SOULREAPER – Keabadian Dari Bawah Tanah – 01
“SOULREAPER adalah segmen yang membahas tentang perkembangan musik metal, rock, hardcore, dan jenis musik lain yang sering dianggap sebagai musik “ekstrim” dalam pandangan umum tentang keindahan.“
Lihatlah kawan, cahaya bersinar di ufuk timur, tanda dari optimistik kita semakin dekat. Segera persiapkan diri wahai kawan, menuju tanah subur itu. Lupakan rasa mual, rambut rontok, kulit yang terbakar, dan kerusakan fungsi sel & kardiovaskular. Itu hanyalah pengorbanan tanpa arti menuju kejayaan abadi.
Lihatlah kawan, perdamaian semakin terendus. Sang pemerintah telah menjabat kepala pemimpin perjuangan kita. Pemimpin kami akhirnya bisa mendongakan kepalanya ke langit dan berhenti menyuarakan perlawanan. Dia kini berada di lantai teratas istana melihat tubuhnya sedang menari-nari di atas fondasi istana.
Lihatlah kawan, setiap nelayan yang pergi ke tengah laut telah menemukan cinta abadinya. Mereka bahkan melupakan kewajibannya. Memilih untuk bercumbu bersama kekasihnya yang telah menanti di tengah laut. Air mata yang berjatuhan dan kapal yang tak pernah menyentuh dermaga adalah simbol dari tangis haru dan pengorbanan.
Lihatlah kawan, sang dermawan itu meninggalkan singgasananya. Memberanikan diri turun ke pemukiman dan memberi makan bagi mereka yang kelaparan. Senyumnya sangat tulus, sehingga tak ada seorang pun yang dapat membalas kebaikannya. Semua yang terjamah oleh kebaikannya, akhirnya dapat terus bermimpi indah selama-lamanya.
Oooo, wahai manusia, kita semakin dekat dengan kejayaan…
Oooo, wahai manusia, kita semakin dekat dengan kebajikan…
Oooo, wahai manusia, kita semakin dekat dengan kebijaksanaan…
Oooo, wahai manusia, kita semakin dekat dengan keabadian…
Oooo, wahai manusia, kita semakin jauh dari kelaparan,…
Oooo, wahai manusia, kita semakin jauh dari kejahatan…
Oooo, wahai manusia, kita semakin jauh dari kedengkian…
Oooo, wahai manusia, kita semakin jauh dari kebinasaan…
Persaingan… telah tergantikan oleh persatuan…
Pertikaian… telah tergantikan oleh perdamaian…
Pengasingan… telah tergantikan oleh persekutuan…
Pemberangusan… telah tergantikan oleh pembebasan…
Sang Pejuang Lama

Baik Elvenking maupun Eluveitie, kembali menyambut kekuatan dari pangkuan ibu pertiwi. Jika Elvenking menyambutnya dengan semangat yang menggebu-gebu dan energik yang tersaji dalam alunan musik power metal melodis, Eluveitie, lebih memperlihatkan sisi keanggunan sekaligus amarah yang mengutuk, dimana kali ini memilih melodic death metal sebagai pivot dibanding 2 album mereka sebelumnya. Lain halnya, dengan Ancient Bards maupun Epica yang menerobos dimensi dan menunjukan sebuah pengalaman fiksi yang mengagumkan. Epica dengan settingan yang terasa futuristik, modern, yang tersalurkan dari gaya groovy / djent riff, garis synth berkelap-kelip sekaligus megah yang dilapisi elementer gothic serta formasi vokal beauty & beast antara Simons dan Jansen yang menggelegar bersama koor paduan suara. Sementara Ancient Bards mengambil saga pertarungan dan petualangan yang terkoneksi antara 2 galaxy berbeda antara masa lalu dengan masa depan. Pendekatan mereka cenderung lurus untuk memberikan gambaran tentang seperti apa termin epic power metal itu tercipta dalam konotasi positif.




Beralih pada technical / progressive death metal, secara tidak sengaja Cytotoxin, Allegaeon, dan Fractal Universe membuat hubungan trikotomi sederhana antara hal yang bersifat konservatif – moderat – dan progresif. Cytotoxin jelas mengambil porsi konservatif, dimana seperti yang telah dijelaskan, dalam album kali ini merangkul kembali pendekatan suara awal mereka, sekaligus masih menjadikan death metal sebagai musik yang mengedepankan kebisingan dan brutalitas. Allegaeon, menambah sisi melodis dalam spektrum yang lebih meluas, sehingga ada aspek lainnya dari hanya sekedar intensitas sonik yang bising. Lalu Fractal Universe, mencoba untuk menjadi post-strukturalis, dimana mereka menambahkan lapisan kompleks, seperti vokal berlapis gaya progressive rock 70’an, perubahan penempatan ritme, hingga irama-irama yang ganjil. Menasbihkan bahwa death metal bukanlah sekedar kumpulan riff down-tuned, tarikan maupun hembusan vokal cookie monster, dan letupan blast-beat secara terus-menerus.



