Yanti Bersaudara : Anggrek Merah Review
Yanti Bersaudara harus mengorbankan cinta besar akan kebudayaanya, hanya untuk mendapatkan cinta dari “Anggrek Merah” yang sudah mulai tampak layu.
Sound of Asia, sebuah label independent asal London, Inggris ternyata memiliki ketertarikan terhadap kultur musik di asia. Sound of Asia berhasil menemukan beragam harta terpendam berupa rekaman musik lawas dari berbagai wilayah Asia yang pasti akan membuat banyak orang, terutama di Asia berterima kasih kepada mereka. Dari berbagai katalog tersedia pada halaman bandcampnya, saya tidak mengira bahwa disana saya bisa menemukan beberapa katalog musik pop lawas Indonesia. Sound of Asia berhasil menemukan rekaman dari sejumlah penyanyi pop asal Indonesia seperti Annie Rae, Ernie Djoham, dan Yanti Bersaudara. Khusus untuk Yanti Bersaudara, Sound of Asia memiliki katalog lebih dari 1 judul album yakni album Self-Titled, Anggrek Merah, dan Sinbad.
Bagi yang tidak familiar dengan nama Yanti Bersaudara, mereka merupakan sebuah grup musik pop asal Bandung yang mulai aktif dan terkenal pada era 60’an. Yanti Bersaudara dibentuk oleh 3 gadis remaja kakak-beradik Yani, Tina, dan Iin. Nama Yanti sendiri diambil dari singkatan gabungan ketiga nama mereka. Tidak banyak dokumentasi ditemukan mengenai awal mereka merintis karirnya, tetapi menurut wikipedia ketiganya pernah bernyanyi untuk sebuah acara televisi di TVRI. Singkat cerita bakat ketiganya mulai banyak dikenal orang, hingga Soejoso Karsono pemilik label musik Irama saat itu, tertarik dengan bakat mereka. Soejoso atau akrab dipanggil mas Joe menawari mereka kontrak rekaman label album debutnya di Irama records.
Selepas merilis album debut bersama Irama Records, Yanti Bersaudara mengadakan banyak pertunjukan di berbagai wilayah Indonesia, sehingga namanya mulai dikenal luas. Pada tahun-tahun berikutnya mereka mulai bekerjasama dengan beberapa label luar diantaranya Polydor asal Jerman dan Philips asal Singapura. Bersama Philips, Yanti Bersaudara mencetak beberapa album EP dalam format vinyl 7 inch. Bersama Polydor, mereka merilis 2 album penuh yaitu Self-Ttled dan Anggrek Merah.
Baca Juga : George Benson : Livin’ Inside Your Love Review
Yanti Bersaudara membuat album Anggrek Merah dengan cita rasa berbeda dibandingkan album sebelumnya. Perubahan pada Anggrek Merah dibandingkan album terdahulunya datang dari berbagai fraktal komponen musik yang ada. Tetapi hal paling mendasar dalam menggambarkan garis perubahaan skala besar terletak pada sisi bagaimana Yanti Bersaudara menjelaskan perasaan dan karakternya yang diinterpretasikan ke dalam setiap bait liriknya. Pada album Self-Titled, pesona dan karakter Yanti Bersaudara sebagai kembang desa lugu dan polos begitu melekat. Album tersebut lebih berkisah mengenai kehidupan sehari-hari gadis desa bersama kawan-kawannya. Simak saja lagu-lagu seperti “Badminton” dan “Rarakitan”. Lagu tersebut hanya membahas permainan khas daerah dengan memiliki flow lirik layaknya seperti sebuah percakapan biasa.
Namun pada album Anggrek Merah, citra mereka sebagai gadis desa sudah memudar seutuhnya. Kembang desa lugu dan polos kini bermetamorfosis menjadi seorang gadis yang beranjak dewasa dan mulai mencari makna sebenarnya dari cinta. Hal ini menyebabkan kemorosotan pengaruh kultur sundanese pada album Anggrek Merah. Lirik-lirik album ini mayoritas lebih menekankan pada penggunaan bahasa Indonesia. Album ini mulai mengurangi jumlah lagu kover tembang pop sunda lawas, dan memperbanyak lagu hasil aransemen tim mereka sendiri. Sisi positifnya, pesan, nilai, dan makna dari setiap liriknya yang tersirat dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang merasa terwakili ketika mendengarkan album ini.
“Bagaikan Ia Tiada” lagu dengan lirik mengenai kekaguman seorang wanita terhadap lawan jenis. Dilatari dengan elemen gitar bluesy, dan saxophone solo jazzy muncul pada pertengahan lagu. “Bagaikan Ia Tiada” menceritakan kisah cinta bertepuk sebelah tangan, dimana seorang wanita tidak berani mengungkapkan perasaanya dan hanya bisa mengingat pria idamannya dalam hati dan pikiran. Akibatnya sosok pria tersebut diposisikan seperti seorang yang sudah meninggal. Karena wanita tersebut hanya bisa memimpikan keberadaan di hatinya tetapi wujudnya tidak pernah muncul dalam kehidupan sehari-harinya.
