Panduan Album Bulanan – Edisi Januari 2023
“Panduan Album bulanan edisi Januari 2023 meliputi rilisan terbaru mulai dari Belle & Sebastian, Tujiko Noriko, Nothingness, Parannoul, Cicada, Oddisee, Ayano Kaneko, dan masih banyak lagi.”
2023 baru saja berlangsung selama 1 bulan, namun tak dipungkiri lagi bahwa kita sudah dihadapkan dengan begitu banyaknya rilisan album baru. Agar tetap terhubung dengan rilisan album sepanjang tahun, kami memutuskan mengirimkan artikel berupa panduan album bulanan dan untuk memudahkannya kami membagi album-album pada sejumlah tingkatan berdasarkan seberapa mudah atau sulitnya album tersebut dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pada penghujung artikel kami menyiapkan playlist spotify yang dipilih berdasarkan lagu terbaik dari masing-masing album.
Level 1 : Album Termudah
Bell & Sebastian – Late Developer
“A Bit of Previous” merupakan album mini-comeback setelah 7 tahun yang dilepas oleh band indie pop berkebangsaan Skotlandia ini. Namun merujuk pada pengakuan yang baru-baru saja beredar dari pihak band, bersamaan dengan pengerjaan “A Bit of Previous”, mereka turut menulis kumpulan lagu rahasia, yang tidak disangka-sangka menjadi materi album penuh berikutnya. Dalam “Late Developer”, Belle & Sebastian kembali mengundang produser veteran, Steven Errett untuk menjadi pemandu visi konstruksi instrumen, sementara seluruh punggawa yang sudah hafal mati memetakan hibridisasi twee pop era 90’an dengan synth-pop dan vokal psychedelic–pop era 60’an, menolak untuk merestrukturisasi bagian inti aransemen.
Persebaran elemen musik terdesentralisasi pada setiap keping lagu, sehingga hampir di setiap perpindahan track menampilkan otoritas berbeda dalam mengurutkan palet warna musik yang tersedia. Melodi-melodi gitar kaca bersinggungan dengan kelembutan simfoni minimalis, synth bercahaya, dan vokal datar bergetar – meminjam gaya Morrissey dan itu bukan masalah selagi mampu mengemulsikan nya menjadi irama pengiring tarian kesenangan. Seperti biasanya mereka menjadi pribadi retrospektif dalam menyampaikan nasihat optimisnya, dan hal ini turut didukung oleh instalasi sonik pop tua bergaya 60’an yang subur secara kenyaringan vokal barok dan mengkomunikasikan setiap pesan dengan jelas.
Sebuah simbolisasi adegan klasik antara yang tua dengan segudang pengalaman menasehati mereka yang baru saja memulai mencari jati diri. Beberapa tembang seperti membuka lembaran kenangan foto lama mereka pada salah satu kesuksesan album mereka di masa lampau, “The Boy With the Arab Strap”. Bagi mereka yang tidak akrab, tentu ini sebuah kemasyuran revivalis musik pop tua di tengah kecanggihan pop berlandaskan teknologi, namun bagi mereka yang telah mengikuti jejak karir band ini dalam jangka waktu lama, ini hanyalah sebuah penuturan kejayaan lama yang perlahan memasuki fase usang.
Oddisee – To What End
Saat hip-hop menjadi musik paling populer, telah begitu banyak rapper serta produser berkualitas terlahir untuk mengisi blantika industri ini dengan kreatifitas dan perjuangan tanpa batas. Akan tetapi bobot besar distribusi persebarannya hanya terletak pada dua poros, diantara poros kiri yang terwakilkan oleh rapper-rapper bergelar G.O.A.T dengan kemahiran menguntai sajak permainan kata tajam, dan poros kanan yang terwakilkan oleh produser-produser jeli dalam mengkurasi sampling dan menciptakan beat fenomenal. Cukup sulit menemukan figur yang memiliki skill set lengkap untuk bersikap diktator dalam menjamin kualitas tata instrumen dan secara bersamaan memiliki pemikiran liberal dalam menuangkan setiap rima dan manifestasi pengalamannya.
Akan tetapi Oddisee merupakan figur yang cocok untuk mengisi kekosongan titik ekuivalen tersebut, dengan segudang portofolio mixtape hip-hop instrumental di masa lampau dan pengalaman hidupnya yang berliku. Terpaut 6 tahun pasca, “the Iceberg” Oddisee memiliki ruang lebih luas untuk menuturkan hal-hal yang telah berubah selama rentang waktu tersebut pada “To What End”. Catatan ini memungkinkan Oddisee menghadapi titik belok strategis-nya dalam merubah perspektif terhadap kehidupan, setelah ia diterpa masalah mental dan menuturkan pengalamannya pada “Many Hats”: “Saya tidak mengeluh, saya hanya berpura-pura tetap jernih / Menghilang ketika dalam keadaan terburuk, saya bersembunyi dalam pekerjaan / menerima karir saya untuk mengubah luka menjadi ide / Untuk bertahan adalah keunggulan kontradiktif, yang terus saya jalani.”
Instrumen pun bergeser dari kecenderungan Oddisee menggunakan ketukan yang mengetat dan berdebu dari hasil produksi basementboom-bap menjadi meditatif dan rimbun dalam mengekspresikan mood menenangkan dengan alunan potongan soul bersinar, garis bass groovy bergairah, dan linangan melodi piano yang bersahaja. Getaran beat tetap terdengar gemuk dan menghentak, tetapi bukan untuk meninju dengan tragedi, melainkan mengetuk hati agar menerima secara terbuka pesan nasehat bijak Oddisee. Ia juga menampilkan kemahiran dibalik mic dengan mengatur fleksibilitas tempo flow-nya untuk berdansa bersama riak instrumen maupun bertahan dalam kondisi turbulensi seperti pada “Try Again” maupun “Hard to Tell”. Dalam beberapa kesempatan Oddisee pun seperti tertarik menempelkan elemen musik House pada koleksi timbre, terbenam di sela-sela instrumen seperti kilauan sunset hangat.
