2018DarkjazzDoom MetalMetalReviews

Messa : Feast For Water Review

Messa : Album Cover

Messa mampu merefleksikan emosinya ke dalam berbagai variabel musik yang berbeda. Semuanya dilakukan hanya untuk memberi gambaran nyata bahwa sisi gelap kehidupan selalu ada dan hinggap pada setiap individu manusia.

Perkenalan saya dengan “Messa” sebetulnya tidak jauh berbeda dengan segudang band metal ajaib yang saya temukan kebanyakan. Berawal dari pencarian ke berbagai situs, kanal youtube, maupun laman bandcamp berlabel metal. Hingga akhirnya saya dipertemukan dengan band pengusung doom metal asal Italia ini. Sebuah hal yang menarik perhatian saya untuk mencoba album full length ini terletak pada label tags dari genre mereka. Disebuah kanal youtube, mereka melabeli Messa sebagai musik yang memiliki perpaduan antara occult rock, doom metal, drone, darkjazz, dan atmospheric. Terdengar berlebihan awalnya, namun sepertinya hal tersebut yang sukses menjaring orang termasuk saya untuk mendengarkan “keunikan” dari hibridisasi musiknya.

Messa sejauh ini sudah dibilang cukup untuk menggemparkan scene underground doom metal jika berbicara konteks musiknya. Meskipun masih bisa dikatakan hingga saat ini, Messa belum mendapat atensi yang berlebih. Tetapi secara konsep musik dan songwriting, Messa sejatinya layak diperhitungkan sebagai salah satu band revivalis doom metal yang berdiri di garda terdepan. Style hibridasi dari berbagai sub kultur musik sejenis doom metal, drone, darkJazz, blues, sludge, hingga black metal sudah mereka perkenalkan sejak album debut mereka yang bertajuk “Belfry“. Album tersebut bagaikan sebuah retrospektif dari sebuah karya musik yang memiliki 2 sisi-koin. Sisi koin pertama menampilkan sisi aesthetic dan keindahan melody-melody yang gelap dan kelam dibalut dengan vocal Sara. Vokalnya mampu menarasikan nuansa kelam dan murung dibalik corak vocal dark-soul nya yang kental namun menghasilkan vocaline yang catchy dan ritualistik.

Lantas sisi koin lainnya menampilkan aura yang anger, apocalyptic, dan mengedepankan aspek heavyness. Seluruh unsur tersebut diterjemahkan ke dalam riff-riff dengan karakteristik yang berat, drony, dan sludgy. Definisi musik yang mereka tanamkan di album “Belfry” kembali di representasikan pada “Feast for Water”. Secara visi dan kedalaman dari ragam sound yang mereka bawakan, “Feast For Water” memang tidak berbeda jauh dengan “Belfry”. Tetapi mengingat timbre dan visi dalam melakukan eksplorasi tonal mereka yang memang cukup matang, sehingga eksekusi di album ini pun tidak terdengar homogenus atau seragam dengan album pendahulunya. Dari segi komposisi album kedua ini lebih dinamis dan mempunyai varietas instrumental dengan rangkaian nada yang mudah untuk diingat.

Baca Juga : Aorlhac : Pierres Brûlées Review

Messa :

“Naunet” membuka lagu dengan elemen minimalistik ambient. Suara deru air serta kebisingan yang “menganggu” di penghujung lagu menjadi isyarat bahwa album ini akan bercerita mengenai sebuah perjalanan spiritual yang penuh dengan nuansa kelam dan murung. “Snakeskin Drape” masih melanjutkan build up lagu pembuka, sebelum akhirnya mengeluarkan potensi sebenarnya. Riff-riff doomer berkarakter sludgy langsung menghempas keheningan yang tercipta sebelumnya. Sektor riff dan bass tidak terlalu banyak bereksplorasi dan lebih mengedepankan aspek repetitif dan minimalis. Elemen lead gitar yang lebih berperan dalam memainkan nuansa di lagu ini dengan harmony yang berwarna “hitam pekat”. Sementara vokal Sara seolah tidak terpengaruh dengan nuansa chaos yang dibuat, dia tetap bertahan dengan corak vokalnya yang datar namun bernada murung.