“Anggrek Merah”, dan “Mengenakan” menampilkan lirik cinta dengan pendekatan lebih gelap. Lagu “Anggrek Merah” memiliki vokal dengan getaran suara merinding dan elemen kibord psychedelic layer sound terkoyak-koyak. Sebuah latar lagu yang sangat cocok untuk mengisahkan kesedihan mengenai dilupakannya oleh seorang kekasih. Sementara lagu “Mengenakan” terdengar lebih pilu dengan iringan jazzy piano lusuh dan raungan bluesy gitar bernada sedih. Lagu mengayun secara tersedu-sedu menarasikan kesedihan akibat ditinggal mati seorang pujaan hati.
Berbicara mengenai konteks lirik cinta yang hampir melekat pada setiap tembang di album ini. Konteks cinta bagi Yanti Bersaudara tidak hanya selalu berpatokan menceritakan dan mengedepankan hubungan romantisme antara sepasang kekasih. Tetapi konotasinya lebih meluas ke berbagai rasa kekaguman terhadap berbagai subjek. Lagu “Salabatina” dan “Indahnya Alam” merupakan lagu bercerita tentang cinta dan kekaguman terhadap keasrian alam semesta. “Salabatina” menurut apa yang saya baca merupakan sebuah daerah, tempat rekreasi di Sukabumi. Yanti Bersaudara menunjukan kekaguman dan rasa cintanya terhadap Salabatina dengan mendeskripsikan susana musim bunga yang indah nan harum.
“Tidurlah Adik” merupakan lagu tentang kisah cinta sang kakak terhadap adiknya. Jika seandainya lagu ini dibuat ketika awal mula mereka baru membuat lagu. Mungkin alur lirik lagu ini hanya sebatas bercerita mengenai seorang kakak yang berusaha membuat adiknya terlelap. Tetapi disini memperlihatkan kedewasaan Yanti Bersaudara dalam menulis lirik dengan interpretasi makna lebih dalam. Tidak hanya berfokus pada kejadian sedang berlangsung, tetapi mereka memulai menggunakan imajinasi “cintanya” untuk membuat lirik dengan motif puitis.
Pergeseran konsep lirik dari semula bercerita tentang kesederhanaan dan keluhuran budaya sunda menjadi sebuah album romantis pop, ternyata berpengaruh besar terhadap jalur konsep musik di album ini. Scale-scale nada pelog sunda yang diimplementasikan pada vibraphone maupun melodi gitar sudah hampir tidak ditemukan lagi di album ini. Sebagai gantinya, band pendukung memasukan elemen-elemen blues, jazz, hingga rock’n roll. Ketiga substitute elemen musik tersebut terkesan lebih selaras flownya dengan elemen psychedelic / funk yang masih bertahan di album ini. Tetapi kesan merinding dan tripping pada album Anggrek Merah rasanya sedikit menurun. Lagu “Bunga Mawar” dan “Teringat Selalu” dua lagu yang memiliki adiksi terhadap peran dari gitar. Melodi-melodi gitar pada kedua lagu tersebut seolah menjadi komando utama untuk menggerakan warna kedua lagu tersebut.
Lagu dengan orientasi “guitar driven” paling saya suka di album ini adalah “Tiada Ragu”. Raungan rocking bluesy solo gitar pada awal lagu langsung menggairahkan nuansa lagu ini sejak detik awal. Selain itu di lagu ini, Yanti Bersaudara turut menampilkan performa dan improvisasi vokal terbaiknya. Jarang-jarang mereka mengeluarkan range vokal dengan oktaf lebih tinggi dan energi meledak-ledak seperti pada lagu ini. Lagu ini memiliki tekstur paling “keras” diantara keseluruhan tembang pada album Anggrek Merah.
Jadi apakah Yanti Bersaudara benar-benar menanggalkan unsur kebudayaan Indonesia pada musiknya? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya benar, karena mereka masih memasukan beberapa lagu dengan unsur kebudayaan Indonesia yang melekat. Perbedaanya mereka tidak hanya menceritakan mengenai kebudayaan sunda, tetapi kebudayaan Indonesia dari daerah lainnya. “Djanger” saya rasa memiliki lagu yang kuat kaitannya dengan unsur kebudayaan bali. Lagu “Tanase” memiliki cita rasa lagu bercorak musik-musik Indonesia bagian Timur. “Si Gareng” satu-satunya lagu yang mengangkat kebudayaan sunda pada album ini. Lagu tersebut menceritakan tokoh wayang golek bernama “Gareng”.
Melihat perubahaan yang terjadi pada musikalitas mereka di album ini. Saya memiliki kesimpulan tersendiri akan konsep dari album ini. Yanti Bersaudara harus mengorbankan cinta besar akan kebudayaanya, hanya untuk mendapatkan cinta dari “Anggrek Merah” yang sudah mulai tampak layu.
Baca Juga : Taylor Swift : Fearless (Taylor’s Version) Review