2022Death MetalMetalReviews

Decapitated – Cancer Culture – Review

Decapitated-Cancer-Culture-Album-Cover

Dalam album ke-8 nya, Decapitated menembus batasan-batasan yang berada di luar zona nyaman mereka. Menampilkan elemen blackened, progressive, dan clean vokal, Decapitated merancang komposisi musik death metal penuh ambisi, dinamisme, dan keadaan emosional lebih mengikat”.

Kita tahu bahwa death metal mayoritas memiliki ceruk pembahasan lirik mengenai kematian ragawi, film horror, dan simulasi pembunuhan. Dengan segala disclaimer mereka melakukannya bukan semata memenuhi hasrat imaji liar para nekrofilia. Mereka hanya melampaiskannya sebagai media kesenangan dan mencerminkan bentuk seni realisme mengenai kematian dan pembusukan raga. Tetapi apa yang diupayakan Decapitated lewat album terbarunya, ‘Cancer Culture’ sedikit menggeser perspektif death metal semula.

Sang gitaris sekaligus founder Decapitated, Waclaw “Vogg” Kieltyka memaparkan bahwasanya album terbaru mereka ini menyinggung isu-isu sosial modern. Penekanan statement bahwa manusia seperti sel kanker mematikan, sudah menjelaskan bahwa Decapitated mengkritisi kehidupan sosial saat ini, dengan menggunakan sudut pandang misantropis. Namun beranjak dari konteks mari sedikit menengok latar belakang kemunculan album ini.

‘Cancer Culture’ merupakan album pertama Decapitated setelah 5 tahun mereka tidak kunjung merilis materi apapun. Ini merupakan gap terlama yang ditinggalkan oleh Decapitated sepanjang karir mereka. Terakhir kali Decapitated melepas album studio bertajuk ‘Anticult’ (2017) dengan perasaan campur aduk dan anti klimaks. ‘Cancer Culture’ sekaligus menjadi kiprah debut bagi drummer baru mereka, James Stewart yang baru saja direkut pada tahun 2019 lalu.

Sementara, hubungan mutualisme antara Vogg dan Machine Head berlanjut dengan hadirnya Robb Flynn selaku vokalis tamu pada lagu ‘Iconoclast’. Decapitated juga berhasil meyakinkan Tatiana Shmayluk, selaku vokalis Jinjer untuk menyumbang tarikan suaranya pada lagu berjudul ‘Hello Death’.

Dibanding dengan rilisan-rilisan pasca reformasi Decapitated lainnya. Secara musikalitas, ‘Cancer Culture’ menampilkan elemen paling ambisius, dinamis, dan memiliki atmosfir begitu dominan. Mereka tidak hanya mendorong setiap instrumen untuk mengeluarkan potensi terbaiknya secara teknikalitas. Lebih dari itu mereka mampu mengarahkan instrumen untuk menampilkan level emosional yang begitu berkarakter.

Decapitated-Cancer-Culture-Image-1

Tanpa bantuan alat instrumen tambahan seperti string, synth, keyboard, mereka mampu mengemas setiap riff, gempuran blast-beat masif, dan suara denyut bass menjadi sebuah aransemen musik epik dan sinematik. Penulisan lagu secara instrumen mengalami peningkatan level kreatifitas. Mereka banyak menembus batasan-batasan yang berada di luar zona nyaman mereka, dimana ini belum pernah mereka lakukan sebelumnya.

Setiap lagu tersusun atas bagian-bagian instrumen nonone-dimensional. Mereka selalu menghadirkan transisi berkelok-kelok untuk menghindari jurang kemotonan. Tentu, tidak semua transisi yang mereka terapkan selalu berhasil dalam mencairkan perpindahan antara segmen. Tetapi itikad dan niat baiknya dalam memberikan kreatifitas flow album ini patut diberi apresiasi. 

Sektor riff tidak lagi terlalu terpaku pada permainan pola-pola groovy chugging riff, yang hanya essential dari segi performa tetapi minim emosi. Vogg mengimplementasikan tremolo riff bernuansa black metal, melodi-melodi berkarakter jahat dari petikan clean guitar, liukan solo gitar bernada muram, dan pola-pola riff yang umumnya tidak ditemukan pada rilisan Decapitated terdahulu.

Anggapan bahwa Vogg sebaiknya segera mencari tandem gitaris untuk mengisi ruang kreatifitas pada departemen gitar, sirna sudah ketika mendengar album ini. Dengan hanya bermodalkan sayatan gitar tunggal dari Vogg, kekuatan gitar dialbum ini didorong secara maksimal baik dari segi teknik, tekstur, maupun level emosionalnya. Semuanya semakin disempurnakan dengan tone gitar yang memiliki karakter suara begitu jantan, tegas, dan sangat bersinar dari mix keseluruhan.

‘Cancer Culture’ mengembalikan performa drum exceptional dari Decapitated. Terakhir kali mereka mendapat sensasi serupa, ketika sang drummer asli, Vitek (R.I.P) masih menjadi penabuh drum bagi mereka. Jam terbang dan portofilio menjanjikan dari seorang James Stewart sangat berbanding lurus terhadap kinerja mengesankannya. Dia banyak menaruh fill-fill drum energik, dan beragam pada setiap sudut album. Ledakan blast-beat begitu menggleggar dalam menyalurkan antusiasme yang menggebu-gebu dan kegarangan membabi-buta.

Sampai titik ini tidak ada komplain dari segi produksi. Suara drum begitu menonjok dan berkarakter, sayatan gitar terdengar nyaring, teriakan vokal masih terdengar lantang meskipun kehadirannya terbayang-bayangi oleh sektor instrumen lainnya. Namun yang terpenting sektor bass masih diberikan sedikit  “nyawa” meskipun suara kebisingan dari instrumen lainnya merayap pada tempat-tempat utama dalam mix.