Molly – Picturesque
Air mata yang menetes sebagai ekspresi kekaguman terhadap gerakan lukisan artistik era-romantisme, telah menggerakan sanubari 2 punggawa asal Austria yang tergabung dalam moniker “Molly” untuk menciptakan karya indah yang sama inspiratifnya melalui album bertajuk “Picturesque”. Penuturan berdurasi singkat, telah membawa mereka pada keputusan akhir menciptakan materi post-rock / shoegaze secara ringkas tanpa mengorbankan kedalaman penghayatan emosional, serta kualitas produksi yang cakap menerjemahkan suasana yang hendak disampaikan.
Pemilihan eklektik dari gabungan kesuburan elemen post-rock Sigur Ros, lentingan vokal menjulang tinggi dan mengambang di antara instrumen ala Slowdive, riak distorsi gitar Swans, hingga ambience kegelisahan Radiohead – telah membebaskan mereka dari jerat eksperimentasi sonik berlebihan dan memilih untuk tenggelam dalam kemerduan melodi serta mengalirkan keindahan secara holistik. Riuhan distorsi gitar tereduksi serta gebukan drum sederhana hadir dalam eksistensi beserta fungsionalitas yang tetap tidak boleh dipandang sebelah mata. Merupakan sebuah karya album penuh yang menunjukkan proses pembentukkan emosi alamiah manusia yang dinamis, berubah-ubah sepanjang waktu, serta selalu mengundang rasa penasaran untuk segera menelisik ke dalamnya.
Level 2 : Album Mudah
Kovacs – Child of Sin
Pada bagian refrain “Child of Sin”, penggalan kata “sin” terus berulang dan bertransformasi menjadi beban karma yang harus ditanggung Kovacs dalam menghadapi karakter semasa kecilnya yang ringkih terhadap kecemasan. Setiap langkah terasa seperti kesalahan yang dihitung dan pengakuan dosa itu terhimpit oleh fluktuatif Kovacs dalam kilas balik memandang relasi cinta dengan tatapan dingin : “Ketika aku berusia 4 tahun / Aku berpikir cinta sulit ditebak / Ketika aku berusia 12 tahun / Aku tahu bahwa cinta unsexual”. Bersamaan Interpolasi piano lusuh musik soul yang murung, Till Lindemann muncul dari sudut tergelap dengan vokal berat intimidatif nya beserta imajinasi cinta yang liar, suram, dan menusuk : “Ketika aku berusia 9 tahun / Kami meneror jalanan ini dari senja hingga fajar / Tetapi ketika kami beranjak 16 tahun / Tangan kotorku akan berlumuran darah dari benturan pada pintu anda.”
Pada masa pandemi menerpa, penyanyi kelahiran Belanda ini setidaknya berangsur-angsur membaik pasca menjalani terapi dan intensitas kemunculan karakter semasa kecilnya dapat berkurang. Ia seperti memiliki suntikkan keberanian untuk menggali masalah personalnya lebih dalam dengan goresan luka yang sulit dihilangkan dan ini justru menjadi titik balik catatanya yang paling mengaduk emosi. “Mama” merupakan otobiografi rumit terkelamnya, ketika ia tidak mengetahui sosok ayah kandungnya dan memilih melampiaskan amarahnya pada sang ibu. Belakangan ia tersadar bahwa keputusan ibunya benar untuk hidup terisolasi dengan sosok figur Ayah yang telah mengecewakan mereka.
Pemilihan instrumen yang bernaung dalam musik soul / R&B lawas memudahkan Kovacs menyiapkan set panggung dan mendramatisasi tragedinya yang otentik menjadi kekuatan musik sentimentil secara inklusif. Vokal Kovacs yang terinspirasi secara eklektik dari diva pendahulunya seperti Bette Davis, Etta James dan Tina Turner telah membantunya untuk meresapi kesakitan dengan gaung vokal berani, nyaring, dan sama sekali tidak gentar menyelami titik-titik terendah dalam hidupnya.
Skyzoo & The Other Guys – The Mind of A Saint
Ketika hendak membuat album studio terbarunya, rapper kelahiran Brooklyn ini ingin melontarkan tombol kreatifitasnya di luar dari apa yang terpikirkan sebelumnya. Tentu Skyzoo tidak bisa menuturkan secara sembarangan kisah epidemik penyalahgunaan obat terlarang, konflik gangster, dan kehidupan jalanan, karena itu terlampau umum dan orang mulai memaklumi dengan pasrah menyadari bahwa itulah alasan hip-hop berkembang. Akan tetapi urgensi kasus tersebut masih memiliki tensi tinggi dan sebagai langkah kreatifnya Skyzoo tetap mengangkat cerita malapetaka tersebut, membungkusnya dengan mengisahkan tokoh fiksi bernama Franklin Saint yang diambil dalam karakter protagonist sebuah film berseri, Snowfall.
Sisi personalitas Skyzoo mungkin terkesan simpang siur, namun jelas di sini ia berperan sebagai Saint si gembong narkoba seutuhnya. Intelektualitas, kecerdikan, hingga aliran pengalaman dari Saint menjadi senjata untuk mengepang setiap rima dengan ketat. Skyzoo nampak menikmati perannya sebagai Saint, dan ia menanyakan beberapa pertanyaan yang sebenarnya sudah terjawab jika menggunakan perspektif pribadinya sebagai Skyzoo yang menyaksikan Snowfall. Potongan-potongan instrumental boom-bap kotor mengembalikan latar suasana yang relevan dengan cerita, sementara sampling-sampling musik soul dan pidato menggairahkan menjadi penanda bahwa sepanjang kisah album juga mengalirkan plot pencarian spiritual mendalam, percintaan, dan perjuangan tanpa henti.
