2022Dream-PopMetalPost-RockReviewsShoegaze

Astronoid – Radiant Bloom – Review

Astronoid-Radiant-Bloom-Cover

Dengan perpaduan post-rock, shoegaze, dan dream-pop, Astranoid membuat anda terlena dalam ilusi dan mimpi berkilau. Dreamy, melancholic, dan kilauan cahaya mengitari seluruh komposisi musik. Tidak sedikitpun mereka membiarkan pusaran titik hitam masuk bersarang di dalamnya.

Astronoid terbentuk secara tidak sengaja ketika sang frontman, Brett Boland ditugaskan untuk mengerjakan sebuah proyek studi. Bersama rekannya, Daniel Schwartz (Bass) keduanya sepakat untuk membentuk band dalam rangka uji coba memproduksi musik menggunakan metode multitrack standar. Mereka menulis 2 lagu dengan masing-masing berjudul ‘Astronoid’ & ‘November’, dan itu sekaligus menjadi ep perdana bagi Astronoid, ketika mereka merilisnya ditahun 2012.

Sejak Astronoid tidak lagi menjadi band uji coba proyek kampus, Brett dan kolega menjadikan skena metal secara keseluruhan, sebagai laboratirum uji coba berikutnya demi menguji musikalitanya dan melihat langsung reaksi dari para responden music enthusiast. Dengan memadukan elemen shoegaze, dream-pop, post-metal, dan secuil getaran extreme metal, Astronoid datang sebagai band metal yang dianugerahi pola pikir divergence.

 Mereka membawa kilauan sinar cahaya, getaran positif, serta nuansa mengawang-ngawang yang diapplikasikan melalui tekstur, nada, harmoni, dan gumpalan sonik. Bayangkan ketika mendengar Deafheaven tanpa bagian vokal memekik serta elemen instrumen yang bersifat gertakan dicabut dalam mix. Jika dirasa tidak masuk akal, silahkan ambil rekaman dream-pop apapun, dan bubuhkan drum berkekuatan double pedal dan distorsi gitar di sana. Memang masih tidak masuk akal, tapi itulah letak dari pemikiran divergence Astronoid.

Namun seperti halnya eksperimen dalam kehidupan nyata, materi-materi Astronoid tidak selamanya berakhir dengan seruan Eureka! Ketika album debut, ‘Air’ disambut baik karena menjadi pallete refreshser di tengah gempuran rilisan extreme metal. Album kedua mereka, ‘self-titled’ justru menuai respon dan kritikan beragam.

Disatu sisi media-media ternama memuji keberanian Astronoid dalam membuat musik metal ‘ramah’ terhadap rasa sukacita dan optimisme. Dilain sisi media mengkritisi kurangnya unsur cynicsm pada wujud realisasi dan eksekusi, sehingga mereka dinilai tidak berani beranjak dalam kenyamanaanya. Tidak menghiraukan apa yang media katakan, Astronoid kembali tahun ini dengan album studio ke-3 nya berjudul ‘Radiant Bloom’.

Astronoid-photo

‘Radiant Bloom’ masih mempertahankan komposisional musik Astronoid secara garis besar. Perpaduan shoegaze, post-rock, dream-pop masih menjadi senjata mereka dalam menghasilkan komposisi musik ber-tekstur dreamy, contrast tone lebih terang, serta tatanan lanskap musik bernuansa cerah.

Bersamaan dengan itu, Astronoid mencoba menekan lebih jauh ambience dan kedalaman emosional dari segi instrumental. Peran gitar dan bass bukan lagi sebagai penghasil riff-riff sangar, menonjok dan banger seperti riff metal pada umumnya. Mereka melakukan tweaking pada bagian efek, tone, dan volume sehingga gitar dan bass menghasilkan tekstur lebih creamy, lembut, dan less-noisy.

Astronoid berhasil “menjinakan” bagian tremolo riff gitar, serta denyutan bass untuk tetap berada dalam koridor menghasilkan tekstur dengan urgensi emosional. Mungkin hanya peranan drum yang diberi kelulasan untuk dapat menampilkan sisi agresifnya. Lagu ‘Eyes’ menampilkan performa drum energik nan pacey yang banyak terpengaruh oleh fill-fill drum pop-punk. Sementara lagu-lagu seperti ‘Sedetative’, ‘Orchid’,  dan ‘Drown’ membuat peranan drum menyebrang lebih ekstrim dengan mempragakan ketukan-ketukan blast-beat ala-ala blackgaze / atmospheric black metal.

Dengan pendekatan rekaman seperti ini, mereka berhasil membawa peranan instrumen untuk terlibat lebih jauh dalam menghidupkan nuansa dan emosional sesuai yang mereka inginkan. Tetapi hal ini memberikan ketimpangan pada segi performa instrumen secara individu. Sepanjang album saya kesulitan untuk menemukan peranan gitar yang menonjol dan terdengar outstanding dan memorable. Mungkin memori paling diingat dalam peranan gitar di album ini terletak pada rocking solo pada penutupan lagu, ‘Eyes’.

