Playlist City Pop Jepang Pengarung Kehidupan Malam
Menginjak akhir tahun 2020, sebuah lagu pop jepang berjudul “Mayonaka no Door / Stay With Me” yang dipopulerkan oleh Miki Matsubara berhasil bertengger di posisi pertama pada spotify global viral chart. Ditambah, lagu ini juga muncul pada viral chart lokal di 42 negara berbeda termasuk di Indonesia. Apa yang membuat lagu berusia 4 dekade lebih ini secara tiba-tiba bangkit dari ketidakjelasaanya dan bersaing secara ketat di era sekarang? Jawabannya cukup sederhana yaitu city pop. Yap, lagu ini dikategorikan sebagai lagu bergenre city pop.
Seperti kita ketahui bahwa beberapa tahun kebelakang, city pop sedang ramai dikalangan pecinta musik khususnya di kalangan generasi Z dan milenial. Pencapaian Miki Matsubara ini sekaligus menjadi penegas bahwa tren city pop sampai saat ini masih belum menunjukan kurva pembalikan arah tren. City pop didefiniskan sebagai sebuah kultur musik Jepang yang sukses berkembang di industri musik secara domestik antara pertengahan dekdade 70’an, hingga 80’an. Secara struktur musik, estetika city pop bersifat pastiche, dimana bentuk musik mereka terpengaruh dari corak musik yang sudah ada sebelumnya. City pop terinspirasi hampir sepenuhnya oleh kultur musik barat, terutama Amerika Utara. Musik-musik sejenis disko, funk, jazz, surf pop, synth pop, hingga musik yacht rock beririsan dalam bentuk musik city pop.
Namun city pop lebih terkoneksi dengan tema lirik serta estetika visual yang memberikan nuansa retro sekaligus menawarkan nilai gaya hidup kemewahan dan hedonisme, sehingga hal tersebutlah yang memudahkan pendengar untuk mengkurasi musik city pop. Nilai estetika visual dan lirik dalam city pop memberikan pengaruh paling sentral, selain berfungsi menciptakan dinding-dinding pembeda city pop terhadap turunan musik pop lainnya. Kedua unsur tersebut juga erat kaitannya dengan keadaan perekonomian Jepang. Pada saat musik ini baru ditemukan pada akhir 70’an secara stimultan keadaan perekonomian Jepang meningkat pesat. Tercatat sebagai pertumbuhan ekonomi kedua paling subur di dunia, beberapa sektoral industri di Jepang termasuk industri kreatif dan teknologi nilainya turut meningkat drastis.
Fenomena tersebut telah merubah kehidupan warga jepang 180 derajat. Mereka semakin menikmati kebebasan hidup untuk mengakses berbagai barang canggih, bepergian ke tempat mewah, dan setiap orang dapat menciptakan wahana kegembiraanya sendiri. Munculnya teknologi audio mutakhir seperti walkman dan radio dalam mobil semakin membebaskan mereka untuk mengakses lagu kesukaanya sebagai sarana hiburan. Musik city pop bernuansa ringan, energik, dan easy listening sangatlah cocok dijadikan soundtrack kehidupan glamor ala warga sipil perkotaan Jepang.
Sayangnya ketika Jepang memasuki dekade 90’an, city pop meredup bersamaan dengan merosotnya perekonomian Jepang. Tetapi sebuah fakta mengejutkan ditemukan bahwa skena musik ini sebenarnya tidak pernah menjadi tajuk utama atau pusat perhatian pada saat itu meskipun city pop lazim di Jepang. City pop sebenarnya dibuat dengan mindset segmentif, dimana menurut Yosuke Kitazawa “city pop dibuat oleh orang kota, dan konsumsinya hanya untuk orang kota”. Term city pop juga saat itu belum familiar digunakan, musik-musik ini lebih dikenal dengan sebutan musik nyû myûjikku (new music dalam istilah jepang).
Tetapi terima kasih atas pemasaran gratis dari algoritma youtube, dan antusias para pemuda yang terus menggali city pop. Karena hal tersebut yang membuat city pop kembali muncul ke permukaan dan lebih baik, ditambah semuanya sekarang sudah terarsip dengan rapih ditandai dengan banyaknya playlist-playlist city pop yang bertebaran di internet sana. Dengan euroforia seperti ini, mari kita sekali lagi mengarungi gemerlapnya kehidupan malam yang dipenuhi nuansa glamor dan bersiap kembali menyambut kehidupan hedonisme dengan playlist berikut.
