Rina Sawayama – Sawayama – Review

Rina Sawayama tidak serta merta menjual kesedihan dan kegelisahannya untuk menjadi hiburan semata. Dirinya turut memberikan lirik solutif agar pendengarnya bertarung bersama dirinya untuk melawan pelbagai masalah dari kehidupan ini.
Rina Sawayama penyanyi pop, model, sekaligus penulis lagu berkebangsaan Jepang-Inggris mengalami “eksodus” dalam jenjang karirnya sepanjang dekade lalu. Berangkat dari seorang Mahasiswi berdomisili di London dengan memegang visa ILC. Ia seketika menjelma menjadi rising star pop , menjadi supporting act untuk Charli XCX, hingga namanya masuk dalam nominasi BRIT Awards sebuah ajang penghargaan musik paling bergengsi di Inggris. Seperti diketahui BRIT sebelumnya sudah banyak melambungkan nama-nama penyanyi pop diva seperti Dua Lipa, Ellie Goulding, Jorja Smith, dan lainnya. Tetapi munculnya nama Rina dalam nominasi menjadi sebuah kasus khusus yang baru pertama kali terjadi di ajang penghargaan tersebut.
Rina memang tidak memenangkan ajang tersebut, tetapi dia menjadi penyanyi non Inggris pertama yang berhasil masuk ke dalam nominasi BRIT. Sebelum dirinya melepas album debut “Sawayama” pada 17 april 2020 dan namanya mulai dikenal seperti sekarang ini, fondasi musik Rina sudah dibangun sejak bertahun-tahun lamanya. Rina memulai karir solonya pada tahun 2013 sebagai penyanyi indie dan melepas lagu pertamanya, “Sleeping in Waking”. Selama bertahun-tahun berpetualang menjadi musisi indie, Rina melepas beberapa standalone single dan mengeluarkan sebuah EP. Pada EP debutnya berjudul “RINA”, Rina bekerjasama dengan seorang produser dan penulis lagu Clarence Clarity.
Di atas kertas, menyatukan Rina dan Clarence pada suatu kesatuan proyek musik kolektif dirasa canggung, karena keduanya mewakili dunia yang berbeda meskipun sama-sama dalam spektrum musik pop. Clarence Clarity lebih condong menghasilkan materi elektrik pop bernuansa eksperimental, glitchy, bahkan terdengar weirdo jika di bawa ke dalam spektrum dan bingkai musik pop kasual. Dilain sisi, corak vokal dan pembawaan Rina lebih mengarah pada titik perpaduan pop & rnb mainstream era 90’an hingga awal 2000’an. Namun persimpangan dari keduanya justru menghadirkan selling point paling vital dalam EP “RINA” jika berbicara mengenai aspek musikalitas.
Ke-8 lagu dalam EP tersebut menampilkan komposisi musik pop fresh dan memukau. Permainan ragam tekstur serta performa apik Rina yang membuat EP ini layak ditempatkan sebagai salah satu EP pop diva terbaik sepanjang dekade lalu. Sebuah fondasi dan modal penting dari Rina, karena berhasil membangkitkan rasa penasaran peminatnya seperti apa kelanjutan dari musik Rina Sawayama. Rasa penasaran tersebut akhirnya terjawab sudah, ketika Rina Sawayama mengumumkan perilisan album debutnya berjudul “Sawayama” di tahun 2020 lalu. Rina semakin membuat rasa penasaran bergejolak menjelang perilisan album pertamanya. Rina menggebrak dengan beberapa single menjanjikan sebelum album ini secara penuh dilepas.

Pada album “Sawayama”, Rina kembali memboyong fondasi musik yang sudah dia patenkan pada EP sebelumnya. Tidak sampai disitu, ada beberapa penambahan unsur lebih segar dengan daya jelajah eksplorasi musik lebih berani dan revolusioner. Clarence Clarity yang kembali dipercaya oleh Rina sebagai produser semakin leluasa untuk menuangkan ide-ide brilliant dan out of the box nya. 14 lagu dalam “Sawayama” berdiri secara berdampingan dan dengan berani menunjukan karakter dan personalitas berbeda dari satu lagu dengan lagu lainnya.
