SOULREAPER – Menuju Chaosophia – 02
“SOULREAPER adalah segmen yang membahas tentang perkembangan musik metal, rock, hardcore, dan jenis musik lain yang sering dianggap sebagai musik “ekstrim” dalam pandangan umum tentang keindahan.“
Menangislah untukmu dan untukku. Teriakkan nafsumu, biarkan aku mendengarnya.
Wahai Ibu yang tak bernama,
Dengan suaramu yang bisu dari balik sekat-sekat bentuk, dan sayap tak kasat mata sang naga, angkatlah jiwaku yang terpenjara.
Rangkul aku dengan nyala api yang membakar tanpa rupa, dan larutkan aku dalam cahayamu selamanya.
Keinginanku hanyalah bayang-bayang bentuk, kebencianku ilusi, dan cintaku sebuah mimpi yang enggan bangun.
Hanya engkau, dan hanya engkau, adalah inti dari api suci yang tersembunyi paling dalam di relung keberadaanku.
Aku berseru padamu melalui diamku diam yang mencabik rantai pikiran.
Dengan mata tertutup, aku mengagumi keelokanmu yang tak pernah terlihat oleh dunia ini. Setiap kata hanya memperkecil kuasamu, setiap emosi menyesatkanku dari jalanmu, dan setiap pikiran mengingkari kebenaranmu.
Maka aku menjatuhkan diriku, tanpa takut, ke dalam gelapnya yang tak diketahui,
dan kubiarkan nyala apimu yang tak berbentuk, yang telah lama berkobar di dalam diriku, menyala sejadi-jadinya dan menuntunku menuju misteri tanpa nama kerajaanmu yang abadi.
Engkau adalah segala yang bukan makhluk. Engkau adalah segala yang ingin kucapai.
Diam-mu mengguntur. Dari kehampaanmu, menyala nyala hitam jiwaku.
Ketidakhadiranmu membuka mataku akan kesia-siaan seluruh penderitaan yang disebut hidup ini.
Engkau adalah satu, engkau adalah segalanya, engkau adalah bukan siapa-siapa.
Dan hanya dalam dirimulah aku mungkin menemukan kedamaian yang tak terjamah waktu.
Engkau adalah segala yang bukan keberadaan. Engkau adalah segala yang ingin kujadi.
Engkau adalah kekacauan di luar segalanya.
Engkau adalah kekacauan tempat semua akhir melebur.
Engkau adalah Chaosophia pencerahan yang membebaskan roh dari jeruji.
Engkau adalah yang telah ada, yang sedang ada, dan yang akan terus hadir tanpa akhir.
Dari Liber Azerate : Litania menuju Chaosophia
Para Penjaga Gerbang Tua

Di tengah banyaknya jenis hibrida metal yang semakin bermunculan, Midnight kembali mengajak pendengar untuk menata ulang kesadaran, dari kondimen dasar yang membuat musik metal lahir dan memiliki penampilan mencolok. Bahan dasar tersebut adalah, gitar yang membentuk tonjolan ritem rock ‘n roll yang lebih menghentak dan jantan dengan distorsi overdrive, lengkingan solo gitar bluessy yang lincah sekaligus memekakan telinga, drum yang lebih bertenaga, dan vokal serak yang mencoba menghidupkan karikatur figur iblis ketika bernyanyi.
Tidak banyak kelincahan speed metal yang diperlihatkan Midnight dibandingkan beberapa album terdahulu mereka, dan lebih menyulap irama boogie woogie jadi irama tarian dansa iblis yang menggelora. Jika Midnight memperlihatkan kengerian dan ancaman metal secara sonik,
Death SS menunjukkannya secara visual teaterikal dan atmosfer. Seperti kembali menghidupkan drama macbeth, Death SS masih konsisten meramu elemen teatrikal bernuansa horror-gothic yang terwakili oleh choir-choir halus, efek-efek synth yang memainkan melodi menjuntai abstrak secara tunggal, maupun menginterpolasi nada-nada soundtrack musik bertemakan vampir, kocokan riff mid-tempo yang mengambil referensi dari era rock 70’an.
Witchcraft bahkan melakukan kajian yang lebih mendalam, dengan menggali keluar elemen-elemen musik, yang kelak menjadi akar dari kemunculan musik metal itu sendiri. Setelah membuat album folk gitar akustik secara penuh, kini Witchcraft berselancar dalam permainan melodi blues yang dicelupkan dalam efek-efek fuzz, wah, yang membuat karakteristik gitar terasa tebal, berat, dan memiliki aroma psychedelic.
Akan banyak ditemukan solo-solo bising bergaya Jimi Hendrix, yang kemudian dipersilangkan oleh riff-riff stoner dan struktur musik yang berlandaskan pada improvisasi atau orang menyebutnya dengan sesi jamming. Vokal Magnus yang bercorak melankolis untuk seukuran penyanyi rock dan metal, tetap menjadi bagian terpenting, ketika ekspresi vokalnya yang memberikan perasaan murung namun nyanyiannya terasa merdu.


The Haunted mulai memasuki koridor metal dengan versi yang lebih ekstrim. Mengandalkan keliaran dan arogansi thrash metal yang lebih mementingkan kecepatan daripada keseimbangan komposisi, serta riff-riff gothenburg melodic death metal (silahkan dengar era awal In Flames, Dark Tranquillity, Desultory), The Haunted menaikkan level permainan pada level kecepatan, teknikalitas, sekaligus agresivitas.
Namun berbeda dengan para leluhurnya, mereka membawa rekamannya terdengar gamblang dan in your face, seperti suara drum yang lebih dinaikkan, vokal mendominasi, dan produksi modern yang memungkinkan kejernihan suara menimbulkan karakteristik setiap instrumen dengan lebih jelas. Crematory berada dalam sisi yang netral, ketika mereka tetap setia dengan gaya tempo yang lebih mengedur, berfokus pada mendekorasi atmosfer dan kedalaman emosional. Pengaruh gothenburg melodic death metal (meski mereka bukan dari sana), dan elementer gothic yang membuat musiknya terasa menjadi simfonis, masih melekat senantiasa.
Chepang meski telah bergeser untuk mencoba pendekatan rekaman bergaya metalcore era 90’an, namun intensitas grindcore dan bagian riff yang lebih teknis dari death metal masih menjadi tulang punggung rangkain keseluruhan album. 12 tahun lebih mereka absen menggiling telinga hingga berdarah-darah, sehingga masuk akal bahwa album terbaru mereka kali ini terasa straightforward tanpa belokan dari teknis mathcore maupun eksperimen-eksperimen tidak lazim, yang membuat terminologi avant-garde atau experimental seringkali tersemat dalam meta-tag genre mereka.



