2022Black MetalMetalReviews

Predatory Light – Death and the Twilight Hours – Review

Predatory-Light-Death-and-the-Twilight-Hours-Album-Cover

Predatory Light, melalui catatan ke-2 nya bertajuk “Death and the Twilight Hours” mencoba untuk menyikapi kematian dari berbagai pemahaman. Kematian mungkin saja bisa dianggap sebagai tokoh antagonis dalam siklus kehidupan, tetapi kematian juga dipercaya dapat memperkuat elemen teologis dan moral, sehingga manusia mampu menghadapi kematian dengan memiliki rasa hormat, kesiapan dan keberanian.

Membayangkan adegan pemisahan jiwa serta pembusukan raga bisa jadi dapat merangsang sekelompok manusia untuk merasakan kengerian berlebihan dan hal-hal paling buruk yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Konsepan dari titik temu dan signifikansi manusia terhadap menerima kenyataan bahwa kematian merupakan sebuah wujud refleksi yang mempertanyakan pencapaian eksistensialisme setiap individu masih sulit diterima. Kebanyakan manusia terlalu sibuk bermasturbasi dengan fantasinya yang mengungkap bahwa kematian sebagai wujud apokaliptik yang berusaha merenggut dan menghancurkan apa yang mereka anggap baik.

Jika orang-orang memiliki makna yang sempit dalam mengartikan kematian sebagai akhir dari segalanya, lain halnya dengan apa yang dipikirkan oleh pasukan black metal asal Seattle, Predatory Light. Melalui catatan ke-2 nya bertajuk “Death and the Twilight Hours”, Predatory Light mencoba untuk menyikapi kematian dari berbagai sudut, literatur, dan pemahaman. Kematian mungkin saja bisa dianggap sebagai tokoh antagonis dalam siklus kehidupan, tetapi kematian juga dipercaya dapat memperkuat elemen teologis dan moral, sehingga manusia mampu menghadapi kematian dengan memiliki rasa hormat, kesiapan dan keberanian. 

Predatory Light menggunakan lukisan Trionfo Della Morte untuk membantu mereka dalam menginterpretasikan gambaran kematian yang memiliki pemahaman lebih luas. Kematian digambarkan sebagai sosok tengkorak penunggang kuda mengerikan yang menggenggam sebuah busur dan siap memanah kerumunan orang di bawahnya. Sementara kerumunan orang merepresentasikan reaksi orang dalam menghadapi kematian. Rasa takut, acuh tak acuh, waspada, dan meratap semuanya terekam jelas dalam lukisan kuno abad pertengahan asal Italia tersebut.

Predatory-Light-Trionfo-Della-Morte

Ini seperti mengisyaratkan bahwa Predatory Light tidak mencoba merasa sok bijak dengan mengatakan bahwa kematian merupakan hal yang tidak perlu dirisaukan. Mereka hanya berusaha mencoba memberi gambaran secara universal dan sekali lagi interpretasi mengenai kematian dikembalikan pada penafsiran dari masing-masing individu. Namun sedikit intermezzo, “Death and the Twilight Hours” merupakan siklus kelanjutan dari album debut mereka, yang dirilis 6 tahun lalu. Pada “self-titled” mereka menerangkan tentang proses kelahiran dan transformasi manusia yang datang dari dunia kegelapan. Sementara album ini lebih menceritakan tentang proses manusia menuju titik akhir dari transformasi dan kembali menuju pada kegelapan. 

Tidak mengherankan mengapa kali ini Predatory Light menyajikan seruan musiknya dengan pendekatan atmosfer lebih gelap, diiringi oleh sayatan melodi gitar yang menghantui dengan firasat buruk. Ada beberapa unsur yang dimodifikasi dari pendahulunya, sehingga dapat menciptakan aura kegelapan lebih surealis. Perombakan terjadi dalam skala masif, tetapi tidak mengubah sedikitpun inti dari konsep awal musik Predatory light. Alih-alih melakukan daur ulang terhadap musik-musik black metal gelombang ke-2 yang sudah disisipi dengan banyak aturan baku dan batasan, Predatory Light memilih untuk kembali menggali konsepan musik black metal pada akarnya. Tidak mengherankan secara struktur riff, penyisipan melodi, hingga struktur musik mereka memiliki karakteristik yang lebih tradisional dan old-school. Mereka seperti berjalan mengitari tiang gantungan yang digambarkan oleh Candlemass, menggenggam mantra-mantra okultisme dari Mystifier, serta menghadirkan pengaruh dari Master’s Hammer selaku algojo yang menghukum secara kejam dan bengis. 

Meskipun alur dan pemanfaatan sumberdaya berasal dari musik bergaya metal klasik seutuhnya, namun mereka tidak sedikitpun terperosok dalam pola-pola musik usang dan membosankan. Penyatuan konsepan doom metal, traditional heavy metal serta black metal terasa lebih matang di sini, karena Predatory Light mampu membuat ketiga unsur tersebut bergerak secara sinergis, dan tidak menimbulkan kesan bahwa salah satu dari elemen tampil mengintimidasi. 

