2023FunkGuide ListHip HopJazzMetalPopRock

Panduan Album Bulanan – Edisi Februari 2023

“Panduan Album bulanan edisi Februari 2023 meliputi rilisan terbaru mulai dari Paramore, Tennis, Ulthar, 7.H Target, Sunny War, Yuki, dan masih banyak lagi.”

Agar tetap terhubung dengan rilisan album sepanjang tahun, kami memutuskan mengirimkan artikel berupa panduan album bulanan dan untuk memudahkannya kami membagi album-album pada sejumlah tingkatan berdasarkan seberapa mudah atau sulitnya album tersebut dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pada penghujung artikel kami menyiapkan playlist spotify yang dipilih berdasarkan lagu terbaik dari masing-masing album.

Level I : Termudah

february-album-guide_01

Paramore – This is Why

Panduan-Album-Paramore-This-is-Why

Mungkin kembalinya Paramore melepas “This is Why” selaku album comeback-nya selama 6 tahun disambut begitu meriah dan haru, oleh penggemar garis keras maupun orang-orang yang hanya sekedar mengingat kejayaan musik alternative rock / pop-punk awal 2000’an. Namun barangkali ini justru menimbulkan sebuah proyeksi perspektif masa depan, yang cukup suram bagi musisi pendatang yang terlalu naif mencoba dan meniru apa yang dilakukan Hayley Williams.

Berangkat sebagai gadis dengan citra ceria, menyenangkan, dan mengumbar kisah romantis di usia belia, album terbaru Paramore ini menampilkan karakter Williams yang 180 derajat berbalik. Masalah-masalah yang diterimanya (perceraian, kasus rasial, tekanan industri) selama beberapa tahun belakangan ini ditambah pembuatan album yang dikerjakan dalam masa tekanan pandemi, lebih dari cukup memetamorfosikan aransemen dan tema lirik pada album ini. Semua raungan distorsi gitar, ketukan drum yang cepat dan menghentak, serta vokal Williams yang meninggi dan ceria itu telah banyak ditukar dengan elemen-elemen getaran bass tone gelap, gitar yang banyak mengeluarkan pola ricuh aneh, dan ketukan drum yang memberikan perasaan termenung ketika setiap kali berdetak.

Singkatnya, di sini Paramore mencerminkan gaya permainan post-punk yang identik dengan atmosfir yang lebih pekat, dirundung kecemasan, dan sedikit untuk memberikan tawa. “This is Why” memang cukup menggebrak, tetapi ini juga lagu yang menimbulkan keraguan dan kebimbangan yang tercermin dari liriknya langsung : “Jika anda memiliki opini / mungkin anda harus mendorongnya / atau mungkin anda dapat menyuarakannya / tetapi mungkin yang terbaik adalah menyimpannya”). 2 lagu awal masih dirasa menampilkan luapan berapi-api dari Williams, meski masalahnya kali ini lebih dewasa. Beberapa lagu selanjutnya, kecemasan dan kesedihan mulai menghampiri.

“Big Man, Little Dignity” mengisahkan tentang pria yang tidak bertanggung jawab, dengan gaya musik yang lebih lambat elegan, backing vokal yang halus seolah memberikan penglihatan kilas balik penyesalan Williams ketika melihatnya. Vokal Williams benar-benar memberikan lapisan yang menjembatani agar keseluruhan  mampu mencurahkan emosi yang dirasakannya, terkadang ia bisa begitu tampak sedih dan murung atau meledak dalam kemarahan, seperti seseorang yang tidak terkendali.

Setidaknya sisa-sisa energi di masa remajanya, masih diperlukan di sini, dikarenakan album ini tidak bermaksud untuk menjerumuskan sisi depresif Williams dalam melihat berbagai masalahnya. Ia memiliki hasrat untuk melewati bahkan membalikan keadaan untuk menghadapi rintangan berikutnya. 

Tennis – Pollen

Tennis-Pollen

Sebuah nama proyek yang terkesan kontradiktif bagi pengusung indie-pop yang terdiri atas Patrick Riley dan Alaina Moore ini. Keduanya seperti mengurung diri di kamar seharian demi merekam musik indie-pop yang dimarinasi dengan sentuhan bedroom-pop. Namun melalui album studio ke-6 nya ini, mereka akhirnya beranjak keluar, “menukar” segala peralatan home recordingnya menjadi alat-alat dengan nilai kecanggihan lebih tinggi, lalu bergegas ke luar menuju lapangan tennis di musim panas. Mereka menempatkan bass dengan pengaturan groove pada level yang belum pernah tersentuh sebelumnya, hentakan drum tebal, serta kejernihan sonik yang tampak tajam dan silau. Sebagian menganggapnya terlalu tersterilisasi untuk seukuran bedroom-pop, dan melompat pada sisi sophisticated-pop.