Kendarti narasi-narasi yang mendukung sifat relativistik dan terkhusus semakin berkembang, tetapi masih ada ruang bagi para pemegang keyakinan, bahwa pada dasarnya memang ada sebuah narasi besar yang menjadi dasar untuk mendefinisikan sesuatu. Para punggawa death metal lawas seperti Benediction, dan Cancer tetap mempertahankan estetika maupun narasi awal bagaimana death metal dimainkan, yang telah mereka lakukan selama berdekade-dekade.


Selain menjadi simbol dari musik metal yang menunjukan kenestapaan, siapa sangka doom metal juga dapat menjadi semacam lagu pengiring untuk perjalanan spiritual yang transendental. Conan terus menyusuri perjalanan menuju gurun pasir tanpa ujung, yang semakin gersang, kemudian Mizmor berkomplot dengan Hell untuk menerawang bagaimana dunia astral yang dipenuhi roh-roh penyesalan dan keputusasaan, dimana itu tercermin dalam gaya drone / doom metal mereka dengan riff suram dan gaya vokal yang merobek tenggorokan bergaya sludge metal. Nortt mendalami sisi yang terasa lebih okultis dan kemampuan supranatural jahat yang dipinjam dari gaya black metal dan dipadukan oleh kelembapan suara funeral doom metal. Sementara peristiwa apokaliptis yang terjadi dalam batin manusia, mulai dieksplorasi pada lapisan suara yang kompleks bagi Messa. Blues, jazz yang memiliki latar belakang kelahiran yang menyangkut masalah emosional, menjahit benang merah yang berhubungan dengan doom metal yang juga memiliki domain seperti itu.




Beralih pada black metal, Hate Forest masih mempercayai estetika gaya black metal lawas, masih menjadi salah satu bentuk musik yang mengancam, dan maka dari itu mereka mendedikasikan sepenuhnya untuk menciptakan semangat itu pada era sekarang. Apabila Hate Forest terlalu terikat pada wujud, Eldamar lebih melakukan pendalaman pada pengalaman mental, dengan lebih banyak memasukan elemen ambient, hembusan clean vocal, dan pemilihan riffing maupun alunan melodi gitar yang membangun sebuah panorama untuk dapat dirasakan dan dibayangkan. Lalu dalam album terbarunya, In the Woods… seperti seorang yang kembali menengok lembaran foto masa lalunya, yang penuh romantisasi kenangan tetapi sekaligus menjadi harapan utopis, ketika keadaan yang saat ini telah berubah. Mereka tetap berada dalam “jalur pendewasaan” musik mereka yang bergerak pada ranah progressive metal, sembari sesekali menggandeng elemen black metal yang juga terpengaruh revitalisasi suara mereka.



Para Band Debutan

Meski roda waktu semakin bergerak maju dan berevolusi, akan tetapi selalu ada ruang bagi penghormatan untuk para veteran lama yang telah berjasa untuk memerangi kaidah estetika keindahan bentuk yang dijadikan semacam dogmatisme satu-satunya seni murni. Moonfall tampak jelas membawa kembali pada masa legiun black metal 90’an yang ditakuti baik secara harfiah atau kiasan dengan relung simfonik muram, sebuah kebangkitan suara simfonik analog yang pernah dikibarkan oleh angkatan gelombang norwegia ke-2 semacam Emperor, Arcturus, Dimmu Borgir, Limbonic Art, serta menambahkan daya dengkuran vokal bernada rendah seperti Beherit. Tidak perlu merasa terkejut mengenai kemiripan usaha Moonfall dengan Beherit, karena Moonfall sendiri diisi oleh duo Goatprayer sebagai bassist dan vokalis, serta Black Moon Necromancer (yang juga bermain untuk Beherit) sebagai gitaris. Singkatnya, sebuah album debut black metal yang lebih berinvestasi pada pengalaman indrawi yang mencekam, misterius, dibanding memberikan pengalaman indrawi yang langsung dan intens seperti membombardir dengan kecepatan dan kerusakan.
Debut Fenece menunjukan posisi diagram cartesius yang berseberangan dengan Moonfall meski berada dalam posisi linear terhadap black metal lawas. Fenece lebih suka memainkan riff powerchord yang dibenamkan langsung pada ketukan blast-beat dan vokal serak yang lebih marah dan hasilnya tampak seperti perpanjangan tangan dari skena black metal Norwegia. Berbicara mengenali kedalaman emosional, Structure secara cermat dan tepat memilih gaya doom metal atmosferik sebagai medium pengekspresian sisi kedalaman melankolis dan kerentanan emosional. Baginya, sepotong iringan piano yang tersamarkan, vokal yang nihil terhadap keindahan, melodi-melodi gitar bersedih, dan tempo tanpa gairah, adalah medium yang lebih cocok untuk memperlihatkan detail kenelangsaan, dibanding menarasikannya dalam secarik kertas bernoda tinta.
Tetramorphe Impure agaknya justru ingin mengulang kenangan pahit yang mengupayakan keputusasaan berpadu dengan kematian hingga kesatuan monolitik yang mengilhami musik mereka. Mahzab itu mereka dapat dari petualangan alam kubur death doom 90’an seperti Evoken, My Dying Bride, dan Thegothron. Simfoni hari penghakiman yang dibunyikan bersamaan dengan vokal grown bernada rendah yang meronta, petikan gitar suram, serta lapisan riff keruh dan tonjolan drum berukuran raksasa, seperti mengaburkan pandangan pada kabut dan berusaha mendorong pada dasar jurang kelam.



