapat terjadi bahkan dalam bidang dan sudut pemikiran yang jauh dari pandangan sekalipun. Mereka mengisahkan perjuangan sekumpulan penjaga properti di sektor pertanian yang harus terkena teror gangguan mental dikarenakan terdistraksi jauh oleh kehidupan nyata.
Barangkali menggunakan formasi 3 gitar sekaligus yang terdiri atas Ryan Lipynsky, Terrell Grannum, dan Rick Habeeb bukanlah sebuah kesembronoan dan pemborosan sumberdaya. Sudah jelas bahwa dalam hal ini gitar diberikan mandat penuh dan memiliki multifungsi serbaguna dalam menyusuri berbagai taktik demi mengisahkan tragedi secara surealis.
Terjangan badai tremolo riff death-doom esque masih efektif mengoyak-ngoyak telinga dan dipasangkan oleh tekstur drum yang lebih basah dan berat agaknya telah menciptakan adegan-adegan paling beringas di sepanjang album diselingi oleh kesadaran untuk menancapkan luka begitu perih dan perasaan yang murung.
Senandungan akustik gitar yang biasanya mengiringi aura kesejukan justru berubah menjadi kesunyian tragedi yang hanya meninggalkan perasaan-perasaan terror dan pasca-traumatis. Tentunya gitar lebih lincah bertumbuk menyentuh berbagai elemen musik berbeda, salah satunya menyentuh elemen blackened dengan tremolo riff sebagai departemen yang bertanggung jawab penuh atas peracikan melodi-melodi mencekam.
Meski terkadang suara gitar bergeser pada pemakaian akor-akor dissonant dan jeritan solo yang meronta-ronta, tetapi itu tidak menimbulkan kekacauan distopia selayaknya apa yang dipertunjukkan oleh Artificial Brain. Biarlah kehancuran distopia itu tidak dilibatkan di sini, karena masalah yang timbul dalam album ini sudah cukup gawat dan melampaui tingkat stress yang seketika dapat meledakan kepala. Will Smith sudah menjadi manusia paling “terkutuk” yang terpilih untuk menarasikan siksaan ini dengan teknik vokal growlnya yang begitu mendalam penuh oleh lendir gorong-gorong menjijikan.
VOAK
Ketika sebelumnya IMW berbincang bersama salah satu punggawa black metal asal Yunani, Yovel mereka menjelaskan bahwa situasi dan ketegangan politik di negaranya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Lantas ketika kami menyodorkan sebuah pertanyaan mengenai band black metal mana yang mereka dukung, Yovel menyodorkan sejumlah nama dan VOAK menjadi salah satunya. Setelah melakukan pengecekan berkala terhadap musik VOAK, dengan cepat kami tersadar mengapa Yovel melampirkan nama band yang terbentuk di Attica, Yunani ini.
Ada kesamaan dan perbedaan diantara keduanya, baik VOAK dan Yovel sama-sama memiliki misi untuk bertempur melawan ketidakadilan dan membela mereka yang tertindas. Sementara persimpangan mulai terlihat ketika Yovel memilih untuk bertarung melawan para korporat dan permainan politik pemerintahan yang korup dan dikendalikan oleh kehausan kapitalisme. Sementara VOAK memperlakukan perlawanannya untuk mengarah pada kebebasan yang lebih bersifat individual atau personal.
Tentunya selain menggarisbawahi kata black metal dengan spidol tebal, anda juga dapat membubuhkan sedikit goresan pensil tipis di atasnya dan menambahkan 3 suku kata lainnya, yakni punk dan post-punk. Persatuan dari ketiga elemen tersebut yang direkatkan oleh semangat avant-garde seperti mengindikasikan pemberontakan dan penuntutan hak kebebasan mereka ingin tersalurkan baik secara pesan maupun nada dan suara.
Mendengar penyatuan 3 entitas musik yang memiliki karakteristik saling bertolak belakang sudah mengindikasikan bahwa nilai eksentrik yang mereka tawarkan digunakan sebagai daya tarik agar simpatisan sudi melongok perlawanan yang sedang dan layak mereka diperjuangkan. Akselerasi dari gebukan drum dan suara gitar punk simplistik yang begitu nyaring dipadukan bersamaan dengan liukan melodi dissonant black metal rumit. Apakah ini merupakan simbolisasi dari solidaritas antar ras dan mempersatukan latar belakang kemasyarakatan yang berbeda?
