11 Band Metal Pendatang Baru Wajib Didengar Sebelum Mati – II
“Mulai dari black metal, death metal, power metal, doom metal hingga grindcore inilah 11 band metal pendatang baru bagian ke-II yang siap menggempur telinga.
Sebelumnya kami mau menyampaikan sedikit penjelasan mengenai mengapa series ini dibuat. Tentunya kita semua tersadar bahwa setiap tahun jenis musik manapun tidak terkecuali metal selalu digempur oleh begitu banyaknya rilisan-rilisan baru. Puluhan bahkan ratusan album baru hampir selalu membanjiri setiap bulannya, dan album-album tersebut datang dari band maupun musisi yang memiliki latar belakang dan “kelas sosial” berbeda.
Band penghuni lama yang datang dalam kondisi establish sudah pasti mendapat perhatian lebih besar baik dari kalangan fans maupun media-media metal besar (meski merilis album medioker sekalipun). Band-band pendatang yang sudah memiliki cukup nama menjadi perbincangan hangat sesaat dalam grup-grup diskusi sebelum akhirnya orang-orang kembali kepada rutinitas memuja dewa-dewa metal lama mereka. Sementara band yang baru merintis lebih memiliki sedikit akses untuk disorot dan diperbincangkan. Untuk itulah kami memutuskan untuk menjalankan series ini.
Patut diketahui kami tidak memberikan rekomendasi album metal exceptional yang PASTI akan menjadi sebuah fenomena selang beberapa tahun ke depan, tidak ada yang dapat menjamin hal itu. Setidaknya kami memberikan rekomendasi dan pilihan berdasarkan sudut pandang kami melihat bahwa band-band tersebut setidaknya “tahu” apa yang mereka mainkan dan mampu menciptakan aransemen yang menumbuhkan rasa agar orang sudi memutar kembali rekaman-rekaman tersebut di lain hari nanti.
Coscradh – Nahanagan Stadial
Ada sebuah alasan mendasar mengapa pasukan extreme metal asal Irlandia ini menggubah musiknya dengan sentuhan elemen bestial black metal yang lengkap dengan tampilan serta aransemen musik bercita rasa primitif dan abrasif. “Nahanagan Stadial” berlatar pada masa prehistoric periode glasial (penurunan suhu bumi) yang sempat meluluhlantakkan peradaban bumi. Sudah tidak diragukan lagi baik riff maupun gebukan drum dengan aksen yang didominasi pola blast-beat ditekan hingga pada tingkat kecepatan yang sangat sembrono dan membabi-buta. Fungsionalitas daripada ratapan jeritan solo gitar yang hampir selalu ditempatkan pada bagian fret bawah, sebagai bentuk legalisasi bahwa memang benar adanya album ini mengisahkan sesuatu yang menimbulkan malapetaka dan kengerian hebat.
Fakta bahwa 3 dari 4 personil mereka menyumbangkan tarikan vokal hanya untuk tertegun dengan reaksi yang berbeda sembari menyaksikan tempat bersemayam mereka berada diambang kemusnahan. Elemen-elemen yang bersifat doomy serta atmosfer yang dipoles dengan rasa lebih lembab telah menimbulkan hawa-hawa dingin penuh kegetiran dan kegelisahan. Lebih banyak jenis ledakan berbeda di sini telah memberikan Coscradh keleluasaan dalam memproyeksikan hal-hal bersifat destruktif yang lebih beragam.
Sedimentum – Suppuration Morphogénésiaque
Death metal yang dipertemukan dengan sebuah keniscayaan malapetaka (dibaca death / doom metal) menjadi dna dan genetik yang saat ini banyak digandrungi oleh generasi penerus. Sedimentum adalah satu dari sekian band death metal yang meracik opus-nya di atas riff-riff dengan gubahan distorsi yang “menjjikan” sekaligus memiliki aura bengis menyeringai, growling vokal yang terus menghembuskan nafas-nafas busuk, serta atmosfer musik yang terus terperosok pada timbunan tanah yang gelap dan sesak. Dibanding menghasilkan materi yang bersifat rumit dan terlalu mengagung-agungkan teknikalitas, Sedimentum lebih fokus membangun narasi yang menitikberatkan pada kebrutalan dan keseraman.