Structure mengajarkan kesedihan yang diratapi, tetapi Black Band Shirt rasanya mencoba mengemulsikan kesedihan, kemarahan, dan peristiwa emosional negatif lainnya untuk dibuang dalam jeritan lantang yang lirih. Ada formulasi hubungan klasik yang beresmi kembali di sini, antar menginjeksikan black metal dengan gaya sendu yang terhibrida menjadi post-black metal dengan teriakan mentah yang tidak dipoles dari semangat hardcore.
Moonfall mungkin adalah Veteran yang tetap ingin turun ke medan pertempuran meski telah meraih segenap medali, akan tetapi Ancient Death adalah sekelompok tentara muda ambisius yang mempelajari peta medan pertempuran lalu kemudian melebihi para pendahulunya. Mereka tampil tampak lebih cepat dan beringas dibanding Obituary, memusatkan teknikalitas yang lebih tinggi dibanding apa yang diperbuat Morbid Angel dalam 4 album awal, memainkan secara paralel antara meninggalkan jejak tempo berkelok progresif, kerenyahan groovy baik secara hentakan patahan drum dan distorsi crunchy gitar, serta peralihan clean-growl dwi-vokal yang mungkin ingin dicapai Death, seandainya Chuck Schuldiner masih hidup sampai sekarang. Sementara Ancient Death memperlihatkan ruas-ruas pengaruh lama yang bisa dikembangkan lebih jauh, Messiah Paratroops lebih senang melakukan efisiensi dengan menitikberatkan pada percepatan tempo yang digantungkan pada aroma thrash metal 80’an, sentuhan modernisasi groove metal yang ditempelkan pada kerenyahan suara gitar dan patahan back-beat dari permainan drum, serta tidak menulis materi yang berpotensi “keluar jalur”.



Kexelür enggan untuk melakukan pemujaan berlebihan terhadap para moyang black metal yang telah hidup jauh lebih lama dari mereka. Mengembangkan gaya melodi dissonant yang diurutkan untuk membuat sebuah melodi konsonan (sebuah upaya paradoks), vokal yang terasa lebih diredam seperti tertutup kabut, dan tidak luput untuk memasukan struktur hiperaktif yang merubah perilakunya sesering mungkin (dari atmosferik menuju intensitas tinggi, dari pergerakan satu arah menuju kompleksitas, dari parade riff yang dapat mematahkan leher menuju melodi melankolis yang merenung). Apa yang mereka diperdengarkan secara kiasan seperti konsepan pantonalitas secara pengalaman indera.
Artinya menghubungkan beberapa elemen dominan (tonalitas) yang saling tidak terkait (atonalitas), itulah kira-kira titik kesimpulan dari pengalaman pantonalitas indera yang diambil dari debut ini. Secara kasar dapat dikatakan, Kexelür mencoba melampaui apa yang tercatat dalam sejarah, lain halnya dengan Martoriator yang menghindari jebakan imitator dengan cara merangkak. Apabila Revenge dimetaforkan sebagai manusia pra-sejarah yang bersemanyam dalam gua dan membabat habis mangsanya menjadi tulang-belulan di dalam sana, Martoriator seperti sekelompok manusia gua yang pergi keluar mencari buruannya di tanah luas di bawah terik matahari. Mereka terpaksa menyalakan kobaran api demi bertarung melawan Mammoth di siang hari. Hingga hasilnya, sebuah rekaman suara bestial war metal yang gersang, dengan tekstur distorsi gitar yang lebih kering dibanding Revenge, hingga drum maupun vokal yang dipreteli kemampuan gaungnya.