Liukan saksofon jazz dengan nada-nada tajam, mempertegas pandangan sinisme Saint. Tidak memperhatikan aliran konseptual menyeluruh album juga bukan merupakan kesalahan, karena Skyzoo tetap membuat album hip-hop solid secara performa dan garis instrumen. Hentakan hip-hop sekolah lama yang dimodernisasi, sampling lebih berwarna, serta limpahan keatifitas tanpa batas dari aliran flow dan puisi telah melemparkan Skyzoo sekali lagi, pada pertaruhan posisi salah satu album hip-hop terbaik sepanjang tahun ini.
Firienholt – White Frost & Elder Blood
Bagi penikmat musik pragmatis, sungguh merupakan anomali melihat gambar yang memanjakan mata dan tampak deja-vu dengan buku bergambar dongeng anak terbitan elex media komputindo dijadikan sampul musik se-extremeblack metal. Faktanya demikian, ketika trio pengusung epik black metal kelahiran Leeds ini, merilis album sophomore-nya akhir Januari lalu. “White Frost & Elder Blood” tidak hanya menyingkirkan goresan pentagram, dan kepingan wajah corpse paint seram dalam rak etalase, juga menendang elemen black metal yang terlampau ekstrim dalam memberdayakan kecepatan dan kualitas lo-fi yang secara general menjadi tajuk utama jenis musik ini.
Merangkul pada kedalaman atmosfer, kejernihan suara epik, serta alur per-individu lagu yang berlagak seperti suatu kesatuan cerita utuh yang tidak pernah mengalami repetisi secara tercecer. Menabur begitu banyak melodi gitar tunggal yang terkadang bersahut-sahutan dengan kilauan dungeon synth menenangkan sembari mengeluarkan harum semerbak harmoni medieval yang tentunya akan dengan sendirinya membuat akrab terhadap hal-hal berbau fantasi Tokenisme. Interaksinya terkesan dinamis, karena keduanya tidak memukul frekuensi interval nada yang identik, dimana gitar kerap mengambil interval dasar menjadi pijakkan tanah yang lembut dan subur.
Barangkali hanya tarikan vokal merobek kerongkongan itu yang tersisa sebagai satu-satunya pillar black metal yang berdiri kokoh di sini, dan perhatian vokal pun tampak terpecah pada 2 bagian, dikarenakan Firienholt mendatangkan koor paduan suara pria berjanggut rasputin, yang menggetarkan bulu di sekitar leher dengan tarikan vokal bercorak baritone. Tidak ada transmisi, tidak ada gebukan blast-beat melawan gravitasi, semua melangkah dalam tempo relatif lambat-sedang yang terus mendayung pada mengitari alam asri dengan kelopak bunga saling berdendang tertiup angin musim semi.
Level III : Album Sedang
Parannoul – After The Magic
Dalam catatan pentingnya, “To See The Next Part” seorang pemuda misterius asal Korea Selatan terkukung dalam kuadran pesimistis-ketidakpastian. Meratapi impiannya sebagai rockstar yang tidak tercapai, dan tampak berparas nihilistik dalam memandang masa depan. Kini melalui album, ke-4 nya “After The Magic” ia merangkak pada kuadran pesimistis-kepastian. Menggunakan rasa paranoid akan rasa kehilangan dan menguapnya eksistensi yang sia-sia di masa mendatang, untuk memecutnya secara langsung menciptakan album dengan musikalitas lebih matang, kualitas produksi meningkat, dan perubahan musikalitas lebih subur.
Mungkin apa yang ditampilkan secara aransemen tampak seperti teori distorsi realitas terhadap gagasan awal. Warna instrumen merona, nada musim panas berseliweran dalam iringan synth, maupun bebunyian akor yang bergetar melalui gitar akustik. Suara bising daripada efek fuzzy raungan gitar tidak mengeluarkan dengungan yang menguras mental seperti biasanya. Sektor vokal tiba-tiba memiliki daftar panjang untuk menulis chorus big hit, terbukti dengan banyaknya lagu memproduksi segmen seperti itu. Membuat projek sampingan bersifat terapeutik, atau berkolaborasi bersama musisi satu frekuensi telah merentangkan Parannoul dalam melihat sudut pandang berbeda.
Ini tidak hanya lagi mengenai ledakan kebisingan gitar, dan emosi melankolis yang tersentral, tetapi terdapat simfoni kecil menghimpit dan memberikan perluasan tekstur secara otentik serta menarik kedalaman atmosfer lebih sensitif dan terkadang menenangkan. Sesekali mencoba untuk mengalienasi diri dari kebisingan kota, dan menuju alam yang lebih segar melalui uluran bebunyian ambient bernuansa alam serta sampling kicauan burung dan deru angin. Hal yang tertanam dalam shoegaze tampak masih menempel, namun kali ini tidak dalam untaian dari konsep besar keseluruhan, fungsinya tampak seperti kepingan puzzle pembawa pesan nada mellow dramatis.
Baca Juga : Untuk Penggemar Alvvays
Ayano Kaneko – Towelket Ha Odayakana
Sejak 2018 lalu, penyanyi sekaligus penulis lagu indie-folk berkebangsaan Jepang ini memiliki kebiasaan melepas 2 album studio dalam kurun waktu 1 tahun. Sisi pertama sebagai album utama, sementara sisi koin berseberangan seperti menunjukkan kemungkinan alternatif plot dalam aransemen, dan pendekatan ini sudah beroperasi sebanyak 3 kali. Namun kasus khusus menghampiri “タオルケットは穏やかな” karena perilisannya jatuh pada awal tahun, suatu anomali yang belum pernah terjadi dan mungkin menjadi isyarat bahwa 2023 merupakan tahun super produktif bagi Kaneko.