Mereka tidak rajin dalam merubah pola-pola riff atau mengimplementasikan perubahan aransemen dengan gaya lebih kompleks dan radikal. Bersebrangan dengan itu, mereka hanya terpusat pada riffage death / doom yang dirasa lebih mampu bekerja secara efektif dalam menghasilkan suara menggelegar dengan aura yang lebih murung. Sementara gaya produksi dipersempit jangkauannya, dengan merekatkan seluruh instrumen pada posisi yang sangat berdekatan, sehingga tidak ada ruang untuk menghindari pemandangan-pemandangan kematian yang mereka perlihatkan secara ofensif.
Ornæmental Shine – Deima Panikon
Band black metal asal Meksiko ini, merupakan salah satu dari segelintir band yang menolak untuk merangkak secara linear dengan aturan-aturan umum musik black metal. Mereka tidak perlu mendeklarasikan secara berlebihan untuk terlihat eksentrik (nyentrik) dari gerombolan kultus lainnya. Sudah kontras terdengar banyaknya riff berkarakteristik disonan yang melompat-lompat dan sangat menyimpang dari keselarasan harmonisasi. Suara yang dirancang agar terdengar groovy, telah berdampak pada kualitas suara yang lebih berat, tegas, dan sangat jauh meninggalkan kesan amatirisme dan lo-fi. Sementara adegan drum tidak terlalu vital dalam mengambil peranan improvisasi selain daripada melontarkan pukulan sinkopasi dan gempuran pedal ganda dengan gerakan sederhana, bagian vokal justru menjadi sebuah tolak ukur seberapa unik-nya band ini.
2 vokalis mereka Marcos Barba dan Jake Superchi membentangkan jangkauan vokal hingga menyentuh pada hal-hal yang bersifat teatrikal sembari mengenakan topeng berwajah majemuk. Anda seolah dapat mendengar Niklas Kvarforth yang sedang meratap di atas asa pesimis-nya, teriakan-teriakan revolusioner dari kru hardcore, atau Attila Csihar yang sedang bersenandung dalam katedral tua yang gelap dan suram. 3 lagu dengan durasi 29 menit sudah cukup menuangkan segala bentuk kreatifitas mereka, dengan menghadirkan bagian musik yang lebih berkelok di antara black metal yang membaur dengan kebengalan hardcore punk, keruwetan musik dengan pola pikir avant-garde, serta kenestapaan doom metal.
Power Paladin – With The Magic Of Windfyre Steel
Sejak Islandia dikenal sebagai negara terisolasi penghasil sekte-sekte black metal yang menjanjikan, ternyata tanah yang setiap harinya dipenuhi oleh padang gletser es tersebut menyembunyikan sebuah kisah fantasi yang hangat dan dipenuhi oleh aksi heroik. Meski jauh secara letak geografis, Power Paladin mencoba merekatkan diri dengan kultur musik metal yang berada di belahan benua eropa lainnya dengan cara menyusupi gaya-gaya musik power metal ala Helloween, Freedom Call, Hammerfall, dan Iron Maiden ke dalam aransemen. Kita harus sadar bahwa potensi utama dari musik-musik power metal terletak pada daya vokal meninggi dengan lengkingan jernih, gaya produksi bombastis epik, kobaran semangat dari gebukan drum, serta serangan-serangan melodi harmonisasi gitar yang meliuk-liuk dan face-melting.