Predatory-Light-Photoshoot

Silahkan simak lagu pembuka, “The Three Living and the Three Dead” yang memiliki durasi mencapai 13 menit. Predatory Light membuka lagu dengan lead-lead gitar doomy, hentakan drum menggelegar, serta sepotong suara ambient yang menambah aura mistis. Namun semuanya berubah seketika ketika gempuran blast-beat, dan vokal masuk untuk menaikan adrenalin dari tempo musik. Sesi instrumen tidak berhenti bergerak secara hiperaktif dan barangkali Predatory Light menciptakan transisi gaya bebas penuh improvisational seolah semuanya tidak direncanakan. Bagian lamban, liukan lick gitar, akustik gitar, hantaman blast-beat semuanya seperti datang secara mendadak dan selayaknya kematian, kita tidak dapat memprediksi apa yang terjadi setelahnya.           

Selain menciptakan begitu banyak transisi naik-turun membingungkan, Predatory Light acap kali menciptakan bagian-bagian instrumen yang mungkin belum terpikirkan oleh band-band metal klasik pada jamannya. Mereka seperti sekumpulan time traveller yang menjelajahi masa lampau dengan lorong waktu untuk menciptakan sesuatu yang belum eksis pada saat itu. “Wracked by Sacred Fires” bisa menjadi catatan untuk membuktikan hal tersebut, ketika mereka mencoba mengadopsi ketukan D-beat yang diprogram ulang dengan sentuhan tempo lebih lambat menjelang akhir lagu. Hasilnya lagu tersebut mampu menghasilkan salah satu momen outstanding bagi departemen drum. 

Baca Juga : Saidan – Onryo II : Her Spirit Eternal – Review

Sejak mereka begitu memuja terhadap gaya extreme metal eropa yang lebih tegas dan berat, Predatory Light juga memiliki hubungan erat dengan karya-karya musik klasik. Mereka bermaksud untuk menghadirkan kembali karya-karya musik klasik bertemakan pemakaman seperti karya “Toccata and Fugue in D Minor” milik Bach maupun “Marche Funebre” milik Chopin. Alih-alih menirunya dengan begitu representatif dan gamblang, Predatory Light mencoba menghadirkan nuansa serupa dengan menggunakan pendekatan metaforik.Tidak mengherankan mengapa lagu “Death and The Twilight Hours” selaku lagu ke-3 banyak menonjolkan melodi-melodi jahat yang tampak cocok seperti sebuah kidung pengiring ritual pemakaman yang membuat bulu kuduk merinding. Sektor bass lebih membusungkan dadanya kali ini, karena berani menonjolkan permainan yang lebih dominan dengan denyut nadi lebih kencang, Ini seperti seorang Geezer Butler yang secara berani mengomandoi dan mendampingi permainan lead gitar Iommi bersama Black Sabbath.

Album ditutup dengan lagu “To Plead Like Angels” yang memiliki kecenderungan struktur yang straightforward dibandingkan ketiga lagu sebelumnya. Tetapi di sini mereka meningkatkan sisi memorability pada sektor riff gitar dengan melakukan pengulangan yang berkala di sepanjang alur. Lagu ini menghadirkan akhiran dengan perasaan klimaks, bersamaan dengan kembalinya potongan musik ambient yang kembali dikumandangkan, menandai proses berakhirnya pemisahan jiwa spiritual dari bentuk raga yang fana. 

Berkaca pada itikad baik mereka untuk mencoba menghidupkan kembali antusiasme terhadap gaya klasik metal yang dipenuhi nuansa vintage dan analog, kualitas keseluruhan pada album ini mampu merealisasikannya dengan baik. Terlebih pada sektor gitar, dan drum yang dirasa mampu menonjolkan tekstur organik dan tidak banyak diintervensi oleh proses digitalisasi sinyal suara. Mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi hanya untuk mengkurasi kejernihan suara yang dihasilkan, sehingga tidak berkaitan merubah tatanan tekstur dan nuansa setiap lagu. 

Jika anda datang dengan mindset untuk mendengarkan musik metal bernuansa old-school, saya rasa tidak akan ada banyak komplain yang ditujukan kepada album ini. Walaupun ada, komplain tersebut lebih bersifat spekulatif yang sangat bisa diperdebatkan. Saya merasa bahwa sektor vokal tidak begitu banyak terlibat lebih lanjut dalam memberikan warna-warna pembeda. Pola maupun olah warna vokal pada setiap lagu cenderung statis dan tidak berkembang, sehingga perananan vokal hanya sebatas pelengkap yang tidak begitu peka dalam menarasikan setiap nuansa yang terjadi. 

Rating : 8.0 / 10

Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link