Saidan – Onryo II : Her Spirit Eternal – Review

Saidan menguji nyalinya sendiri untuk meracik formula musik black metal berbeda dari biasa yang mereka lakukan. Agar dapat menampilkan kisah horror Jepang lebih nyata yang tersalurkan ke setiap bagian-bagian elemen musik yang ada.
Adalah sebuah ketidakwajaran bila black metal dapat menimbulkan kesan selain daripada nuansa nestapa yang dibalut rasa kehancuran dan kegelapan. Tetapi sekarang, hal itu sudah lumrah terjadi bersamaan dengan berevolusinya black metal. Saor dengan panorama kesegaran pemandangannya, Summoning dengan perjalanan cerita Tolkiennya, serta Imperialist dengan ekspansi luar angkasanya.
Sementara, Saidan sanggup memberikan kesan gelap, mencekam sekaligus epik dan melodius pada waktu bersamaan. Band asal Nashville ini menampilkan kisah-kisah okulistik horror Jepang, dibalut dengan thrashy riff, raw black metal, hingga isian melodi dan progresi kord gitar yang banyak terinspirasi dari gaya musik Eastern.
Berangkat dari band pengusung raw black metal minimalis, Saidan kian beranjak untuk menemukan jati dirinya sendiri yang tidak akan pernah mereka temukkan dalam bentuk musik sekaku itu. ‘Onryo II : Her Spirit Eternal’ menampilkan bab selanjutnya dari kisah arwah penasaran yang menaruh dendam atas kematian tak wajarnya.

Selain menampilkan kisah misteri baru, Onryo II menghadirkan evolusi Saidan dari sisi musikalitas yang semakin dipoles dan disempurnakan. Perubahan paling ketara yang langsung bisa dirasakan terletak pada gaya produksi dari keseluruhan album. Setiap sektor baik itu gitar, drum, maupun vokal terpisah ke dalam setiap layer berbeda dan tertata rapih. Sebagai hasil, setiap komponen terdengar lebih jelas alurnya.
Gebukan blast beat dari drum terkesan lebin intens, dan masih memberikkan tonjokkan kuat nan bertenaga, meski dihimpit oleh tebalnya distorsi gitar. Detil-detil riffing serta melodi yang coba mereka tampilkkan terdengar jelas, meskipun mereka menggunkan tone gitar berkarakter abrasif sekalipun. Itu merupakan sebuah hal vital untuk menjadi sebuah navigator utama nuansa dan emosi dari keseluruhan album.
Sementara performa vokal yang buas dan mematikkan ditempatkkan pada layer teratas. Menarasikan amarah dan murkanya di depan muka, anda tidak perlu repot-repot untuk menerka makna lirik dari setiap lagu untuk mengetahui emosi keseluruhannya. Semua sudah dikemas agar langsung menyalurkan amarah dan murka secara menyeluruh lewat setiap keping elemen musik yang mereka mainkan.
Baca Juga : Ossaert – Pelgrimsoord – Review
Terlihat Saidan masih ingin mempertahankan kualitas kolektif albumnya. Dengan berisi 7 lagu dan total durasi hanya 36 menit, mereka memastikan bahwa secara pandangan objektif mereka, tidak ada satu lagupun yang bersifat sebagai filler. Bahkan lagu berjudul ‘Kate’ yang berformat instrumental masih menampilkan atmosfir musik sinematik, dan mampu menonjolkan sudut pandang musik Saidan yang berbeda. Petikan gitar akustik oriental, serta hembusan vokal memberikan warna musik terdengar post-rock / shoegaze ish.
Sadar akan unsur melodi yang menjadikkan mereka pembeda dari tumpukkan band black metal diluaran sana, Saidan semakin memperbanyak menciptakan melodi-melodi big hit epik dan memorable bertebaran di sepanjang album. Meskipun lagu pertama ‘Kissed by Lunar’s Silvery Gleam’ dibuka dengan badai tremolo riff, blast-beat, dan warna vokal pekat. Pada akhirnya melodi lead gitar yang memecah susana berhasil mengambil tempat perhatian paling utama di sini.
‘Girl Hell 1999’ dan ‘Pale Limitation’ mengambil pendekatan struktur melodic black metal yang banyak diterapkan oleh band-band black metal skandinavia. Struktur musik lebih straightforward, melodi beraura grim, cold dikemas dalam rentetan tremolo riff yang tidak hentinya menampilkan berbagai pola riffage berbeda.
Sementara lagu ‘Yuki Onna’ dan ‘I Am The Witch’ sudah cukup menjelaskan mengapa Saidan memiliki perbedaan mencolok dari seluruh band American black metal yang aktif saat ini. Memadukan emosi mentah black metal dengan tekstur melodi jrock yang diapplikasikan dalam bentuk tremolo riff sebuah kombinasi unik namun dapat bekerja secara optimal.
Dalam lagu ‘I Am The Witch’ bahkan dapat mengeluarkan level epicness yang bisa disetarakan dengan jejeran lagu-lagu power metal. Bahkan ketika melodi utama masuk pada pertengahan lagu, alih-alih menciptakan imajinasi penuh dengan rasa misantropi, kebencian, dan nihilistic. Justru perasaan diarahkan pada sesuatu lebih bersemangat, dramatis yang sekali lagi dibungkus dalam melodi bercorak jrock.
Berbicara tentang penulisan lagu dinamis, semenjak album debutnya, Saidan sudah menjauhi gaya penulisan setiap lagu yang terkesan seragam. Menambahkan multi-section riff pada setiap lagu, memberi bumbu berbagai timbre seperti akustik gitar, potongan sampling film, variasi warna vokal hingga sedikit plot twist pada alur sudah coba diterapkan semuannya.
Lagu ‘Queen of The Daunted Hell’ contohnya, dimana pada pertengahan lagu menampilkan bagian-bagian musik dengan warna lebih punk-ish dan thrashy. Drum lebih banyak menampilkan adegan agresif. Breakdown riff-riff ala Slayer hingga powerchord yang membuat kegaduhan selayaknya musik punk tiba-tiba mendarat pada pertengahan lagu, semakin memperjelas bahwa mereka mencoba membuat alur yang terdengar tidak masuk akal setidaknya untuk ukuran raw black metal.
Seperti disebutkan sebelumnya, vokal menaruh peran vital dalam rangkaian keseluruhan album dan sudah sepantasnya mendapat apresiasi lebih. Dengan performa stabil dalam menarasikan lirik penuh amarah menggebu-gebu, vokal sukses melakukan impersonate sang ‘Bell Witch’ yang tengah murka untuk menuntut balas dendam seperti apa yang dikisahkan dalam lirik.
Dengan setiap lagu menampilkan karakter nya tersendiri, memberikan dampak bahwa album ini dapat memiliki repeatable playcount dengan jumlah tinggi. Meskipun tidak semua lagu memiliki kesan outstanding, dan peek dari excitement setiap lagu mayoritas masih terletak di pertengahan lagu dan tidak menyebar secara merata. Tetapi daya eksplorasi Saidan yang juga sekaligus mencoba mempertahankan core dari musik black metal membuat album ini terhindar dari jurang kemotonan.
Saidan menguji nyalinya sendiri untuk meracik formula musik black metal berbeda dari biasa yang mereka lakukan. Agar dapat menampilkan kisah horror Jepang lebih nyata yang tersalurkan ke setiap bagian-bagian elemen musik yang ada.
Rating 8 / 10
Baca Juga : Pure Wrath – Hymn To The Woeful Hearts – Review