Note : Playlist ini juga tersedia dalam bentuk spotify, silahkan scroll ke bagian paling bawah. Sayangnya tidak semua lagu yang ada dalam daftar disini tersedia di spotify, sehingga disarankan untuk mendengar lewat youtube karena jauh lebih lengkap.
Early Days (1975 – 1981)
Sugar Babe – Down Town (1975)
Semenjak city pop dengan vibes nightlife mulai popluer di tahun 80’an, city pop pada era 70’an tidak demikian. Instrumen synth yang membuat musik city pop bernuansa neon, kosmopolitan dan retro futuristik tidak banyak digunakan pada era ini. Sebaliknya para musisi memanfaatkan formula musik konvensional seperti jazz fusion, folk, art-rock, dan funk untuk menghasilkan nuansa eksotis musim panas, dan panorama pantai berkilau. Tetapi lagu “Down Town” ciptaan Sugar Babe ini memiliki nuansa nightlife. Selain karena liriknya bercerita mengenai kehidupan malam, perpaduan ritem funky up-beat, disertai dengan cleany jazz chord berdansa di atasnya, memproyeksikan sebuah soundtrack untuk menjadi teman berdansa di bawah sinar rembulan. Sekedar catatan bahwa Sugar Babe dimotori oleh Taeko Ohnuki dan Tatsuro Yamashita, dimana keduanya menjadi sosok penting dalam skena musik ini.
Tomoko Soryo – I Say Who (1977)
Tomoko Soryo berhasil menyingkirkan dominasi dari peran instrumen konvesional di lagu ini. Tomoko lebih tertarik membuat tekstur lebih ringan, manis dan berwana hasil potongan suara saxophone orkestral serta riak gelombang dentingan fender rhodes. Ritme energik funky-disko bergerak disekitaran vokal Tomoko yang mempresuasi pendengar untuk segera bergabung bersama dirinya untuk menikmati kesenangan bersifat sementara ini.
Tatsuro Yamashita – Eternal Full Moon (1979)
Kehidupan kosmopolitan di Jepang tidak hanya melulu mengisahkan tentang hedonisme dan kesenangan semata. Terkadang para remaja dan pemuda disana juga ingin merasakan kisah romantis, meskipun sebagian besar berakhir dengan patah hati. Kendati demikian lagu ini memberikan setitik cahaya harapan untuk mereka dapat beradegan mesra di bawah sinar bulan yang menari-menari. Tatsuro mempersonifikasikan lagu ini sebagai karya shakesphere teruntuk penduduk dengan bergaya kosmopolitan.
EPO – Asphalt Hitori (1980)
Setelah bersenang-senang di malam hari, kalian juga butuh soundtrack untuk penghantar perjalanan pulang. Lagu ini cocok untuk mengiringi kalian menelusuri terowongan bercahaya dengan kendaraan pribadi. Selain meninggalkan kesan metropolitan dengan citra positif dan hangat. Lirik lagu ini juga menggambarkan rasa rindu terhadap seseorang dan secara tidak sabar untuk segera menemuinya. Lantunan vokal sayup-sayup EPO dengan liukan saxophone lembut memberi gairah yang lebih manis dan elegan pada lagu ini.
Miki Matsubara – Cryin (1980)
Sayangnya ketika city pop kembali diminati banyak kalangan, Miki Matsubara tidak bisa menyaksikan karya-karyanya kembali dipuja publik, pasalnya Miki sudah berpulang sejak 2004 lalu. Tapi setidaknya Miki meninggalkan banyak lagu-lagu city pop yang sangat worth it untuk digali. “Cryin” mungkin tidak merepresentasikan kehidupan malam secara gamblang, tetapi liriknya bercerita tentang perselingkuhan dan patah hati, menjadi sebuah masalah umum bagi pemuda-pemudi bergaya hidup kosmopolitan. Terkadang hal tersebut menjadi pemicu agar mereka melupakan kesedihanya tersebut dengan cara bersenang-senang di malam hari bahkan minum sampai mabuk di bar kecil yang dipenuhi dengan sorot lampu remang-remang. Dibalut dengan nuansa lagu funky bertempo upbeat, terdengar secara kasat lagu ini seperti bukan menceritakan suasana patah hati. Tetapi disitulah letak seni dari city pop, dimana mayoritas lagu bertemakan putus cinta justru dibawakan dengan tempo energik dan berapi-api seperti ini.