Berbicara mengenai kembalinya dari masa hibernasi, Unmerciful bangkit, setelah 5 tahun lamanya tidak kunjung melepas album. Kedalaman teknikalitas mereka, tidak hanya dapat ditinjau dari tingkat kerumitan maupun presisi dalam permainan instrumen mereka, melainkan semakin kaya dalam menambahkan lapisan yang bervariasi, terutama pada gitar yang tidak hanya menghubungkan riff dengan atraksi ritme kromatis, tetapi juga menciptakan tremolo riffing atau akor-akor dissonant yang tentu saja memperdalam tema musik untuk mengasosiasikan kondisi mental tertentu.
Solo gitar bisa terasa melodius, atau penuh dengan pergerakan per not yang sangat gesit berpindah interval. Tentu saja daya gedor kick drum yang dibunyikan dengan bar panjang dan tanpa henti, yang membuat album berada dalam level brutalitas dari sekedar death metal konvensional.
Mengenai problematika romantisme masa lalu yang mendatangkan dualitas antara kembalinya kenangan lama atau luka lama yang kembali menganga, dapat dijelaskan dalam album terbaru Rivers of Nihil. Sejak album fenomenal mereka “Where Owls Know My Name” (2018) dirilis, Rivers of Nihil menjadi salah satu pahlawan baru yang berada di garda terdepan. Lihat reaksi bagaimana mereka memasukan saksofon dalam komposisi musik extreme progressive metal mereka yang membuat pendengar merasa heboh, seperti pertama kali seorang bocah baru mendengar slayer.
Setelah bereksplorasi jauh pada 2 album terakhir mereka, Rivers of Nihil justru membuat instrumen maupun peralihan komposisi per lagunya terlihat lebih sederhana, repetitif bergaya a-b-a-b, dengan sedikit penambahan segmen improvisational, dan ritmis yang lebih diperas pada menghasilkan daya gedor suara yang bombastis dan menggelegar (seperti penggunaan banyaknya chug riff, atau downtuned riff).
Kedatangan punggawa anyar yang juga serba fungsi sebagai vokalis latar, memungkinkan untuk Rivers of Nihil memanfaatkan kelimpahan sumber yang ada. Sehingga dalam album ini, mereka lebih banyak bereksplorasi pada sektor vokal, terutama mampu menciptakan chorus pop-ish dan catchy yang tampak lebih banyak dijumpai oleh band semacam Haken, Leprous, atau Caligula Horse.
Pelican juga memiliki kisah manis mengenai comeback mereka yang terealisasi tahun ini. Sepulangnya kembali sang founder gitaris mereka, Laurent Schroeder-Lebec, Pelican kembali pada formasi klasik mereka, setelah terakhir tampil bersama pada tahun 2009. Sehingga fokus pada isian riff demi riff gitar dikembalikan, dengan nuansa soundscape post-rock yang menjadi salah satu keunikan sonik mereka, dibanding sebagian besar gaya metal lainnya.
Suara distorsi yang solid dan membal seperti menyerupai pengaruh stoner rock, dan tentu saja dengan belokan-belokan melodi dan perpindahan akor yang dramatis, sekaligus membuka begitu banyak ruang eksplorasi emosi.



Apabila Pelican memandang ajang comebacknya sebagai sebuah kado reuni yang berusaha mengembalikan romantisasi di masa lalu, …and Oceans memandangya sebagai ajang balas dendam. Terbentuk sebagai proyek symphonic black metal asal Finlandia pada tahun 1995, perbincangan nama mereka tidak muncul serius. Orang lebih sibuk membicarakan pergerakan kontroversi NSBM Finlandia, atau gerakan black metal ortodoks nya yang setara dengan pergerakan black metal di Norwegia maupun Swedia.
Tetapi sejak perilisan, “Cosmic World Mother” 2020 silam, …and Oceans tidak bisa dipandang lagi sebelah mata. Memasuki album comeback ke-3 nya dan mereka masih konsisten bahkan berprogresi untuk menampilkan materi dan penulisan lagu yang membekas. Hal itu didapat dari penyempurnaan mereka menghubungkan elemen tradisional symphonic black metal yang kemudian terdigitalisasi dengan pengaruh elemen elektronik industrial / EBM, hingga orang menyebutkan sebagai perpaduan cyber black metal.
Meski begitu riffing dan melodi dengan nada yang lebih melankolis, sebagai ciri dari Finlandia black metal masih bertahan, dan bahkan ditingkatkan melalui penulisan variasi riff beragam. Sebaliknya, Sargeist yang menjadi salah satu nama besar skena black metal Finlandia 90’an, masih senantiasa mempertahankan ke-ortodoksan suaranya. Gitar yang secara fungsi berfokus menajamkan tema per lagu dengan riff, juga memberikan variasi dari segi melodis, gaya vokal yang tetap one-dimensional, serta blast-beat drum yang intens, membuat pendekatan Sargeist minimalistik dari segi varietas pengaruh musik.


Skyforger yang setelah menjalani masa rehat panjang selama 10 tahun, kembali berkelana dengan menggali kembali artefak pengaruh musik folk dari para leluhur mereka, kemudian memilih gaya black ‘n roll yang lebih terpusat pada irama, memberikan keleluasaan dan kelenturan untuk elementer musik tradisionalnya yang menjadi pusat. Selalu dibayang-bayangi oleh ekspektasi tinggi dari kesuksesan album pendahulunya, Ghost Bath seperti berusaha menunjukkan bahwa kemalangan dan tekanan bisa menjadi hal indah.
Ghost Bath bergelut dengan insepsi dari ceruk tema mereka yang mengisahkan tentang kecemasan berlebihan, depresi, krisis mental berkepanjangan. Kali ini mereka semakin mempertajam pendengar untuk merasakan emosi mereka lebih intens, dengan penghapusan transisi lagu berkelok dan durasi yang dipotong secara habis-habisan.
Kedalaman varietas mereka masih terlihat, seperti penggunaan synth ambient magis, petikan gitar akustik yang dingin, dan variasi fill-in drum yang menaik turunkan gejolak emosi. Akan tetapi semuanya ditampilkan dalam format yang monolit atau sebuah kesatuan (terkecuali Vodka Butterfly sebagai outlier dari kesenangan fana gaya disko Eropa yang ditenggelamkan dengan realitas blackgaze). Sebagian besar keping lagu, lebih banyak menancapkan riff kokoh.
Mengenai pembicaraan kebangkitan kembali, tidak ada yang lebih sensasional dari kebangkitan Nergal bersama Behemoth. Pasca dinyatakan sembuh total dari leukemia, Behemoth justru merilis album trademark bertajuk “The Satanist” yang bahkan dipuja sebagai karya monumental extreme metal abad-21. Kini berjarak 11 tahun dari “The Satanist”, Behemoth telah mengalami banyak perubahan.
Ketika gaya rekaman drum yang kembali dinaikkan dan terasa in your face, Behemoth seperti menunjukkan bahwa kemampuan teknikal drummer mereka yang menjadi titik tumpuan sekaligus melahirkan karya seperti “Demigod”, “Evangelion” “Apostasy” belum usang sama sekali.
Koor paduan suara mistis memang masih melekat, namun bukan menjadi transit utama seperti yang mereka tunjukkan pada “I Loved You At Your Darkest”. Kembalinya kekuatan metal yang berbasiskan dengan limpahan segmen riff kembali mereka gunakan, setelah pada album “The Satanist” & “I Loved You At Your Darkest” secara totalitas melakukan pencarian spiritual yang tidak hanya mengejar penerapan teknis pada aransemen.