Dalam album ke-10 nya, Kaneko mengincar reinterpretasi beberapa elemen musik yang terkesan melampiaskan emosi dan memiliki rentang kedekatan intim terhadap suatu periode nostalgia. Seperti pada pembuka, “わたしたちへ” yang menawarkan kebisingan maniak gain volume dari gitar berparas shoegaze-ish sembari merendam paras vokal Kaneko yang nyaring tenggelam di dalamnya. Dalam beberapa kesempatan, pada lagu “月明かり” & “やさしいギター” ia melompat pada elemen musik psychedelic / funk 70’an. Namun tampilan muka musik Kaneko masih berada pada pengalaman mengitari jalan setapak Country Road yang menghubungkan instalasi timbre instrumen pada jejak country / folk lawas.
Fokus serta ketekunan pun digerakkan pada tempo setiap lagu yang relatif konstan mengalun dan tidak pernah sedikitpun tergoda untuk berlari apalagi menaiki tanjakkan percepatan yang lebih agresif. Latar instrumen yang kerap melakukan pergeseran, agaknya tidak begitu mempengaruhi pelampiasan emosi Kaneko yang tertuang dalam vokal. Ia seperti menghadapi dan menyelesaikan segala problematika dengan manajemen emosi yang stabil dan mungkin beberapa menganggapnya sebagai watak keras kepala, sehingga ia tidak perlu banyak merencanakan upaya modulasi. Elemen gitar yang melakukan interplay secara berkala pada bagian akustik ke listrik, menjadi kawan sepadan untuk menghiasi gelombang melodi yang hampir selalu diatur dalam nada yang lebih rendah disandingkan oleh lantunan vokal Kaneko.
Baca Juga : 3776 – J-Pop Penuh Dengan Teka-Teki Artistik
Billy Eric’s New Amsterdam Orkest – Self-Titled
Melihat jejak kiprah Billy Eric di Internet tampak sedikit membingungkan. Pasalnya ada 2 nama identik yang muncul dan bisa jadi keduanya ialah sosok yang sama. Dikatakan Eric yang berkontribusi sejak era 90’an merupakan seorang gitaris jazz dan pernah berkolaborasi bersama gitaris ternama lainnya sebut saja Larry Carlton, Chuck Loeb dan AL Dimeola. Sumber lain menyatakan bahwa Eric merupakan seorang bassist yang beralih profesi untuk bersenandung bersama gitar dan mendirikan mini orkestra beranggotakan 13 orang, “Billy Eric’s New Amsterdam Orkest”. Meski namanya disematkan pada awal proyek, ini bukanlah sebuah instansi yang dikepalai oleh pemimpin otoriter dan awak yang hanya menerima input perintah. 13 SDM yang terlibat tampil dalam pertunjukkan assembly yang terpotong-potong dengan penampilan solois.
Dalam arti masing-masing instrumen diberikan kesempatan adil untuk memimpin, dan tidak ada usaha untuk memasukan melodi subliminal bersifat dualistik untuk mengaburkan fokus. Potongan horn bergerak dalam kenyaringan merdu, saksofon meliuk dengan ramah tanpa berteriak dalam tingkat desibel yang tinggi. Kepiawaian Eric dalam memainkan liukan frasa gitar yang cair justru tidak selalu tampil dalam panggung terdepan. Ini bukan merupakan pertunjukkan big band yang tampil dalam parade karnaval, dimana lapisan seluruh instrumen datang secara bersamaan dan menimbulkan euforia bergejolak dan jantung berdebar.
Ini juga bukan sarang para kolektif musisi jazz yang berpusar dalam improvisasi liar dan tak terkendali, mengingat durasi setiap lagu yang relatif singkat, tidak banyak ruang yang tersedia untuk mewujudkan itu. Sebagai gantinya, mereka memanfaatkan dengan baik fungsionalitas kesunyian dalam dinamika instrumentasi lembut, menjaga keseimbangan keanggunan dan keeleganan yang melenggang dalam sinonim dari kata “smooth jazz”.
Riverside – ID.Entity
Nampaknya unit progressive metal / rock asal Polandia ini, harus segera memikirkan untuk mengganti nama “Riverside” yang telah melekat sejak band ini terbentuk 2001 lalu. Alih-alih seperti seorang yang berada di tepi sungai dalam memberi perspektif berseberangan, mereka seperti seorang yang tengah mendayung mengikuti arus sungai kemanapun bermuara tanpa memperdulikan sulit dan terjalnya medan. Mungkin nama “River Branch” (cabang sungai) menjadi alternatif dan tidak ada satupun yang dapat menghentikan aliran kreatifitas mereka, untuk menciptakan aransemen dengan sifat dan warna yang berbeda pada setiap album meski memiliki kode genetik sama, yakni progressive rock.
Segera setelah pada “Watershed”, Riverside bermain dalam distorsi serta gaya produksi yang tampak seperti bebatuan yang tersedimentasi, pada “ID.Entity”, Riverside melunakkan wataknya menjadi lebih terintegrasi dengan hal-hal berbau kilauan synesthesia synth bercorak neo-prog 80’an, gaya rock yang berkesinambungan dalam menghasilkan melodi bersifat perenungan, serta mengambil jalur literatur modern progressive / alternative rock yang linear dalam kemiripan terhadap Flying Colors (pada beberapa situasi). Lintasan synth beserta getaran bass yang menggeram dalam kejernihan tingkat steril paling sering menimbulkan decak kagum dalam mendramatisasi aransemen.
Gitar maupun gebukan drum tidak leluasa meledak dan menabrakan diri menuju kegarangan. Melodi gitar lebih bersikap kooperatif untuk melunak dalam kilauan pijakan synth yang berwarna. Jelas semuanya terdengar memiliki pendekatan emosional secara rapuh yang dapat terhubung secara langsung terhadap kekhawatiran dan kesedihan dalam guratan lirik, serta lantunan vokal yang tampak memelas. Riverside menurunkan tensi dan merendahkan hatinya untuk menulis lirik dengan kesederhanaan mengangkat urgensi permasalahan tanpa mengaburkan maknanya dalam kolong metafora maupun alegori multi interpretasi.
