Paydretz – Black Metal, Revolusi Prancis & Peperangan Vendee – Part III
Band black metal asal Prancis, Paydretz menceritakan sejarah kelam mengenai Revolusi Prancis. Pertempuran di wilayah Vendee, menjadi saksi mengerikan dari para pejuang kontra-revolusi Prancis. Ini akan menjadi kisah panjang sekaligus epik dan menegangkan.
Sebagian besar kota di wilayah Vendee, berhasil direbut kembali oleh vendeans dari tangan republik. Vendeans terus mendeklarasikan kemenangan demi kemenangan yang menagkibatkan semakin terdesaknya kedudukan tentara republik di Vendee. Sekumpulan petani yang dipimpin oleh Jacques Cathelineau ini membuka mata dunia, bahwa hal terpenting dalam peperangan bukanlah taktik dan kedisplinan dalam berperang, melainkan semangat juang tinggi dan mampu mengendalikan rasa ketakutan lah yang mengantarkan mereka pada kemenangan selama ini.
Namun misi pembrontakan suci ini belum berakhir sepenuhnya. Meski keadaanya sedang terdesak, Republik Prancis masih mengendalikan penuh 2 kota besar di wilayah Vendee, yakni Nantes dan Les Sables d’Olonne. Tentu saja mereka tidak ingin dikalahkan begitu saja, pihak musuh sudah menyiapkan strategi jitu yang siap menjadi tantangan berat lainnya bagi para laskar vendeans.
Bagian IV : Meninggalnya Sang Pahlawan Suci di Nantes

Sebelum melakukan penyerangan, pihak royalists (pendukung raja) pembela vendeans memberikan peringatan keras terhadap walikota Nantes, Baco de la Chapelle untuk segera menyerahkan Nantes ke tangan vendeans. Peringatan tersebut disertai dengan sebuah ancaman, jika sang walikota enggan menyerahkan kekuasaanya, maka akan terjadi pembantaian massal di perbatasan kota. Sang walikota sama sekali tidak mengindahkan peringatan tersebut yang akhirnya membuat para vendeans bergerak untuk mengepung kota Nantes.
Hari itu 29 Juni 1973 sebanyak 30.000 pejuang vendeans lengkap dengan persenjatannya berbaris mengitari kota Nantes dan bersiap untuk melontarkan segenap peluru panas ke tubuh para tentara Republik. Peristiwa pengepungan kota Nantes tersebut dijabarkan Paydretz pada lagunya berjudul ‘Le cantique des moulins (Under the White Banner)’ dengan liriknya berbunyi :
Before us stands the City of the Dukes,
Superb vision defying the centuries.
Decision was made to march on Nantes
And we cannot afford failure!Beneath these walls have gathered our gentlemen
Le cantique des moulins (Under the White Banner)
And more than 30,000 of our brothers.
Our flags flutter in the wind, majestic,
To the sound of our veuzes, powerful and clear!
Kibaran bendera putih vendeans yang tertiup oleh angin, seolah memberi peringatan pada tentara republik. Ini merupakan hembusan angin serupa ketika para vendeans menaklukan mereka disepanjang musim semi lalu. Perang pun meletus, para pejuang vendeans mulai menyerang sambil berteriak dengan lantang, “Untuk Allah dan Untuk Raja!”. Barangkali ini merupakan pertempuran paling sengit yang dihadapi oleh vendeans sejauh ini. Saking sengitnya Paydretz mencoba menggambarkan dengan gamblang peristiwa berdarah ini, masih dalam judul lagu serupa.
In the bruised streets of Nantes,
Like the lightning that strikes the earth,
Carried away by a fiery momentum,
We charge to our cries “Rembarra! »Through bullets, grapeshot,
Le cantique des moulins (Under the White Banner)
beyond the barricades,
Through the cannonades, the acrid smoke
And the din of battles
Namun tak disangka petaka terjadi di pihak vendeans,sang pahlawan Jacques Cathelineau terkena tembakan di bagian kepalanya yang langsung menewaskannya. Melihat sang pahlawan terbaring kaku dalam medan pertempuran, para vendeans memutuskan untuk mundur dan Nantes gagal dikuasai. Dengan gamblang Paydretz menggambarkan kisah ini, menggunakan sudut pandang seorang pejuang vendeans yang melihat kejadian naas tersebut secara langsung.
Under the azure sky of June,
Le cantique des moulins (Under the White Banner)
From Anjou the Saint collapsed.
Here, our hope is consumed!
Here, our fate was sealed!
Bagian V : Titik Balik Kekelaman