Saya merasa suara gitar tenggelam dan blurry, apalagi ditambah pemotongan tingkat kebisingan distorsi, membuat raungan gitar seperti idak memiliki karakter yang melekat kuat. Saya rasa ini bukan sebuah kehilangan berarti bagi penikmat lama musik Astronoid. Karena sejatinya mereka sudah mengetahui bahwa kekuatan utama lagu-lagu Astronoid terletak pada nuansa, vokal, serta peranan instrumen secara kolektif.

Sementara setiap instrumen terkadang diberikan ruang untuk berkontribusi secara individu, peranan instrumen justru mulai melemah ketika setiap kali vokal mulai memasuki lagu. Dengan vokal diatur dalam volume lebih nyaring, membuat sebagian besar instrumen berada di bawah bayang-bayang vokal seutuhnya. Saya merasa album ini memiliki isu serupa ketika saya mendengar album ‘Avow’ milik Portal.

Dalam ‘Avow’ pernanan drum dijadikan penunjuk utama dalam menelusuri setiap labirin-labirin kebisingan. Sama halnya dengan peranan vokal, Brett pada ‘Radiant Bloom’ yang dijadikan penunjuk utama dalam menelusuri setiap rangkaian lagu pada album. Lagi, hal ini bersifat perspektif, bagi mereka yang mementingkan peranan level virtuoso pada instrumen mungkin beranggapan bahwa hal ini bersifat membosankan. Sementara mereka yang lebih melihat ke dalam segi tekstur dan emosional ini bisa menjadi sebuah sajian menarik.

Baca Juga : Decapitated – Cancer Culture – Review

Banyak orang mengasosiasikan Astronoid sebagai band berkarakter progressive metal, tetapi saya tidak setuju dengan hal tersebut. Terlebih lagi ketika ‘Radiant Bloom’ sama sekali tidak menampilkan perubahan tempo secara radikal bahkan tidak menitikberatkan instrumen pada tingkatan permainan virtuosoic. Menilik keseluruhan album, ‘Radiant Bloom’ justru datang dengan transisi lebih lamban dan halus, bahkan bisa dibilang cenderung bergerak statis.

Kita mungkin sepakat dan mengakui bahwa vokal Brett Boland memang menjadi titik vital dalam kekuatan musik Astrnoid secara keseluruhan. Karakter, harmoni, serta pernan vokalnya dalam meracik hook super catchy dan enjoyable menjadi daya tarik personalitas vokalnya. Dirinya bahkan mengultilisasikan vokalnya pada peranan lebih sentral dalam album ini. Dia mengglontorkan big-big chorus dalam jumlah lebih masif. Rasanya hampir setiap lagu menempatkan vokal Brett pada sorotan terbesar.

Meskipun Astronoid mengkonfirmasi bahwa album ini merupakan catatan paling personal, dan gelap secara tematik, sayangnya mereka tidak berhasil menuangkan itu semua ke dalam instrumen. Saya merasa instrumen masih terlalu kaku dan statis dalam mencoba memaparkan ragam emosi yang mereka coba utarakan lewat lirik.  

‘Radiant Bloom’ memang tidak mengalami eksplorasi masif, tetapi mari beranggapan bahwa mereka tidak mencoba untuk menutup diri pada perubahan dan eksperimentasi seutuhnya. Mungkin bagi Astronoid, belum saatnya menerapkan eksplorasi besar-besaran pada ‘Radiant Bloom’. Saat ini mereka lebih fokus membuat materi bersifat lebih emosinal & mencoba memaksimalkan apa yang sudah ada di depan mata.

Upaya tersebut cukup berhasil, mengingat ‘Radiant Bloom’ mampu menampilkan catatan paling personal, dengan warna musik lebih melankolis. Tetapi sudah saatnya untuk mereka segera memikirkan sesuatu lebih menggebrak ke depannya. Saya melihat pernanan instrumen dalam keseluruhan album terkadang mengalami kebuntuan, dan performa instrumen pada beberapa lagu cenderung bloated.

Kekecewaan terbesar terletak pada lagu dipenghujung album, ‘Decades’. Datang dengan lagu berdurasi paling panjang, yakni 7 menit, kehadirannya jauh dari ekspetasi. Alih-alih menampilkan performa klimaks seperti fungsionalitas lagu penutup pada umumnya, ‘Decades’ justru menampilkan potongan instrumen terlalu statis. Tidak ada elemen kejut di sana, dan sekali lagi vokal Brett harus menyelematkan performa lagu ini.

Saya menerawang bahwa Astronoid dapat melebarkan potensi eksperimen musiknya, seandainya elemen synth dan potongan instrument bernuansa classical lebih sering dilibatkan dalam aransemen. Lalu lagu bernuansa lebih minor pada ‘Human’ bisa diperbanyak lagi jumlahnya untuk memperlihatkan sisi bersebrangan dari musikalitas mereka. Dengan banyaknya kesergaman elemen yang muncul hampir di setiap lagu, ‘Radiant Bloom’  terasa lebih cocok jika dinikmati secara terpisah dibanding dinikmati satu album penuh sekaligus.

Rating : 6 / 10

Baca Juga : Otoboke Beaver – Super Champon – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link