Beat, pemilihan warna instrumen memiliki khazanah luas mulai dari taburan elemen pop vintage, elektronik, J-pop, rnb, funk, hingga nu-metal. Sebuah pemandangan jarang terjadi dengan album pop diluaran sana. Kebanyakan dari musisi lebih terfokus menggarap single dan memperlakukan lagu non-singlenya seperti seorang anak tiri. Membiarkan komposisi musiknya terasa bias, datar, dan tidak memiliki karakter unik yang ditonjolkan. Kembali pada album “Sawayama”, permainan multi karakter pada album ini seraya mengingatkan saya dengan pesona “1000 karakter” milik David Bowie.
Bukan dalam hal artistik tetapi lebih kepada esensi, dimana Charlie seperti mengadopsi “1000 karakter” milik Bowie yang kemudian dia decode ke dalam bagian per bagian instrumen keseluruhan album ini. Masing-masing lagu selayaknya memproyeksikan persona karakter dan emosi berbeda. Ada lagu-lagu dengan sisi emosi lebih condong ke arah sedih, marah, energik, riang, dan optimis. Secara rangkaian jalannya perpindahan dari lagu satu ke lagu lainnya, Charlie juga seperti mengimplementasikan istilah avant-garde ke dalam konsep alur instrumen. Perpindahan terdengar acak, dimana pada satu contoh lagu “STFU!” Rina menyuguhkan lagu pop dengan riff-riff nu-metal banger pada bagian verse, tetapi memasuki bagian chorus lagu seketika berubah nuansa menjadi tembang pop manis bernuansa musim semi.
Baca Juga : SUMIN : Your Home Review
Terdengar sebagian besar lagu cocok dijadikan standalone single karena memiliki “dunia” nya masing-masing. Peran Rina lah disini yang tampil untuk menarik benang merah dari setiap lagu agar tetap mempertahankan kolektifitas dan menjadi satu kesatuan. Pesonanya begitu kuat, sehingga audience mengarahkan perhatiannya pada lirik dan pesan yang disampaikan oleh Rina. Rina sendiri juga memiliki banyak topik bahasan lirik dengan tingkat relevansi yang sepertinya hampir dihadapi oleh setiap orang dalam kesehariannya. Pengalaman pahit masa lalu, konflik dengan batin, relationship, dan perjuangan untuk mencapai kondisi stabil rasanya hampir pasti dialami oleh semua orang.
Lagu “Dynasty” membuka dengan melodi vokal lantang Rina, dan bagian groovy distorsi gitar solid. Sementara nuansa orkestral di sisi instrumen lainnya juga semakin menambah daya imajinasi visual pada lagu. Peleburan instrumensasi yang dibawakan seperti merefresh kembali ingatan saya terhadap gaya Evanesence pada album “Fallen”. Tetapi saya rasa beberapa bagian melodi vokal pada Rina, malah menginterpretasikan terhadap sosok dari Christina Aguilera. Dibumbui dengan distorsi gitar alt-rock dan elemen orkestral menggelegar, Rina juga memiliki pesan lirik yang tak kalah emosionalnya. Dirinya kembali menceritakan kejenuhan di masa lalunya yang terpaksa harus tinggal bersama kedua orangtuanya yang dinilai egois. Kedua orang tuanya selalu memperkarakan permasalahan manusiawi seperti uang, kekayaan, dan nama.
Banyak rasa frustasi dan keputusasaan disana, hingga pada puncaknya Rina menjelaskan hal mendetail permasalahan ini pada bagian bridge. Sisi positifnya dia tidak hanya sekedar menceritakan keluh kesahnya, tetapi juga mengajak pendengarnya untuk mencari tahu tentang permasalahan ini. “XS” masih mengumpulkan sedikit sisa distorsi dari lagu sebelumnya. Karakter riff distorsi gitar masih ditampilkan di lagu ini dengan potongan lebih sederhana. Sementara gaya produksi dari lagu ini masih berpegang teguh pada kesegaran karakter pop/rnb 2000’an. Instrumen tidak masuk secara meriah, dan beat-beat sederhana dengan implementasi on point sengaja ditaruh pada layer teratas. Metode tersebut tidak hanya membangkitkan nuansa memoribilia, tetapi hampir dipastikan dapat hinggap pada korteks frontal dalam jangka waktu lama.
