Saint Ali – From the Seashore of Barus to the Firmament of Debata – Review
Saint Ali seperti mencoba untuk memberitahukan bahwa anda dapat melakukan perjalanan spiritual di tanah manapun anda berpijak. Tetapi anda harus menerima konsekuensinya, bilamana perjalanan tersebut tidak sesuai dengan ekspetasi yang diharapkan.
Semenjak stoner rock kembali marak dengan ditandai munculnya regenerasi band yang melabeli dirinya sebagai band stoner. Banyak “expertise” musik dengan lantangnya melayangkan kritikan bahwasanya musik jenis ini miskin kreatifitas dan terdengar seragam antara satu sama lain. Saya yang melihat dan mendengar hal tersebut hanya berharap bahwa mereka tahu apa yang sedang mereka perbuat. Mengharapkan musik stoner rock melakukan eksplorasi out of the box dan 180 derajat berbeda dari pakem tradisionalnya sama saja seperti mengharapkan jackpot dalam permainan judi slot. Terkadang anda bisa saja meraihnya, tetapi persentase kemungkinannya 80 : 20.
Penekanan musik stoner rock tidak tertuju ke sana. Stoner rock menawarkan sebuah perjalanan imajinatif yang terkadang terasa spiritual, tetapi juga dapat menjerumuskan ke dalam nilai-nilai absurdisme dari imaji liar. Secara sadar atau tidak, sebenarnya musik stoner rock ini bukanlah merupakan akar musik rock, melainkan produk akhir dari hibridisasi beberapa jenis musik rock bahkan metal. Tempo lamban, groovy bassline, repetisi riff frequent, serta tone gitar tebal diadopsi dari musik doom metal. Sedangkan gaya produksi retro, tekstur melodik vokal mengawang-ngawang semuanya diadopsi dari perpaduan musik acid rock dan psych rock. Elemen-elemen musik stoner sudah menyatu antara satu dengan lainnya, sehingga rasanya tidak adil jika masih muluk-muluk berharap untuk mengeksplorasi musik stoner lebih jauh lagi.
Tantangan tersendiri dari para pengusung stoner rock sejatinya terletak bagaimana hasil eksekusi keseluruhan album. Bagaimana mereka menghandalkan formula musik yang sudah tersedia namun dapat menciptakan sebuah perjalanan trandsetral spritual yang dapat menghubungkan jiwa, emosi dan raga pendengar untuk fokus seluruhnya kepada setiap perkataan dan nada yang keluar dari musiknya. Sekelompok pemuda nampaknya tertarik untuk menjalankan tugas khusus tersebut dengan mengambil langkah konkrit yakni mendirikan sebuah band stoner bernama Saint Ali yang berdomisili di Medan.
Pada laman bandcamp resmi mereka, Saint Ali menasbihkan dirinya sebagai band pengusung doom, dengan memberi disclaimer bahwa meski berlabel doom, mereka tidak sepenuhnya “menjual jiwanya” ke dalam kubangan musik keputusasaan yang dilarutkan dalam tempo kematian dan repetisi riff bernada suram tersebut. Melonggarkan kreatifitasnya agar tidak terlalu terkekang dengan pakem doom, mencoba melebarkan sayapnya ke ranah musik psych rock dan stoner rock. ‘From the Seashore of Barus to the Firmament of Debata’ menjadi judul yang dipilih untuk mendeskripsikan petualangan epik yang tersaji ke dalam 5 buah lagu di album ini.
‘From the Seashore of Barus to the Firmament of Debata’ secara eksplisit menggunakan tema sebuah perjalanan spiritual manusia sebagai underlying daripada cerita garis besar dan konsep keseluruhan album. Menggunakan metafora perjalanan spiritualnya dengan mulai mengarungi pantai laut barus, hingga pergi menuju cakrawala yang merupakan tempat tinggal dari Debata atau dalam kebudayaan Batak,adalah para Dewa.
Sejak lagu pertama mula berkumandang, Saint Ali tidak menjanjikan sedikitpun bahwa perjalanan ini akan terasa rigan dan tanpa tantangan. Lagu berjudul ‘The Shoreline’ langsung menggambarkan darimana perjalanan spiritual ini dimulai. Sebuah deru ombak tepi laut yang keras menghantam diterjemahkan ke dalam raungan distori gitar yang dilimpahi dengan efek fuzz. Membentuk dinding tebal dengan tekstur suara drone, dan teknik slide gitar terkadang masuk untuk memberikan arus ombak berlawanan arah. Selang beberapa detik kemudian lead gitar masuk untuk memperjelas, bahwasanya kita tidak sedang menepi di tepi laut dengan langit cerah. Sayatan lead gitar terdengar gelap, suram, dan seperti menandakan akan ada badai hebat segera datang.