Para Band Debutan

Salah satu yang menjadi ketakutan terbesar dalam menghadapi ruangan gelap, adalah menghilangnya kemampuan penglihatan. Paranoia yang menyelimuti bukan semata dikarenakan tidak lagi bisa menikmati estetika dan lekukan-lekukan wujud indah yang kemudian dikaburkan oleh berkurangnya ketersediaan cahaya atau adanya disfungsional pada organ.
Akan tetapi secara paralel berpengaruh pada hilangnya sebagian besar kemampuan alamiah manusia, yaitu insting untuk mendeteksi dan merasa adanya marabahaya yang menghampiri. Pengalihan pada fungsi indra lainnya semacam penciuman dan pendengaran dapat menjadi alternatif.
Ketika absennya penglihatan membuat pengamatan indra tampak seperti pengalaman yang monolitik (gelap gulita), disitulah pendengaran akan berperan untuk memastikan bahwa kemampuan indra dan sensor masih memiliki variasi dan sama sekali tidak menghilangkan pengalaman fisik yang plural.
Kira-kira seperti itu kiasan yang dapat dilukiskan ketika mulai menyelami labirin gelap kancah metal. Hanya dari pendengaran yang tajam dan jelilah, beragam fenomena dan variasi musik masih bisa dirasakan, meski berada dalam satu payung besar yang gelap dan menghitam, yakni extreme metal.
Eleventh Ray, misalnya memilih pendekatan yang primitivistik, kembali pada peradaban extreme metal baru diciptakan dan belum mengalami evolusi yang signifikan. Band semacam Celtic Frost, Sodom, atau bahkan gelombang awal doom metal menjadi catatan referensi mereka yang membentuk debutnya ini. Esensi riff lebih dan teknologi rekaman yang sengaja membusungkan sifat kekunoan dan sinyal-sinyal analog.
Namun Eleventh Ray yang telah tinggal dalam peradaban dimana black metal semakin terdengar okultis dan lebih kaya terhadap referensi lirik Demonologi, mendorong batas musiknya untuk semakin tajam dan meruncing mendekati spektrum ekstrimis yang mereka bisa raih sejauh mungkin.
Lain halnya, dengan Eleventh Ray yang terobsesi untuk menjadi Ular iblis yang penuh siasat licik dan mantra hitam, Prophetic Suffering lebih suka menampilkan kegelapan dan marabahaya melalui adegan kekerasan yang barbarik dan tidak manusiawi. Jelas, adegan brutalitas yang diperagakan terefleksi secara getaran frekuensi intens melalui kemampuan drum yang disuntikan secara daya gema maupun daya energi kinetik yang membesar. Membuat suara drum justru terasa tampil dalam garda terdepan, seperti sebuah palu gada yang bersiap meremukan kepala kapan mau yang diinginkan.
Bagi yang terasa familiar dengan adegan yang disebut sebagai war / bestial metal (Silahkan dengarkan Blasphemy, Archgoat, Bestial Warlust, dan Black Witchery) debut Prophetic Suffering mengambil jalur pendekatan yang sejalan, meski secara produksi suaranya lebih disetrilkan dan tidak sementah para pendahulunya.
Namun yang mengejutkan, pada sektor vokal mereka mengadopsi gaya pig squeal yang menjadi domain utama vokal dalam gaya musik brutal death metal / slam (Silahkan dengar Abominable Putridity, Devourment). Eleventh Ray maupun Prophetic Suffering mengidentikan kegelapan sebagai sebuah simbolik dari yang berlawanan dengan kebaikan dan kelembutan, Himberg dengan perasaan yang misterius dan dingin, dapat membuktikan bahwa kegelapan sekalipun, menjadi sebuah bahasa estetika keindahan yang baru.
Dibalik gaya pendekatan rekaman atmosferik black metal yang keruh dan filter suara yang berserakan, proyek black metal misterius yang satu ini juga meninggalkan jejak melodi maupun riff gitar melankolis, serta bebunyian synth yang menyejukan. Metaforanya adalah seperti menemukan sebuah pond (danau kecil) di tengah-tengah lebatnya hutan di malam hari yang diguyur hujan. Kebisingan dari gaya drum blast-beat yang intens dan norsecore-ish (Silahkan dengar Dark Funeral, Setherial, Marduk periode awal, dan 1349 sebagai) yang menghimpit, tidak mengaburkan sisi keindahan yang berusaha ditonjolkan.