Baca Juga : Analepsy – Quiescence – Review

Album ini tidak hanya menampilkan flow dan instrumentasi begitu impresif, tetapi beberapa lagu dapat dijadikan sorotan utama untuk menilai musik mereka lebih komperhensif. ‘Cancer Culture’ membuka lagu begitu intens. setelah potongan interlude satu menit dari track ‘From The Nothingness With Love’ cukup memprovokasi. Kerja sama apik dari drum dan gitar sangat mendominasi di sini. Ketika sektor drum diberi mandat untuk menghujani dengan gempuran blast-beat tanpa henti. Secara inisiatif departmen gitar menempatkan tekstur dan permainan lebih variatif dan bergelombang di atasnya.

Namun mereka juga cukup meninggalkan ruang agar instrumen dapat bertransformasi menjadi lebih atmosferik dan emosional. Sayangnya sektor vokal masih terkubur di sini, dan performanya belum meninggalkan impresi yang membekas. Beranjak pada lagu berikutnya, ‘Just A Ciggrate’ meninggalkan kesan black metal begitu mengakar pada aransemen musik mereka kali ini. Tremolo riff dengan blast-beat bertempo mid-paced berseliweran dan menghasilkan aura grim nan gelap.

Suaranya terdengar seperti Behemoth maupun Hate secara komposisional instrumen. Kehadiran solo gitar dengan pesan melodi bernada muram dan memiliki kesan misterius menggenapi bahwa Decapitated saat ini tengah menyebrang pada sisi yang lebih gelap. Melompat pada track ke-5, ‘Hello Death’ Decapitated memulai lagu dengan penempatan groovy riff yang begitu menonjok sekaligus memberikan kesan membingungkan. Riff-riff dengan ketukan ¼ dipotong-potong dan disatukan bersamaan ledakan blast-beat membara.

Tatiana mengisi posisi vokal pada lagu ini, dan peranan vokalnya cukup vital di sini. Meskipun awal kemunculan vokalnya masih mengagetkan dan tidak terdengar klop pada awalnya. Namun memasuki akhir chorus ketika vokalnya diduetkan bersama sang vokalis utama, Rasta justru menampilkan performa penting dan selling point pivotal dari lagu ini.

Sektor instrumen berperilaku lebih progresif dan perubahan tempo bersifat lebih radikal. Sebuah tindakan penyesuaian untuk Tatiana, karena dirinya terbiasa menyanyi dengan kondisi setup instrumen serupa bersama Jinjer. Dapat dikatakan lagu ini memberikan momen penting untuk sektor vokal, meskipun instrumen bekerja dengan baik seperti biasanya.

Tanpa meberikan jeda berlama-lama, ‘Iconoclast’ menerjang begitu kuat.Salah satu lagu dengan opening begitu ikonik dan memorable dalam jajaran album ini. Permainan riff Vogg berada di ambang elemen persimpangan antara death metal, thrash metal, prog metal, dan groove metal di sini. Meninjau peranan vokal Robb Flynn, tarikan suaranya lebih memberikan nuansa atmosferik dan meningkatkan level emosional pada lagu. Kehadirannya cukup penting di sini, karena instrumen bergerak lebih straightforward dan tidak banyak menonjolkan twist memukau.

Lagu lainnya yang menjadi sorotan utama adalah lagu berdurasi pendek lainnya, ‘Locked’. Vogg kembali bereksperimen dengan bunyi-bunyian gitarnya, dimana kali ini ia memanipulasi suara gitarnya agar terdengar lebih menjerit. Vogg berusaha membuat elemen riff-riff math-hardcore bekerja terhadap ketukan drum yang lebih menggilas kali ini. Sayangnya upaya tersebut belum bekerja secara optimal, karena pada pertengahan lagu, mereka justru menurunkan tensi, sebelum akhirnya meledak kembali di akhir lagu.

Dengan menerapkan scenario what if, ‘Locked’ bisa saja disulap agar memiliki komposisional instrumen full-grinding layaknya Full of Hell, namun dikemas dalam tekstur berkarakter groovy dan clean secara produksi. Komplain terbesar mungkin ditunjukan pada lagu ‘Suicidal Space Programme’ yang memiliki intro terlalu bertele-tele dan secara transisi terkesan hambar.

Komplain lainnya ditujukkan pada lagu terakhir, ‘Last Supper’. Secara performa, lagu tersebut masih menampilkan konsistensi dalam memberikan getaran. Tetapi secara momentum, lagu terakhir tidak berhasil memberikan rasa klimaks memuncak. Dengan kata lain berakhirnya ‘Cancel Culture’ tidak terlalu memberikan wow factor kuat pada penghujung album, dan memiliki kesan menggantung.     

Tetapi secara garis besar, saya sangat menikmati flow keseluruhan album. Instrumen dikonsepsi dan dikemas secara baik dari segi performa maupun output sound. Suaranya terdengar lebih detil, berkarakter, dan memiliki tujuan lebih terarah. Performa instrumen secara individu maupun kolektif memiliki kinerja baik dan menampilkan konsistensi bernilai positif. Saya rasa sektor vokal mengalami peningkatan, karena dikemas dalam emosi yang lebih raw dan meledak-ledak. Itu juga secara tidak sengaja meningkatkan level permainanvokal, sehingga bisa diandalkan dalam menyalurkan rasa amarah lebih buas. 

Rating : 8.2 / 10

Baca Juga : Mengapa Stormkeep Begitu Populer?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link