2021Black MetalFeaturesMetal

Paydretz – Black Metal, Revolusi Prancis & Peperangan Vendee – Part II

Band black metal asal Prancis Paydretz menceritakan sejarah kelam mengenai Revolusi Prancis. Pertempuran di wilayah Vendee, sebagai aksi kontra-revolusi Prancis. Ini akan menjadi kisah panjang sekaligus epik dan menegangkan.

Mendengar kabar bahwa sang Raja, Louis XVI beserta istrinya tewas dihukum mati, sontak membuat para vendeans (masyarakat Vendee) kaget. Kehidupan di Vendee sendiri berbeda dengan wilayah-wilayah Prancis lainnya. Konflik pengkastaan masyarakat yang terjadi di berbagai wilayah Prancis, tidak terjadi di sini. Meski daerah ini terkenal sebagai daerah yang memiliki keterbelakangan seara ekonomi, namun ketiga fraksi golongan masyarakat hidup damai. Hal tersebut mengurangi kecemburuan sosial antara fraksi dan konflik pun dapat terhindarkan.

Selain dikenal sebagai wilayah paling terpencil di Prancis, Vendee dikenal dengan keagamaan Kristen Katolik yang sangat mengakar kuat. Terdapat bangunan-bangungan gereja, serta banyak uskup dan pendeta juga menetap di sana. Disaat bersamaan, republik Prancis berhasrat untuk mengurangi bahkan menyingkirkan pengaruh agama dan kekristenan di Prancis. Atas dasar kebebasan memeluk agama, Konvensi Nasional Prancis membentuk kebijakan Anti-Katolik.

Awal Meletusnya Anti-Revolusi di Vendee

Tentunya kebijakan tersebut tidak diindahkan oleh para vendeans. Tetapi menurut hukum Civil Constitution of the Clergy, ada tertulis bahwa semua pendeta dan pemuka agama harus tunduk pada pemerintahan Konstitunate Nasional. Masalahnya saat ini, Konstitunate Nasional yang diisi oleh pemikiran dan ideologi revolusionis memiliki sikap antipati terhadap kekristenan. Sehingga para pendeta secara tidak langsung, bersumpah mengkhianati imannya sendiri untuk patuh pada Negara. Dari 160 pemuka agama yang disumpah, 7 diantaranya menolak dan kemudian berakhir dengan dianiyaya secara sadis.

Tidak sampai disitu, seluruh properti gereja disita dan operasi gereja di Vendee dihentikan secara paksa. Para imam yang tidak bersalah tiba-tiba ditangkap dan diasingkan oleh kaum revolusionis. Wanita-wanita yang sedang melakukan perjalanan ke misa juga turut dianiyaya. Kejadian tersebut membuat para vendeans semakin geram. Tidak tinggal diam, vendeans membuat logo berlambangkan hati & salib, menandakan siap membela keimanannya dan megangkat senjata untuk berperang melawan republik Prancis.

Jalannya Peperangan Vendee

Metal-Pembantaian-Maret-1793

Peperangan Vendee adalah sebuah peristiwa tragis, penuh kekerasan dan berdarah sehingga tampak akan terdengar nyata bila menggunakan kebrutalan dan kegelapan dari musik black metal untuk menceritakan kebenarannya. Jika saya memilih gaya lain seperti musik tradisional, pop atau rock, saya akan melewatkan dimensi epik, putus asa, dan agresif pada saat yang bersamaan. Bagi saya tragedi ini hanya cocok dinarasikan dalam bentuk black metal.

Geoffroy Dell’Aria (Paydretz)

Peperangan akan selalu banyak melibatkan dimensi emosional yang kompleks dan semuanya dapat berjalan secara paralel. Pihak yang memenangi pertempuran akan merasa bahagia, bangga, dan semangat berkobar-kobar. Sebaliknya, mereka yang menderita kekalahan harus menanggung kerugian-kerugian emosional maupun fisik. Rasa kehilangan, depresi, trauma, dan kematian sudah pasti menjadi konsekuensi mutlak bagi pihak yang kalah dalam peperangan.

Untuk menggambarkan seluruh kondisi tersebut, Geoffrey berujar bahwa black metal lah dirasa paling cocok untuk melukiskan itu semua. Black metal sudah memiliki rekam jejak panjang ketika harus menceritakan hal-hal berbau tragis dibalik setiap peristiwa yang terjadi. Tidak heran, dibalik latar belakang Geoffrey sebagai seorang metalhead, dia juga merubah black metai menjadi sebuah epos yang dapat menceritakan kekelaman peperangan anti-revolusi di Vendee dengan gambaran lebih nyata dan emosional.