Satu-satunya alat instrumen lawas yang tersisa ialah gitar akustik tua reyot, yang harus berpeluh demi memperlihatkan eksistensinya yang berhadapan dengan getaran energik bass dan genangan synth yang lebih tanggap menyesuaikan diri terhadap atmosfer. “Let’s Make a Mistake Tonight” menjadi pusat gravitasi cukup kuat, untuk menarik atau mendorong orang untuk terjebak lebih lama di sini. Secara vokal, Moore banyak mendesis atau menarik napas dalam-dalam demi menampilkan transformasi perasaan dan penempatan karakter berbeda, tetapi pergeserannya masih terlihat tegang dan tidak sedikitpun menekankan pada terjadinya kontras emosional.

Caroline Polachek – Desire, I Want to Turn Into You

Panduan-Album-Caroline-Polachek-Desire-I-Want-to-turn-into-You

Pada lagu pembukaan “Welcome to my Island”, teriakan lantang Polachek bergema, memecah kesunyian dan kelembaman dari areal dan hutan belantara yang begitu luas. Penyanyi kelahiran Brooklyn itu seperti mengisyaratkan sedari awal, bahwa album tingkat ke-2 nya akan memiliki jangkauan artistik yang begitu luas dan banyak menampilkan ragam ornamen instrumen. Tidak butuh waktu lama untuk menjawabnya, ketika ia tiba-tiba merubah latar instrumen menjadi bergerak lebih sibuk dengan ketukan saklar beat elektrik dan kedipan synth yang bergerak cepat dan licin. Sepanjang album, Polachek memasukkan – mengeluarkan, menabrakan – memadukan sentuhan pop elektronik beserta beberapa varietasnya, akustik, dan selipan musik orchestral klasik dan folk dalam penempatan yang terkadang tidak diduga-duga eksistensinya.

Ia seperti mengenkripsi perasaan dan lamunannya dalam gabungan kode karakter sonik yang sulit terpecahkan. Tidak memiliki itikad untuk berkamuflase, melainkan melentingkan kesadaran pluralisme akan setiap manusia yang memang memiliki begitu banyak pandangan berseliweran yang terkadang bisa menimbulkan maniak dan gejolak hebat. Kekuatan tulang punggung instrumen memang berada pada synth dan letupan elektronik, tetapi Polachek cukup memikirkan secara matang untuk menonjolkan potensi daya gedor instrumen lainnya: “Pretty is Possible” yang penuh dengan tabuhan kuat drum jazz – penekanan akan gaya keras dan jalanannya yang dianut dalam lagu ini, ketika ia hanya melamun bebas dan mimik vokal yang melayang tanpa raga struktur bait vokal konvensional.

“Fly to You” yang menyambut Grime sang villainess selaku kolaborator dengan kekuatan break-beat tergesa-gesa, meningkatkan kadar urgensi permasalahan dan kesalahpahaman yang intens. Dengan tendensi aransemen berperilaku kontradiktif dan terpisah, Polachek datang menawarkan resolusi dengan vokal cemerlangnya yang diapit oleh sepasang sayap menjulurkan senar-senar yang bergetar dalam resonansi halus dan mencerahkan.

“Sunset” bersinar dalam kocokan perkusif akustik gitar staccato dan mengutilisasi melodi bernuansa musik klasik. Pemanfaatan dinamika dengan dominasi diatur pada suara keras yang lebih memantul, menjadi cara efektif untuk memberi penekanan secara instan untuk melejitkan level emosional setiap lagu.

Sebuah usaha yang tidak akan mengalami kesia-siaan untuk meninjau dan menghayati secara serius mengenai rentang vokal Polachek dengan keahlian mendalamnya. Mengayun pada interval tinggi-rendah nada secara lepas dan terkendali dengan baik, ad-libs detil beragam, hingga pemanfaatan counter-melodi yang begitu masyhur – semuanya melemparkan Polachek menembus dinding rutinitas, membengkokkan nilai-nilai ekspresif dan varietas timbre seolah mengeluarkan gumaman seperti “apakah ia menempatkan begitu banyak vokalis tamu di sini?”