Bagi Ultimate Disaster menjadi pewaris yang baik adalah meneruskan apa yang diperjuangkan dan dipertahankan oleh para pendahulunya. Mereka tidak neko-neko menawarkan sesuatu yang eksentrik dan menciptakan kemajuan intingsif. Kerancakan dari gaya hardcore punk yang abrasif secara produksi dan tak terkendali secara performa, seperti pukulan D-Beat beroktan tinggi ala Discharge, Varukers, Disclose, seperti kembali diresonansikan di sini. Speedway meneruskan etos yang digariskan oleh gerakan straight edge hardcore New York. Akan tetapi secara aransemen, Speedway menghadirkan garis yang lebih melodis dan produksi suara yang “gemuk” membawa bagian hardcore yang lebih dipoles dengan rapi. Saufknast memiliki prinsip yang serupa untuk meneruskan gerakan pendahulu, bahwa mereka lebih suka mengambil peralatan seadanya yang berada dalam garasi mereka, alih-alih terlalu banyak memikirkan ide disruptif. Memainkan gaya vokal post-punk getir dengan reverb, namun meninggikan suara serta menaikan intensi menjadi punk jalanan beringas. Idiomnya adalah tetap bersuara dan melawan, dalam keterbatasan yang dimiliki.



Honorable Mention :
Tillhygge – Betvinga Mig Med Dunklet (Black Metal)
Necrogenesis – Desire for Murder (Death Metal)
Grim Ripper – Into the River of Oblivion (Death / Thrash Metal)
Xificurk – 1096 (Black Metal)
Vetus Sanguis – Capítulo I – Dimensão Horrenda (Black Metal)
Anoxia – Revel in Sin (Death Metal)
Dehextria – Manifestations of Treachery (DSBM)
Daughter Chaos – Noble Rot (Melodic Death Metal)
Brain Stem – Nullified (Death Metal)
Maestitia – Hate of Sorrow (Melodic Blackened Death Metal)
Hexekration Rites – Misanthropic Path of Carnal Deliverance (Black / Death Metal)
Archdruid – Archdruid (Epic Stoner / Doom Metal)
Echoes of the Extinct – Era of Darkness (Progressive Melodic Death Metal / Metalcore)
Hüe – In Love with Suicide (Depressive Black Metal)
Vakker – What Will Become of Our Pain (Atmospheric Black Metal)
Devil Mass – Communion (Death / Doom Black Metal)
Lightless – A Foreseen Loss (Doom / Sludge / Post-Metal)
Nasciturus – Fabulae (Black Metal)
Brzask – Der Wanderer im Riesengebirge (Black / Death Metal)
Nebelfaust – Das kalte Eisen des Mondes (Black Metal)
Sacral – Vile Consumption (Black Metal)
Solfatare – Asservis par l’espoir (Black Metal)
Temuan Bulan Ini
Zeicrydeus – La Grande Heresie