Namun yang jelas siasat ini berhasil untuk membuat percepatan di setiap album tidak berorientasi pada kegarangan semata dan menguap begitu saja, tetapi meninggalkan kesan lebih mendalam. Semangat avant-garde tidak membuat fokus mereka terlalu jauh melebar dari konsepan awal, sementara terikat hanya dalam entitas terbatas tidak menciptakan kondisi kreativitas bersifat stagnan.
Pelebaran tekstur vokal yang menampilkan berbagai register, pola setiap lagu yang secara berkala diganti, hingga motif setiap melodi yang terus dirombak merupakan sederet upaya untuk menghadirkan inovasi dan keberagaman tekstur yang lebih mendalam.
Baca Juga : Yovel – Kapitalisme Adalah Musuh, Nazisme Adalah Wabah
Aparthiva Raktadhara
Hukum pangkat nampaknya sangat berlaku dalam skena musik bawah tanah di India. Hanya memalingkan perhatian sesat dari wajah belahan dunia lain, India seperti memiliki sihir “satu malam” dan mampu menghadirkan skena war metal yang solid secara kualitatif dan jumlah melimpah secara kuantitatif. Aparthiva Raktadhara yang tergabung dalam pergerakan militansi bawah tanah sejak 2017 sempat menjadi salah satu primadona dikarenakan EP perdana mereka bertajuk “Agyat Ishvar” memberikan ancaman dan serangan begitu nyata.
Setelah 4 tahun “hiatus” tanpa materi baru, mereka akhirnya menggenapi wahyu dan takdir yang diturunkan untuk menyebarkan ajaran Sunyata dan teorema Apofatik yang dirangkum ke dalam album perdana mereka, “Adyapeeth Maranasamhita”. Perbedaan mencolok langsung kontras terdengar, ketika konstruksi suara keseluruhan album berdiri pada kualitas suara yang sangat jernih, tajam, dan meningkatkan kadar groovy pada dosis tinggi.
Seperti sesuatu yang di luar batas kewajaran baik dari ekosistem skena bestial war bahkan bagi mereka sekalipun yang pernah terjerumus ke dalam pusaran noisy ultra-raw pada pembukaan EP. Jelas ada agenda dan tujuan dibalik itu semua, dimana kali ini mereka menampilkan transisi berupa labirin berkelok-kelok dan tentunya penempatan riff gitar yang tidak disinkronisasikan dengan drum menimbulkan kesan aransemen yang semakin rumit.
Pastinya jika mereka menggunakan output musik terdahulu, transisi dan kompleksitas yang ingin dikemukakan tidak timbul dan tidak mampu bekerja maksimal. Pada setiap lagu, vokal tidak terlalu beranjak jauh menciptakan pola berbeda, tugasnya hanya seraya melontarkan suara paraunya yang merobek amandel tenggorokan.
Ketegangan bisa datang dari segala sudut dan secara bergantian. Ketika tumbukan blast-beat dan derap bass dikumandangkan, sektor gitar hanya melantunkan riff-riff setipis selaput. Sebaliknya geberan tremolo riff intens dan teriakan vokal menjadi sinyal otomatis untuk segera drum menurunkan tensi dan bergerak lebih konstan memainkan pedal ganda namun kehadirannya tetap berdiri dengan tegak dan gagah di belakang.
Setiap lagu memang tidak memiliki perubahan mood dan warna kontras, dan itu bukanlah menjadi permasalahan berarti dalam terminologi bestial war metal. Apa yang dapat ditarik dari pergerakan statis ini, agar tidak terlalu banyak membutuhkan upaya penyesuaian pada setiap lagu, sehingga tugas anda hanyalah mencari satu titik kritis untuk memahami album ini dan secara otomatis pemahaman tersebut tersebar pada keseluruhan album.
Misanthropæ
Setiap harinya kehidupan terus bergeser dan melangkah pada kondisi ketidakmenentuan dan penuh misteri. Setapak demi setapak hanya mengantarkan pada sebuah pertanyaan besar, seperti apa wujud dan bentuk misteri yang menanti di masa depan? Tak ayal setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk menghindarkan diri dari kecemasan yang serba-tidak menentu dan berusaha meyakinkan diri dengan optimisme semu bahwa keadaan terasa baik-baik saja.
Sayangnya ketakutan hanyalah perasaan semata, tetapi bahaya nyata adanya dan itu bisa menghampiri kapanpun dan di manapun. Sesekali menciptakan ketakutan yang begitu mengerikan perlu dilakukan demi mendapat refleksi diri dan bayangan sekilas mengenai mara bahaya yang kemungkinan datang menghampiri, sehingga terbukalah sebuah ide dan upaya antisipatif untuk meminimalisir daripada konsekuensinya.