‘Storming the Storm’ mengaminkan tanda yang sudah dibentuk pada lagu pertama, tanpa basa-basi menghardik dengan head riff bertempo tertatih-tatih menandakan badai sudah tiba dihadapan wajah. Sang penabuh drum secara konstan memukul simbalnya seolah membentuk pola curah hujan. Teknik pengambilan suara vokal yang dibanjiri dengan efek echo, semakin mengombang ambingkan ke dalam pusaran badai, dan geraman bass semakin menenggelamkan ke dasar lautan. ‘Storming the Storm’ terasa terdengar seperti 2 buah lagu, namun strukturnya masih terkesan kohesif. Pada bagian ke-2, lagu dimulai dengan tone bass yang lebih menggeram, dan riff berubah pola permainannya dengan tekstur powerchord tipis.
Saint Ali memberi kesempatan lebih dari cukup untuk dapat mengingat setiap bagian riff yang dimainkan. Karena ketika mereka memutuskan untuk beranjak ke section riff lainnya, mereka tidak lagi pernah mengulang bagian yang sudah dimainkan sebelumnya. Lagu ‘The Armament’ secara berani hanya menampilkan 2 head riff yang berjalan selama 13 menit. Sedikit memasukan motif dan varian interval nada berbeda, tetapi alurnya tetap berada di sekitaran kedua riff utama tersebut. Kali ini Saint Ali malah lebih memperlihatkan bahwasanya komposisi musiknya justru lebih condong ke ranah musik stoner doom ala Sleep dibandingkan riffing-riffing demonic ala Black Sabbath. Parade penampilan bassline ciamik di tengah lagu semakin menguatkan bahwa Saint Ali mencoba menonjolkan hampir segala lini musiknya agar masing-masing wilayah instrumen menampilkan spesialisasinya.
Baca Juga : Musisi Lokal Yang Wajib Didengar : Alienslaugtherexisted, Inkpinku, Sorem, Jemala, Egoism
Diakhiri dengan suara derasnya hujan, ‘The Armament’ menandakan keberhasilannya untuk menembus badai dan tengah bersiap untuk menempuh petualangan selanjutnya. Side-B dibuka dengan lagu berjudul ‘Peruntus’. ‘Peruntus’ memiliki latar berbeda kali ini, suaranya terdengar lebih gelap dan ritualistik, ditandai dengan suara petikan bluessy gitar terasa lebih pekat. Raungan riff kali ini terasa lebih berat dengan bantuan topangan kuat dari geraman bass. Merujuk pada pemaknaan kata ‘Peruntus’, makna yang saya temukan dibalik kata ini adalah sebuah ilmu gaib tingkat tinggi yang dimiliki oleh suku Dayak, yakni ‘Cuaca Peruntus’.
Sebuah ilmu gaib dengan menyerang secara jarak jauh dan menghancurkan organ dalam mangsanya. Referensi lagu ini, tidak menceritakan langsung mengenai ilmu tersebut, tetapi mungkin lebih menceritakan dampak serupa yang ditimbulkan dari ilmu tersebut, yakni menceritakan kehancuran yang terjadi dari sisi internal setiap individu manusia. ‘The Firmament Murk’ menjadi lagu terpilih untuk menyudahi perjalanan spiritual ini. Format lagu berdurasi 7 menit ini cukup berbeda dibandingkan lagu-lagu lainnya. ‘The Firmament Murk’ menampilkan performa vokal di beberapa menit awal, dan menyisakan sisa durasi lagu pada bagian-bagian jamming instrumen.
Menggambarkan sebuah cakrawala dengan panorama keruh dan gelap sebagai kanvas, sedangkan secara bergantian efek suara noisy gitar, suara derap bass, dan hantaman drum sederhana membuat serangkaian palet warna dengan kontras dan tone berwarna gelap secara seragam. Rasanya ini seperti mengindikasikan bahwa perjalanan spiritual dalam pencarian Debata harus kandas. Dengan direpresentasikan oleh riuhan suara bising gitar, dan bassline yang semakin meliar dipenghujung lagu. Mengambarkan hanya ada sebuah cakrawala yang sudah diselubungi dengan kegelapan dan Debata masih berada dalam koridor kemisteriusannya.
Secara judul dan latar tempat yang diangkat terasa seperti sebuah perjalanan yang dikhusukan hanya untuk etnik tertentu. Tetapi secara pesan bawah sadar, Saint Ali nampaknya ingin menjelaskan sesuatu. Saint Ali seperti mencoba untuk memberitahukan bahwa anda dapat melakukan perjalanan spiritual di tanah manapun anda berpijak. Tetapi anda harus menerima konsekuensinya, bilamana perjalanan tersebut tidak sesuai dengan ekspetasi yang diharapkan.
Baca Juga : Gerogot : Heading to Eternal Review
Wohhooo! 🎸