Zeicrydeus bisa saja terdaftar dalam rubik para debutan di atas, mengingat “La grande hérésie” selaku debutnya dirilis 17 April lalu. Tetapi melihat apa yang dipertunjukkan di sini, setidaknya telah menyalakan api lilin pengharapan agar Zeicrydeus bisa saja menjadi obor atau kobaran api yang diperhitungkan keberadaanya dalam lingkaran bawah tanah metal yang semakin pengap. Ada serangkaian kombinasi aneh yang mungkin tidak terpikirkan bahwa cara yang ditawarkan Zeicrydeus bekerja. Pertama, Zeicrydeus yang berasal dari Kanada justru merujuk musik-musik black metal asal Yunani (Hellenic black metal) sebagai gudang inspirator dan referensinya.
Hellenic black metal gerakan yang merubah peran black metal awal dari karakter antagonis menjadi setidaknya narator yang menggambarkan dinamika kepahlawan dari kemenangan hingga tragedi memilukan (Sebagai pembuktian sensasi, silahkan dengarkan band semacam Thou Art Lord, Varathron, Kawir lalu bandingkan dengan Norwegia gelombang pertama atau kultus Les Legion Noires untuk memahami maksud argumen ini).
Kedua, ke-orthodoksan Zeicrydeus yang mencampurkan berbagai pengaruh dewa metal klasik mulai dari Metallica, Running Wild, Manowar, Helstar, Bathory, Rotting Christ, Varathron, justru datang dari seorang yang memiliki rekam jejak mengubah wajah metal ke arah yang progresif dan modernis. Dia mengenakan Foudre Noire sebagai nama samaran, tetapi jika mengungkap siapa dibalik topeng itu, dia adalah Philippe Tougas yang telah banyak berkontribusi dan terlibat pada skena technical death metal modern sebut saja First Fragment, Equipoise, Eternity’s End, Worm, Serocs, dan segudang nama band yang terpampang dalam meme laman facebook para pemuja metal pra-sejarah dan segala bentuk kebangkitannya.
Sekarang mari menelisik lebih dalam mengenai aktivitas musikal yang terjadi dalam perjalanan “La grande hérésie” ini. Ciri ini mungkin ditemukan pada sebagian besar rilisan hellenic black metal, tetapi menjadi refleksi penting, karena ini salah satu dasar yang kuat, mengenai Zeicrydeus dapat mencolok dari tumpukan ribuan band black metal di luaran sana. Sifat riff di sini bukan sekedar formalitas belaka yang merepetisi serangkaian not maupun melodi untuk menanamkan hook yang kuat secara bebunyian.
Lebih dari itu gitar seperti melukiskan sebuah ideasi tema mengenai sesuatu yang digambarkan secara megah, peristiwa heroik, dan hal-hal besar lainnya. Tidak perlu merinci lagu-lagu mana yang menerapkan itu, karena keseluruhan rangkaian riff gitar pada album ini memang dimaksudkan demikian. Ada permainan melodi yang sengaja diperpanjang dan kemudian dilanjutkan dengan tema kohesif pada bagian riff berikutnya, sehingga itu yang dimaksudkan bahwa riff di sini seperti menampilkan sebuah kisah dan pengalaman mental untuk menggambar sebuah suasana.
Klaim menghasilkan persepsi “epik” di sini tentunya bukan semata-mata gembar-gembor metaforis belaka, karena memang secara produksi dan aransemen ada semacam intensi untuk merepresentasikan hal itu. Seperti suara produksi drum yang dibikin menggelegar dan meruang, alih-alih terasa sempit, lapisan permainan multi lapis dari melodi gitar, hingga himne-himne liturgis yang mengayun dalam beberapa kesempatan.Tougas mungkin dikenal sebagai virtuosois gitar yang bisa bersemayam dalam kerumitan kombinasi skala dengan pengetahuan menciptakan melodisasi harmoni dan kuat pada karya-karyanya, tetapi disini kemampuan virtuoso nya dialihkan pada permainan bass 4-senar yang secara mengejutkan sangat mengimbangi kemampuan gitar dalam merakit bagian solo substansial pada sebuah aransemen. Baik sebagai pengiring maupun pencuri perhatian kemampuan bass Tougas terasa superior di sini (silahkan dengarkan “Profane Spells & Naked Swords in the Emerald Meadows of Nhaath”, “Ten Thousand Spears Atop the Bleeding Mountains”, “Sous L’Ombre Éternelle Des Vestiges D’Heghemnon” sebagai cuplikan kelihaian).
Satu lagi keahlian kunci non teknis, yang memerlukan jam terbang dan pengalaman adalah eksekusi. Setiap bagian-bagian penting katakanlah mereka ingin menampilkan elementer thrash metal atau permainan riff kompleks memukau, ditempatkan pada posisi strategis. Jelasnya, bagian penting tersebut akan diikuti semacam bagian build up sebagai pengenalan maupun pendinginan yang entah itu terwakili dalam tempo yang lebih lambat, mengenalkan ambience album, dan menghiasinya dengan dekorasi lead gitar. Sehingga meski setiap lagu mayoritas mengalami pembengkakan secara durasi, Zeicrydeus tidak seperti kehabisan bensin di tengah jalan. Atas pertimbangan kemampuan teknis maupun non-teknis yang matang itu, Zeicrydeus memberanikan diri untuk menulis lagu instrumental berdurasi 6 menit, “Sous L’Ombre Éternelle Des Vestiges D’Heghemnon”.
Vulture Vengeance – Dust Age

Sebelum berubah bentuk menjadi berbagai jenis seperti sekarang, heavy metal orisinal seperti tidak memiliki kesempatan untuk menceritakan apa yang terjadi seluruh dinamika pada media luas. Glorifikasi media terhadapnya adalah penemuan kembali interval iblis yang sempat dicekal pada abad-18, melalui riff-riff suram ciptaan Tony Iommi bersama Black Sabbath. Kemudian metal dilabeli sebagai sarang para karikatur okultisme mengerikan seperti Eddie the Head milik Iron Maiden, atau Venom yang secara gamblang mencetak kepala Baphomet pada piringan hitam mereka. Desibel tinggi yang membuat gendang telinga pecah juga menjadi predikat yang diterima heavy metal melalui lengkingan Rob Halford bersama Judas Priest.
Tetapi heavy metal yang mengisahkan mengenai peperangan heroik, dan saga pertempuran epik tidak pernah diangkat, sebelum akhirnya narasi semacam itu diklaim seutuhnya milik Power Metal. Band semacam Cirith Ungol, Manilla Road, Chastain, Warlord, hanya kisah sejarah yang diterima oleh lingkar pecinta metal tulen dan sulit menembus narasinya keluar. Kelompok epic heavy metal asal Roma, yang menyebutkan diri sebagai komplotan bernama Vulture Vengeance, membuktikan bahwa ceruk niche heavy metal ini tidak akan pernah padam, meski tidak ada yang ingin menyiramkan bensin pada nyala lilin ini. Kemampuan vokal Tony T. Steele berusaha mengawinkan timbre milik Tim Baker dari Cirith Ungol dengan Ronnie James Dio, namun berupaya untuk menjangkau nada-nada yang lebih tinggi dan melengking.
Dapat didengar bahwa secara distorsi gitar yang lebih ringan maupun permainan gitar yang lebih berpusat pada kreasi melodi dan harmoni, menjadi tonggak alasan kenapa termin seperti epic heavy metal lahir dan memisahkan diri. Tentu saja itu juga berkaitan dengan pemilihan tematik yang fokus pada basis kisah magis, peperangan, atau kisah-kisah fiktif. Dengar bagaimana intro yang diperdengarkan dalam lagu “City of a Thousand Blades”, chorus pada “Reign of Severance”, riff dan melodi gitar yang megah secara melodis dalam “Reign of Severance”, hingga lesakan kilat sweep gitar dan tempo yang lebih tersulut pada “The Foul Mighty Temple of Men”, yang hampir mustahil tidak menghantarkan asosiasi mental pada suatu keadaan fantasi dan mengirim pada medan pertempuran dramatis.
Ayarwhaska – Dendritas Oscilantes