Sadar bahwa nilai-nilai kerahasiaan alam dan kemisteriusan merupakan salah satu unsur lahiriah yang luhur dan tak terpisahkan dari kehidupan, Misanthropæ memaknai dan menjunjung tinggi hal tersebut secara harfiah. Individu-individu yang tergabung dalam kolektif nyanyian teror ini memutuskan untuk menyembunyikan identitas diri, sembari terus memberikan pandangan dan retorika mereka mengenai bumi ini dari sudut yang kotor dan gelap.
Mereka memiliki “8 Alasan” pasti mengapa sekali-kali manusia harus selalu terus melongok pada celah tergelap dari hati mereka, meskipun sudah bersemanyam di dalam ruangan paling cerah sekalipun. Pemilihan judul album “Untitled” sepertinya merupakan bentuk kesadaran dari semua atom yang terbentuk dan tersebar dari seluruh penjuru dunia berasal dari ketiadaan. Tetapi mari mengalihkan perhatian sejenak dari nilai “filosofis” album ini yang kami karang sendiri menuju kesadaran musikal keseluruhan album.
Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1
Apabila ditelusuri lebih dalam, Misanthrope nampaknya mencoba mengambil perpanjangan kengerian malam dari teror sleep paralysis Akhlys sebagai pijakan utama membangun atmosfir yang tumpah-ruah oleh hawa keangkeran dan kegelapan tiada tara. Sementara suara-suara dissonant gitar yang tak selaras diambil dari kemahiran virtuoso Ulcerate, namun mereka menyederhanakan pengapplikasian sehingga fokusnya lebih terarah pada kebutuhan dasariah dalam menghasilkan suara-suara “tidak mengenakan” dalam konotasi positif.
Tabuhan drum menumbuk begitu keras dan membombardir dengan sapuan blast-beat yang tidak hanya bergerak dalam kedipan mata, tetapi kerusakan yang ditimbulkan bisa sangat terasa fatal dan gawat. Dari ke-8 lagu yang ada, mereka tidak menyediakan begitu banyak fasilitas yang berfungsi sebagai tempat perhentian sementara. Sayangnya kegelapan dan kebencian sudah terlanjur menyelimuti sehingga fokus mereka hanya menyalurkan semuanya itu secara totalitas tanpa kendali.
Selain daripada menjadi mediator penghasil nada-nada dissonant yang membuat kuping teriris, gitar turut memompa melodi-melodi black metal yang dingin dan berpotensi menenggelamkan pada kondisi yang lebih tragis. Sejatinya tidak ada suatu hal yang membuat Misanthropæ menginjak pedal remnya dalam jangka waktu lama, jika pun mereka harus berhenti sejenak itu hanya bersifat konjungsi semata yang justru menghantarkan pada daya ledak lebih dahsyat lagi setelahnya.
Mencermati keseluruhan rangkaian arsitektur dan mendalami setiap bagian musik keseluruhan album mengajarkan suatu nilai filosofis, bahwa sejatinya dunia bukanlah sebagai tempat tujuan untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan semata. Selama raga ini bergerak dan roh masih dapat bernafas, manusia selalu dituntut untuk terus berjuang dan bertarung demi kelangsungan hidupnya tanpa henti suka maupun tidak suka.
Ard
Sebagai pemegang gelar Phd untuk keilmuan Filsafat dan penulis buku yang sangat laris, kapabilitas Mark Deeks dalam menuangkan pikiran dan pandangannya terhadap bait lirik seharusnya sudah tidak diragukan lagi. Bersama bandnya Winterfylleth dia tidak hanya semata mempersembahkan aransemen musik black metal dengan pesan lirik yang terkesan klise dan terlalu simbolik. Menggunakan pemahaman mendalamnya mengenai sejarah dan filsafat, dia mencoba menggali lebih dalam mengenai sejarah dan literasi tanah Inggris pada masa abad pertengahan.
Winterfylleth juga memiliki pandangan lebih luas untuk mengisahkan kebudayaan kuno bangsa british yang meninggalkan warisan berupa kisah sejarah yang melekat serta bentangan lanskap alam yang luas nan indah. Namun apa yang dibenak Mark sepertinya ingin menciptakan montase berupa karya musik yang lebih spesifik dan terkoneksi secara langsung pada apa yang diutarakannya, sehingga tercetus sebuah gagasan untuk membuat proyek solo baru yang diberi nama Ard.
