Tricot : Repeat Review
Tricot membawa teknik songwritingnya ke tingkatan yang berbeda. Mempersiapkan keseluruhannya untuk menghadapi kondisi emosional yang lebih besar dan eksistensial.
Merujuk apa yang dikatakan Marty Friedman, bahwa di Jepang tidak ada pantangan dalam bermusik. Setiap orang bebas mengekspresikan karya musiknya dengan banyak memadukan corak musik tanpa mengenali batasan. Tetapi tradisi ini sudah mulai diterapkan di Jepang jauh sebelum Marty Friedman berkata demikian. Kebangkitan musik avant-garde di Jepang pada dekade 60’an hingga 70’an adalah hasil buah pemikiran dan ideology yang meyakini, bahwa dalam hal bermusik kita seharusnya tidak mengenali adanya sebuah batasan. Tetapi sekarang istilah avant-garde bagi negara Jepang sudah bukan lagi merupakan sebuah label untuk mengidentifikasi suatu pergerakan atau komunitas musik. Tetapi lebih dari itu, kebanyakan musisi di Jepang seolah “meminjam” pemikiran avant-garde untuk menolak status quo dari elemen musik yang sudah tercipta sebelumnya.
Tidak heran di Jepang mulai bermunculan musisi atau band dengan memiliki sensasi musikalitas eksperimental meskipun mereka bukan penggiat asli dari style awal musik avant-garde. Fenomena ini hampir terjadi di seluruh scene musik di Jepang, tidak terkecuali scene musik cadas di sana. Saya banyak menemukan band metal, punk, rock Jepang dengan style unik dan Tricot salah satunya yang masuk kriteria tersebut. Band rock asal Kyoto yang didirikan pada tahun 2010 oleh trio Ikumi Nakajima, Motoko Kida, dan Hiromi Sagane memiliki versinya tersendiri untuk mendeskripsikan musik rock kepada dunia. Mengekestrasi kerumitan dari musik math rock dan memadukannya dengan unsur alt rock dan J-pop membuat musik Tricot dipenuhi dengan ragam tekstur musik dan emosi yang kompleks.
1 Dekade sudah berkarir, Tricot mampu melepaskan 5 buah album full length ke pasaran. Tricot juga rajin dalam membuat EP dan total Tricot sudah mengerjakan 7 buah EP. Album studio ke-4 mereka, Makkuro masih dianggap sebagai album pivotal yang pernah dikeluarkan oleh band rock energik ini. Karena Makkuro dinilai mampu menjelaskan setiap koridor emosi negatif manusia lewat flow musiknya. Anda bahkan tak perlu membaca dan memahami isi liriknya untuk mengetahui emosi dan perasaan yang ingin disampaikan. Rasa marah, sedih, iri, frustasi semuanya terlukis lewat raungan distorsi, betotan bass energik, vokal lantang dan ketukan drum ganjil. Tapi album tersebut baru dibuat seusdah EP Repeat ini dirilis pada 2019 lalu. Jadi saya akan berpura-pura album Makkuro belum dirilis untuk menghindari penilaian yang bersifat benchmarking antara album Makkuro dengan Repeat.
Baca Juga : Parannoul : To See the Next Part of The Dream Review
Beruntung awal mula saya berkenalan dengan Tricot melalui EP Repeat ini. Karena meskipun Repeat hanya berisikan 5 lagu tetapi songwiriting dan atmosfir dari keseluruhan album terdengar lebih variatif dibanding karya mereka terdahulu. Dalam term “pendewasaan bermusik” Tricot mencoba menyingkirkan egonya untuk membuat musik dengan lebih terbuka. Repeat cukup banyak menggeser porsi math-rock berintensitas punk, dan chaotic disturbing riff dengan elemen harmony dari indie pop, bahkan post-rock sekalipun. Elemen math rock tidak sepenuhnya hilang di EP ini tetapi lebih berperan sebagai side dish dibandingkan album lawas mereka yang secara percaya diri menaruh bold statement math rock/alt rock pada tag label genre mereka.
Sejak awal terbentuk, Tricot bukanlah tipikal band math rock yang memfokuskan seluruh aransemennya pada instrumentation dan mengabaikan sesi vokal. Tetapi di EP Repeat ini peran vokal semakin ditingkatkan lagi dengan tidak hanya menghasilkan hook catchy, bahkan bisa dialihfungsikan menjadi tandem ritem pada gitar. Peran drum lebih diserdehanakan dan tidak banyak melakukan improvisasi liar seperti pada materi Tricot terdahulu. Drum tidak lagi banyak mengularkan ritem-ritem sinkopasi, dan lebih mencoba untuk membaur dengan emosi dan personal feeling yang tersaji di sepanjang 5 lagu yang ada.
Ringkasnya gambaran besar dari album Repeat ini lebih melibatkan sisi personal feeling dan emosi dari setiap personil. Sebuah album yang bukan ditujukan untuk ajang pamer setiap kelebihan dan skill masing-masing personil. Sedikit pengecualian pada sektor vokal karena album ini bisa dibilang menjadikan vokal sebagai sentral point agar manajemen emosi di album ini semakin terdengar surreal. Tricot mencoba menerjamahkan arti kompleksitas dengan output berbeda pada album ini. Karena meskipun Tricot memotong tensi kecepatan dan sisi aggresifnya, tetapi eksekusi dengan metode multi-layered seperti album ini lebih sulit dari yang dipikirkan. Tricot juga harus tetap melakukan maintenance untuk memastikan setiap flow instrument berjalan sesuai ekspetasinya.