Ignoble lebih menikmati bahwa kegelapan memang sesuatu yang berbahaya, sebuah rejeksi total terhadap cinta, keindahan, dan kehangatan yang tersubstitusi dan terselubungi oleh kabut kebencian, amarah, kebusukan, dan kekelaman. Emulsi itu yang kemudian ditumpahkan ke dalam materi DSBM penuh jeritan, riff-riff gitar memilukan yang terisi penuh dan tidak membiarkan adanya ruang kosong pada celah dimensi ruang produksi.
Setiap lagu dibekali dengan perjalanan panjang (sekitar 10 menit), dengan tempo yang melandai, menyuarakan siksaan dengan waktu yang lebih lama, dengan langkah yang terseret dan penuh hunusan riff di sekujur tubuh. Fidelitas yang lebih jernih ditekankan (seperti gaya DSBM Shining, Bethlehem, Forgotten Tomb) agar dapat melongok lebih jernih pada balik tirai dimensi kenestapaan yang terus meronta-ronta. Rintihan vokal yang meninggi namun tetap mampu mengeluarkan suara sengau yang tidak mengambil pendekatan “cengeng” dari gaya vokal yang tampak lebih emo.
Mari sedikit berceloteh bahwa kegelapan membawa pada kebimbangan dan hilangnya arah, tetapi Bærzerk menjadikan ini sebagai momentum. Bahwa dogmatisme yang bergerak satu arah dibutuhkan dalam kondisi serba ketidakpastian sebagai “obor” yang menuntun dan melewati semua keraguan dan kebingungan.
Selama 25 menit, Bærzerk membawa obor musik Norwegian black metal gelombang ke-2 (Darkthrone, Immortal) & ke-3 (Ragnarok, Tsjuder, Urgehal) yang intens, satu dimensi, dan menihilkan kemungkinan-kemungkinan eksperimen yang melenceng dari jalur para pendahulunya. Hasilnya perpaduan otensitas dari gaya norwegian black metal yang bersinggungan elemen thrash metal, akumulasi blast-beat dengan kuota berlebih pada sepanjang album, hingga vokal sengau yang berusaha mengeluarkan ekspresi kemarahan dan bertenaga. Spirits of Jigoku sama-sama mengambil pendekatan black metal ortodoks yang kemudian disilangkan dengan cerita dan mitos-mitos okultisme dari kultur hantu kuno Jepang.
Tetapi nampaknya Spirits of Jigoku memahami bahwa dibalik setiap tragedi, menyimpan kisah-kisah sedih dan menyayat hati yang kemudian terakumulasi menjadi semacam dendam kesumat. Untuk itulah mereka merancang gaya musik black metal abrasif, dengan meninggalkan serpihan-serpihan melodi tremolo riff gitar yang terasa sendu, dan meratap dibalik kebisingan tak terkendali yang diciptakan rapalan blast-beat dan vokal yang lebih senang menunjukkan sisi kebusukan dadaismenya secara wujud.



Kegelapan bisa saja dimaknai sebagai peristiwa jatuhnya eksistensial seseorang dalam keadaan yang sama sekali tampak asing dan tidak teridentifikasi. Hal tersebut dapat dicirikan sebagai kehilangan jati diri, dan krisis eksistensial. Tetapi kegelapan, bisa saja menjadi jalan spiritualitas yang sunyi, dimana seseorang dapat melihat kemungkinan alternatif lain yang sebelumnya mengalami resistensi dan penolakan.
Feversea merasakan bagaimana dalam kegelapan, mereka justru menemukan momen kaleidoskopik soniknya. Bergerak gesit menggunakan kendaraan bersifat progresif antara memunculkan sensasi dan panorama black metal scandinavian, corak dualitas vokal dari gaya ratu ghotic yang berteriak murung (silahkan dengar Messa, Avatarium) dengan mayat viking yang menuntut balas dendam, dengan teknik vokal merobek tenggorokannya, kejernihan sinematik yang murung dari gaya post-metal (silahkan dengar Pelican, Isis, Neurosis, Cult of Luna), hingga patahan agresif dari gorong-gorong hardcore.
Kegelapan memang bisa menjadi transformasional atau justru memang bersifat destruktif dan melumat tubuh hingga ke tulang-belulang dan Ossuary adalah prototype yang melihat kegelapan sebagai mendekonstruksi keindahan lalu melumatnya. Mereka memilih pendekatan old-school death metal dengan riff-riff yang keruh dan berlumpur hasil ekstraksi dari gaya death-doom metal yang dipopulerkan oleh band semacam Incantation, Autopsy, Bolt-Thrower.
Tidak ada eksperimentasi mencolok maupun kekaguman berlebih pada harmonisasi dan keselarasan suara yang indah. Hanya potongan riff demi riff, letupan drum yang meledak secara intens dengan waktu berdekatan, dan vokal manusia gua yang menghancurkan membran timpani.


Melenceng dari ajaran terdahulu juga dapat disinyalir sebagai langkah yang sesat, bid’ah, dan seperti bersiap untuk memutar rute perjalanan menuju kegelapan. Legenda thrash metal asal Essen, Jerman Kreator pernah berada dalam persimpangan tuduhan itu. Ketika mereka merubah haluan musiknya pada medium pertengahan 90’an, sebelum merevitalisasi kembali suaranya pada periode 2000’an, lewat sintesis dari pendekatan thrash metal ortodoks dengan mengadopsi gaya permainan gitar yang lebih teknikal dan melodius.
Sexmag maupun Executionist berada dalam haluan mazhab yang sama sebagai penganut Kreatorian, tetapi ke-2 mengambil pengaruh dari era berbeda dan melenceng disaat yang bersamaan. Sexmag seperti mengingatkan kembali fase Kreator dalam album “Endless Pain” dan “Flag of Hate” yang penuh dalam aura okultis, rancak, energik, dan agresif.
Akan tetapi Sexmag menggurat narasi kanon musik yang lebih terstruktur, sinematis, dan aspek teknikalitas yang lebih ditingkatkan dari sekedar utilitas kecepatan. Mereka lebih banyak memainkan variasi tempo, dari sekedar tempo berakselerasi maximum, melandai dengan gaya doom metal, hingga gaya ritme yang menghentak dan laid-back secara ritme.
Mereka mengemas solo gitar yang berani menggambarkan frasa, dibanding melakukan tambal sulam dengan cara menghamburkan setiap bagian lick demi lick tanpa intensi untuk menciptakan tema tertentu. Beralih pada sisi yang berseberangan, Exceutionist adalah penganut Kreatorian era 2000’an, ketika teknikalitas dari mereka mulai tersalurkan dari permainan lead gitar, maupun struktur musik yang berkembang dari thrash metal orisinal.
Untuk aspek melodius masih dipertahankan yang terekam jelas dari corak riffing gitar mereka yang bahkan menyentuh batas area gothenburg melodic death metal yang bersinggungan dengan NWOBHM, hingga keterlimpahan dari porsi solo gitar di sepanjang album. Namun mereka menyempitkan teknikalitasnya, untuk akhirnya pergi pada dominasi dari kecepatan dan agresivitas awal thrash metal.