Fleksibilitas fungsi vokal terdengar pada kecekatan suara yang terkadang dengan mendominasi dan menundukkan instrumen dalam diafragma yang ditarik dan paru-paru atletis, atau dapat tertekan dengan kehadiran pergeseran tumpang-tindih instrumen secara progresif seperti pada “I Believe”, hingga merger dan membagi peran 50%-50% terhadap instrumen.

Suatu keahlian yang mungkin luput atau tidak disadari ketika melakukan pertunjukkan, bahwa Polachek seorang kurator handal dalam melakukan pemilihan eklektik kedalaman varietas elemen musik hingga pemakaian yang efektif dan cukup membuat sengat kejutan. Siapa yang mengira potongan tiupan nyaring bagpipes tiba-tiba meleleh keluar dalam lagu berkarakter psikedelik pop futuristik “Blood and Butter”, alih-alih menggunakan liukan saksofon jazz yang biasanya ditangguhkan untuk memberi kesan elegan.

Atau dalam mengisahkan penyesalan dan kehilangan masa lalunya pada “Butterfly Net”, Polachek memilih bersandar dengan nyaman dalam balutan musik chamber psikedelik usang / prog rock tua – terbius akan keharuman dan eksotisme melodi lembut hammond organ, layer kibor terkoyak-koyak, dan gitar akustik yang bermain dalam nada sendu, menunjukkan rasa simpati atas kemalangan masa lampau Polachek.

Level II : Mudah

february-album-guide_02

Yuki – パレードが続くなら

Ada kesamaan daripada gaya pengemasan musik pop Jepang terhadap seni origami. Anda mampu membuat bentuk apa saja dari secarik kertas, kemudian membongkar dan melipatnya lagi menjadi bentuk yang berbeda. Implikasi serupa diterapkan pada musik pop Jepang, dimana mereka kerap membaurkan berbagai sudut elemen musik yang bertabrakan ke dalam satu ekosistem. Hal tersebut membuat segelintir orang mulai mempertanyakan terkait konsistensi dan kohesitifitas. Tetapi, positifnya kualitas secara individual lagu lebih variasi dan menghindarkan kemalasan untuk mengulang-ngulang penulisan lagu format serupa.

Tonggak semakin kokoh ketika seorang musisi mampu eksis dalam jangka waktu lama sembari terus mengoleksi album-album solid dalam kantongnya. Penyanyi kelahiran Hokkaido, YUKI dirasa pantas untuk masuk ke dalam cluster ini, yang sudah mulai berkarir solo sejak akhir 90’an. Pada usianya yang sudah menginjak kepala 5, Yuki tetap melepaskan catatan yang patut diperhitungkan keberadaanya, ketika musisi lain seusianya sudah mulai terpapar kesuksesan bersifat inersia dan hanya ingin mencari-cari rekaman lamanya yang sukses untuk dilemparkan kembali ke pasaran sebagai kepingan reissue atau remastered.

Dalam sampulnya, “パレードが続くなら” selaku album orisinil ke-11 YUKI, menampilkan corak warna yang lebih beragam seperti peringatan secara langsung bahwa album ini sarat dengan labirin prisma yang memancarkan ragam warna. “パレードが続くなら” bersinar dalam warna elektronik house dan degup bass yang tegas namun menenangkan. Kombinasi solid antara vokal mengawang-ngawang dengan synth drony bernada rendah yang sinematis. Kejutan semakin menjalar kemana-mana, ketika “タイムカプセル” berkelok pada gaya alternative rock dengan melodi berjingkrak twee-pop, atau mengaktifkan transmisi pada “My Vision” dengan gaya jeritan musik khas penganut riot grrrl.

Mungkin pembukaan yang energik telah sedikit banyak menguras emosi dan tenaga Yuki, sehingga pada sederet lagu berikutnya, ia lebih memilih berselonjor dalam ketenangan musik R&B kontemporer, atau aransemen pop jazz yang secara semeliwir menghembuskan angin menyegarkan. Agaknya vokal Yuki masih sedikit terengah-engah ketika mencoba menggapai vokal meninggi imutnya, namun performanya masih memantul dengan tinggi, dikarenakan pemilihan melodinya yang cukup kuat sekaligus merona.

Broken Teeth – 추락은 천천히

Broken-Teeth-추락은 천천히

Januari lalu, Parannoul tidak sekedar melepas album ke-4 nya, tetapi merubah kontur musiknya menjadi sesuatu yang lebih mekar, bersinar, meskipun tetap masih berpusar dalam jurang paranoia dan menguras emosional. Tetapi jelas itu menjadi salah satu semacam kekuatan pendorong dan penggagas bagi skena indie-pop / post-rock / shoegaze di Korea – bahwa pertumbuhannya secara berdampingan mulai dikenal meski hanya berkat jejaring Internet.

