Pure Wrath – Hymn to the Woeful Hearts – Review
Pure Wrath menggunakan tragedi, kegelisahan, dan ketidakberdayaan untuk melukiskan apa arti kehilangan sesungguhnya. Hal yang dirasa paling ampuh untuk menceritakan kehilangan, ketika hal tersebut sudah pernah dirasakan dan dijalani sebelumnya. Menjadi sebuah pembelajaran untuk tidak pernah menyia-nyiakan apapun, sebelum semuanya hangus terbakar dalam kobaran api kehancuran.
Selama 3 dekade lebih, black metal suskes dalam memainkan perannya sebagai tokoh antagonis. Peran dan posisinya sebagai salah satu sub-kultur terpinggirkan selalu menyampaikan pesan-pesan yang bersebrangan dengan pemahaman dan kepercayaan dari mayoritas masyarakat global. Black metal mengkultuskan atas nama kegelapan, bahwa hal tersebut adalah satu-satunya hal yang dapat mengantarkan manusia pada kebebasan individu secara absolut. Menentang eksistensi kepercayaan simbolis Agama kepada sang khalik, karena menurut mereka Agama hanyalah penghambat yang mengekang kebebasan dan kehadirannya hanya merusak tradisi asli leluhur yang sudah ada dan diwarisi dari generasi ke generasi.
Tidak jarang butir-butir statement yang menyatakan oposisi terhadap Agama ditindaklanjuti dengan aksi-aksi teror ekstrimis. Nampaknya tidak perlu lagi dibahas lebih rinci, mengenai tindakan-tindakan ekstrimis yang dijalankan secara konkrit ini. Seiring berjalannya waktu, black metal mengalami perluasan topik bahasan yang tidak melulu membahas mengenai pertentangan agama.
Black metal tak ayal berevolusi menjadi kendaraan politik untuk para ekstrimis kiri dan kanan dalam menyuarakan aspirasinya. Kemudian black metal juga digunakan oleh para “penyair” berpandangan nihilis, pro-mortalisme dan misantropi untuk menalarkan pandangan dan moralnya mengenai kehidupan, eksistensi manusia, dan pesimisme. Penafsiranya semakin berkembang, tetapi pesan, dan posisi dari musik black metal selalu sama di mata masyarakat awam yakni sebagai tokoh antagonis.
Tetapi kali ini, one-man black metal asal Bekasi, Pure Wrath memperlakukan black metal dengan sudut pandang dan posisi berbeda. Lewat album studio ke-3 nya berjudul ‘Hymn to the Woeful Hearts’, band yang dimotori oleh Januaryo Hardy (Ryo) ini berusaha mengungkap sebuah fakta dan sejarah kelam bangsa Indonesia yang selama ini ditutupi dan disembunyikan kebenaraanya.
Pure Wrath mengangkat tema genosida tahun 65, yaitu sebuah tragedi yang menimpa bangsa Indonesia pasca meredanya gerakan partai komunis di Indonesia atau akrab dengan sebutan PKI. Propoganda mliter, kepentingan politik tertentu, dan hasutan bahwa PKI akan bangkit kembali bila tidak ditumpas hingga ke akar telah berhasil menyulut kekerasan dan pembantaian terhadap orang-orang yang diduga komunis.
Pembantaian skala kecil maupun besar terjadi di hampir seluruh wilayah kepulauan dan tidak jarang orang yang tidak memiliki keterlibatan dituduh sebagai simpatisan PKI turut menjadi korban. Aksi genosida 65 ini telah memakan korban jiwa ratusan ribu bahkan hingga jutaan jiwa, tetapi fakta ini baru terkuak ketika masa pemerintahan orde baru berakhir, bahkan pemberitaanya pun tidak masif.
Upaya yang dilakukan Pure Wrath agar generasi penerus mengetahui kebenaran dan membuka pikirannya setidaknya telah merubah peran black metal dari antagonis menjadi anti-hero. Meskipun menyampaikan sebuah fakta dan berita kebenaran, tetapi aura kegelapan, kepedihan dan rasa ingin balas dendam masih terlukiskan dalam musik Pure Wrath dengan gamblang.