Dalam ruang bawah tanah yang gelap bermunculan auman suara bising sebagai tanda resistensi, sebagai ekspresi sikap oposisi terhadap penguasa. Misalnya seperti Death Rites yang meminjam gaya gebuk drum beroktan tinggi dari elemen D-Beat, dengan aura yang pekat dari band-band gelombang black metal pertama dan hardcore Swedia seperti Celtic Frost hingga Sabbat, Sacrilege.
Hasilnya tempo yang rancak, keteraturan sporadis, namun menghasilkan lapisan yang lebih tebal baik dari segi rekaman, maupun karakteristik vokal dengan hembusan berkataristik serak, riff gitar yang berubah-ubah aksen dari speed metal, thrash metal, hingga hardcore punk, dan solo-solo gitar yang ditabrakan pada sembarang tempat.
Jika Death Rites mengambil pendekatan yang lebih nihilistik dalam menyuarakan perlawanannya, Xiao terdengar lebih eksplosif dan lincah sebagai ekspresinya terhadap situasi agitasi terhadap politik dan pemerintahan. Mereka merangkul pengaruh dari gaya turunan modern hardcore dengan powerviolence sebagai alat ukur seberapa besar tegangan voltase kemarahan serta berbagai upaya yang dilakukan untuk melampiaskannya.
Mereka menggunakan format klasik 2 vokal dari powerviolence yang berada dalam rentang lebih tinggi dari jeritan, dengan dengkuran namun sekaligus memberikan sensasi anthemic dari gaya chant vokalnya. CITRUS tidak hanya membiarkan kemarahan semata yang mendominasi diskursus musik mereka, tetapi ada semacam lonjakkan kesenangan dan antusias secara sonik sebagai hal-hal yang dapat dibawa pulang. Mereka memadukan elementer dari stencore, beatdown hardcore dan gaya hardcore modern sebagai jaminan tersedianya ke dalaman varietas terhadap eksekusi mereka.
Hal itu terealisasikan secara nyata dari segi ritmis yang dapat bergerak menjadi patahan sebagai soundtrack mosh killer, ber akselerasi maksimum dengan blast-beat, atau menampilkan sisi yang diabolic dan abrasif dari gaya distorsi gitar yang tebal dan partikel tekstur yang kasar seperti hamparan pasir.



Honorable Mention
- Pyromancer – Absolute Dominion by Fire (Black / Death Metal)
- Harvested – Corrupted Sense of Survival (Death / Groove Metal)
- Loathfinder – Broken Branches and Torn Roots (Blackened Doom Metal)
- Eden’s Apple – Primordial Roots (Melodic Death / Symphonic Metal)
- FLY! – …or Die! (Heavy Metal / Hard Rock)
- Veljessurma – Haltioissaan (Black Metal)
- Amaethon – Exclusion Zone (Atmospheric Black Metal)
- Voidgazer – Dissolved in Steam (Black Metal)
- Chaosdögs – Chaosdögs (Black Metal / Punk)
- Infernalium Bellum – The Pilgrimage to the Underworld (Black Metal)
- Yamatu – Beyond the Final End (Black Metal)
- Bleachdrinker – Love Songs (Powerviolence)
- Slave Birth – Slave Birth (Powerviolence)
- Wafaq – Reconciliation Philanthropy (Hardcore)
- Body Minus Head – An Exercise in Self-Sufficiency (Screamo / Hardcore Punk)
- Precipice – Down the Well (Hardcore punk)
- Aroma – Mountains of Odorous Decay (Brutal Death Metal)
Temuan Bulan Ini
Qrixkuor – Zoetrope

Pada album “Poison Palinopsia” yang dilepas 2021 silam, Qrixkuor menjadi sang pencabut nyawa, meremukkan tubuh, menumbuk tulang-belulang, hingga mengeluarkan aroma busuk dari jasad yang telah hancur lebur itu. Mereka lalu mengambil papir, membuat lintingan rokok dari ekstraksi jasad, kemudian menghembuskan asapnya ke udara.
Partikelnya beterbangan dengan bebas, namun tetap mengeluarkan sensasi bau busuk mual, namun mereka memiliki rasa yang seperti terbebas keluar dari tubuh mereka, pikiran mereka melayang dan mengawang-ngawang selayaknya seseorang yang terkena pengaruh psikedelik.
Seperti itulah gambaran dari setelan musik Qrixkuor ketika mereka menarik pengaruh dari gaya death-doom metal yang berfokus merancang riff-riff dengan gema gua yang abrasif, tetapi dengan durasi yang diperluas hingga 20 menit lebih perlagu, dengan elaborasi tempelan dari elemen simfonik dari gaya musik romantisme akhir, membuat struktur musik tidak hanya memiliki adiksi terhadap repetisi pada riff, melainkan ada banyak sekali ketersediaan ruang dan waktu, untuk membuat gelombang struktur musik crescendo yang mengelevasi emosional, atau merenung atau ambient statis seperti menunjukkan perasaan kehampaan sekaligus kebingungan menyusuri lorong gelap.
“Zoetrope” selaku mini album yang dirilis sebagai sekuel setelahnya yang hanya terdiri dari 1 lagu, bergerak seperti sebuah bilah asah yang menajamkan pedang dan sekaligus membuat ayunan dan daya serangnya lebih mematikan. Maksudnya adalah ada beberapa kualitas elemen terdahulu yang disempurnakan, sementara ada kualitas elemen baru yang dihadirkan yang semakin menguatkan kesatuan album.
Satu hal yang mencolok pada album terdahulunya, bahwa “Poison Palinopsia” seringkali mengeluarkan kekuatan eksplosifnya yang disalurkan melalui solo tapping atonalitas yang berputar-putar dari gaya bestial war metal yang telah diplitur untuk membuat suaranya lebih mengkilap dan steril, serta permainan drum yang tidak sekedar mengeluarkan rudiment blast-beat simplistik, tetapi berubah-ubah wujud menjadi genderang perang dengan ketukan snare kilat, maupun injakan pedal ganda over-reverb, yang menyelimuti atmosfer dengan rasa ancaman dan teror mengerikan.
Namun pada “Zoetrope”, Qrixkuor memperlakukan musiknya seperti sebuah satu kepingan lagu opera utuh. Lihat bagaimana gesekan pembuka, yang langsung membawa gesekan orkestra yang menusuk dan menarik ulur urat saraf, memberikan rasa nyeri dan mengerikan disaat bersamaan. Aksen riff gitar bahkan mencoba mengikuti untuk ikut menanjaki harmoni yang telah dibangun orkestra.
Dengkuran vokal abstrak dan artikulasi yang terkubur yang muncul secara perlahan bersamaan dengan tabuhan drum, sebagai ode dari mimpi buruk yang semakin dekat menghampiri. Mereka kemudian meledakkan drum pada kecepatan yang meningkat drastis dengan tingkat penampilan barbariknya, yang memukul aksen snare dan simbal secara liar.
Secara tampilan awal mereka yang memainkan blast-beat intens, vokal, di atas synth angker terdengar seperti band semacam Akhlys, Aoratos, namun secara pengaruh musikal jelas ke-2 band tersebut jauh berada dalam radar. Hampir 7 menit pertama, mereka lebih tertarik menyurutkan riff menggantinya dengan tapping atau sweep solo di jangkauan fretboard bawah seperti jeritan di antara himpitan siksaan dari pukulan drum yang menghardik terus-menerus.
Bahkan bass terdengar lebih bergelombang dengan degupnya yang berdetak kencang, dibanding tremolo riff rendah yang terdengar seperti lapisan dinding gua, statis namun tetap mengeluarkan tekstur tajam dan berbahaya.
Twist mulai terjadi pertengahan babak, ketika eksplorasi orkestra, synth, maupun gitar lebih obsesif mengejar suasana tragedi daripada sekedar menghantam dengan riff mematikan. Bahkan tapping solo yang tampak memusingkan, diubah membuat garis gitar memiliki tonjolan motif yang lebih konsisten, sebagai batu pijakkan menuntun perpindahan bagian yang semakin terdengar chaos dan tidak menentu kombinasi dari drum dan orkestra yang sama-sama menggelegar.
Satu hal yang menjadi sorot daya tarik utama Qrixkuor adalah kristalisasi produksinya yang bersinar di sekeliling kabut. Mereka dengan sengaja membuat rekamannya terkesan berasap, namun meski demikian separasi instrumen maupun kejelasan aksens setiap instrumen masih dapat terdengar bahkan tanpa intensi yang lebih dalam untuk menggalinya.
Sekali lagi ini terlihat seperti asap, wujud, warna, dan baunya mungkin terlihat akan tetapi asap dapat mengaburkan pandangan, mengacaukan interpretasi, hingga akhirnya menuntun pada perbedaan tipis antara realita dan fantasi.
Book of Sand – Seven Candles For An Empty Altar