Makoto Matsushita – This Is All Have You (1981)
Ketika kalian pulang bekerja pada akhir pekan dan merasa suntuk, saya sarankan untuk lagu ini berada di playlist teratas kalian. Makoto Matsushita akan mengajak kalian untuk melupakan segala beban tersebut dan segera bergegas untuk pergi ke lantai dansa. Suguhan ritem funky groove bertensi rendah akan memberikan suasan moody delightful yang tidak akan mudah dilupakan begitu saja. Sebuah lagu dengan transisional solid antara mengabungkan elemen bernuansa balada dengan ritem-ritem groovy elegan.
The Golden Era (1982 – 1989)
Kingo Hamada – Midnight Cruisin (1982)
Terdengar Kingo Hamada menginginkan musik dengan tema lirik jauh lebih dewasa. Pesan lirik emosional lebih mendalam dibawakan oleh Kingo Hamada dengan pacuan ritem-ritem menghentak, bercampur dengan latunan vokal sendu bernuansa balada hangat. Masih berada dalam koridor malam yang penuh dengan gemerlap lampu-lampu dari pancaran gedung pencakar langit. Tetapi fokus Kingo tidak kesana, melainkan pada sebuah memoria sentimentil mengenai kenangan romantisme yang telah lama memudar. Sebagai pelampiasannya lagu ini seolah menemani Kingo untuk menenggak alkohol higga mabuk disaat kilauan lampu menari-nari di sekitaran perkotaan.
Takako Mamiya – Nagisa de Dance (1983)
Tidak banyak beredar mengenai kehidupan pribadi dari Takako Mamiya, namun yang jelas dia hanya melepas 2 album studio sebelum memutuskan berhenti bermusik. Album debut berjudul “Love Trip” memiliki jangkauan luas dari segi nuansa pada masing-masing lagu, tetapi lagu “Nagisa de Dance” salah satu lagu dengan unsur nightlife paling mencolok di album ini. Lagu ini juga menjadi pivot transisi antara sisi melankolis Takako, menjadi gadis mempesona yang menari-menari di bawah sinar bulan. Ritem boogie, kilauan suara fender rhodes, serta liukan saxophone turut menjadi soundtrack pengiring sempurna untuk mengambarkan susana pantai di malam hari.
Tomoko Aran – I’m In Love (1983)
Kepopuleran instrumen synth yang mulai masuk ke Jepang pada awal 80’an telah menghadrikan sebuah terobosan musik baru disana yaitu synth pop. Sebelum bertransformasi seutuhnya kepada formula musik lebih futuristik bernama technokayo, synth pop masih menampilkan rumusan musik funk, dan soul dominan, hanya saja elemen synth kali ini menyelinap diantara kedua unsur tersebut. Tetapi kembali ke point awal, bahwa city pop hanya berurusan dengan estetika visual dan lirik, tidak mencampuri urusan struktur formal dari elemen musik yang ada. Pancaran synth berkarakteristik neon, dengan lantunan vokal bertensi moody lebih mendorong lagu ini untuk menampilkan nuansa tenang sambil mengitari sekitaran kota di malam hari. Sebelumnya Tomoko sudah melepas 2 album, tetapi album ini yang baru menampilkan sentuhan musik synth pop dan dipasangkan dengan lirik-lirik kehidupan urban.
Toshiki Kadomatsu – Step Into The Light (1984)
Toshiki Kodamatsu nampaknya ingin membuat miniatur nuansa kota California di Tokyo. Lagu yang diciptakan Toshiki mayoritas memiliki vibes kental dngan nuansa musik-musik funk / soul barat. Toshiki juga bahkan mencoba untuk melakukan rhyming bak seorang Kurtis Blow di album ini. Sektor instrumen juga lebih banyak berada di spot highlight dibandingkan sektor vokal. George Clinton dan kolega seakan ikut berpartisipasi di album ini karena efek synth groovy yang diadopsi Toshiki sontak akan mengingatkan kalian dengan gaya khas karya-karya Parliament Funkadelic. Tidak ada alasan lagi untuk tidak menginjakan kaki ke lantai dansa ketika lagu ini mulai berkumandang.