Setidaknya Power Paladin berusaha mewujudkan seluruh esensi tersebut ke dalam musiknya. Mereka memiliki beragam taktik untuk menciptakan irama riff penggugah semangat dan mereka bisa bercokol pada ranah yang lebih bergaya heavy metal-80’an, galloping riff, kelincahan lick neo-classical, hingga kocokan kilat yang mengarah pada aksen speed metal. Vokal memang tidak memiliki jangkauan yang luas secara oktaf, tetapi Atli Guðlaugsson mampu menjadi komando yang baik dengan getaran timbre yang lebih bertenaga serta kekuatan lengkingan yang dahsyat.
Baca Juga : 11 Band Metal Pendatang Baru Wajib Didengar Sebelum Mati
Glemsel – Forfader
Sebuah pertanyaan besar apakah Glemsel akan menjadi fenomena ajaib berikutnya dari skena black metal Denmark? Setidaknya “Forfader” selaku album debut Glemsel telah menghadirkan sebuah komposisi yang solid. Kasusnya identik dengan Wiegedood, dimana rangkaian keseluruhan lagu ter-konstruksi dari tersulutnya agresi black metal gelombang kedua yang dipertemukan oleh pasang-surut melodi gemulai nan melankolis hasil manifestasi dari atmospheric black metal. Secara kualitas rekaman terdengar lebih tajam dan tegas dalam hal penyampaian distorsi gitar maupun pekikan vokal yang secara konstan (atau statis lebih tepatnya) berkubang pada rasa kesumat.
Transisi dari hampir keseluruhan lagu agak-agaknya bergerak pada sifat yang moderat, dimana Glemsel lebih berhati-hati dalam menavigasi perubahan haluan dari bagian yang bersifat kikir dan jahat menuju pada sesuatu yang bersifat melodik, berkabut, dan mengiris-iris perasaan haru. Hasilnya dibutuhkan sedikit kesabaran untuk menunggu periode kekelaman tersebut berakhir, sebelum akhirnya Glemsel mampu berbicara dengan bahasa emosional yang lebih halus dan menyentuh.
Praise the Sun – The Proffer of Light
Pesona gothenburg melodic death metal memang tiada habisnya. Meskipun In Flames, At The Gates, dan Dark Tranquillity selaku holy trinity yang bertanggung jawab atas lahirnya gerakan ini sudah tidak terlalu memperdulikannya, faktanya masih banyak band pendatang dengan antusias mencoba mereplikasi era keemasan daripada jenis sub-turunan metal satu ini. Praise the Sun mencoba mempertemukan kembali gothenburg melodic death metal dengan sentuhan lebih modern dan groovy. Vokal daripada Marcelina Janik terdengar sangat subur dan memegang kendali utama di sini. Dia mencoba menggunakan pola beauty & beast vokal yang mampu diberdayakannya secara seorang diri. Hasilnya ia dapat melontarkan geraman vokal seperti Alissa White-Gluz dan menciptakan tarik-ulur harmoni clean vokal ala Cristina Scabbia.
2 gitaris mereka Mateusz Zarczuk dan Daniel Kowalski, sangat memahami betul kehendak yang ingin didengar penikmatnya, sehingga fungsionalitas mereka tidak lain menebarkan hamparan riff -riff melodic death metal sembari membangun kesan kenyaringan distorsi yang renyah. Tidak ada sesuatu yang eksentrik dan nerdy di sini, murni hanya representasi album yang mencoba membangkitkan nostalgia era keemasan melodic death metal dengan kemasan lebih modern.
Morkera – Entangled Excavations
Seharusnya menjadi suatu hal lumrah bila black metal dimainkan dalam kesedaran improvisasi yang minim dan lebih banyak menciptakan atmosfir yang suram dibalut oleh kenyaringan sonik yang tiada tara. Band misterius asal Kroasia ini, nampaknya mengamini pernyataan tersebut dan sama sekali tidak ragu untuk melangkah dalam “keterbatasan-keterbatasan” yang dimiliki. Serbuan daripada black metal yang dikumandangkan Morkera lebih bersikeras terhadap menciptakan sapuan eksplosif hebat, dibandingkan menyajikan rangkaian melodi dan irama bersifat kontemplatif. Gaungan kick drum begitu ketara, sehingga setiap hardikannya terasa seperti sebuah pukulan telak yang sangat membekas di wajah. Elemen gitar tidak terlalu bergeming dalam menafsirkan atmosfer yang kelam dan melodik, sebagai gantinya riff-riff gitar ditempatkan dalam fungsionalitas yang semakin menimbulkan huru-hara pada bagian aransemen.