Kata Ard berasal dari Inggris kuno yang memiliki arti “Tanah Asli” dan memiliki latar belakang kisah mengenai perjalanan dan pencarian kembali warisan dan identitas yang dilakukan oleh Saint cuthbert dan sekelompok tokoh agama pada masa awal abad pertengahan. Dengan memilih jalur musik melodic doom metal sebagai kanvas untuk menuangkan segala ide artistiknya, Ard lebih realis dalam menggambarkan panorama kehidupan abad pertengahan Inggris.
Tanpa banyak harus terdistraksi oleh elemen musik metal yang kuat, cepat, dan bising, Ard menyusun musik dengan menitikberatkan pada melodi, nuansa, dan aransemen setiap lagu yang bersinergi secara keseluruhan untuk merangkai sebuah perjalanan kisah utuh. Basis dari album ini terdiri atas Iringan piano melankolis, lead-lead gitar bersahaja yang menghasilkan melodi kelam sekaligus epik, serta dominasi vokal yang ditangguhkan pada pemanfaatan suara kor-kor vokal dan clean vokal yang termenung.
Setiap lagu tidak dirancang untuk menimbulkan kesan penghayatan yang sulit, seperti kebanyakan persepsi orang pada umumnya mengenai doom metal. Artinya repetisi per bagian dipersingkat, variasi timbre lebih ditonjolkan, dan banyak bagian catchy yang ditemukan. Andai kata bagian riff gitar yang muncul secara sporadis itu dihilangkan dari album ini, kami rasa album ini dapat beralih fungsi menjadi sebuah proyek neo-folk seutuhnya. Aransemen dan nuansa album ini lebih menempel pada sesuatu yang berbau keindahan naturalistik dan panoramik dibanding menempel pada sesuatu yang bersifat cadas dan jahat.
Lunar Tombfields
Belakangan kami bertanya-tanya, apakah negara Norwegia selaku daerah Silicon Valley bagi skena black metal akan segera lengser dan tergantikan? Secara historis, tentunya itu menjadi suatu hal yang bersifat paten dan tidak dapat diubah. Namun berbicara di masa sekarang pertanyaan itu bisa sangat-sangat diperdebatkan dan seharusnya menjadi tajuk berita utama bagi media-media metal ternama dibanding sibuk memberitakan band mapan selama 24/7.
Perancis menjadi negara yang muncul pertama kali di benak sebagai “penantang” tangguh. Skena black metal Perancis yang diawali oleh gerakan black metal LLN yang fenomenal pada tahun 1990 tidak hanya berdiam diri, tetapi juga melebarkan sayap pada perubahan-perubahan elemen black metal yang bersifat radikal. Lihat bagaimana Alcest, Peste Noire, Aosoth, Deathspell Omega mendobrak batasan black metal kiri dan kanan.
Lalu Perancis juga memiliki segudang band yang bersifat moderat, dalam arti tidak banyak bergeser pada pakem lama, tetapi sedikit mengupayakan perubahan di sana. Ini merujuk pada perkembangan skena melodic dan medieval black metal di sana, dan nampaknya keanggotaan sedang bertambah sering munculnya Lunar Tombfields selaku band debutan yang memperkenalkan album terbarunya berjudul “The Eternal Harvest”.
Jangan terkecoh pada penyematan label atmospheric black metal dalam laman profil mereka di metal archives dan durasi per lagu yang panjang, karena semburan elemen black metal klasik lebih ketara di sini. Sepertinya itu bukan persoalan berarti, namun kami hanya mengkhawatirkan mereka yang terlanjur berharap musiknya terdengar seperti Saor, Drudkh, Winterfylleth harus menelan kekecewaan.
Dapat dikatakan bahwa Lunar Tombfields lebih memihak pada entitas melodic black metal namun dalam koridor kecepatan yang relatif stabil dan tidak melebihi batas. Harus diakui secara arsitektural, perpindahan setiap sesi, dan bagaimana mereka mengarahkan tema dalam keseluruhan musik seluruhnya diambil dari konsep atmospheric black metal.
Tetapi dari segi pilihan ketersediaan timbre, eksekusi, dan corak vokal yang straightforward lebih ditekankan pada elemen black metal terdahulu. Namun yang menarik di sini mereka tidak menyajikan sebuah nuansa yang stagnan dan satu arah. Secara tidak sadar mereka dapat menggiring pada bagian yang lebih melankolis dan sendu, dan tiba-tiba berubah haluan pada suatu pusaran lubang yang terdiri dari campuran kegelapan, kemarahan, dan merujuk pada sesuatu yang bersifat nihilis.