Seandainya katalog musik ekstrem ibarat ladang ranjau, maka “Dendritas Oscilantes” adalah ledakan yang tidak hanya menghancurkan pola-pola yang dikenalnya sendiri, tapi juga memperlihatkan serpihan-serpihan yang menyusun peta emosional seorang Valentín Causillas Pease, seniman muda asal Lima yang memimpin proyek Ayarwhaska ini. “Dendritas Oscilantes” bukan album yang dimulai dari ide, melainkan dari amarah: noise rock, jungle, gabber, punk, dan harsh noise semuanya dijahit secara sembarangan namun penuh intensi, seperti luka yang sengaja tidak dijahit agar tetap menganga dan terus berbicara. Band-band seperti Hanatarash dan Harry Pussy sebagai penyumbang DNA terhadap kromosom sonik Ayarwhaska.
Lagu seperti “Torturados serán los alzados” menjadi titik simpul di mana vokal yang nyaris non-verbal bertabrakan dengan serpihan jungle yang sudah tidak punya arah, menciptakan semacam ketidaknyamanan yang terasa sangat personal, seolah-olah suara-suara ini adalah teriakan yang dibisukan selama bertahun-tahun dan kini dikeluarkan sekaligus. Sementara itu, “El harsh noise es lo único que me excita” terdengar seperti ejekan yang diarahkan pada estetika kemapanan noise sendiri bahwa tidak semua kebisingan ingin menjadi “artistik”, kadang ia hanya ingin menjadi keras.
Kekuatan terbesar dari Ayarwhaska justru hadir dari ketidakterampilannya bukan dalam makna yang peyoratif, melainkan dalam arti bahwa ketidakteraturan teknis ini menjadi ruang otentik untuk menggambarkan keresahan. Album ini tidak tertata secara linear dan kohesif, sebaliknya, beroperasi dalam logika montase yang membingungkan, seperti sedang menonton potongan-potongan dokumenter politik yang disisipi oleh iklan-iklan propaganda mimpi buruk.
Föhn – Condescending