Pengkhianatan prinsip-prinsip seni untuk pergi pada hakekat lebih luhur dari seni yang terus berkembang memunculkan polemik duri dalam daging. Pada akhirnya hal itu akan menguji sampai mana batas toleransi yang bisa ditetapkan, dan sampai mana pada akhirnya sebuah seni pergi keluar dari kotaknya untuk menjangkau semesta yang penuh dengan abstraksi dan absurditas dan pergi pada kotak berikutnya.
Hal ini yang menjadi representatif filosofis dari Book of Hand, yang tidak pernah berhenti beristirahat untuk migrasi dalam perubahan wujud maupun intensi estetis. Book of Sand merasa bahwa bentuk black metal yang selama ini menjadi simbol romantisme atas biangnya penciptaan pusaran misantropis, kegelapan, dan nihilisme, tidak menjadi wadah yang cukup.
Menggunakan dasar avant-garde memungkinkan menjadi fondasi kuat agar mereka terhindar dari bidikan klasifikasi yang terlalu kaku. Realisasi lanjutannya adalah menjalar pada pecahan periode musik klasik-romantisme, koleksi evolusi singkat dari be-bop jazz, spiritual jazz, hingga improvisasi jazz bebas penuh kromatis, hingga musik gamelan yang meninggalkan pelbagai sejarah, perjuangan, dan peniadaan disaat bersamaan.
Noise dan teriakan fidelitas rendah bernada tinggi yang sah dalam kategori black metal menjadi portal komunikator untuk menghubungkan bagaimana pengaruh musik-musik non metal yang penuh bersejarah itu tetap berbicara dalam satu linguistik, yaitu totalitas kehancuran dan kegelapan. Distorsi gitar bahkan tidak berbicara dalam konsep yang dipertajam bentuknya dalam pengulangan riff yang menjadi kepala utama aransemen.
Hal terjadi justru hanya terdengar seperti lempengan statis noise putih yang membuat permukaan tetap abrasif dan kasar, di tengah lolongan synth tipis maupun liukan saksofon yang pilu, misalnya seperti pada lagu “Soft Sun On Silent Water”. Bahkan synth dengan corak nuansa vampirisme maupun perilaku saksofon yang mengirimkan nada berkepanjangan spiritualis seperti pada lagu “Kyrie” atau improvisasi tak beraturan yang menjadi subtitusi atas defisitnya bagian harmonis dan melodi pada gitar.
Drum seringkali bergerak dengan metode 4th break the wall, ketika mereka tidak hanya menjadi penjaga ritme, tapi berkomunikasi dalam ocehan yang atonalitas bahkan mengintervensi untuk membelokan ke mana transisi musikal mereka selanjutnya. Misalnya pada “Without The Limits Of Power”, setelah melalui pusaran frasa gitar dengan efek tumpul yang diulang dan dengungan linear ambient sebagai rasa kecemasan pada sebagian besar durasi, drum tiba-tiba menerjang dengan gaya ketukan breakbeat, trip-hop, menghubungkan sekaligus memberikan terawangan kegelapan mengitari tidak dari masa lalu, melainkan menjadi destinasi tujuan berikutnya.
Bentuk aransemen satu dimensi yang terus mengeksploitasi sisi ekstremitas, menjadi faktor berkurangnya daya kenikmatan konsumsi secara repetitif atau bahkan sulit untuk menimbulkan kesan menempel, tapi Book of sand mencabik anggapan itu semua. Barangkali album ini memang tidak untuk semua orang bisa menjadi konsumsi rutin, tapi menjadi jaminan untuk setidaknya melekatkan mimpi buruk pada imaji secara kiasan dan meninggalkan kesan.
Misalnya lagu “6” yang menunjukan anomali, ketika aransemen diisi oleh suara kekayaan dan keotentikan sistem gamelan yang berkomunikasi dengan ritmis drum modern, bersinergi menjadi irama yang kaya untuk mengiringi liukan tarian saksofon. Lalu pembukaan yang cukup membuat bergidik dan penasaran pada salvo “Speak In Tongues Of The Dead” mengambil potongan akor-akor piano yang tampak tidak simetris. Bergerak secara terseret antara pergi pada kemenangan atau mimpi buruk yang menghampiri secara terus menerus.
Thætas – Shrines to Absurdity

