Otoboke Beaver – Super Champon – Review
Otoboke Beaver memperlihatkan pada kita amarah tidak selalu berkonotasi negatif. Adakalanya kita perlu melontarkannya untuk membuka mata orang-orang secara lebar, bahwa sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi dalam kehidupan sosial modern dan fatal akibatnya bila terus dibiarkan begitu saja.
Quartet punk asal Kyoto, Otoboke Beaver membuat terobosan dalam memaknai arti dari perlawanan. Setiap musik yang mereka tulis bukan hanya sebuah perwujudan counter reaction pada budaya arus utama. Terkadang mereka juga membrontak aturan-aturan baku yang sudah ditetapkan dalam klan punk. Otoboke Beaver tidak diboncengi oleh agenda politik manapun. Bahkan posisi serba menguntungkan sebagai band berformat Riot Grrrl, tidak serta merta menggoda mereka untuk menjadi aktivis garis keras pembela hak kesetaraan gender.
Apa yang mereka lakukan hanyalah melihat ke dalam diri, dan mengeluarkan segalanya dengan rasa amarah dan sukacita. Upaya tersebut ditunjukkan pada album debut mereka, ‘Itekoma Hits’ yang dirilis 2019 lalu. Dengan terpaan suara riuh dari bisingnya distorsi gitar, drum berkecapatan tinggi, bass penggetar membran timpani dan amukan vokal-secara non-stop mereka menghujani anda dengan segelintir kemarahan dibungkus dalam berbagai narasi topik seperti negasi percintaan, menentang tekanan sosial, melepaskan emosi negatif, dan secuil rasa humor.
Album terbaru mereka, ‘Super Champon’ datang dengan mentalitas serupa, dan bahkan siap membakar lebih banyak kalori dan membuat nafas tersenggal-sengal. 18 lagu dengan total durasi 21 menit, 5 menit lebih singkat dari ‘Itekoma Hits’ merupakah sebuah isyarat bahwa mereka semakin memadatkan aransemen dan energi yang dikeluarkan terasa lebih efektif.
Artinya, tempat perhentian sementara untuk menghela nafas kian sedikit. Frekuensi kemunculan ledakan dahsyat kombinasi dari nyaringnya distorsi gitar, pukulan drum bertegangan tinggi dan bassline berdebar-debar semakin sering merayap pada bagian aransemen yang lebih vital.
Tidak banyak lagu yang mendapat pengenalan instrumen secara mendetil. Mungkin hanya 15% lagu dari album ini yang mendapat pengecualian, karena bass, drum dan gitar sedikit mendapat panggung untuk tampil secara terisolasi pada masing-masing awal lagu. Sisanya, ketiga instrumen lebih bergerak secara kolektif dan sudah diatur untuk meledak dengan dahsyat seketika itu juga.
Transisi antara bagian yang diperdengarkan masih seperti biasanya : mendetail, tempo berubah-ubah dalam hitungan detik, dan tidak terkesan blurry meskipun musik bergerak pada tempo melebihi batas maksimum. Bahkan pada lagu berdurasi kurang dari 1 menit sekalipun, mereka sama sekali tidak menurunkan standar operasional yang sudah ditetapkan sejak awal.
Highlight terbesar jatuh pada lagu ‘George & Janice’ yang hanya diberi waktu 43 detik, namun dampak kerusakan yang dihasilkan beigtu fatal. Dengan lengkingan gitar dahsyat dan vokal yang terus memprovokasi rasa amarah, mereka sama sekali tidak kehilangan intensitas dan fokus untuk terus menggeber dengan gain volume maksimum.
‘Jijil is Waiting for My Reaction’ adalah sebuah reaksi amarah singkat kepada orang tua cabul yang terus memaksa untuk berbicara dengan seorang gadis, meskpiun gadis tersebut menolak secara kasar. Amarah dilontarkan secara frontal dan menonjok secara langsung. Aksi kemarahan serupa juga ditunjukkan pada lagu ‘You’re Not Hero Shut up Fuck You Man-Whore”. 18 detik yang cukup untuk meninggalkan bekas memar pada pria yang menganggap dirinya lebih superior dibanding kaum wanita.