Setelah peperangan Nantes usai, para laskar vendeans masih melancarkan invasi-invasi berikutnya. Meski Jacques kini telah tiada, namun mereka kembali memenangkan sejumlah pertempuran. Setidaknya mereka berhasil mengambil alih beberapa wilayah, diantaranya Châtillon (5 Juli 1973), Vihiers (18 July 1973), dan Tiffagues (19 September 1973).
Tatapi pada tanggal 17 Oktober 1973, petaka kembali menghampiri kubu vendeans ketika pertempuran Tremblaye di sekitaran Cholet berlangsung. Mereka menerima kekalahan keduanya atas Republik dan mengakibatkan para pemimpin mengalami luka serius. Peristiwa tersebut menjadi titik balik yang tidak diduga-diduga akan mendatangkan hari-hari akhir bagi para pembrontak suci ini kelak.
Firasat buruk, rasa bimbang, dan trauma menyelimuti mereka, dimana kondisi ini dijelaskan oleh Paydretz pada lagunya berjudul ‘A La Loire (At The Loire)’.
The skies are darkening,
Covered in black clouds,
As if we were already predicted
Bad omens.Pursued by the enemy
Since the rout of Cholet,
And our bruised army
By the loss of our leaders,The choice we hardly have anymore
A La Loire (At The Loire)
Because hope is fading.
Surrounded on our land,
Here we are backed into the Loire…
Seketika para vendeans kehilangan harapan, membiarkan nyawanya melayang ditangan hunusan pedang dan bayonet para tentara republik. Peperangan Savenay pada tanggal 23 Desember 1793 menjadi penentuan akhir dari perjuangan vendean. Rupanya strategi licik pihak Republik dalam membumi hanguskan lahan pertanian dan berbagai unsur fisik di wilayah Vendee sangat berdampak pada pembrontakan ini. Rencana ini dicetuskan pada Agustus 1793 oleh B.Barere, namun baru direalisasikan beberapa bulan kemudian.
Pada pertempuran Savenay, Republik menang telak atas para pembrontak dan sekaligus mengakhiri aksi pemberontakan di Vendee. Januari 1794, para vendeans mendapatkan konsekuensi atas pembrontakanya. Pihak Republik membantai secara sadis penduduk-penduduk Vendee yang tersisa. Untuk melaksanakan peristiwa genosida ini pihak Republik membentuk pasukan operasi khusus dinamakan Colonnes Infernales (Hellish Collumn). Tanpa pandang bulu, mereka melakukan genosida terhadap vendeans menggunakan senjata bayonet maupun sistem pancung Guillotine.
Mereka sengaja menargetkan wanita-wanita hamil dan beranak sebagai sasaran utama, agar tidak ada lagi lahir anak-anak penganut paham anti-revolusionis. Kejadian tersebut juga didalangi oleh sejumlah politikus Republik Prancis, dimana Paydretz mengutip rencana dan perkataan keji para politikus itu dalam lagunya berjudul ‘Colonnes infernales(Hellish Collumn)’.
Baca Juga : Redefining The Darkness : Comperhensive Story Of France Black Metal – Part I (Les Legions Noires)
Bagian VI : Colonnes infernales, Neraka Sesungguhnya Bagi Pengikut Tuhan

Peristiwa genosida di wilayah Vendee terus berkecamuk hingga Mei 1794. Terhitung pasukan Colonnes infernales sudah menumpas 50 ribu warga sipil Vendee. Sementara politikus Nicholas Hentz dan Marrie Pierre Adrien Francastel beserta pasukannya melakukan operasi di Anjou. Mereka menangkap 15000 vendeans, dimana 7000 orang dibunuh dengan cara ditembak maupun dipenggal. Sementara sisanya ditahan hingga mengalami kematian dikarenakan kelaperan atau terserang penyakit.
Paydretz juga seakan turut prihatin dan ikut merasakan penderitaan ini. Setengah babak akhir dari album ‘Chroniques de l’insurrection’ memiliki narasi atmosfir lebih sedih dan depressi. Semula cerita-cerita heroik peperangan yang dibalut dengan musik black folk metal diiringi riff-riff menggairahkan dan kolosal. Kini berubah seketika menjadi musik-musik black metal yang justru lebih cocok dikelompokan dalam tema depressive suicidal black metal dalam konteks lirik.
Menjelang akhir album, narasi Paydretz berubah menjadi keprihatinan atas para vendeans yang menderita di hukum mati, atau menceritakan optimisme dalam kepasrahan dengan harapan perjuangan mereka menuai hasil sesuai ekspetasi mereka sejak awal perang ini dimulai. Nuansa berkabung dan Susana hati para vendeans ketika menghadapi kematiannya digambarkan sepenuhnya oleh Paydretz pada lagunya berjudul ‘Les Bleus sont là’ (The Blue Are Here).
Bagian VII : Kesempatan Terakhir!!