Baca Juga : Choria : A Dismal Repertoire Review
Pure Wrath sejatinya sudah mengangkat peristiwa genosida 65 ketika melepas EP bertajuk ‘The Forlorn Soldier‘ pada tahun 2020 lalu. Tetapi pada album ‘Hymn to the Woeful Hearts Pure Wrath mengangkat tema yang lebih mengerucut meskipun benang merah dan latarnya masih menceritakan peristiwa serupa. Sesuai dengan penjelasan Ryo bahwa album ini didedikasikan untuk seorang wanita tua yang menjadi saksi hidup dari tragedi genosida 65. Wanita sekaligus ibu ini harus kehilangan putranya dalam tragedi tersebut. Putranya dituduh sebagai simpatisan PKI, diculik, dan kemudian dibunuh secara tragis.
Tidak ada rasa yang muncul selain daripada rasa sedih, frustasi, marah, dan balas dendam terhadap apa yang sudah terjadi. Pure Wrath menggambarkan kondisi tersebut dengan formula musik yang berani dan berbeda daripada materi-materi terdahulunya. Pure Wrath mengambil langkah perbedaan mulai dari struktur musiknya yang terdengar lebih straightfoward, dan intens. Tremolo riff dikonsepsi dengan picking lebih cepat, membentuk melodi-melodi semakin pekat yang nampaknya bersatu padu dengan rasa amarah.
‘The Cloak of Disquiet’ membuka album dengan petikan akustik gitar yang dibarengi dengan permainan cello menyayat dari Dice dan suara kobaran api. Mengembalikan rasa nostalgia, tetapi kali ini bukan rasa nostalgia akan kerinduan terhadap tanah air yang dirasa, melainkan membuka sebuah luka lama yang tidak akan pernah dapat terobati.Selang berapa detik kemudian muncul tremolo riff dengan melodi mendayu-dayu yang menimbulkan rasa deja-vu akan karya-karya dari Aorhlac maupun band sejenisnya.
‘The Cloak of Disquiet’ menampilkan dua kondisi berbeda yang ditempatkan pada satu lagu. Kondisi kegelisahan, dan sedih dari korban direpresentasikan dengan tekstur musik leibh sinematik, mid-paced tempo dan bernada murung. Sedangkan aksi kebrutalan, dan pembantaian terhadap korban diwakilkan secara eksplisit dengan tempo musik lebih cepat diiringi oleh dentuman Yurii Kononov yang lebih membabi buta.
Di atas kertas, mungkin Pure Wrath dikenal sebagai band pengusung atmospheric black metal, terlebih kedua album sebelumnya memang cenderung mengarah kesana. Tetapi ‘Hymn to the Woeful Hearts’ mengalami pergeseran, dimana Pure Wrath mengekspansi teritori musiknya ke ranah melodic black metal, symphonic black metal dan tidak jarang juga menampilkan struktur musik tradisional black metal. Ambil contoh lagu ketiga berjudul ‘Preseges From a Restless Soul’, dimana sektor riff dan transisi antar riff section mengambil pendekatan ranah melodic black metal dan traditional black metal.
Riff demi riff masuk bergantian namun selalu dengan end–up serupa yaitu menghasilkan harmonisasi dengan melodic passages yang mengalun-ngalun sedih. Transisi antar riff section terbilang lebih intens dan rapat jaraknya, namun tetap mampu menjaga konsistensi emosi dalam parade kesedihan.
Tentu ada elemen musik dari ‘The Forlorn Soldier’ yang masih dipertahankan seperti elemen simfonik dari perpaduan dentingan piano Dice Midyanti dan vokal choir bertekstur berat, hingga permainan drum Yurii Kononov yang dirasa mampu menampilkan tekstur drum lebih organik dan memiliki banyak vocabulary fill drum dalam mengisi setiap bagian lagu. ‘Years Of Silence’ & ‘Footprints Of the Lost Child’ menjadi 2 lagu yang memiliki formulasi sejalan dengan EP ‘The Forlorn Soldier’.
‘Year Of Silence’ membiarkan satu setengah menit pertama dirasuki dengan tempo straightfoward dan menggebu-gebu sebelum momen demi momen penting mulai berdatangan. Dentingan piano Dice dipertengahan lagu, dengan melodi gitar lebih tebal sekelebat mengingatkan akan style Insomnium ketika menggarap album ‘Winter’s Gate’.