Geoffrey mengurutkan peristiwa-peristiwa penting dalam peperangan Vendee yang berlangsung dari tahun 1793 hingga 1796 berdasarkan urutan tahun berlangsungya setiap pertempuran. Semua kejadian dijelaskan Geoffrey menggunakan sudut pandang sebagai seorang vendeans yang tengah berjuang mati-matian demi mempertahankan tradisi dan haknya. Singkatnya, 14 lagu dari album ‘Chroniques de l’insurrection’ murni berisi cerita perjuangan dari sisi vendeans seutuhnya.

Baca Juga : Paydretz – Black Metal, Revolusi Prancis, & Peperangan Vendee – Part I

Bagian I : Pemberontakan Maret 1973

Album dibuka dengan lagu instrumental berjudul ‘Premier sang (1793)’. Pada lagu tersebut terdengar jelas sebuah Toscin, atau bel dibunyikan secara nyaring. Menurut cerita yang beredar Toscin dibunyikan ketika ada suatu tanda bahaya datang mengancam. Benar saja, bahaya benar-benar datang mengancam ketika sekelompok utusan republik berbaju biru menghampiri wilayah Vendee.

Mereka mengatakan bahwa Prusia (musuh Prancis saat itu) sudah berada di perbatasan, dan mereka meminta kesediaan vendeans untuk ikut berperang melawan Prusia. Saat itu revolusi Prancis memang tidak hanya mendapat tekanan dari dalam, tetapi Negara koalisi Eropa seperti Prusia, Austria, Spain dan Inggris juga berusaha menghentikan revolusi Prancis dari luar. Sehingga republik Prancis membutuhkan tenaga tentara sebanyak-banykanya untuk melakukan perlawanan.

Tentunya permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para vendeans, setelah apa yang diperbuat kaum revolusionis pada tradisi mereka. Hal ini dijelaskan pada lagu berjudul ‘Le Tocsin nous appelle (Toscin Call Us)’ dengan lirik berbunyi.

They say the enemy threatens at the borders,
That we must go and fight the Prussian.
But if I leave my home and my land,
Who will take care of mine?

They have spread in our countryside,
Destroyed our martyrdoms and hunted down our priests.
The impious heart, full of spite,
They desecrated the graves of our ancestors.

Le Tocsin nous appelle (Toscin Call Us)

Sebaliknya vendeans justru menantang retribusi wajib militer yang dilakukan republik Prancis, serta para petani dan warga melakukan perlawanan balik. Hal ini kembali disampaikan pada lagu yang sama dan isi liriknya berbunyi.

To arms! Now is the time for rebellion!
By the thread of our scythes and the point of our goads!
At the call of the tocsin that rings, the clumsies at home we will send back!
At the call of the tocsin that rings, we swear, we will win!

Le Tocsin nous appelle (Toscin Call Us)

Pembrontakan kecil-kecilan akhirnya meletus pada bulan Maret 1973. Pihak republik Prancis langsung membentuk pasukan gabungan darurat yang terdiri dari penjaga nasional, tentara sipil, hingga sukarelawan. Total terdapat 45 ribu pasukan hasil bentukan republik untuk meredam dan mengantisipasi gerakan pembrontakan vendeans di Vendee.

Bagian II : Pahlawan-Pahlawan Kebenaran yang Dibenci

Tentunya pembrontakan Vendee, tidak hanya berisikan sekumpulan vendeans yang berang terhadap aksi sewenang-wenang kaum revolusionis. Ternyata ada sekumpulan orang-orang terpilih untuk menjadi pengatur serangan dan menjadi ujung tombak yang mampu diandalkan. Lagu berjudul . ‘Le serment des chefs (The Oath of Chiefs)’ mengungkap siapa saja yang mejadi pahlawan bagi kubu Vendee untuk berjuang bersama vendeans melawan musuhnya.

First came Cathelineau, Saint of Anjou,
Dedicated, brave of the brave in the heart of battle.
Monsieur de Bonchamps, the finest strategist,
Was humble and skilful, without ambition or pretension.
General Providence, as d’Elbée was called,
Virtuous, eloquent, his sermons touched the depths of the soul.
Stofflet the gamekeeper, hard, sturdy and solid,
He had no equal in being obeyed.
The youngest of all, but not the least valiant,
Was La Rochejaquelein, only 20 years old.
Emerging from the marsh appears the King of Vendée,
General Charette, independent, obstinate!

Le serment des chefs (The Oath of Chiefs)

11 Maret 1793 dimulainya pemberontakan, sekelompok vendeans berhasil membantai ratusan warga revolusionis di Machecoul, Prancis. Sementara pasukan yang dipimpin oleh Jacques Cathelineau berhasil merebut Saint-Florent-le-Vieil pada 12 Maret 1793. 19 Maret 1793 vendeans berhasil mengusir tentara revolusionis di Gravereau (Saint-Vincent-Sterlanges) setelah 6 jam melakukan pertempuran sengit.