Berbagai metode pembunuhan masal telah dilakukan Republik dalam rangka memusahkan seluruh penduduk Vendee. Tetapi mereka yang masih bertahan dan hidup tidak hanya berdiam diri saja menunggu giliran eksekusi mati berjalan ke hadapannya. Mereka merencanakan sesuatu untuk kembali menyerang pihak Republik atas nama balas dendam. Bersama keempat jendralnya Marigny, Stofflet, Sapinaud, dan Charette, para vendeans menyusun strategi penyerangannya di malam hari. Siasat ini diceritakan oleh Paydretz seluruhnya pada lagu berjudul ‘Par les chemins creux (By the sunken paths)’.
Under the aegis of our last leaders,
Marigny, Stofflet, Sapinaud, Charette,
The bruised Vendée is recovering,
In time for the ambush!Here comes the time for the last dance,
The dance of gunpowder and iron!
As the dawn of deliverance breaks,
Through blood and dust.Promised to massacre and degradation,
Driven by the spirit of vengeance,
We will offer resistance,
A last chance bulwark!The cry of the owl
Par les chemins creux (By the sunken paths)’
Resounds in the night.
The glow of the rising moon
Enlighten our rebellious hearts.
Akhirnya sebelum menjalankan misi suci ini, para vendeans memanjatkan doa kepada sang pencipta untuk sekali lagi menaungi dan melindungi mereka dalam berperang demi membela kebajikan. Isi doanya sendiri dijabarkan oleh Paydretz pada sebuah lagu spoken words berjudul ‘Au coeur de la forêt’.
Bagian VIII : The Aftermath!!

Sepanjang tahun 1794-1796, vendeans masih melakukan beberapa kali perlawanan terhadap Republik. Namun pada rentan waktu tertentu, vendeans sempat menandatagani perjanjian gencatan senjata dengan pihak Republik. Contohnya pada 17 February 1795, 2 panglima Vendee, François de Charette dan Charles Sapinaud de La Rairie menandatangani Treaty of La Jaunaye atas kesepekatan damai dengan Republik. Dalam perjanjian tersebut, pihak Republik menjaminkan kebebasan beragama, kebebasan wajib militer, dan mengembalikan sejumlah peternakan warga vendeans yang disita.
Meski perjanjian telah dibuat dan disepakati 2 belah pihak, tetapi konflik terus bermunculan. Sepanjang tahun 1795-1796, masih terdapat pembrontakan-pembrontakan skala kecil dikarenakan para royalist Vendee masih tidak terima bahwa sang raja, Louis XVI dihukum mati. Meski begitu perlahan kehidupan di Vendee mulai kembali berjalan normal. Diperkirakan korban yang berjatuhan dalam peristiwa berdarah Vendee ini mencapai 200 hingga 300 ribu jiwa.
And yet, we must live, live and remember.
Remembering our epic.
Remembering the ideal for which we fought.
Finally remember those, far too many, who will not return…One day we will rebuild this country.
Le pardon n’est pas l’oubli (Forgiveness is not forgetting)
We will rise again, for we are a race of giants.
We are immortal and we will never forget,
Because forgiveness is not forgetting…”
Akhirnya setelah masa peperangan berdarah dan masa rekonstruksi ini berlangsung. Seluruh warga Vendee yang tersisa berkumpul di atas api unggun, dan kemudian menceritakan kisah epik dari para pejuang mereka yang sudah mendahului karena bertempur demi keadilan. Seluruh ingatan dan memori mereka tersirat dalam lirik lagu Paydretz berjudul ‘Le pardon n’est pas l’oubli (Forgiveness is not forgetting)’.
Lagu tersebut sekaligus mengingatkan bagi mereka yang masih tersisa untuk tidak melupakan jasa para pejuangnya. Satu hal lagi yang dapat dipelajari dari perisitwa peperangan Vendee ini bahwa kita harus berani membela kebenaran sekalipun nyawa taruhannya.
Baca Juga : Redefining The Darkness: Comperhensive Story Of France Black Metal – Part II (The Philosophy)
Revolusi Prancis dalam perjalanannya melahirkan: Nasionalisme dan Liberalisme, yang kemudian berkat gagasan ini menjalar ke negara-negara Koloni. Sehingga menanamkan bibit-bibit kebebasan bagi negara Koloni.
Akan tetapi, dengan album ini, yang menjelaskan sudut pandang yang berbeda: Perang Vendee secara jelas merupakan perlawanan atas kesucian yang telah dinistakan Republik. Revolusi Prancis selain me-rekonstruksi sistem monarki absolut, juga secara radikal me-rekonstruksi Gereja Katolik Roma yang dominan kala itu.
Dikala banyaknya band-band yang berusaha mengangkat tema “Historical”, dengan dominan topik mengenai WW, saya rasa Paydretz me-manifestasikan tema “Historical” secara luas, dengan sub-topic lain dan secara sempit mengangkat bagian dari sejarah Revolusi Prancis.
Musik yang disajikannya benar-benar kelam akan aura perlawanan!
Mantap bang summary nya, Semoga ada lagi karya-karya metal dengan mengangkat kisah-kisah historikal yang jarang diangkat kepermukaan, seperti mereka.