“STFU!” semakin menampilkan sisi emosional kemarahan klimaks dari Rina. Riff-riff groovy / nu-metal bergejolak dengan adrenalin tinggi, strukturnya pun terasa lebih lengkap dibanding penggunaan instrumen berkarakter distorsi pada lagu sebelumnya. Bagian drum pun ikut meledak dengan menyumbangkan beat-beat banger. Refrain backing vokal Rina tiada henti melantunkan kalimat “shut the fuck up” diiringi dengan suara noisy, seperti mengisyaratkan tanda bahwa dia sedang menyerang sesuatu dengan kemarahannya. Transisi ditengah lagu dengan corak vokal lebih manis memperlihatkan bahwa Rina sudah lebih berkembang dan lebih inovatif dibanding masa lalunya.
“Comme des Garçons (Like the Boys)” memiliki komposisi lebih ringan dan santai. Warnanya mungkin berbeda dengan track lainnya, dimana kali ini lagu dibentuk dari beragam unsur mulai dari synth pop, funk, disco, eurobeat , hingga dipadukan dengan efek pitch vokal dan transisi ala musik house. Dipenuhi dengan ramuan musik pop berorientasi elektronik, dan beat danceable minimalis, vokal Rina lebih dominan untuk memberi suntikan melodi bergelombang. Tema lirik lagu ini dapat dijadikan affirmasi diri bahwa setiap orang harus selalu percaya diri tanpa mengenali batasan gender dan keadaan.
“Akasaka Sad” menawarkan aura lebih melankolis dan tragis dengan sedikit meminjam unsur gothic. Dapat dikatakan tema lirik lagu ini menampilkan spin off antara kisah Rina bersama orangtuannya. Disini, Clerance menampilkan setup instrumen mirip dengan album-album studionya. Alur lebih eksperimental, instrumen terlihat lebih “sibuk” bergerak meliku-liku secara tidak beraturan. Saya merasa dilagu ini Rina menampilkan salah satu potensi vokal terbaiknya dengan mengimplementasikan beragam teknik vokal dengan tingkat kompleksitas yang juga turut diperhatikan. Tetapi bagian vokal Rina yang membuat saya paling berdecak kagum ketika ia menyanyikan chorus dengan teknik stacatto. Menampilkan citra classy, elegan, dan membuat perasaan merinding.
Beranjak pada lagu selanjutnya, “Paradisin'” langsung menghempaskan nuansa melankolis di lagu sebelumnya, dengan menciptakan lagu antithesis bertempo upbeat, energik, dan bernuansa riang. Secara konsep, “Paradisin” lebih berkiblat pada elemen musik J-pop dikemas dengan ketukan pop punk dan unsur elektronik 16-bit. Saya rasa ini merupakan lagu paling straightfoward dari album ini dengan menggunakan formulasi suara J-pop energik yang sudah digunakan secara major oleh scene tersebut.
“Love Me 4 Me” merupakan lagu paling menonjol lainnya dari album “Sawayama”. Lagi, Rina mengingatkan bahwa self-esteem itu penting untuk membangun relasi dengan orang lain. Mencintai diri sendiri terdengar sulit bagi sebagian orang, tapi itu menjadi bagian paling mendasar dalam menjalankan suatu hubungan. Lirik getaran positif dibungkus dengan setup instrumen yang berkilau, dan glamor. Perpaduan rnb / funky bassline ritem atau biasa disebut dengan new jack swing bekerja dengan baik bersama tarikan vokal Rina yang lebih meliuk-liuk.
