2014Death MetalMetalReviews

Twitch of The Death Nerve : A New Code of Morality Review

Twitch of The Death Nerve menawarkan komposisi death metal yang lebih mementingkan aspek technicality dibandingkan brutality. Tetapi berkat eksekusi yang presisi diimbangi dengan visi yang brilliant. Mereka dapat berdiri dengan kokoh di antara 2 entitas death metal tersebut.

Kilas balik di tahun 2014, tanyakan sesuatu mengenai musik metal kepada saya, maka semuanya akan saya jawab dengan 2 kata, “musik sampah”. Saat itu saya berpikir keras mengapa ada orang menyukai musik semacam ini. Saya bertanya pada diri sendiri apakah stok musik bagus diluaran sana menipis?, apakah mereka tidak tau jika diluaran sana ada chart musik papan atas bernama Billboard? atau memang selera musik mereka yang rendahan? Untungnya saat itu saya tidak memiliki satupun teman real life yang menyukai musik rock maupun metal. Sehingga saya tidak perlu repot-repot untuk mendebatkan hal ini semalaman suntuk atau mengadu skill berkelahi amatir untuk sesuatu yang tidak penting.

Tetapi rasa penasaran tersebut terus membuntuti dan menghantui pikiran saya. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan “riset” sendiri tentang mengapa orang menyukai musik metal. Saya mencoba mendengarkan lagu metal dari beberapa band. 1 bulan, 2 bulan, hingga 4 bulan tak terasa saya secara tidak sadar malah menjadi seorang “metalhead”. Sejak saat itu tidak ada hari tanpa musik metal bagi saya, bahkan saya hanya mau berbicara dengan orang asalkan topiknya mengenai musik metal. Terdengar cringe jika dilihat dari perspektif saya yang sekarang, tapi mungkin sebagian besar orang juga akan atau sedang mengalami fase ini.

Lantas musik metal jenis apa yang berhasil membuat saya tergila-gila pada saat itu? mungkin kalian bisa menebaknya dengan mudah dalam hati, yap musik-musik nu-metal sejenis Slipknot, Mudvayne, Deftones dan Linkin Park yang telah memikat saya untuk menikmati metal. Tetapi sub genre brutal death metal secara bersamaan juga menarik perhatian saya waktu itu. Tanpa menelusuri dahulu mengenai roots dari brutal death metal, saya langsung mencoba beberapa band secara random. Beberapa band yang saya masuk dalam playlist saya diantaranya, Aborted Fetus, Mortal Torment, dan Twitch of The Death Nerve. Saat itu saya sangat obsesif terhadap suara distorsi yang tebal, dan tensi kecepatan musik yang meledak-ledak.

Twitch of The Death Nerve memikat atensi saya melebihi dari Aborted Fetus dan Mortal Torment. Selain karena artwork album yang saat itu paling eye-catching diantara ketiganya. Pasukan brutal death metal asal U.K ini menawarkan sesuatu yang lebih agresif, heavy, dan bermanuver tinggi dengan menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Berbicara mengenai album debut mereka, “A New Code of Morality” mungkin bukan merupakan sebuah album brutal death metal essensial atau game-changer pada dekade 2010’an. Tetapi konsistensi dan solidnya materi yang ditawarkan saya rasa cukup untuk memuaskan para dahaga brutalheads.

Baca Juga : Cannibal Corpse : Violence Unimagined Review

Twitch of The Death Nerve : band

A New Code of Morality dibuka dengan sebuah track berjudul “Peculiar Perversions Particular to the Piquerist”. Sebuah intro sampling singkat yang membangkitkan nuansa horror movie classic langsung tercium sejak detik pertama. Tanpa berlama-lama lagi, trio brutal death metal ini langsung menggempur dengan blast-beat dan riff-riff groovy secara totalitas. Menit pertama berakhir, saya mengira bahwa mereka akan membawakan konsep sound brutal death metal yang gore dan nasty. Sound snare “raw” yang mengingatkan dengan style dari Gorgasm, Brodequin. Sementara riff-riff membuat motif chugging low tuned dengan aroma sound Disgorge dan early Defeated Sanity yang begitu mengakar kuat. Tetapi tebakan awal saya ternyata meleset, tiba-tiba mereka berubah haluan untuk menghasilkan part-part yang lebih technical.