Twilight Force – At the Heart of Wintervale
Sekarang setelah layanan Disney+ secara gencar mengisi acara-acara TV di ruang keluarga, apakah ada lebih banyak kesempatan bagi band metal untuk mengisi soundtrack pada film animasi anak? Tentu kita tidak sedang membayangkan track Unhallowed milik Dissection menjadi lagu latar aksi heroik sang pangeran yang menolong sang putri dari tangan antagonis.Tetapi ada satu turunan metal yang pantas untuk mengisi adegan itu, yakni power metal. Belakangan turunan metal tersebut justru telah menyatu dengan sinonim disney itu sendiri dan banyak orang telah menganalogikannya sebagai disney metal.
Twilight Force, menjadi salah satu band yang paling sering mendapat julukan tersebut, karena tampilan musiknya terlampau cerah, optimistik, dan happy ending untuk seukuran metal. Jelaslah bagi yang mengharapkan Twilight Force untuk segera mencabut lengkingan vokal operatik, aksi lesatan lick solo gitar melodious, dan Derap gemuruh drum yang berpacu seperti sekumpulan pasukan berkuda dari aransemen – adalah kesia-siaan belaka. Itu merupakan sifat paten dari power metal dan tugas berikutnya mereka di sini, adalah merentangkannya ke dalam bentuk yang lebih diterima dalam imajinasi dan tangkas memahami mekanisme diagram freytag agar memiliki plot dinamis dengan hasil akhir non-generik.
“At the Heart of Wintervale” datang dalam ledakan dinamika bombastis, hasil pengaruh dan interpolasi karya-karya musik klasik yang kali ini memiliki kiprah bersifat integral, cenderung menjadi topangan tulang belakang bersifat kokoh. Twilight Force menyediakan fasilitas alur berkelok-kelok terutama untuk pola drum yang menjulang tinggi dalam permainan yang cenderung teknikal serta pola variatif. Lirik memiliki pendekatan secara naratif serta setiap dialog tokoh terkesan lebih interaktif menggambarkan penulisan naskah yang berbobot.
Level IV : Album Sulit
Atsuko Chiba – Water, It Feels Like It’s Growing
Gerakan menembus batas berbagai genre musik dan merangkainya menjadi aransemen terpadu, merupakan hal lumrah yang terjadi saat ini. Namun tantangan berikutnya adalah bagaimana membuatnya agar tetap menarik serta tidak bias dalam mempertahankan jati diri. Band eksperimental rock kelahiran Quebec, Kanada berusaha menjawab tantangan bersifat paradoksal itu pada album ke-3 nya, “Water, It Feels Like It’s Growing”. Hubungan yang ditunjukkan selama melintasi 6 babak lagu, memang tampak liar dan tidak berkesinambungan secara kasat mata, tetapi kohesivitas mampu terjaga berkat peleburan zat gabungan psychedelic rock, krautrock & landasan pergerakan transisi halus post-rock yang bersifat universal.
Kekuatan utama album terletak pada alunan tempo melambai, selingan gitar beraroma psychedelic, melodi dan harmoni synth menohok, dan getaran bass yang berkecamuk dalam balutan elemen drone. Akan tetapi mereka mampu membawa musik rock menuju pada sebuah sarana kontemplatif seperti pada “Shook (I’m Often)”. Mengasah vokal serta instrumentasi yang menunjukkan wibawa dalam mendeskripsikan getaran suasana dan emosi. Mereka juga tidak melupakan jati diri musik rock sebagai simbolisasi musik berirama kuat, dan itu teralirkan pada “So Much For” dengan bantuan german bass juicy, gebukan drum energik, gaya vokal opeartik, desingan distorsi gitar disonan, serta perubahan tempo asimetris. Gayanya pun berubah menjadi sebuah pertunjukkan epilog kelam nan megah pada penghujung album.
Bianca Scout – The Heart of the Anchoress
Tidak ada hal yang lebih eksentrik melihat wanita tinggi semampai, berseragam, sembari bercokol pada kerangka plastik dan menjadi sampul album untuk potongan musik pop elektrik yang tumbuh subur dalam keanehan dan tumpukkan hentakan gelombang elektromagnetik tidak bersahabat. Pemandangan uncanny itu terjadi 1 tahun silam, ketika musisi independent asal London, Bianca Scout menuangkan ide gilanya pada catatan ke-4 nya. Sementara pada “The Heart of The Anchoress” selaku catatan ke-6, Scout memilih untuk memindahkan poster bergambar album “Dead Magic” milik Anna Von Hausswolff dari bilik kamarnya ke studio dan menjalankan proses rekaman yang intens selama 3 hari.
Tentu hal tersebut berpengaruh dalam mentransformasi Scout menjadi seorang gadis gothic yang terjebak dalam aura kegelapan misterius, elemen synth mendidih dengan melodi beruap, simfoni classical yang dirajut prasangka kesuraman, dan terkekang oleh eksperimen tanpa bentuk yang memanggil ambient pop elektronik di tengah-tengah prosesi pemakaman dan visualisasi mimpi buruk. Rentang kegelisahan yang terbentang pada timbre vokal memang tidak se-inventif Hausswolff, tetapi Scout memiliki lolongan rasa gundah gulana yang justru menimbulkan bulu kuduk bergidik alih-alih bersimpati atas kesendiriannya.
Garis-garis vokal melayang dalam langit-langit gua gelap, dan terkadang bersinggungan dengan elemen looping yang hanya meningkatkan kadar kemisteriusan. Dengungan synth mengeluarkan melodi bersifat kabur, repetisi minimalis, dan menggelegar – Menjadi landasan untuk mempertahankan estetika horor hingga menuju upacara penutupan. Fungsionalitas vokal dapat berubah-ubah menjadi mantra peringatan akan bahaya mengintai, senandung bermandikan kerinduan yang memantul dari katedral tua, dan media paling ekspresif mengungkapkan kesedihan serta kenestapaan.