Junko Ohsasi – Perfume (1984)
Junko Ohsashi meninggalkan dekade 70’an dengan belasan album studio. Tetapi nampaknya Junko baru dapat menarik perhatian ketika dirinya merilis album “Magical” ini. Hal tersebut tentunya tidak bisa lepas dari peran booming nya kembali city pop, dan beruntung Junko memiliki stok lagu-lagu yang dapat dikategorikan demikian. Lagu tampak terdengar seperti sebuah soundtrack malam hari dipenuhi dengan kebahagian, namun realitanya tidak demikian. Junko justru menceritakan lewat lirik lagu ini, bahwa di malam tersebut dia memergoki perselingkuhan kekasihnya. Terkadang malam juga dapat menjadi penolong untuk membuka mata hati kita terhadap pandangan seseorang, dan itu percis diigambarkan oleh Junko pada lagu ini.
Momoko Kikuchi – Night Cruising (1986)
Konsep idol juga sudah ada sejak city pop populer di era 80’an. Agensi lebih memforsir untuk melatih performa talenta-talentanya. Sementara tim produser dan marketing memikirkan 1001 cara agar talentanya dapat meraih kesuksesan secara komersil. Mereka juga membentuk karakter dan pesona si talenta tersebut, sehingga mereka ingin pendengar tidak hanya mengingat lagunya, tetapi juga dapat membayangkan sosok idolnya sampai kapanpun. Inilah alasan singkat mengapa Kikuchi Momoko memiliki corak vokal lebih mencolok perbedaanya. Mengadopsi suara vokal semi-kawaii, tekstur vokal lembutnya serasa serasi dengan komposisi musik yang mengalun dan menguap seperti pada lagu ini. Menurut saya ini merupakan sebuah lagu yang menampilkan impersonate langit berawan di malam hari.
Kaoru Akimoto – Wagamama Na High Heel (1987)
Kaoru Akimoto hanya melepas 2 album studio selama karirnya, tetapi cover album “Cologne” justru menjadi salah satu kover terppouler dalam jajaran album city pop. Design cover yang elegan dan fashionable juga rupanya turut terancang dalam lagu-lagu di album ini. Lagu ini sendiri, didasari dengan beat-beat funky yang lebih menghentak dari album city pop pada umumnya. Saya juga tidak menyangka dapat menemukan beat-beat banger seperti ini pada lagu-lagu bertipikal city pop.
Minnie – Maybe Tonight (1988)
Dengan hadirnya elemen synth semakin memperluas khazanah para musisi untuk melakukan eksplorlasi lebih jauh lagi. Minnie mencoba menginjeksi elemen jungle synth yang dipadukan dengan beat-beat disko. Sebuah cara tidak lazim dilakukan Minnie untuk merenungkan perasaanya di tengah susana malam yang menggembirakan seperti ini. Vokal Minnie juga bertransformasi dengan baik, dan tetap bisa men-deploy chorus dan vokal powerfull ditengah rasa gundah gulananya.
Ra Mu – Thanks Giving (1988)
Bagi yang belum familiar, Ra Mu sendiri meruapakan grup musik yang dibentuk oleh Momoko Kikuchi namun hanya bertahan sebentar. Meski hanya bertahan beberapa tahun, tetapi Ra Mu mampu merampungkan 1 album dan beberapa single sebelum bubar. Ra Mu memiliki konsep berbeda jika dibandingkan dengan album solo Momoko. Saya rasa hampir semua lagu di album ini cocok dimasukkan ke dalam kategorinightlife city pop. Ditambah karakteristik vokal Momoko yang dreamy dan semi-kawaii, menjadikan album ini memiliki pembeda diantara jajaran album city pop lainnya.