Ketika death metal mulai melebarkan domain pada okultisme dan apatisme terhadap agama (Immolation, Deicide, Morbid Angel), dimana seharusnya itu menjadi domain milik black metal. Adegan brutal death metal kemudian muncul, memisahkan diri, kemudian memfokuskan kembali tujuan death metal secara awal, mengusik kematian secara patologis dengan tingkat lebih ekstrim.
Thætas kemudian muncul untuk memisahkan diri secara teknikal musik brutal death metal yang dinilai sebagian orang sebagai tingkat kebosanan musikal, kemalasan kreativitas, dan kemandekan inovasi. Dengan jaminan mutu dari Colin Marston yang berada di balik meja mastering, Thætas tetap bisa mempertahankan estetika kebusukannya, yang terbungkus dalam teknik produksi yang jernih, dan memungkinkan setiap instrumen dapat ter-highlight secara performa.
Detil-detil dari gesekan bising nada yang dissonant dengan penempatan tidak lazim seperti sudah menjadi keharusan bagi materi-materi yang digarap di bawah komando Marston. Thætas sendiri memiliki 1001 cara untuk membuat jalannya album menarik, seperti penempatan varietas riff gitar dari melompat-lompat dengan groovy, mendaur ulang pinch harmonic justru menjadi bahan baku sentral alih-alih sebagai pelengkap semata, hingga pusaran solo gitar maupun lick gitar yang gesit menaiki-menuruni interval nada (silahkan simak lagu seperti “Dearth”, “Blood Distillery”, “Isixhenxe”).
Mereka bahkan dapat menggabungkan kesederhanaan tempo slamming sebagai tempat perhentian sementara, yang justru membuat album ini dapat memicu headbang tingkat akut (Silahkan dengar, “Disassociated”, “Envy the Stillborn”). Setidaknya lagu-lagu tersebut memiliki porsi slamming dominan, dibandingkan lagu lainnya yang menuntut fokus penuh terhadap teknikalitas, dan kerumitan pergantian per bagian yang terasa seperti kedipan mata.
Arkitekture – Rationalis Impetus

Ketika meta-tags genre seperti avant-garde atau progressive disematkan dalam sebuah karya atau musisi, interpretasi langsung mengarah pada musik super intelektual yang mempertontonkan kemahiran virtuoso setiap pemegang instrumen untuk berimprovisasi, saling bertukar gagasan musik rumit, hingga hanya sekelompok orang yang “ menganggap dirinya lebih unggul dalam hal selera” yang hanya mengetahui interaksi alien mereka.
Apalagi jika ke-2 term tersebut bergabung, seperti menimbulkan kesan intimidatif bahwa itu bukanlah barang konsumsi pendengar musik lebih umum. Arkitekture mencoba mematahkan persepsi tersebut, bahkan dengan latar belakang historis yang hampir tidak masuk akal sekalipun. Pertama, mereka terbentuk di Korea Selatan, daerah yang bisa dibilang sangat memiliki relasi tipis antara musik progressive rock atau musik improvisational.
Jambinai mungkin sebuah pengecualian, karena mampu menembus pada kancah lebih mainstream, ketika berhasil memadukan post-rock, metal dengan musik tradisional Korea, Gugak. Arkitekture bahkan tidak membawa warisan musik tradisional Korea apapun, ketika mereka lebih suka menggali dalam kotak vinyl berlabelkan progressive rock.
Musiknya terasa lebih akrab dengan pengaruh skena progressive rock Canterbury yang bermain-main dengan mellotron, atau mencoba mengokupasi melodi-melodi maupun harmoni musik romantisme pada gitar, sehingga meresonansikan kembali gaya symphonic prog yang sempat berkembang pada dekade 70’an. Simak saja lagu pembuka “Impetus” yang mampu menggabungkan tarian-tarian piano, irama sinkopasi ganjil yang dipertebal dengan garis bass, lalu suara suling berhembusan seperti mengingatkan gaya musik Jethro Tull.
Tentunya menggunakan orkestrasi sungguhan, mereka sungguh dapat menghasilkan gaya orkestra kedap ruang yang lebih nyata, dibanding hasil sampling. Contohnya pada “Prayer for the Dying” yang lebih menampilkan sisi melodis dari instrumen gesek, mellotron bernada kelabu, seruling yang bergelombang di penghujung lagu, melupakan sejenak parade kerumitan ritmis.
Beberapa hal paling mencolok yang membuat album ini tidak hanya seperti daur ulang Canterbury scene versi Korea, adalah kualitas rekamannya yang sengaja terdengar lebih steril dan mempertegas setiap bagian porsi instrumen. Selain itu, mereka juga memperluas pengaruh pada selera jazz fusion, misalnya pada bagian improvisasi “Dark Matter” membuat piano fender rhodes melompat dalam improvisasi dengan groove bass yang menempel ala Herbie Hancock, yang justru dipasangkan dengan lipatan-lipatan saksofon atonal gaya jazz bebas.
Mereka juga seolah tanpa sadar mampu mengembara dengan halus pada peralihan skala nada antara menggunakan sistem skala barat, hingga menyusuri nada-nada yang lebih familiar dengan nuansa ke Timur-tengahan, misalnya pada lagu penutup mereka “The Decay”.
Tower Hill – Deathstalker

Meski telah memasuki siklus senja, daya tarik heavy metal 80’an tidak pernah surut. Hingga sekarang berbagai album klasik hingga band yang menjadi potret sinonimitas heavy metal itu sendiri (Iron Maiden, Helloween, Judast Priest, Metallica, Megadeth, etc) masih menjadi daya tarik. Entah itu muncul sebagai bayangan nostalgia, pembelajaran sejarah bagi para penerus, atau malah tampak seperti matahari yang sulit digapai.
Taktisnya, bagi darah muda yang berhasrat tetap menjaga obor heavy metal tidak padam dihadapkan 2 pilihan. Pertama, membuat inovasi eksponensial, atau perpaduan beberapa entitas menjadi kesatuan baru. Cara ke-2 lah yang banyak diambil oleh para punggawa heavy metal tradisional gelombanga baru (disingkat NWOTHM), hingga menjadi fenomena yang kembali segar di percakapan komunitas metal.
Tower Hill kuintet speed metal asal Canada ini melakukan cara serupa, ketika mereka mengambil elementer harmonisasi NWOBHM, kecepatan yang membuat gemuruh drum menusuk dan menghantam seperti gaya Helloween era “Wall of Jericho” maupun Running Wild yang di modernisasi, hingga lengkingan falsetto berkepanjangan ala Rob Halford (Judas Priest) dengan ekstra usaha untuk bernyanyi dalam gaya lebih melodis.
Dari sinilah memungkinkan muncul kepenulisan yang dinamis. Varias bisa dilihat dari permainan ritme drum, seperti ritme tradisional power metal dengan pedal ganda berlarian bebas yang ditemukan pada “Deathstalker”, “All the Little Devils are Proud of Hell”, isian-isian yang lebih menekankan pada groovy dalam “The Claw is the Law”, “In at the Death”, sprint triplet dalam“Antigone”, bahkan kombinasi keseluruhan seperti pada “Fighting Spirits”.
Departemen vokal pun dapat merentangkan fungsinya ke dalam ornamen vokal berbeda, seperti menyanyi dengan gaya hymn viking, suara yang menghentak nan lantang, garis voka melodis, hingga lesakan lengkingan falsetto yang menanjaki nada secara meluncur. Satu yang menjadi keunggulan album ini, terletak pada kejernihan dan artikulasi produksi albumnya itu sendiri.
Terutama dari segi kejelasan suara distorsi gitar, yang biasanya terdengar rapuh dalam kejernihan apabila bertabrakan dengan intensitas musik yang tinggi. Namun di sini semuanya berjalan mulus, bahkan untuk memainkan lick-lick solo secepat kilat pun, terasa tajam dalam pendengaran. Gema kick drum yang diperbesar dan disteril, menjadi upaya ekstra untuk mewujudkan album ini pada cita-cita musik metal sesungguhnya, bermain cepat dan sekeras sebisa mungkin.
Guide Chart Series – 90’s Obscure East European Black Metal