Sekarang mari berandai-andai melakukan sebuah kilas balik. Kembali pada masa, dimana jazz bukan menjadi semacam seni “elit” (bagi persepsi sebagian) yang kemudian dikooptasi oleh institusi pendidikan, sebagai salah satu bidang pembelajaran dan edukasi musik terdepan. Jazz yang masih menjadi semacam medium katarsis untuk kaum kulit hitam termarginalkan. Suatu kebudayaan yang dapat menyadarkan identitas kolektif masyarakat kulit hitam untuk melakukan upaya resistensi, sekaligus berusaha menemukan kembali status sosial mereka yang dicabut dari kesetaraan dan terdegradasi.
Sekarang siklus katarsis jazz ini diputus dari kesadaran kolektif menuju kesadaran pencarian eksistensial individu yang dimasukan dalam rahim funeral doom metal. Sehingga itulah yang melahirkan Föhn, ketika kesadaran membangkitkan bahwa tidak ada dogmatisme dan kepercayaan naif semata yang dapat direngkuh. Pencarian panjang dan melelahkan itu memang membutuhkan waktu yang lama, tidak heran Föhn menuangkannya dalam 4 lagu dengan total durasi mencapai 57 menit. Tentunya pallete warna yang sering digunakan untuk melukiskan kesuraman dari himne funeral doom metal semuanya turut disertakan.
Gambaran besar momen album dapat ditangkap dalam, gelontoran distorsi riff yang berat dan berkepanjangan yang menaikan tensi ketegangan, growl daripada vokal death metal dengan getaran register nada terendah dan mendengkur, hamparan melodi dengan ketersediaan baik variasi nada yang sedikit maupun pemilihan nada yang menyempit hanya pada pada tone emosi pesimistis, suram, dan tanpa gairah. Tetapi apa yang membuat album ini sedikit memancarkan cahaya dari relung kumpulan funeral doom metal lainnya, adanya keterlibatan liukan saksofon yang berkilau di tengah erebus yang menyelimuti.
Dalam “Bereft” suaranya bertransformasi menjadi semacam rintihan dibaliknya derasnya terpaan drum dan tonjolan bass, berjalan telanjang kaki menginjak akor-akor gitar yang mengeluarkan nada tajam secara sumbang. Aksi kabaret yang legam ini menunjukan Föhn tidak hanya menyajikan ritus monolitik yang sekedar menjadi pelengkap unsur dasar funeral doom metal. Ada semacam permainan tekstur, pengaruh beragam, dan kejelasan dari garis tahapan emosional yang dinaikan. “The Weight of Nothing” tampil dalam corak yang cadas, membiarkan sepanjang aransemen dikendalikan oleh riff gitar yang bergelombang, membiarkan petikan gitar bergentayangan sesaat tanpa tubuh musik yang komplet, hingga menyerahkan pada emosi yang murka dan intensitas tinggi menjelang penghujung aransemen.
Menjadi penutup antitesis daripada lagu sebelumnya, “A Day After” yang malah terasa seperti pemberian “harapan” dari himne-himne surgawi yang entah datang darimana, permainan akustik gitar yang terasa lebih tenang, dan permainan melodious bass yang berusaha melakukan elevasi pada emosi. “Persona” sebagai babak akhir sekaligus memperlihatkan siklus perjalanan lebih lengkap. Awal lagu menjadi narasi dari masa lalu yang direpresentasikan pada jeritan dan erangan kesakitan dari masa lalu (soniknya ditampilkan dengan seperti itu) sebagai latar suara, sembari narator yang terus menceritakan traumatis dan kenangan pahitnya.
Menuju bagian pertengahan lagu tentu menjadi pelampiasan emosional destruktif yang lagi-lagi direpresentasikan dalam bentuk agresif dari vokal non-manusia dan gitar. Emosi mereda sesaat, berefleksi dan memikirkan ulang menemukan suara-suara asing dari lengkingan sendu saksofon dan deru air. Bagian klimaks menunjukan disonansi antara vokal berteriak memasuki peregangan nyawa dan selintingan piano maupun melodi gitar melankolis, mengindikasikan bahwa pelepasan sekalipun bukan terbebas dari penderitaan melainkan siapa yang berani untuk bertahan dari rasa nyeri yang paling hebat lalu melepaskannya, menjadi kekosongan tanpa makna persis seperti Föhn meredupkan lampu perjalanan tanpa menuai jejak apapun.
Viuda – Provinciana

Ketika Colosseum kini hanya dipandang sebagai bangunan retak bersejarah, dan patung-patung megah yang dipahat pada era keemasan Yunani, tidak lain hanya diingat sebagai sampul album “Floral Shoppe” milik Vektroid, apakah kebudayaan Eropa tidak pernah lagi menjadi episentrum selain hanya menjadi romantisme masa lalu? Ya, Eropa pernah memiliki semacam piramid kokoh yang terbangun dari euforia synth analog, kultur musik elektronik, dan kehidupan pesta-pora klub malam. Jenis musik seperti Italo-disco, HI-NRG, dan synth-pop pernah menjadi sensasi kebangkitan kultur musik Eropa. Viuda mencoba untuk menyusun kembali artefak nostalgia itu, dan menyuntikan gaya gelombang punk dan post-punk Inggris dalam musiknya.
Mereka juga tidak ragu untuk mengubah piramid menjadi altar analog untuk menghadirkan sesuatu berbau okultis yang dipinjam dari aroma mawar hitam dari elemen gothic (silahkan dengar pembukaan album “Intro II (Parque de Carbones)”, “Piel (La Térmica)”, “Ence”, maupun “Un Pastor”). Lalu apakah “Provinciana” hanya menjadi catatan rekaman coldwave / post-punk yang malang dan tidak bergairah? Rasanya tidak, “Aceralia” mencoba memasukan irama-irama musik rakyat yang sedikit menaikan rasa gairah, tempo pada “Quincallera” punya sinkopasi tempo yang hiperaktif memaksa vokal untuk meninggalkan sesaat register nada rendahnya menuju pada suara yang lebih melengking dan energik. Gaya serupa ditampilkan pada chorus lagu “self-titled” yang memilih kostum punk sebagai canvas eksekusinya.
Guide Chart Series – Epic Heavy Metal