Cicada – Seeking the Sources of Streams
Ketika kebanyakan musisi independen saat ini, memaknai slogan “Source of Streams” sebagai indikator sumber pendapatan dan teknologi deteksi demografi penggemar mereka pada platform Spotify, kuartet klasik kontemporer asal Thailand ini mengembalikan makna harfiah dari terminologi “Source Of Streams”. Melakukan dokumentasi sederhana perjalanan menyusuri berbagai sumber aliran air di sekitar pegunungan, justru menjadi sifat kualitatif inti daripada tema perjalanan sonik mereka pada kesempatan ini. Cicada merupakan 4-sekawan sinematografis audio yang handal dalam mencuplik keragaman kompleks alam menjadi bebunyian mekar musik chamber klasik dan ambient yang menenangkan.
Pemanfaatan dinamika violin sebagai pengaduk sekaligus pengatur emosi yang ekuivalen antara rentang aliran kelemahlembutan dan gejolak kegembiraan. Piano hadir dengan pola bercak-bercak meninggalkan jejak setapak dalam air yang mudah terhapus dan timbul kembali pada setiap langkah. Akustik gitar tembaga dengan bentuk konstan selalu meniupkan hembusan angin dengan level kesejukkan yang relatif stabil. Lapisan instrumen terisolir dalam medan masing-masing, namun ketika keluar secara kolektif sungguh seperti telapak kaki menginjak sungai bebatuan – keintiman perpaduan tekstur dinamik yang memproduksi rasa kesejukan, tonjolan kuat pemberi gairah, dan pemenuhan hasrat terhadap penyatuan diri dengan alam.
Akan tetapi sepanjang lintasan album mereka tidak mendikte agar keseluruhan repertoar tampil dalam cuaca cerah dan berseri-seri. Adegan gesekan cello dengan register nada rendah, setidaknya menciptakan awan mendung dan curah hujan rendah yang tetap relatif mampu dinikmati dan tidak mendatangkan hipotermia. Banyak jeda kesunyian memanjang dalam setiap perpindahan sekat bar terkadang membawa persimpangan jiwa pada merasa inspiratif atau berpikir ulang dan mengambil langkah iteratif dalam mencerna yang baru saja menerobos masuk ke dalam jiwa.
Jiraan Ensemble – Sirto
Saat ini ekspansi (atau sebagian menganggapnya sebagai invasi) negara maju terhadap negara berkembang tidak hanya terjadi dalam berbagai sektor riil, akan tetapi turut tersebar hingga pada karya seni terutama musik. Musisi di negara maju mencoba mengeksplorasi musik rakyat dari berbagai negara dunia ketiga, karena dirasa masih terlampau eksotis. Barangkali Jiraan memiliki motivasi serupa, ketika grup assembly asal Belgia ini mengenalkan seni musik Sirto pada album debutnya.
Sebuah upaya polimerisasi seni musik tradisional Turki, Arab, dan Yunani sebagai irama selebrasi improvisasi tarian melingkar. Mengetuk perbedaan dan bahkan meluluhlantahkan ketegangan historis diantaranya untuk berpadu dalam gemulai melodi syahdu yang kaya dan menggetarkan kalbu. Ornamen jazz dan harmoni musik klasik eropa didatangkan dalam teknik penyatuan bersifat dwifungsi. Teknik kolase ketika unsur dari keseluruhannya tampak tidak saling terikat, dan teknik mozaik untuk beriringan menciptakan parade perpaduan ritem, melodi, dan harmoni yang terus bergerak maju. Meski melekat pada seni musik timur-tengah, akan tetapi pemandangan tidak terlampau gersang, masih banyak tersedia padang rumput rindang yang sejuk terwakili oleh hembusan seruling setipis selaput yang membelai halus, dan petikan gitar dari jari jemari lentik.
“Zion Hort” merupakan susana lagu yang paling teralienasi, melompat dari keheningan sahara pada lintasan distrik kota New York yang tampil dalam balutan Jas dan iringan jazz lembut. Sesekali tarikan vokal masuk pada pelataran untuk beresonansi dengan kehidupan sekitar secara verbal. Selayaknya musafir yang melakukan eksodus, ada masanya merasa terasingkan oleh lingkungan sosial dan secara paralel mengalami keintiman dengan tujuan hidup dan alam.
Dudes – Eternal In The Post
Percayalah, pepatah tua “jangan melihat segalanya dari sampul” tidak terasa relevan, ketika memiliki kebiasaan menggali musik-musik secara acak. Sampul albummemang tidak memberitahu secara eksplisit akan sebagus apa sebuah album, tetapi secara subliminal mengirimkan sinyal instingtif apakah sebaiknya album tersebut mendapat kesempatan lebih lama dalam daftar putar atau tidak. Itu terjadi pada “Eternal In The Post” milik hardcore punk / rock revival, Dudes ketika datang menghampiri melalui algoritma acak Youtube.
Jelas kedigdayaan rock murni telah lama usai, ketika saat ini tren seperti post-rock, power-pop, shoegaze lebih menjadi penentu utama masa depan rock, akan tetapi kolektif Swedia ini tetap memilih pada gaya musik rock lama yang menekankan pada teriakan gitar, dan tarikan vokal nyaring bertenaga. Perbedaannya terletak pada kepiawaian menabrakan raungan distorsi overdriven guitar ala punk 80’an, dengan timbre vokal beraroma glam metal, heavy metal 80’an bahkan sedikit meninggalkan lekukkan geddy lee dengan pengaturan pitch oktaf yang meninggi.
Sebuah album penuh berdurasi 25 menit yang cukup menampung segala kegilaan dan maniak aksi solo kilat dengan perubahan kunci melodik, voltase tegangan bass tinggi dan ritme gitar berjingkrak secara liar. Setiap segmen meletup pada kebisingan yang lebih paripurna setiap perpindahan dan tidak membiarkan momentumnya melandai. Kontrol daripada pitch vokal untuk menjangkau nada rendah lebih brutal atau interval meninggi terkendali dengan baik. Langkah mereka untuk mengangkat atensi pada pelataran lebih besar memang belum terbukti berhasil secara statistik, akan tetapi sungguh sedikit band saat ini yang mengkreasikan eksperimen formula serupa dan ini bisa menjadi lompatan momentum bagi mereka.