‘Footprints of The Lost Child’ menampilkan lagu dengan transisi paling lamban dan lebih sabar. Komposisi lagu dirasa memiliki elemen classical dan folk yang paling kuat jika dibanding lagu lainnya. Rasanya seperti perpaduan Pure Wrath pada era ‘Sempiternal Wisdom’ dan ‘The Forlorn Soldier’. Kolaborasi dari akustik gitar, iringan keyboard, dan choir minimalis sangat membantu dalam menghidupkan suasana di album dan juga menambah dinamika keberagaman tekstur daripada lagu ‘Footprints of The Lost Child’.
‘Those Who Stand Still’ menjadi bentuk sebuah konsekuensi bagi mereka yang mengetahui kebenarannya namun memilih bungkam dan seperti tidak memiliki rasa bersalah dan tanggung jawab sedikitpun. Diletakkan di hampir penghujung album, lagu ini menampilkan emosi amarah yang paling memuncak, rasanya seluruh emosi balas dendam yang sudah terkumpul sedikit demi sedikit di bagian lagu lainnya, tumpah dengan totalitas pada lagu ini. Narasi vokal Ryo pun semakin pekat, dan menggila, apalagi teriakan pada pertengahan lagu merepresentasikan rasa amarah yang sudah tak dapat lagi terbendung.
Album ditutup dengan sebuah lagu instrumental berdurasi 3 menit, dengan judul yang diambil dari nama album ini. ‘Hymn To The Woeful Hearts’ kembali menampilkan permainan cello dari Dice, dan juga musisi tamu lainnya, Nick Kushnir yang menjadi additional gitar pada lagu tersebut. Setelah semua apa yang dilalui oleh wanita tersebut pada bab-bab sebelumnya, lagu ini seolah merepresentasikan bahwasanya dia harus merelakan kenangan terindahnya hangus terbakar dan menyatu menjadi debu.
Meskipun berat rasanya untuk meninggalkan itu semua, dimana hasrat balas dendam yang bercampur dengan ratapan penderitaan hinggap dalam dirinya selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tetapi hanya itu yang dia dapat dilakukan dan berharap agar kebenaran dapat segera membuka banyak pasang mata, sehingga kejadian serupa tak lagi terulang di kemudian hari.
Overall, Pure Wrath lebih jeli dalam penempatan setiap elemen musiknya yang menyesuaikan dengan kondisi emosi yang dikeluarkan. Pure Wrath tidak berpikir naif agar semua elemen musiknya dipaksakan berada dalam koridor atmospheric black metal. Hal ini yang membuat album ‘Hymn To The Woeful Hearts’ dirasa mampu menyalurkan emosi yang lebih surreal dan menonjol secara keseluruhan, semua pesan emosi yang ingin disampaikan, semuanya tersalurkan dengan baik.
Hanya berbekal 6 lagu. tetapi Pure Wrath mampu menampilkan range emosi yang luas dan mendetail. Misalnya lagu ‘Those Who Stand Still’ dikhususkan untuk mengumpukan aura-aura kemarahan menjadi satu dan menyeluruh, sementara lagu seperti ‘Preseges From a Restless Soul’ justru menampilkan sisi melankolis dengan tidak henti-hentinya memberikan melodi-melodi bernada murung.
Keseluruhan album memiliki momen penting yang tersebar merata. Terkadang bagian-bagian eargasm dapat ditemukan pada awal, pertegahan, hingga akhir lagu membuat runtime keseluruhan album ini jauh dari kesan monton, dan sangat berpotensi menjadi album yang layak diputar secara berkala. Kualitas produksi sudah tidak diragukan lagi, terutama pada sektor akustik gitar, dimana kali ini suaranya sudah tidak lagi terkesan flat, tone nya terkesan lebih muncul dan natural.
Pure Wrath menggunakan tragedi, kegelisahan, dan ketidakberdayaan untuk melukiskan apa arti kehilangan sesungguhnya. Hal yang dirasa paling ampuh untuk menceritakan kehilangan, ketika hal tersebut sudah pernah dirasakan dan dijalani sebelumnya. Menjadi sebuah pembelajaran untuk tidak pernah menyia-nyiakan apapun, sebelum semuanya hangus terbakar dalam kobaran api kehancuran.
Rating : 8.5 / 10
Baca Juga : Gerogot : Heading to Eternal Review