“Entagled Excavations” acap kali bergerak menyusuri pada bagian-bagian yang bersifat progresif dalam hal menata perubahan alur maupun penempatan sesi ritem. Gaya penerapan vokal yang hampir tidak berubah dan tetap pada timbre (warna nada) yang sarat terdengar berat dan lebih berlumpur telah mempertebal sikap Morkera untuk menghadapkan anda pada sebuah ancaman besar yang mengintimidasi. Image daripada kemisteriusan mereka terus dipertahankan, hingga lagu penutup “Heaps Of Rubble” yang hanya berupa potongan piano klasik. Alunan dentingan irama kesuraman yang mungkin akan membuat Liszt dan Tchaikovsky sekalipun bergidik ketakutan.
Orificio – Apocalipsis necrótico
Sudah saatnya memandang fenomena one-man project dalam skena metal sebagai suatu hal yang serius. Sudah tidak terhitung berapa banyak band beranggotakan tunggal yang kami temukan dan menawarkan gumpalan kebisingan yang begitu menjanjikan. Jika edisi lalu, Futanari mewakili pergerakan ini, di edisi sekarang ada Orificio band deathgrind yang terbentuk di Spanyol. Manuel M. Cubas selaku konseptor melemparkan seluruh ekspektasi mengenai bagaimana seharusnya musik death grind bekerja. Gilingan suara distorsi gitar yang menggergaji beradu kuat bersama growling vokal berlendir serta sapuan drum bertegangan tinggi yang abrasif dan mentah.
Orifice mampu berkamuflase menjadi band yang memiliki attitude dari hardcore maupun d-beat tulen secara temporer. Hasilnya terkadang sedikit dapat menurunkan tensi amarah untuk menciptakan bagian-bagian beatdown yang groovy dan mengentak. Setidaknya dengan karakteristik riff yang memiliki bunyi ekstra dengung, Orificio tetap mampu menyajikan materi deathgrind yang masih layak dikaji lebih dalam. Manuel masih menghadirkan akselerasi / deselerasi perubahan gaya permainan gitarnya. Di Tengah riuhnya bebunyian yang keos, Manuel menancapkan bassline dengan tetap terdengar tegas, hingga setiap denyutnya sangat berarti untuk menaikkan tensi keberingasan.
Baca Juga : Yovel – Kapitalisme Adalah Musuh, Nazisme Adalah Wabah
Hadopelagyal – Nereidean Seismic End
Nama “Hadopelagyal” yang diadopsi dari sebuah kawasan laut terdalam dari mitos Yunani Kuno sudah cukup mewakili mengapa mereka menyajikan black metal dengan cara-cara yang tidak lazim. Hadopelagyal sengaja “menenggelamkan” hingar-bingar distorsi gitar dan vokal hingga menghasilkan efek suara yang terkesan kabur. Cukup sulit dalam melakukan upaya separasi antara setiap instrumen, dikarenakan hampir keseluruhan instrumen menampilkan kecenderungan warna tone serupa dan fungsionalitas yang ditekankan pada masing-masing instrumen juga demikian. Riff-riff gitar yang diatur dengan nada rendah, tiada habisnya mengeluarkan gema suara yang begitu nyaring namun kehadirannya terbayang-bayangi oleh sektor vokal maupun bass yang telah banyak mengintervensi. Hal ini bisa dikaitkan ketika anda mendengar sebuah gelombang suara misterius yang berasal dari dasar laut, namun anda tidak mampu mengidentifikasi wujudnya.