Lagu pembuka, “Good Morning” langsung memberikan rasa kejut ketika lagu baru berjalan beberapa detik. “Good Morning” diawali oleh haunting refrain melodi vokal dan membentuk ritem yang bersifat menghipnotis. Mendengarkan haunting vokal melodi yang dikeluarkan secara repetitif terus menerus seperti membangkitkan suatu feeling yang membuat bulu kuduk merinding. Rasanya seperti dihantui oleh ketakutan dari masa lalu yang tiba-tiba muncul di depan mata secara perlahan. Selanjutnya giliran betotan bass yang kuat dengan mechanical disturbing riff dari distorsi gitar yang mengambil alih. Secara siluet keduanya tidak berhenti mendelivery nada-nada eerie yang tajam.
Masuk pada lagu berikutnya, “大発明,” mengingatkan kembali karya-karya lama Tricot terutama pada album “3”. Mengembalikan kembali sedikit loudness dari porsi musik Tricot. Riff-riff kompleks, dan perubahan tempo secara tiba-tiba kembali mengisi lagu ini. Tetapi peran vokal kali ini tidak sekrusial track pembuka sebelumnya. Meskipun di pertengahan lagu, Tricot merubah tempo menjadi lebih pacey tetapi nuansa moody di lagu ini masih tetap terjaga. Lagu “Butter” kembali menonjolkan porsi vokal ke lampu sorot. Harmoni vokal yang indah dan berkilau membuka lagu ini dengan elegan. Tetapi sedikit berbeda, corak vokal pada lagu “Butter” seperti menyentuh ranah swing, rnb yang dibungkus dengan vokal feminis j-pop.
Sementara dalam perspektif instrumentasi, saya lebih mengkategorikan track ini ke dalam lagu post-rock. Chord jazz gitar kali ini dibanjiri oleh efek sound reverb yang melimpah. Belum lagi lagu ini juga dilengkapi jamming section pada pertengahan lagu. Kembali pada lini vokal, lagu ini memiliki jangkauan paling luas mengenai segi emosi jika diukur dari jangkauan nada vokal. “Reflection” bisa dibilang satu-satunya lagu yang mewakili math rock secara utuh. Setelah di beberapa lagu sebelumnya, sektor drum hanya stuck bermain dengan fill-fill simpel dan santai ala classic rock. Akhirnya pada lagu ini sektor drum lebih sedikit leluasa untuk memberikan variasi pola ritemnya. Salah satu lagu yang bisa dijadikan tolak ukur mengenai betapa jeniusnya “Tricot”. Aransemen melody, dan ritem gitar sangat mendetil, tajam, dan juga kompleks. Nampaknya seperti sebuah lagu dengan flow sederhana, tetapi mendengar perubahan chord gitar yang secara halus dan natural sudah membuktikan mengapa Tricot termasuk salah satu band rock Jepang yang berbahaya saat ini.
Setelah lagu “Reflection” meninggalkan layer gitar terbungkus dengan brutally noise, lagu terakhir menembus “kekacuan” tersebut dengan perasaan sedih. Lagu “Waruguchi” nampaknya memiliki nuansa paling depresi dan gloomy jika dibanding keempat track lainnya. Lagu seperti berjalan straightfoward dengan tidak memedulikan distorsi kegaduhan yang dibuat oleh sektor gitar dan drum. Sebuah lagu yang cocok dijadikan sebagai lagu akhir karena mengembalikan perspektif atmosferik yang dibawa pertama kali pada album ini dan kemudian ditutup dengan perasaan serupa.
Saya rasa merupakan sebuah langkah baik jika Tricot memutuskan matersi seperti ini dibuat sebagai sebuah EP. Jika berandai-andai bahwa album ini sebuah full length, mungkin saja album ini akan lebih jauh bergerak ke ranah indie-pop / post-rock dengan susana syahdu. Tetapi mungkin bagi yang mencari track math rock agresif, chaotic, dan pembakar semangat seperti track “Tokyo Vampire Hotel” tidak akan ditemukan disini. Seluruh konsep musik album dikonsepsi agar menyatu secara kohesif dengan personal feeling yang tertuang ke dalam lagu. Sedikit yang menganggu pada album ini mungkin terletak pada transisi antara lagu terutama pada lagu pembuka dan lagu kedua. Transisi sound seperti terdengar nanggung dan sektor drum seolah dipaksa untuk fiil in.
Saya tidak akan ragu memberi highlight utama album ini pada performa dari sektor vokal. Mereka benar-benar serius membawa performa vokal yang mengaggumkan ke dalam “permainan math rock” yang notabenenya tidak terlalu memandang area tersebut. Banyak sisi dan sudut lain yang sangat menjual dari segi vokal dan tidak sekedar mengumbar warna vokal feminim ala Jpop agar terdengar lebih komersil. Tricot membawa teknik songwritingnya ke tingkatan yang berbeda. Mempersiapkan keseluruhannya untuk menghadapi kondisi emosional yang lebih besar dan eksistensial.
Rating : 8 / 10
Baca Juga : Abstract Void : Wishdream Review