Declaining Days (1990 – 1999)
Mayumi Yamamoto a.k.a Cindy – Believe in us (1990)
Dekade 90’an mungkin terdengar seperti sebuah masa paling suram bagi city pop. Tetapi rasa keingintahuan saya mengantarkan kepada fakta bahwasanya city pop di era 90’an masih bertahan setidaknya di tahun-tahun awal ketika baru memasuki dekade 90’an. Semenjak turunan musik rnb, yakni new jack swing mulai merambah di industri musik barat. Musisi Jepang juga tidak membiarkan momentum tersebut menguap begitu saja. Tetapi lagu ciptaan Mayumi Yamamoto yang satu ini setidaknya masih menampilkan nuansa city pop era 80’an. Karakteristik reverb vokal di lagu ini masih terasa jelas. Elemen new jack swing mungkin berseliweran dilagu lain pada album ini, tetapi khusus lagu ini nampaknya Mayumi ingin mempertahankan estetika dari musik pop jepang era 80’an.
Carlos Toshiki – Sophisticated Lady (1991)
Carlos Toshiki mungkin menjadi penyanyi Jepang-Brazil pertama yang merengkuh kesuksesan. Bersama grup band Omega Tribe, Tomiko merilis beberapa single hit. Namun selepas bubarnya Omega Tribe, Toshiki memutuskan untuk bersolo karir. Carlos seolah ingin membuat imajinasi gadis siber yang di encode ke dalam formula musik bernuansa retro–futuristik. Bunyi-bunyian synth canggih berhasil menggambarkan hal tersebut, tetapi hal terpenting Toshiki juga mampu berekspresi secara maksimal dengan struktur musik era 80’an lampau seperti new wave dan AOR, sehingga ini merupakan sisi perwakilan imajiner Toshiki yang memberikan kesan retro.
Keiko Utsumi – 去年の恋人 (1991)
Terlihat Jepang sama sekali tidak bisa lepas dengan kultur film animasinya, tidak heran banyak musisi turut menyumbangkan lagunya untuk dimuat sebagai soundtrack dari suatu serial anime, Keiko Utsumani menjadi salah satu penyanyi Jepang yang melakukan hal demikian. Saya tidak dapat menemukan lagu “去年の恋人” beredar secara terpisah di youtube, tetapi lagu ini memiliki nuansa balada yang tidak hanya sekedar memberikan panorama nuansa malam romantis. Bersiaplah kalian bahwa Keiko akan membawa kalian trackback pada fantasi film animasi 80’an lengkap dengan bayangan dan imajinasi semu.
OPCELL – Margaret Line (1995)
OPCELL mungkin boleh hanya menaruh 1 album semasa mereka berkarir, tetapi kolaborasi dari trio Ken Ranmiya, Yasuyuki Honda dan Tsuyoshi Inoue sudah lebih dari cukup untuk menyumbangkan album j-pop essensial. Menggambarkan nuansa indahnya musim panas di malam hari, lagu ini tidak ragu-ragu untuk menampilkan racikan elemen power pop, new wave yang halus dan pancaran suara-suara synth berseliweran kesana-kemari. Tarikan vokal halus dari Ken Ranmiya seperti bentuk personifikasi dari cahayan rembulan yang paling bersinar diantara unsur lainnya.
Naoko Gushima – Melody (1996)
Siapapun tidak dapat menjamin bahwa hari demi hari akan berajalan dengan mulus. Malam adalah waktu penentuan apakah kita hanya bisa meratapi nasib atau bangkit dan melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Lewat lantunan vokalnya, Naoko seolah memberi petunjuk tentang bagaimana seharusnya cara agar kita melewati hari-hari suram. Melewati malam penuh dengan kesunyian, Naoko lebih senang meluapkannya dengan berdansa sambil memberi afirmasi diri untuk memanifestasikan suatu hal positif ke dalam hati dan pikirannya. Semuanya terstruktur jelas lewat penyampaian lagu bertempo slow-paced yang merelaksasikan pikiran.
Rie Yoshizawa – Beating (1999)
Sejatinya saya merasa bahwa city pop 90’an yang melakukan glorifikasi terhadap elemen new jack swing dan segala jenis peranakan musik rnb seolah mengembalikan kodrat sound di era 70’an. Instrumen konvensional seperti saxophone, bass, dan gitar lebih ditaruh di garda terdepan, sementara synth bersifat lebih opsional. Lagu ini juga memiliki corak musik demikian, dengan tidak terlalu banyak meminta bantuan pada elemen synth, lagu ini berhasil menciptakan suasana nightlife city pop energik dan bergairah. Jangan lupakan juga bagian solo saxophone menjelang akhir lagu yang akan membuat perasaan semakin bergejolak untuk kembali memutar ulang lagu ini.