Renunciation
Adalah sebuah penghianatan dan aib bagi sebagian kaum puritan death metal melihat musik kecintaannya sudah bukan lagi mengenai masalah pembusukan jasad secara harfiah, melainkan telah beralih menjadi tempat para “pemikir” dan penerawang futuris. Lihat bagaimana para pekerja seni technical death metal seperti menyebrang dari yang berawal sebagai kelas pekerja sosial penggali kubur menjadi seorang ilmuwan kelas intelektual yang lebih suka menyebut teori-teori dan dikotomi mengenai kehidupan manusia dan astronomi di masa mendatang.
Apa yang membuat para puritan semakin geram dan jengkel adalah, ketika death metal dieksploitasi oleh para “ilmuwan” menjadi sesuatu yang lebih canggih dan berlawanan dengan pemahaman awal sebagai bentuk realisasi dari kepentingan ide sang “ilmuwan” tersebut.
Hal semacam kualitas produksi lebih jernih, kompleksitas musik kian meningkat dan rumit, serta terlalu banyak memperagakan kemahiran virtuoso menjadi tolak ukur bagi kaum puritan bahwa death metal yang dijalankan dengan kehendak dan otoritas seperti itu sudah lupa terhadap esensi awal musik ini tercipta.
Renunciation band yang baru terbentuk di Rusia pada 2019 ini boleh jadi bingung dengan situasi dan kekacauan ini, tetapi alih-alih memihak pada salah satu fraksi, mereka seperti tak acuh menanggapi isu ini dan lebih berdiri pada keyakinan artistik yang mereka anut sendiri. Hal tersebut beralasan, karena keempat punggawa memang sudah lebih dulu banyak terlibat dengan proyek death metal lainnya, sehingga mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Imbasnya Renunciation melepas album perdana “Autelmorte” yang berisi hibridisasi antara kemahiran virtuoso technical death metal, kerumitan progressive death metal, dan kepribadian jahat nan kesumat dari black metal. Double-pedal dengan volume suara yang tidak tersaring menyebabkan suara lebih menggelegar, dan meledak-ledak.
Acotath sang penabuh drum seolah melupakan fungsi notasi jeda dalam sebuah rangkaian aransemen musik. Sementara sektor vokal secara berkala rajin mengganti register vokalnya pada beberapa karakteristik berbeda. Mulai dari penerapan shrieking, geraman growl murka, hingga teriakan chant ala hardcore diaplikasikan di sini.
Ketika pihak band berujar, bahwa album ini tidak meninggalkan kesan monton, statement tersebut ada benarnya. Meski didasari oleh elemen serupa, tetapi setiap lagu seperti memiliki corak dan palette nya tersendiri. Beberapa lagu dan bagian ada yang bergerak dengan elemen black metal yang lebih berkuasa.
Lalu gitar terkadang dipasangkan pada bagian-bagian groovy dan juicy dengan suara distorsi tebal namun tegas dan jernih. Sementara di sudut lain ada yang memiliki orientasi penuh terhadap kerumitan solo-solo gitar yang mayoritas diperagakan dalam teknik arpeggio dan tapping. Tidak lupa mereka menyisipkan bagian-bagian instrumen yang bahkan mungkin terkesan hardcore- ish dengan lonjakan ketukan d-beat dan serangan-serangan powerchord.
Human Corpse Abuse
Biasanya naluri alamiah akan membuat kecenderungan manusia untuk segera menghindar apabila mereka sedang berhadapan dengan bahaya atau sesuatu yang tidak mengenakan. Tetapi nampaknya kecenderungan ini justru tidak berlaku bagi para penikmat musik-musik ekstrim.
Justru yang terjadi adalah sebaliknya, dimana hormon endorfin dan dopamin mereka justru melonjak ketika dihadapkan pada musik yang secara sengaja digeber dengan kualitas “rendahan”, nada dan artikulasi vokal yang sama sekali tidak menampilkan kemerduan, hingga mengeksploitasi gelombang suara pada tingkat desibel di luar batas kewajaran.
Sementara unit deathgrind kelahiran Virginia, Human Corpse Abuse memahami asupan apa yang diinginkan oleh mereka yang haus dengan distorsi dan kebisingan. Band yang beranggotakan Adam Jarvis dan Shelby Lermo ini menghadirkan persilangan antara elemen grindcore, death metal, goregrind, hingga powerviolence dengan dibumbui oleh secuil film horor gore klasik. Meski begitu banyak unsur musik yang terlibat, mereka menjadikan keseluruhan musik tetap terdengar ramping.