Pemberontakan semakin menjadi, peperangan mulai meletus di berbagai kotamadya dan wilayah Vendee. April 1973 pasukan vendeans yang dipimpin oleh seorang royalist muda berusia 20 tahun bernama Henri du Vergier de la Rochejaquelein kembali menyerang tentara republik. Ia dibantu oleh 2 rekannya Maurice d’Elbée dan Marquis de Bonchamps untuk merebut kembali daerah-daerah Vendee yang jatuh ke tangan republik. Saat perang berlangsung, Rochejaquelein menggeluarkan semboyan terkenalnya. “Mes amis, si j’avance, suivez- moi! Si je recule, tuez-moi! Si je meurs, vengez-moi!” (Teman-teman, jika saya maju, ikuti saya! Jika saya mundur, bunuh saya! Jika saya mati, balas dendam saya!).

Pasukan petani vendeans yang dipimpin Rochejaquelein berhasil merebut beberapa wilayah dan kota diantaranya, Bressuire (3 Mei 1973) dan Thouars (5 Mei 1973). Pada pertempuran di Thouars pasukan Rochejaquelein berhasil melecuti senjata dan menangkap tentara-tentara republik. Namun Rochejaquelein melepaskan tentara tersebut dengan mencukur habis rambutnya, sebagai tanda jika tentara tersebut ternyata kembali menyerang, mereka akan dibunuh.

Bagian III : Kemenangan Berpihak Pada Pejuang

Kemenangan demi kemenangan dalam pertempuran terus diraih oleh pasukan vendeans. Meski pasukan vendeans hanya diisi oleh sebagian besar petani dan jumlahnya tidak sebanyak tentara republik. Diluar dugaan mereka berhasil merebut satu persatu wilayah Vendee yang diduduki oleh republik.

Berikutnya 25 Mei 1793, pasukan vendeans berhasil menduduki Fontenay-le-Comte. 2 minggu berselang tepatnya 9 Juni 1793, kota Saumur yang dikuasai oleh Louis-Alexandre Berthier berhasil direbut oleh pejuang vendeans. Saumur merupakan satu-satunya kota besar di wilayah Vendee yang ditaklukan oleh vendeans. Hebatnya, mereka menaklukan Saumur hanya dalam waktu 1 malam. Pertempuran Saumur memberikan banyak keuntungan bagi Vendee, sekaligus memberi kerugian besar bagi republik. Vendee mendapatkan pasokan senjata lebih kuat, dimana mereka juga mendapat 50 meriam milik tentara republik.

Vendeans sedang berada pada kondisi di atas angin. Mereka mengimani bahwa perjuangannya dalam mengembalikan tradisi kekristenan di Vendee sudah direstui oleh Tuhan Allah mereka sendiri dan mereka berdiri pada jalan kebenaran. Bagi mereka, kemenangan demi kemenangan yang sebelumnya sudah diraih merupakan bukti nyata bahwa Tuhan Allah beserta para laskar vendeans. Puji-pujian para vendeans terhadap keimanan dan seruan kemenangan berkumandang pada lagu ‘Le cantique des moulins (The Song of the Mills)’.

The Sacred Heart blazes in each of us,
Because just and sacred is our fight!
Never again will we live on our knees!
Merciful King, light our way!

For even in the darkest darkness,
When we wander deep in the abyss,
Always, by your side, hope shines,
And your light guides us!

Le cantique des moulins (The Song of the Mills)

Mereka mengungkapkan bahwa kemenangan yang diraih bukan semata-mata dikarenakan kemampuan dan kelihaian bertempur mereka. Melainkan keimanan mereka lah yang menjadi perisai dan senjata untuk membunuh para musuh-musuh yang berani mengusik kepercayaan dan tradisi ilahi mereka.

Faith carries and arms our arms, divine is our anger!

From the blood of our enemies that will flow, vermeil will be its color!

Beberapa bulani lalu mereka hanyalah seorang petani yang menggarap ladang untuk bertahan hidup. Tetapi keadaan berubah drastis dalam hitungan bulan, kini para petani tersebut bermetamorfosis menjadi sekumpulan laskar Kristus yang siap membela mati-matian keimanan dan tradisinya. Suara hunusan pedang, gemericik senjata api, dan teriakan kemenangan vendeans seolah tembus ke ujung langit, membangunkan sang khalik untuk menyaksikan sendiri pengorbanan para laskar yang berbalut darah dan kemenangan.

Tetapi perjuangan laskar vendeans jauh dari kata selesai. Para penguasa lalim dari kubu republik tentunya tidak tinggal diam melihat kemenangan demi kemanangan jatuh ke tangan para pembrontak. Perlawanan lebih sengit sudah menanti di depan mata dan sekali lagi loyalitas serta keimanan para laskar vendeans kembali diuji dalam medan pertempuran.

Bersambung ke Part-III

Baca Juga : Ossaert : Pelgrimsoord Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link