Setiap instrumen menambahkan pola permainan yang belum pernah diterapkan sebelumnya, dan akan terasa memiliki pengaruh signifkan, seandainya sering dilibatkan dalam aransemen kedepannya. Seperti Kahokiss menerapkan blast-beat atau Yoyoyoshie yang bereksperimen dengan palm-muting riff untuk menambah layer kedua pada bagian perkusif.
Menurut keterangan sang vokalis, Accorinrin album ‘Super Champon’ lebih fokus pada kekuatan vokal. Ucapan tersebut ada benarnya, karena beberapa lagu memang menampilkan performa vokal dan topik lirik yang lebih kuat dan mendominasi.
‘I am Not Maternal’ merupakan sebuah jawaban untuk menentang paradigma berfikir dan tekanan sosial bahwa setiap wanita ditakdirkan untuk lahir menjadi seorang ibu. Mereka menolak mentah-mentah, bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka lebih baik memelihara anak anjing ketimbang bayi.
Baca Juga : Saidan, Black Metal yang Terobsesi Dengan J-Rock dan Mitos Jepang
Lagi, lirik sengaja didesain secara repetitif, tidak menjelaskan secara komperhensif mengenai setiap isu yang diangkat, bahkan setiap judul lagu terkesan lebih naratif dibanding isi lirik. Terdengar bahwa Otoboke Beaver merupakan sekumpulan orang yang mempercayai teori psikologis otak, bahwa pengulangan kata akan lebih efektif dicerna dalam pikiran alam bawah sadar.
Pada lagu ‘Pardon’, Accorinrin terus menyebutkan kata ‘Pardon’ secara berulang sambil mengumpat dan disokong dengan tempo semakin cepat dan menggila. Ini Seperti mengisyaratkan bahwa dia maupun para personil lainnya menolak dengan kasar permintaan Pardon (Maaf) dari orang yang sudah melukai perasaan emosionalnya.
Narasi dan topik yang diangkat memang terdengar lebih serius dari biasanya, tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan rasa humor dan keterbukaan untuk menceritakan hal yang mereka senangi. ‘Let’s Shopping After Show’ sebuah lagu yang sudah terlihat langsung maknanya dari judul yakni menceritakan rutinitas berbelanja mereka selepas tampil.
Dengan berbagai adjustment pola vokal seperti jeritan, teriakan, vokal berformasi geng, pola ascending / descending,dan gaya vokal opera-membuat sektor vokal lebih responsif terhadap perubahan tempo begitu liar. Vokal sama sekali tidak tertinggal untuk terus menampilkan bagian-bagian menggesankan meskipun disandingkan dengan pergerakan instrumen yang begitu kompleks dan mengguggah selera.
Setiap member memiliki rasa tanggung jawab menyatukan suara untuk merasakan keresahan dan melawannya secara bersama. Itu membuat kemarahan terasa lebih bertenaga, dan sebuah seruan kuat untuk melawan sesuatu yang tidak disukai secara lantang tanpa mengenal rasa takut sedikitpun.
Secara produksi, maupun rangkaian keseluruhan musik, album ini terasa lebih chaotic, kacau, dan memprovokasi amarah lebih sering. Setiap instrumen terasa lebih dekat satu sama lainnya dan melebur dengan tingkat liquidasi yang begitu cepat. Mungkin sedikit mengorbankan kejernihan, tetapi sebagai gantinya kita mendapat banyak ledakan-ledakan mematikan dan sudah sepatutnya fungsionalitas utama dari musik punk mengedepankan aspek percepatan dan eksplosiftifitas seperti itu.
Otoboke Beaver memperlihatkan pada kita amarah tidak selalu berkonotasi negatif. Adakalanya kita perlu melontarkannya untuk membuka mata orang-orang secara lebar, bahwa sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi dalam kehidupan sosial modern dan fatal akibatnya bila terus dibiarkan begitu saja.
Rating : 8.5 / 10
Baca Juga : Band Noise Rock Jepang, 385 Mencoba Mendalami Emosi Manusia