Sebuah rancangan masa depan yang baik, bergantung pada seberapa baiknya apa yang dipikirkan dan dilakukan masa kini. Apa yang baik di masa kini, bisa jadi adalah hasil pembelajaran dari sejarah dan masa lalu. Mempelajari masa lalu dan sejarah, tidak hanya sekedar sebagai penambah ilmu dan penimbun fakta. Jika diselidiki lebih dalam masa lalu justru menyebabkan apa yang saat ini bergerak beserta dengan rahasia dan mengapa sebuah sistem, mekanisme, dan kebudayaan dapat terbentuk.
Untuk itulah series ini lahir, ia ada sebagai pengarsip yang akan memberikan gambaran secara jelas, untuk menelusuri jejak-jejak perkembangan musik metal, yang sampai sekarang baik secara disadari atau tidak telah menggerakan dunia bawah tanah yang sempit ini seperti sekarang. Sebagai sebuah permulaan, series ini akan dimulai pada sejarah-sejarah yang mungkin justru terlupakan dan luput dari pengamatan banyak orang, yaitu sejarah perkembangan epic heavy metal.
Epic heavy metal adalah subgenre heavy metal yang lebih terspesifikasi dan tersegmentasi. Teori dan gambaran besar yang menangani musik ini terletak pada tema musik (baik secara lirik, visual, & musikal) berfokus pada tema peperangan, fantasi pedang & sihir, mitologi, serta kisah heroik. Estetika semacam itu bahkan ditampakan secara jelas dalam setiap artwork dan visual album, bahkan semuanya terlihat dengan kasat mata sekalipun.
Untuk menciptakan nuansa epik seperti termin yang digunakan, genre ini mengandalkan struktur musik dinamis seperti penggunaan gitar akustik, harmoni dan solo diperpanjang, riff berlapis, serta penambahan motif paduan suara himne (tidak selalu). Vokalnya teatrikal dengan rentang nada lebar, didukung gebukan drum yang terasa menggelegar & kolosal.
Ada yang mengatakan bahwa epic heavy metal adalah “reaksi” secara tidak langsung dari gerakan heavy metal Amerika, atas invasi gerakan heavy metal Eropa terutama yang dipelopori oleh negara seperti Inggris (Iron Maiden, Saxon, Judas Priest), Jerman (Accept, Grave Digger), dan Russia (Aria, Master). Atas dasar itulah kemudian band-band gelombang awal seperti Cirith Ungol, Manilla Road, dan Omen dilabeli sebagai US Power Metal.
Tetapi seiring berkembangnya musik metal, label US Power Metal terasa mengalami perluasan definisi. Ketika band semacam Iced Earth (yang terpengaruh dari power metal Eropa), Metal Church (terpengaruh thrash metal), dan Liege Lord (memiliki tema bersifat futuristik) bermunculan. Band-band tersebut pada akhirnya masuk ke dalam familia US Power Metal.
Sehingga termin epic heavy metal, menjadi semacam definisi yang jelas baik secara tematis maupun musikal. Kata epic merepresentasikan secara mutlak tematik seperti yang telah dijelaskan di atasnya, sedangkan heavy metal sudah jelas merujuk pada musikal yang mengarah gaya heavy metal klasik dan konvensional, sebelum musik metal melahirkan banyak sub-turunan.
Kerabat sub-genre epic heavy metal adalah epic doom metal yang lebih lambat dan atmosferik. Band semacam Doomsword, Candlemass, Solstice, dan salah satu revivalist terpopuler mereka, Khemmis tergolong dalam epic doom metal. Ke-2 nya tetap terdapat perbedaan, seperti termin yang digunakan, epic doom metal mengambil basis gaya musik doom metal yang lamban, lirik yang lebih bertemakan tentang pesimisme maupun depresif, sehingga untuk saat ini punggawa epic doom metal tidak termasuk dalam chart.
Epic heavy metal menjadi semacam peralihan atau memiliki sifat yang moderat antara heavy metal tradisional dan power metal modern. Mereka kerap kali menggunakan tempo yang lebih cepat dengan riff galloping atau pedal ganda yang diambil dari gaya speed metal dan juga lirik-lirik seputar fantasi dan peperangan, yang juga kemudian diadopsi oleh power metal. Namun mereka kerap mempertahankan gaya produksi rekaman tradisional metal dan tidak steril selayaknya gaya power metal Eropa.
Sebagian besar solo maupun harmonisasi gitar tidak dimainkan dengan teknik sweep atau neoclassical (silahkan dengarkan karya Yngwie J Malmsteen, Jason Becker, Symphony X sebagai perbandingan), vokalis tidak memiliki suara yang melengking (silahkan dengar Helloween, Dragonforce, Kamelot sebagai perbandingan), maupun gemuruh pedal drum yang dipukul secara konstan terus menerus (silahkan dengar Deridian, Cellador, Powerquest sebagai perbandingan).
Baca Juga : Soulreaper : Asupan Musik Tercadas di Indonesia (Eps – 01)
Playlist Soulreaper ini akan diupdate setiap terbitan artikel baru