Sementara drum yang gencar melakukan serangan kilat dan menggempur gendang telinga terkadang mampu memiliki sedikit “rasa pengampunan” dengan cara mengendorkan tempo sesaat, sebelum kembali menghukum. Pemilihan warna vokal dengan nada meninggi setidaknya cukup untuk memberikan ruang ekspresi secara terisolasi dalam menyelami penderitaan. Aksesnya mungkin cenderung sulit, dimana Hadopelagyal tidak menyediakan banyak opsi sebagai pengambilan keputusan bagian mana yang sebaiknya cocok untuk dijadikan pijakan awal. Keseluruhan album murni representasi dari gaya seni black metal yang menjunjung tinggi semangat minimalis, letupan demi letupan bertegangan tinggi yang tiada habis, serta goresan dark ambient yang terus menaruh pengaruh atmosfer yang begitu mencekam dan sarat dipenuhi oleh teror-teror misterius.
Strange Horizon – Beyond the Strange Horizon
Ditengah skena metal yang sedang dilanda oleh kondisi post-industrial dikarenakan pesatnya perkembangan paguyuban ini, masih terdapat sekumpulan band yang berupaya untuk menghadirkan kembali kejayaan gaya logam sekolah lama ini dan salah satu kandidat yang rela melakukan hal tersebut ialah Strange Horizon. Trio yang terbentuk di Norway sejak 2017 ini membiarkan visi artistiknya menjalar dan mengambil sudut-sudut inspiratif dari elemen musik stoner rock, psych-rock, hingga classic doom metal yang dipopulerkan oleh Saint Vitus maupun Black Sabbath. Estetika yang dihasilkan penuh menyediakan aroma semerbak dari riff-riff fuzzy retro rock, merangkak pada sudut yang lebih suram untuk mengembangkan perasaan doom metal yang ilustratif.
Tatakala mereka merajut setiap elemen musiknya menjadi sebuah karya utuh yang bercita rasa vintage dan seperti bukan sesuatu yang lahir dari abad modernisme ini, kemampuan meracik vokal yang lebih banyak berbicara mengenai kenikmatan dan kemudahan akses mampu menarik simpatisan muda-muda agar album ini masih terdengar relevan dan bertahan bagi telinga mereka. Harus diakui gubahan riff maupun lead-lead melodius yang tidak sekuat dari para pendahulunya, tetapi ditemukan beberapa momen-momen yang memunculkan kesan bahwa ada sesuatu potensi yang dapat digali ke depannya dari band ini, seandainya mereka ingin melaju dengan pemikiran lebih terbuka dan progresif.
Sorry… – All That Died Was My Innocence
Mari sepakat bahwa DSBM merupakan salah satu cerminan dari sebuah budaya seni musik bersifat paradoks. Mereka memberdayakan kenyaringan dan kebisingan yang luar biasa dan sulit ditolerir, tetapi disaat bersamaan di antara gesekan “polusi udara” itu terkandung melodi sendu yang dapat melunakan perasaan dan ikut larut dalam kemalangan yang tentunya membuat orang terkurung di dalam naungannya. Kurang lebih gambaran tersebut jugalah yang dapat ditangkap pada “All That Died Was My Innocence” selaku album debut dari proyek DSBM internasional lintas benua ini.
Hal paling mencolok yang langsung menjadi pusat perhatian di sini adalah teriakan-teriakan ketidakberdayaan yang tampak familiar dengan apa yang pernah dilontarkan Nattramn dengan produk psikosis ciptaanya, Silencer. Secara instrumentasi keduanya (Silencer dan Sorry…) tampil dengan output berbeda, dimana Sorry… lebih berkubang pada bagian instrumen berparas lo-fi lengkap dengan gaya home recording. Beruntung, Sorry… tidak membiarkan lolongan melodi melankolis terhimpit oleh dinding-dinding distorsi yang bertekstur kasar dan abrasif. Hasilnya secara tegas melodi mampu melenggang pada bagian yang mampu lebih bersuara kencang sebagai pendamping kesakitan dari jeritan vokal.
Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1