Level V : Album Ekstrim
Conjureth – The Parasitic Chambers
Awal 2020 ketika legiun death metal San Diego ini merilis EP, “Four Formations”, penggiat skena death metal bawah tanah menunjukkan sikap kemawasan dan rasa penasaran terhadap keberadaan mereka. Barangkali sampul death metal dengan corak warna mencolok nan estetik merupakan upaya bersifat kontrarian dan hanya dianggap sebagai pemikat sesaat. Untungnya Conjureth mengimbanginya dengan kepiawaian mengkonstruksi riff kematian yang beradu dalam gilingan ledakan drum, vokal growl ekstra menggerutu, hingga merentangkan variasi yang melintas di sekitaran bagian groovy, solo gitar metal klasik, dan sarat dengan teknik rumit lalu menempatkannya pada struktur musik tidak selaras.
Formulasi tersebut berhasil mendapat sambutan positif, dipatenkan, lalu beroperasi selama 4 tahun. Namun memasuki 2023, “The Parasitic Chambers” selaku album ke-3 sedikit banyak mencongkel keluar pakem yang sudah mereka pertahankan sedari awal. Album ini terdengar lebih ramping, fokus menghadirkan segmen pemicu headbang akut, daripada menekan jauh nilai virtuoso pada segi pertumbuhan variasi ritme, maupun merubah struktur secara radikal. Kualitas album datang dengan lebih jernih tanpa bermaksud mensterilkan kadar kementahan sepenuhnya.
Luapan murka yang datang ditransmisikan kepada tumbukan drum cepat, dan riff bertekstur cavernous gendut yang berhamburan menghimpit dada dan tidak sedikitpun membiarkan pernafasan melonggar. Terminologi death-doom hanya sah berlaku pada lagu penutup, pasalnya hanya itu satu-satunya repertoar, yang bergerak dalam tempo lambat penuh dengan rintihan melodi malapetaka. Nasib baik dalam album ini adalah, kemahiran mereka yang belum memudar sepenuhnya dalam memproduksi hymne death metal sekolah lama yang catchy. Album yang merupakan simulasi mencabik kembali sisa bangkai yang terkulai alih-alih mencari taktik baru untuk menghardik mangsa segar berikutnya.
Nothingness – Supraliminal
Lekukan benda lembek menjijikan tidak beraturan, serta warna merah darah yang menyembur di sekitaran sampul album ke-2 milik death metal Minneapolis ini mengingatkan segelintir pemerhati death metal terhadap beberapa sampul album karya lawas milik veteran death-doom 90’an, Incantation. Wujud riil boleh tidak serupa, namun penempatan objeknya terkesan identik. Tetapi apakah ini secara implisit menunjukkan bahwa Nothingness ingin menyamai sang leluhur? Secara peringkat taksonomi, keduanya memang berada dalam famili death metal, tetapi bukan berarti memiliki genus kembar.
Nothingness memiliki genus dengan insting bertahan hidup di 2 ekosistem berbeda, mengambil pendekatan death doom metal dan menaburkannya dengan harmoni disonan yang tereplikasi dari band sejenis Gorguts. Mereka merekatkannya secara pragmatis dalam artian tidak menampilkan transisi struktur yang bersifat “avant-garde” sentris. Jelas ini memberi dampak perluasan bersifat atmosferik ke dalam aransemen, hingga mereka memiliki ketersedian jalur lebih banyak untuk dikembangkan dan sama sekali tidak terbebani kewajiban selalu tampil dalam gejolak percepatan yang begitu melesat. Tempo dapat berjalan menyeret, sembari memanjat nada-nada kromatis rumit pada gitar & gebukan blast-beat yang bergerak di tempat.
Nothingness berupaya menyediakan kompleksitas yang beriringan dengan kedalaman susana, dimana itu cukup sulit dilakukan apalagi jika berbicara pada lingkup koridor pemain death metal sekolah lama. Senjata pamungkas cadangan terletak pada riff-riff groovy berat yang selalu menjegal, dan tidak kalah menggugah dengan punggawa-punggawa groove metal yang lebih eksis di pasar utama. Kejernihan menyunting kualitas akhir produksi dapat menimbulkan kesan pedang bermata dua. Terlalu memoles instrumen dapat dianggap mengebiri tingkat keangkeran dan aroma busuk khas death metal. Di lain sisi metode ini dapat memperlihatkan kejernihan visi yang gamblang dan menyeluruh.
Thy Darkened Shade – Liber Lvcifer II Mahapralaya
9 tahun lalu, Thy Darkened Shade melepas “Liber Lvcifer I: Khem Sedjet”, sebuah kidung penghormatan terhadap esensi asli black metal. Mengisahkan kepercayaan kekacauan gnosis & membimbing mereka yang sadar untuk melewati ilusi kosmis. Mereka bersorak karena telah melampaui pemahaman manusia normal dalam melihat dualitas ilusi pemahaman baik dan jahat. Sementara “Liber Lvcifer II Mahapralaya” selaku album sekuel, merupakan transformasi pemahaman keunggulan daripada kreasi penciptaan yaitu kehancuran.
Mengilhami secara fokus terhadap prinsip “tidak ingin menjadi sebuah karya one-dimensional”, Thy Darkened Shade merupakan segelintir pengusung black metal yang tidak termakan ocehannya sendiri. Mulai dari lirik, struktur, atmosfir, nuansa, produksi akhir seluruhnya diperhitungkan dengan presisi seperti menjalankan teorema design thinking pada segala aspek. Tidak ditemukan bagian jiplakan utuh dari pendahulunya. Tremolo riff berpadu dengan elemen disonan melodis itu menjadi partikel utama penghasil kabut kegelapan menyelimuti. Tanjakan perubahan setiap segmen tidak memiliki perasaan klise, mereka menyuntikkan kepadatan teknikalitas yang tercecer di sepanjang album pada penerapan variasi pola dan segmen riff, hingga meminjam ketangkasan si jenius Hannes Grossmann pada departemen drum dan menempatkannya pada hantaman perkusi kompleks dengan gema tom yang berdebar serta ritualistik.