Technical tidak selamanya harus melibatkan riff-riff dengan phrase neoclassical seperti Necrophagist, Obscura, dan sejenisnya. Tetapi perpindahan section riff secara mendadak, serta pattern drum yang berubah-ubah seperti pada track ini sudah cukup memenuhi kriteria untuk dibilang musik death metal dengan tag “Tech” di depannya. Riff-riff jagal yang terdengar groovy dan busuk di awal tiba-tiba berubah menjadi riff-riff kematian yang terinspirasi dari band death metal sekolah lama.

Tanpa menurunkan tempo dan momentum klimaks yang sudah dicapai pada track pertama. “Of Rutting Beasts and Drifting Herds” kembali menghajar dengan kecepatan cahaya. Sektor gitar kali ini merangkai riff-riff tremolo yang rapat seolah memberikan efek sound fuzzy dengan memiliki daya penghancur bak tornado. Tipe riff semacam ini banyak ditemukan pada karya-karya Phil Fasciana (Malevolent Creation), atau Jared Deaver (Severd Savior). Lini vokal juga menunjukan sisi dinamismenya pada track ini dengan berani mencoba menggunakan beberapa warna vokal yang berbeda. Pada akhir track ini, Twitch of The Death Nerve mencoba menghadirkan sedikit plot twist. Sektor instrument unjuk kebolehanya sedikit untuk meciptakan extend instrumental part yang melibatkan kompleksitas dan kecepatan. Sementara sang vokalis menggeram hanya untuk memastikan bahwa sisi brutality masih harus dipertahankan ketika para personil pemegang alat instrument sedang sibuk dengan improvisasinya.

“Scores of Sores, Legions of Lesions” merupakan track yang merepresentasikan warna death metal yang lebih brutal ketimbang menjadi technical. Lagu ini lebih banyak mengkonsolidasikan elemen chugging riff dengan distorsi yang padat, dan groovy. Bahkan ditengah lagu sektor gitar memecah tempo dengan memasukan part breakdown yang bisa mematahkan leher. Permainan bass di lagu ini juga memberikan punchline yang lebih nyata. Tonenya yang lebih menonjol kali ini memberikan cadence berbeda dari riff gitar yang tidak kalahnya mendelivery suara yang ganas. “A Hundred and Twenty Days in Sodom” track yang paling menonjol di antara side-a ini. Lagu dibuka langsung dengan aksi departemen gitar, dan drum yang atraktif. Sementara gempuran blast-beat terus menghajar, permainan riff bergerak secara menanjak dan mengitari suara dari drum memeberikan pengalaman yang menggetarkan. Kemudian track semakin lepas kendali dengan banyaknya perubahan tempo dan multiple riff section yang diintegrasikan pada lagu yang hanya berdurasi 3 menit ini.

Baca Juga : Gerogot : Heading to Eternal Review

Kita sudah berbicara banyak mengenai kepiawaian Twitch of The Death Nerve meramu musik brutal death metal dengan kompleksitas yang luar biasa. Tetapi track “The Locard Principle” punya sudut pandang berbeda yang bisa dijadikan highlighted track. Kali ini mereka juga mencoba untuk berekpserimen dengan pattern dan eksekusi vokal yang berbeda dari lagu-lagu sebelumnya. Chanting atau sahut-sahutan dari growling vocal dan high screaming pitch pada pertengahan lagu sudah membuktikan bahwa band ini memberikan atensi yang mendetail pada setiap aspek musiknya. Part ini juga memberikan additional point pada tingkat memorable pada album ini secara keseluruhan.

