AbstrakBlack MetalBlackened CrustCrust PunkHardcore

Shikabane – Kolektif Hardcore Politis Yang Rehat Sejenak Dari Ketegangan Politik

“Pada EP bertajuk “Ego & Desire” kolektif hardcore asal Tokyo, Shikabane mengendurkan urat sarafnya dan berhenti sejenak berdebat mengenai politik dengan pihak yang dianggapnya sebagai oposisi. Mengarahkan diri untuk fokus ke sisi yang lebih spiritual dan internal dari setiap manusia dan mencoba menguraikan beberapa substansi masalah yang terjadi.”

Sejak Jepang dikenal luas memiliki seni musik yang menjunjung tinggi keajaiban berimprovisasi bebas dalam menabrakan berbagai kultur musik sekaligus, secara tidak sadar ini justru menimbulkan potensi pertimbangan moral yang bersifat mengikat secara tirani. Segelintir penikmat seni menjadi terkesan kaku dan biner dalam memandang kultur keseluruhan skena musik yang berada di Jepang. Mereka hanya meyakini bahwa kultur musik di sana harus terdengar eksentrik (secara bentuk) setiap saat dan mengabaikan kemungkinan sisanya sebagai bentuk perwujudan seni yang sama representatifnya. Padahal beberapa skena subkultur bawah tanah di sana, taruhlah hardcore, punk, dan metal turut menyajikan nilai otentik yang serupa, hanya saja di alihkan pada pemahaman dan eksekusi yang berbeda. 

Bisa jadi, justru mereka yang lebih ekspresif dan gamblang dalam mengisahkan serta menyuarakan kehidupan di tanah kelahirannya sendiri. Kolektif-kolektif hardcore punk dari Jepang semacam S.O.B, G.I.S.M, dan Ghoul yang sudah hidup sejak dekade 80’an – telah melewati banyak periode kritis, mengemis belas kasihan, berteriak meminta keadilan, hingga tak bosannya mengingatkan pemerintahan akan kacau balaunya sistem yang sedang dianut pada masa itu. “Ramalan” mereka pun seolah terbukti benar, seiring dengan Jepang yang diterpa masalah krisis berkepanjangan selama rentang dekade 90’an dan dikenal sebagai sebutan “periode yang hilang”.

Apabila mayoritas kolektif hardcore punk Jepang yang muncul saat itu, hadir sebagai lambang kebebasan dan solidaritas dalam melakukan resistensi yang menawarkan pandangan alternatif cara menjalani rutinitas – sekelompok pemuda asal Tokyo justru mendirikan band bernama Shikabane sebagai wadah aspirasi dan propoganda politik yang terkesan memiliki kaidah bertentangan, ekstrimis, dan kontroversial bagi para kaum penganut moralis. Namun kasus khusus ditunjukkan pada catatan singkat, berupa EP bertajuk “Ego & Desire” yang dilepas pada tahun 2000 lalu. Secara filosofis, Shikabane tampak sedikit mengendorkan urat sarafnya, kembali duduk tenang di kursinya dan berhenti sejenak berdebat dengan pihak oposisi. Mengarahkan diri untuk fokus ke sisi yang lebih spiritual dan internal dari setiap manusia, dan mencoba menguraikan (menyelesaikannya seandainya bisa) beberapa substansi masalah yang terjadi.

Shikabane-Ego-and-Desire-Cover

Pergeseran tema lirik, tidak menyurutkan agresi dan totalitas kemarahannya sekalipun, pada pembukaan berjudul “Hatred” pilihannya jatuh pada pergerakan musik yang membabi buta dan bertindak radikal dalam menghempaskan riff-riff yang berpacu dengan gebukan drum yang melesat. Merupakan selebrasi kebebasan terhadap musik crust-punk dan hardcore, namun disusupi dengan hembusan melodi black metal dingin yang seolah didatangkan langsung dari dataran pegunungan es Skandinavia. Memungkinkan Shikabane merangkul diri pada tingkat kemarahan yang bersifat self destructive dan nihilis di waktu bersamaan. Terdapat adegan sinematis yang dirangkai melalui getaran bass yang bergerak lamban pada pembukaan “Repeat… and Repeat It Again” sebelum mencabik-cabik dengan kekuatan blast-beat yang membredel. Temponya pun semakin mengencang diselingi dengan lonjakan musik yang lebih epik.

Shikabane tampak tidak ingin merasa terlalu terkekang dalam mengkontekstualisasikan pesannya yang terkesan harus selalu berada dalam lintasan entitas hardcore. Pada 2 lagu sisa, Shikabane meletakan topi penghormatan pada gaya-gaya epik metal klasik dan sedikit bergeser pada ranah yang lebih melodius dalam balutan gaya melodic death metal. Sifatnya tidak sporadis, melekat, dan bersinergi dengan presisi ketika dilarutkan dalam teritori kebisingan crust / hardcore yang menjadi fondasi Shikabane selama bertahun-tahun.

Pengaturan vokal memiliki titik kesimbangan, antara tidak berteriak dengan nada meninggi seperti remaja emo yang menangisi kandasnya hubungan bersifat ludus serta tidak terlalu tampak seperti vokalis death metal dengan growling rendahnya yang menarasikan kematian dan kehancuran patologis. Hasilnya, tarikan vokal yang merobek kerongkongan itu memiliki suara yang meninggi, tetapi mampu berkembang pada warna vokal yang tampak kikir, garang, dan mengerikan. 

Baca Juga : Fluoride – Powerviolence Sebagai Cerminan Kondisi Carut-Marut Dunia Saat Ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link