Mencurahkan kreativitas pada persimpangan black metal bergaya atmosfer melodik, black metal gelombang kedua yang barbar dalam mengutilisasi kecepatan, hingga menuju prosesi ritual pemujaan dewa-dewa metal klasik 80’an. Kualitas produksi yang jernih mengangkat sektor bass dengan alunan nada maiden-ish mendetail untuk ditarik muncul pada garis permukaan aransemen. Mengutak-atik paras vokal dengan rentang suara operatik rendah, hymne paduan suara kegelapan, menuju lolongan keras penggetar pitar suara – demi mendapatkan personifikasi meluas dalam menyatu dengan sinonim kehancuran itu sendiri.
Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1
AHAB – The Coral Tombs
Jika pernah mengalami keluhan berupa rasa kantuk ketika mendengarkan modal jazz atau doom metal, silahkan menahan kelopak mata sampai membran timpani bergetar karena ulah funeral doom metal. Turunan langsung doom metal ini memiliki sifat monolitik dalam memberdayakan musik bertempo siput (bahkan tidak pernah mencetak angka di atas 50 bpm), vokal death growl yang terus menenggelamkan perasaan nestapa dan kelam, serta tekanan repetisi riff berat minimalis yang direntangkan dalam durasi ekstrem. AHAB merupakan salah-sekelompok ilmuwan paling “bertanggung jawab” dalam membangkitkan monster kraken dasar laut ini.
Menghabiskan waktu 8 tahun untuk meracik serum yang berpotensi menguatkan sang makhluk mitologi laut, mereka berhasil meningkatkan superioritasnya pada “The Coral Tombs”. Pola dasar funeral doom masih tertahan, akan tetapi AHAB menambah lapisan meluas dalam hamparan atmosfer sinematis dan terkadang merangkul elemen death metal / black metal demi memperkuat serangan. Menyelami lebih jeli dalam kualitas produksi, terekam jelas AHAB mencoba mengejar gaya rekaman musik revivalis death metal sekolah lama yang saat ini menjadi trendsetter. Departemen vokal pun digarap lebih serius, sehingga hanya segelintir band funeral doom (termasuk AHAB) yang sanggup melontarkan hook vokal catchy berlandaskan pada musik yang memiliki kesulitan aksesibilitas pada pemahaman awal seperti ini.
Perpaduan daripada getaran clean vokal nada rendah sangat beresonansi dengan baik terhadap dengungan kibor sustainable bernuansa gothic dan gloomy. Sementara unit funeral doom lain masih sibuk melonjakkan transmisinya pada pendekatan lebih ekstrem, AHAB sudah berpikir dinamis dengan mencoba menyeimbangkan titik ekstremitas dan emosional, mampu menghasilkan beberapa keping lagu yang berpotensi menembus keluar gelembung dan tidak segmented.
Tujiko Noriko – Crépuscule I & II
Selama kemunculan aksi solo selama kurang lebih 23 tahun dalam kancah musik pop Jepang, Tujiko Noriko terus membingkai dirinya menjadi semacam antonim daripada istilah pop itu sendiri. Ia tidak pernah berpikir untuk mendesain keseluruhan arsitektural sonik berjalan mudah, memilih mengambil pendekatan jalur improvisasi menuju penghayatan tekstur dan atmosfer dan tidak terjebak dalam kerangka musik formulaic. Tanpa lelah, Noriko terus bereksplorasi merakit tatanan musik elektro ber-efek glitchy dan berusaha membangkitkan kekuatan alam bawah sadar setiap manusia dalam lapisan mengambang ambient dan desisan vokal mencekam bertekstur uap sebagai pelumas. Meninggalkan ruang hampa yang begitu luas untuk terisi dengan fantasi dan manifestasi pengalaman abstrak dan kabur.
“Crépuscule I & II” merupakan buah lanjutan dari ketertarikan Noriko, terhadap musik yang berbasis pada kebutuhan scoring mendramatisir potongan-potongan adegan film. Improvisasi berdasarkan pada melodi dan harmoni sederhana yang mengalir pada synth dengan ketahanan nada yang panjang, hembusan vokal sayup-sayup termanipulasi efek echo, dan rotasi tempo yang begitu lamban – sudah lebih dari cukup menjadi alat kognitif yang diperlukan pikiran untuk segera merangsang imajinasi-imajinasi transendental atau tidak masuk akal. Mata kaki bisa saja tergenangi oleh deru air danau menenangkan, tetapi mata tak henti-hentinya tertuju pada fenomena nebula yang terekam pada bentangan langit dan itu hanya dapat dirasakan getaran sensasi dan visualnya tetapi tak mampu digapai seperti selubung kabut yang menghalangi kelopak mata.
Peranan daripada tonjolan vibrasi bass bertensi rendah berfungsi memberikan kesadaran untuk bernafas dalam imajinasi dan membatasi pikiran menciptakan imajinasi yang lebih liar, sehingga memastikan tidak menciptakan bunga pikiran liar yang kontradiktif. 3 lagu akhir merupakan bagian ke-2 album dan kehadiran timbre instrumen terkesan memiliki tingkatan lebih gaduh. Vokal Noriko memiliki kemunculan yang hiperaktif, serta pandangan dan pikiran terkonsentrasi pada hal-hal bersifat membumi. Ini seperti menyusuri hamparan luas padang ilalang, memasuki gua-gua tua beraura mistis, dan menyelam menuju dasar laut hingga tubuh tak sanggup menahan tekanan hidrostatis.
Baca Juga : Mengapa False Nostalgia Muncul Saat Mendengarkan Musik?