The Revivalists (2010 – Present)
Hitomitoi – ハーバーライト(2012)
3 tahun pasca tidak merilis album, Hitomitoi memanfaatkan momentum yang ada seiring dengan rilisnya album City Dive tahun 2012. Hitomitoi tidak hanya menampilkan skema musik nightlife city pop catchy dan radio-friendly. Konteks liriknya bisa memiliki makna-makna pesan subliminal dibalik kepolosan dari paparan ironi pada lagu ini. Ditambah dengan kualitas produksi baik, lagu ini dipenuhi dengan harmony dan melodi baik dari vokal Hitomitoi, maupun lonjakan-lonjakan kemitraan dari sektor gitar dan layer synth. Saya rasa komposisi lagu ini memiliki pendekatan lebih modern dengan tidak hanya menjadi imitator belaka.
Especia – Sensual Game (2014)
Konsep idol sudah semakin berkembang dibanding ketika city pop 80’an baru mulai populer. Era sekarang, konsep idol dapat bertransformasi menjadi sebuah idol group. Especia sendiri sebuah idol grup yang pada awalnya beranggotakan 6 orang. Especia mencoba menghadirkan visual berbeda dikala mendengar sentuhan city pop era 80’an. Alih-alih mulai memikirkan film-film animasi lawas, maupun iklan tv komersil usang, kita disuguhkan 2 visual yang silih bergantian masuk. Menelusuri jembatan layang dikala malam tiba sambil membayangkan para personil menari-menari merupakan sebuah perpaduan visual yang tidaklah buruk. Bayangan-bayangan tersebut juga semakin diperjelas dengan hiruk pikuk suara synth, betotan funky bass, dan solo saxophone menusuk jiwa.
Uko – Tokyo Saturday Lights (2016)
Lagu ini merupakan contoh manifestasi bahwa city pop juga bisa lepas dari bayang-bayang struktur musik vintage. Tentunya disini masih ada elemen funk / soul dan new jack swing yang dilibatkan, namun kualitas rekaman lebih mutakhir dengan menghilangkan efek reverb pada vokal dan drum memudarkan ekspetasi bahwa lagu ini akan mengembalikan nuansa nostalgia. Tetapi ini masih menjadi soundtrack penghantar malam yang menarik, apalagi secara tema lirik, Uko mendeskripsikan secara gamblang mengenai perasaaan mengelilingi kawasan Tokyo pada malam hari.
Yubin – 숙녀 (淑女) (2018)
Saya rasa fenomena membludaknya city pop justru lebih banyak dirasakan oleh masayarakat di luar Jepang. Korea Selatan juga termasuk negara yang menikmati euroforia menjangkitnya kembali musik-musik retro ini ke muka publik. Beberapa artis K-POP membuat terobosan berupa lagu dengan konsep city pop tidak terkecuali Kim Yubin. Harus diakui penyanyi berusia 33 tahun tersebut mampu membuat estetika city pop yang biasanya hanya muncul dalam daya imaji kita masing-masing kini bisa dinikmati oleh mata secara nyata. Sektor synth meramu head melody repetitif yang menjadi salah satu daya tarik terpenting pada lagu ini. Lagu yang mampu mengandalkan harmoni vokal dan synth sebagai pegangan utama dari alur lagu. Sayangnya ide Yubin untuk mereplikasi city pop ke dalam bentuk album penuh harus batal. Lantaran judul album “City Woman” yang diajukan oleh Yubin dituduh melakukan plagiarimse terhadap lagu “Plastic Love” milik Mariya Takeuchi.
Yoon Jong Shin – Night Drive (2018)
Ketika secara sadar para penikmat city pop berekspetasi agar mendapatkan pengalaman nostalgia disertai susana urban yang melekat kuat disetiap detik lagu. Pihak musisi di era sekarang lebih menjual hal tersebut secara gamblang. Ditambah lagi dengan konsep video klip yang memang sudah umum di era sekarang seolah lebih memperkuat visual musik city pop. Semuanya sah dilakukan asal digarap serius hingga menghasilkan end product memuaskan. Yoong Joo Shin penyanyi asal Korea Selatan juga turut mencoba peruntungan di dunia city pop yang kembali naik daun ini.