“Bad Friends” sedikit menurunkan tempo dengan menghasilkan lagu bernuansa calm, charming, dan moody. Rasanya ini berhubungan dengan tema lirik reflektif mengenai pertemanan dan kehilangan hubungan bersama seseorang. Ini seperti mengisyaratkan bahwa Rina ingin pendengarnya melakukan refleksi diri bersamaan dengan pancaran instrumen yang lebih kalem dan meditatif. “Fuck This World” lebih terdengar seperti sebuah interlude biasa tanpa punchline berati. “Who’s Gonna Save You Now” mencoba mereplikasi suasana euroforia dari musik stadium rock. Riuahan suara chant penonton fiktif, dan rocking solo gitar pada pertengahan lagu semakin memperjelas gambaran dari suasana stadium rock. Lagu ini menjadi self-reminder bagi RIna, sebesar apapun masalah yang dihadapinya, dirinya harus tetap tampil energik dan all out di atas panggung.
“Tokyo Love Hotel” menjadi lagu ke-2 yang menampilkan sisi kultur Jepang dari Rina. Lagu ini menyuarakan rasa protes Rina terhadap persepsi salah orang-orang mengenai Tokyo. Banyak orang menduga Tokyo selalu identik dengan kota keindahan dan hiburan, namun bagi RIna kehidupan disana jauh dari ekspetasi dan terasa sulit. Hampir menjelang akhir nampaknya album “Sawayama” tidak kehabisan bahan bakar sedikitpun. “Chosen Family” menjadi lagu emas berikutnya dan menjadi salah satu pivot selling point di album ini.
Sebuah tembang balada manis, indah dan penuh makna terhadap persahabatan dan relationship. Vokal Rina terasa lebih menghayati untuk menyampaikan pesan lagu secara menyeluruh. Bagian chorus sangat pas diapplikasikan untuk sing along, tapi justru disanalah letak inti dari pesan pada lagu ini. Terlihat Rina ingin mengajak audience nya untuk turut menyampaikan pesannya ke pelosok dunia dengan bernyanyi sing along pada bagian chorus. Album “Sawayama” ditutup dengan 2 lagu bertempo lebih upbeat. “Snakeskin” mengadopsi pendekatan lebih kontemporer dibanding lagu lainnya. Beat-beat banger diiringi dengan ketukan trap berseliweran disela-sela elemen synth. Rina juga mengadopsi pattern vokal triplet ala versacci milik Migos. “Snakeskin” lagu paling canggung di antara keseluruhan album ini, dimana daya instrumen tidak begitu bekerja optimal untuk menghasilkan momen exciting. Ending dari lagu “Snakskin” dirasa masih menggantung dan perlu dikaji secara mendalam lagi.
“Tokyo Takeover” merupakan lagu up-tempo lainnya namun dikemas dengan sisi lebih energik dan sporty. Lagu ini menceritakan kembali retrospektif Rina mengenai rasa insecurenya terhadap identitas budaya Jepangnya. Rina menceritakan masa sulitnya yang harus beradaptasi dengan budaya baru karena dirinya sedang menetap di Inggris. Lagu ini juga menempatkan bahasa bilingual Inggris dan Jepang dengan porsi paling mencolok.
Overall album “Sawayama” tidak hanya menampilkan sebuah album pop kolektif, tetapi juga menjadi sebuah album pop mainstream yang berani menekan seluruh batasan. Album ini semakin menambah daftar bahwa album pop mainstream juga dapat mengenal eksplorasi tanpa batas. Rina Sawayama tidak memiliki signifikasi perubahan semasa dirinya menjadi musisi indie, hingga menjadi salah satu artis yang berada pada sebuah naungan label mayor. Jiwa eksperimennya masih terus disana bahkan semakin berani untuk menunjukan pesona eksplorasi musiknya.
“Sawayama” menjadi pillar penting bagi awal karir Rina. Tentu masih ada beberapa celah minor pada album ini, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa Rina akan membawa musikalitas dengan ide jauh lebih brilliant kedepannya. Secara lirikal, Rina Sawayama tidak serta merta menjual kesedihan dan kegelisahannya untuk menjadi hiburan semata. Dirinya turut memberikan lirik solutif agar pendengarnya bertarung bersama dirinya untuk melawan pelbagai masalah dari kehidupan ini.
Rating : 8.5 / 10
Baca Juga : Taylor Swift : Fearless (Taylor’s Version) Review