“Eschewing the Advice Against Self-trepanation” merupakan track yang paling matang dari keseluruhan album. Track ini mampu menurunkan ego untuk tidak terlalu banyak berorientasi pada kecepatan dan sisi lebih brutal. Tentu jika berbicara brutal death metal, kita tidak sepenuhnya memisahkan elemen kecepatan, dan distorsi yang tebal karena itu core dari elemen musik itu sendiri. Tetapi pada track ini Twitch of The Death Nerve memasukan part-part cooling down atau part instrument yang memorable. Jamming section antara bass, dan gitar, lalu struktur riff-riff grovy crunchy yang lebih mudah dicerna sudah cukup membuktikan lagu ini merupakan lagu paling catchy di album ini.

“The Pitezel Family Holiday (Where’s the Baby Part II)” track terakhir sekaligus track terpanjang yang ada di album ini. Sebagai track terakhir, Twitch of The Death Nerve ingin menyimpulkan seluruh rangkaian isi album ini ke dalam track ini. Lagi momen-momen brutal, technical, dan horror vibes silih bergantian untuk menjadi pusat perhatian utama. Twitch of The Death Nerve ternyata masih mampu menampilkan elemen-elemen yang masih menarik perhatian meskipun sudah menginjak penghujung album. Twitch of The Death Nerve masih mampu memproduksi riff-riff groovy yang memaksa pendengarnya untuk tetap bertahan mendengarkan album ini sampai menyentuh durasi paling akhir album ini.

Songwriting yang ciamik cukup membuat album ini pantas diberikan predikat outstanding album untuk kelas brutal death metal. Tetapi album ini memiliki kelemahan yang mungkin terdengar besar tapi tidak terlalu serius. Jika dibaca dari atas, saya sangat jarang me-mention perfomance departemen drum dari keseluruhan album ini. Karena sebagian besar kelemahan dari album ini terletak pada departemen drum. Pada album ini Tom Bradfield mengimplementasikan drum proggaming dengan output 2 snare sound yang berbeda. Satu sound snare bergaya band-band sejenis Brodequin, Disgorge. Satunya lagi sound snare bergaya band-band death metal roster UNL era 2000’an.

Letak permasalahan sejatinya bukan pada permainan drum, atau kualitas output drum yang terdengar sloppy. Tetapi lebih menyangkut sisi natural sound dari peran drum, dan orisanlitas part-part drum. Saya lebih prefer mereka menggunakan sound snare yang bertipikal lebih “raw” namun masih menghasilkan aura natural yang lebih terpancar. Dibandingkan ketika mereka menggunakan sound snare bergaya UNL tetapi malah terkesan lebih generic, sintetik, dan sound snare juga tidak memberikan daya tonjok yang kuat. Sementara permainan drum harus diakui mampu mereplikasi pattern-pattern drum dari band-band terkenal seperti Wormed, Defeated Sanity, Suffocation dengan rapih dan presisi. Tetapi mereka belum bisa melibatkan kreatifitasnya lebih dalam lagi untuk berimprovisasi. Sehingga part-part drum sebagian besar masih terdengar hanya seperti melakukan metode amati dan tiru belum mencapai level modifikasi.

Sementara sisa kelemahan di album ini minimnya track yang bisa dijadikan sebuah classic track. Bukan suatu masalah serius memang karena saya rasa 90% band brutal death metal pendatang akan merasakan hal yang serupa. Ketika mereka selalu dibandingkan dan di bawah bayang-bayang dari para pendahulunya. Twitch of The Death Nerve menawarkan komposisi death metal yang lebih mementingkan aspek technicality dibandingkan brutality. Tetapi berkat eksekusi yang presisi diimbangi dengan visi yang brilliant. Mereka dapat berdiri dengan kokoh di antara 2 entitas death metal tersebut.

Rating : 7 / 10

Baca Juga : Whispered : Shogunate Macabre Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link