Ketika black metal mulai berkembang di wilayah Eropa Utara, terkhususnya wilayah yang diakui baik secara geografis maupun kultur dalam kesatuan Skandinavia,ada hal yang terasa oksimoron justru mengganjal di sana. Meski tidak sepenuhnya lepas dari problematika sistemik, sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia terkategorisasi sebagai negara dengan predikat nilai indeks kebahagiaan yang tinggi.
Tentunya itu datang dari sederet akumulasi yang terjadi dikarenakan tingkat kriminalitas rendah, kesejahteraan masyarakat terpenuhi, fasilitas terjamin, kualitas pendidikan bermutu tinggi, dan sistem pemerintahan yang transparan dan adil. Bahkan hal itu telah berlangsung sejak era 90’an hingga sekarang.
Tetapi ladang kebahagiaan itu, justru menjadi saksi lahirnya black metal yang kelak dikenal sebagai musik “ekstrimis” secara ideologis yang mengencingi moralitas dan tidak jarang menunjukkan sikap phobia terhadap kemanusiaan, bahkan meludahi kehidupan itu sendiri. Dalam gelombang awal black metal Scandinavia, Agama yang menjadi warisan leluhur dari pengaruh kolonialisme menjadi sasaran utama untuk perlawanan ideologis mereka.
Berlandaskan dalih luka batin yang membekas dari leluhur para viking mereka yang terbunuh dan masuk dalam komunitas Agama secara paksa yang terjadi pada masa inkuisisi. Musikus black metal Skandinavia berargumen bahwa Agama justru menghalangi kebebasan manusia yang pada akhirnya selalu menempatkan manusia pada entitas subordinat yang bergantung pada entitas yang lebih besar, sehingga membatalkan manusia itu sendiri yang harusnya meraih jenjang mahkota predikat ke-mahaan yang absolut (silahkan dengar transkrip wawancara Gorgoroth dalam dokumenter Headbanger Journey).
Biar bagaimanapun juga, perlawanan metafisis para punggawa black metal Scandinavia lebih mengawang-ngawang. Mungkin perlawanan mereka hanyalah berlandaskan kekhawatiran akan tergerusnya kebudayaan dan kepercayaan pagan yang menjadi otentik.
Lagipula tidak ada lagi represifitas dari sektor pemerintahan yang bekerjasama dengan lembaga keagamaan tertentu yang mengharuskan seluruh warganya mengikuti ajaran Agama tertentu. Dapat diberi kesimpulan bahwa karikatur perlawanan yang mereka tampilan berlandaskan pada kekhawatiran dan menggunakan cerita “leluhurnya” sebagai terawangan “masa depan” versi mereka apabila suatu komunitas Agama tertentu dibiarkan merajalela di wilayah mereka.
Tetapi lain halnya yang terjadi dalam pergerakan black metal di wilayah Eropa Timur. Jika kembali menilik dokumen dan literatur sejarah perang dunia II (yang disebut sebagai perang terbesar umat manusia), Front Timur menjadi saksi langsung mengenai kekejaman dan kebiadaban peristiwa pembantaian massal tersebut. Tercatat bahwa korban jiwa di wilayah Front Timur, menyumbangkan angka statistik korban yang paling banyak dari wilayah manapun (mencapai puluhan juta jiwa).
Peristiwa tersebut masih membekas bagi para korbannya dan bahkan usianya belum genap 1 abad, meninggalkan luka pasca-traumatis yang masih dekat secara periode. Selama masa perang Dunia ke-2, memunculkan pandangan-pandangan politik maupun ideologi ekstrimis yang berpotensi kuat merevolusi dan mendorong perubahan seandainya akumulasi kekuatan sipil berporoskan pada sebuah keyakinan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa selain problematika terkait kepercayaan, keagamaan, atau hal yang sifatnya menjaga hubungan vertikalitas dengan konsep keTuhanan, pergerakan black metal yang lahir dari negara-negara Eropa Timur (Polandia, Ukraina, Austria) memiliki pandangan-pandangan politis ekstrem yang kuat.
Lihatlah bagaimana pergerakan NSBM yang secara ironis justru banyak tumbuh di wilayah negara Eropa Timur seperti Polandia, Ukraina, hingga Austria. Bagaimana band seperti Hate Forest (Ukraina), Abigor (Austria), Graveland (Polandia), Drudkh (Ukraina), Nokturnal Mortum (Ukraina) secara tersirat atau terang-terangan memiliki konektivitas dengan pemahaman Far-right, fasisme, dan semacamnya.
Pengecualian selalu terjadi, ketika figur Norwegia seperti Varg Vikernes (Burzum) maupun sindikat bawah tanah skena NSBM Finlandia (Clandestine Blaze, Goatmoon, Horna, Impaled Nazarene) dikaitkan dengan pandangan politis anti-semit yang lebih ekstrim, tetapi orang selalu menganggap bahwa kultur black metal Scandinavia lebih dekat dekat keluhuran paganisme, mitologi nordik, hingga beroposisi terhadap Agama, sementara skena black metal Eropa Timur telah melebarkan sayap ekstrimis pada ranah yang lebih terkait dengan keadaan material yang mengatur dan berhubungan dengan konstruksi sosial.
Ketika beberapa punggawa black metal Eropa Timur sudah dikenal luas seperti Abigor (Austria), Summoning (Austria), Negura Bunget (Rumania), Drudkh (Ukraina), Hate Forest (Ukraina), hingga Behemoth (Polandia) yang saat ini menjadi sensasi karikatur black metal representasi dari arus utama, guide ini lebih memberikan ruang pada kancah black metal Eropa Timur 90’an yang belum terjamah oleh banyak pasang telinga. Mencoba untuk melebarkan perspektif skena black metal Eropa Timur pada era 90’an yang menyimpan ragam cerita, ideologi, hingga musikalitas.
Baca Juga : SOULREAPER – Keabadian Dari Bawah Tanah – 01