“The Seer” memiliki tendensi atmosfir yang semakin menjerat dalam pusaran nuansa gloomy dan penuh emosi negatif. Riffing sludgy langsung membuka lagu ini. Vokal Sara juga lebih ekspresif kali ini dengan mengeluarkan aura kemarahannya. Disaat emosi semakin memuncak tiba tiba muncul plot-twist bluesy solo gitar yang “bersinar”. Lick-lick pentatonik yang dipadukan dengan tone gitar telecaster seolah seperti membangkitkan kembali mendiang Albert Collins untuk berkolaborasi dengan mereka. “Leah” mempertunjukan sisi dinamisme dari komposisi musik yang mereka ciptakan. Sebuah lagu yang mampu mempertontokan pertunjukan aksi kabaret pengaduk emosi bagi setiap orang yang menikmatinya. Karisma dari vokal Sara bisa membawa setiap orang pada titik terendah kondisi emosionalnya, tetapi secara bersamaan juga bisa melonjakkan kondisi emosionalnya dalam hitungan detik.

“She Knows”, “Tulsi” adalah 2 track yang sebenarnya memiliki sebuah kesatuan yang utuh dan memiliki ikatan emosional yang saling melengkapi. “She Knows” lebih berfungsi sebagai sebuah track interlude. Meskipun ada riffing-riffing heavy yang dilibatkan tetapi nuansa yang ditawarkan lebih statis. Sebaliknya, “Tulsi” menawarkan sesuatu yang lebih kuat dan impulsif. Track ini juga yang bisa dikatakan track yang paling beringas di sepanjang album ini. Perpaduan blast-beat, growling vokal, dan riff dengan tone berat memberikan nuansa haunting tanpa henti. Setelah puas menebar “terror” seketika nuansa berubah menjadi melankolis dan tragis. Solo saxophone tiba-tiba memecah nuansa terror untuk memberikan nuansa melankolis yang tidak kalah impulsif dengan amarah yang sudah tertuang sebelumnya.

Dari segi production wise, elemen tersebut memberikan dampak yang sangat besar terhadap kesuksesan di album ini. Penggarapannya tidak terlalu overpolished sehingga dapat mempertahankan sisi-sisi aggresif, dan natural dari sebuah karya extreme metal. Namun yang menjadi pembeda adalah, segala segmen pada instrument sangat audibel, dimana setiap elemen bisa didengarkan dengan jelas, mendetail, dan clearly. Meski harus dikatakan secara overall konsep sound di album ini terdengar outstanding dalam artian tidak terdengar membosankan. Namun kelemahan di album ini terletak pada connection perubahan flow antara bagian satu ke bagian lainnya. Terkadang pada beberapa bagian track ditemukan suatu kondisi, dimana track seakan memiliki 2 entitas musik yang berdiri secara terpisah, sehingga bisa dibilang komposisi keseluruhan album ini tidak 100% menyatu kolektif.

Kelemahan lainnya terletak pada susunan tracklist. Ketika “Tulsi” sudah mampu memancarkan aura klimaks dan menjadi high-point album ini. 2 track sesudahnya, “White Stains”, dan “Da Tariki Taquat” terdengar plain dan sudah tidak ada wow faktor lagi yang tersisa dari 2 lagu tersebut. Porsi extreme metal di album ini juga tidak terlalu berbicara banyak, dan bukan merupakan sebuah “main course”. Sehingga mungkin bagi yang berekspetasi bahwa album ini akan menawarkan sesuatu yang berat dan ekstrim harus sedikit kecewa. Messa mampu merefleksikan emosinya ke dalam berbagai variabel musik yang berbeda. Semuanya dilakukan hanya untuk memberi gambaran nyata bahwa sisi gelap kehidupan selalu ada dan hinggap pada setiap individu manusia.

Rating : 8.5 / 10

Baca Juga : Emily Steinwall : Welcome To The Garden Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link