Selain mampu meracik musik nightlife city pop ditaburi dengan lengkingan synth. Peralihan vokal Yoo Jong Shin cukup menaruh perhatian. Jika kebanyakan musisi city pop melakukan empowering pada sisi instrumen semata dan tidak terlalu banyak berkreasi pada warna vokal, tetapi Yoo Jong Shin memiliki kasus berbeda. Yoo Jong Shin mengeluarkan sedikit demi sedikit potensi vokalnya di tiap menit lagu, hingga mencapai klimaks ketika dirinya mengeluarkan vokal dengan nada lebih tinggi pada penghujung lagu.
Hidden Gems
Stardust Revue – 狙われた夜 (1987)
Sebuah lagu yang cocok untuk menghentak kehidupan malam dengan berdansa ria. Lagu dibangun dengan sinergi dari drum dan bass memberikan ritem-ritem upbeat tetapi dengan effort yang dirasa efektif. Pengunaanan synth juga dilakukan dengan timing tepat, dimana ketika harmoni vokal mulai berdendang, layer synth semakin mempermanis nuansa lagu yang ada,
Kaoru Sudo – やさしい嘘つき(1985)
Dengan bermodalkan influence musik-musik psyhedelic yang dipadukan dengan musik sejenis The Police, lagu ini dijamin dapat memeberikan emosi campur aduk. Sekali lagi ini merupakan representasi musik city pop 70’an, bahkan menjurus akhir 60’an, dimana vokal Kaoru Sudo lebih terasa aroma psych nya dibandingkan vokal-vokal pop-ish. Pemilihsan suara distorsi gitar yang mengkilap, dan jernih seperti mengindikasikan bahwa gitar juga dapat dimanipulasi suaranya untuk memancarkan aura neon.
Yumi Touma – Equus (1994)
Sejujurnya saya sengaja hanya menyebutkan 1 lagu tiap 1 album dalam playlist ini. Tetapi kasus khusus untuk album yang satu ini, karena jujur hampir seluruh lagu di album ini sangat direkomendasikan. Selain itu, album ini juga memiliki eksplorasi musik liar mulai dari smooth jazz, classical, rnb, synth pop, funk, hingga album ini juga mengambil sampling drum dari art barkley yang biasanya lazim digunakan pada dunia hip hop. Satu lagi album yang memberi bukti bahwa secara musikalitas, city pop di era 90’an hampir tidak memiliki celah. Hanya city pop di era tersebut lebih bermasalah dalam hal krisis popularitas.
Yui Asaka – Heartbreak Bay Blues (1988)
Seperti layaknya musik blues yang menyulap kemalangan menjadi sebuah karya sentimentil, Yui Asaka juga mengalami nasib serupa. Lagu ini menceritakan kisah traumatis gadis tersebut dalam urusan cinta. Ya mungkin kami harus belajar bahwa jangan mudah untuk merasakan jatuh cinta, tetapi ironisnya justru sesi instrumen di album ini seolah seperti menari-nari di atas perasaan kecewa dari Yui. Harus diakui sesi instrumen selain dapat meracik nuansa modern dan futuristik, tetapi memiliki keragaman timbre cukup mendalam. Beat-beat hawaiian, synth bertekstur berat, jazzy tune serta elemen-elemen techno berseliweran di sepanjang lagu ini. Menampilkan ragam kompleksitas percis seperti ketika kita mengalami kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Hitomi “Penny” Tohyama – I Don’t Think I Can Wait (1982)
Seluruh unsur di lagu ini seperti merepresentasikan anti-thesis dan siap menyanggah argumen dari lagu Yui Asaka sebelumnya. Hitomi justru ingin memperlihatkan sisi potif dari dunia percintaan yang merupakan salah satu unsur terpenting untuk menghidupi manusia. Lantunan vokal merdu dari Hitomi yang tulus untuk menyatakan cintanya dan segera tidak sabar menunggu untuk mendekap sang kekasih di malam purnama yang indah.
Baca Juga : Rina Sawayama : Sawayama Review