Keduanya tidak kehilangan arah untuk merancang riff-riff menendang bokong, gebukan drum yang provokatif, dan suara vokal gruggle yang tanpa henti mengeluarkan busa-busa darah. Fokus mereka ditujukkan untuk membuat musik dengan daya ledak sebanyak-banyaknya, dan gumpalan distorsi yang terus menggergaji bagian potongan tubuh hanya untuk kesenangan semata. Pihak band mencoba menghadirkan kembali kegarangan distorsi legendaris, HM-2 yang kali ini penampilan serta karakteristiknya terasa lebih berlendir.
Tentunya kehadiran Jarvis selaku salah satu penggebuk drum legendaris di legiun grindcore, banyak menyajikan hantaman dan pukulan drum yang exceptional. Tanpa terperangkap oleh tuntunan kultur musiknya sendiri yang memaklumi sesuatu hal bersifat minimalis dan statis, Jarvis justru banyak memamerkan berbagai pola dan teknik permainan drum, seperti layaknya para algojo kerajaan di era terdahulu yang memiliki berbagai macam alat instrumen penyiksaan bagi para tawanannya.
Futanari
Seorang pemuda asal Spanyol, AJ Moreno nampaknya sangat terobsesi pada hal-hal yang bersifat aneh dan memiliki imajinasi liar yang tidak masuk akal. Untungnya ia memanifestasikan pemikiran anehnya itu pada medium yang tepat dan nampaknya memang dirancang untuk menampung segala ide yang tampak eksentrik bagi dunia luar. Moreno menimbun semua “ide gilanya” pada proyek-proyek goregrind, brutal metal, dan grindcore ciptaan nya sendiri. Ijinkan kami menyebutkan nama-nama proyek ciptaan nya dan silahkan menilai seberapa “aneh”-nya nama dari masing-masing band yang dia buat.
Jurassic Fart, Monosodium Glutamate, Pork True, Pornocaust, Vaginal Kebab, dan Buag! adalah sejumlah kreasi “monster” yang lahir dari ide dan pemikirannya. Barangkali Moreno tidak peduli dan merasa masa bodoh dengan reaksi orang. Bahkan reaksi-reaksi berupa mengernyitkan dahi dan mencibir justru merupakan komplimen tersendiri bagi AJ Moreno, karena merasa misinya berhasil untuk menunjukkan keanehan pada orang-orang. Kegilaan masih berlanjut, ketika ia memutuskan untuk membuat sebuah band baru dengan nama Futanari pada tahun ini.
Sekilas tampak tidak ada keanehan dibalik nama tersebut, seperti mengisyaratkan sesuatu mengenai hal-hal yang berbau Jepang. Tetapi jika digali lebih dalam, nama Futanari ini dikenal secara global sebagai sebutan untuk salah satu sub-genre anime hentai yang mendeskripsikan karakter wanita tulen yang memiliki alat kelamin pria. Tetapi jangan langsung menjustifikasi bahwa Moreno sama sekali tidak piawai meracik musik dengan benar. Itu merupakan 2 hal yang jauh berbeda, karena faktanya ia sanggup menghasilkan materi-materi deathgrind yang satisfying di sini.
Dengan pola-pola riff yang lebih terstruktur dan kadar groovy-ness yang begitu melimpah, Moreno justru menampilkan citra bahwa deathgrind juga mampu menciptakan aransemen catchy dan tidak selalu harus mengedepankan kecepatan. Bahkan permasalahan teknis dan kejernihan audio yang biasanya menjadi kendala terbesar bagi para musisi one-man, dapat teratasi dengan baik.
Moreno menggarpanya secara serius sehingga terciptalah sebuah produk deathgrind yang memiliki tingkat kejernihan begitu menohok dan semua instrumen terinstalasi dengan baik. Seluruh variasi riff nampaknya dipilih dengan penuh pertimbangan dan kecermatan. Tentunya bagian-bagian slamming riff juga menjadi daya tarik utama di sini, tetapi penggunaannya dirasa efektif dan tidak terlalu overused pada setiap lagu. Sekali lagi pemilihan karakter distorsi oleh Moreno juga sangat brilian di sini, karena menjaga kesimbangan suaranya yang terasa beringas dan ketat, tetapi masih mudah ditangkap maksudnya.
Baca Juga : 13 Penerus Norwegian Black Metal Saat Ini