Menyusul Della Zyr, Say Sue Me, TRPP yang merilis albumnya dalam rentang tahun berdekatan, one-man band, Broken Teeth juga ikut menunggangi momentum ini dengan melepas album tingkat-2 nya berjudul “How To Sink Slowly”. Broken Teeth tidak perlu melakukan manuver selayaknya Parannoul, dikarenakan hamparan melodi masih mampu mengkristal meski deru gitar yang terdengar mencak-mencak. Alunan maupun pemilihan melodi bersifat lebih santai, membelai secara berangsur-angsur melepaskan ketegangan emosional.

Sebuah album yang memiliki gaya lebih monolit, dikarenakan kekonsistenan sang pencipta untuk tidak terlalu menggeser jauh pallete musik pada setiap lagunya dan sepertinya tidak ada hasrat dan keinginan untuk menghadirkan tikungan sisi karakter yang bersifat aneh dan melawan. Sesekali akustik gitar didengungkan untuk membawa angin penyucian raga.

Gaya vokal dengan mengalun pelan tanpa berteriak pun memberi 2 garis yang berhadapan antara mengeluarkan segala catatan uneg-unegnya dan ikhlas melepaskan segala emulsi negatifnya, atau justru dirundung oleh kepasrahan. Cukup banyak ditemukan alunan melodi-melodi musim semi sebagai energi cadangan, untuk menyegarkan kembali perjalanan musik yang terkadang hampir memasuki jalur keputusasaan dan ling-lung.

Sunny War – Anarchy Gospel

Panduan-Album-Sunny-War-Anarchist-Gospel

Pada masa dimana era ketegangan revolusi kuba dan penegakan anti-imperialisme dan anti-rasisme organisasi Black Panther telah lama berlalu, apa yang membuat Sunny War masih senantiasa mempertahankan karakternya yang liar dan memberontak? Mungkin saja ini merupakan bagian identitas lama, ketika penyanyi dengan nama asli Sydney Lyndella Ward ini pernah bergabung dengan unit punk asa Los Angeles, “Anus Kings”. Kemungkinan lainnya bisa muncul dikarenakan keterlibatan Sunny War yang semakin intens dalam aktivis vegan maupun tergabung pada gerakan sosial “Food not Bombs”.

Mengilhami bahwa Anarki tidak hanya sebatas kata provokatif yang ditulis pada secarik kertas untuk melakukan resistensi, melainkan terjun ke lapang secara inklusif demi menemukan makna yang lebih kontemplatif dan spiritual dalam kehidupan. Gotong-royong sebagai salah satu prinsip dari anarki telah menggerakan proses Sunny War merampungkan album studio ke-4 nya ini. Dia tidak menulis lagu di balik meja produser mewah dan dikelilingi eksekutif, dia memilih untuk menyendiri dalam rumahnya, menulis lagu selama berjam-jam sembari setengah mabuk atau terkadang pergi ngeloyor pada restoran lokal setempat di Nashville, lalu berbincang-bincang dengan musisi country jalanan paruh baya di sana.

Perjalanan yang terkesan ngalor-ngidul tersebut justru mempertemukan Sunny War pada sejumlah kolaborator hebat pada album ini (David Rawling, Chris Piece, Alison Russell, Jim James) termasuk sang producer, “Andrija Tokic” yang handal merampungkan kualitas produksi menjadi lebih hangat dan berkesan. “Love’s Death Bed” langsung tercebur ke dalam balutan elemen musik country, blues dengan goyangan dawai banjo muram, dan kombinasi vokal War beserta kolaboratornya yang begitu masam. War tengah menegaskan bahwa album ini sarat dalam dualitas dan itu sudah terlukis di sini, ketika decitan harmonika yang silau muncul dalam rundungan instrumen lainnya yang murung. Sementara tiba-tiba paduan koor suara gospel memecah memberi harapan.

Begitu banyak hal-hal yang berkaitan dengan elemen gospel dan R&B orisinil terutama pada pemanfaatan potensi sing-along, namun implikasinya tidak untuk meningkatkan religiusitas dan keimanan secara simbolik pada suatu keyakinan, melainkan hanya mengambil esensi daripada secerca optimise yang menghadapi badai masalah. Bahkan War seperti menganut mentalitas agnostik, ketika ia berbicara banyak mengenai hubungan dan cinta, tetapi ia justru tidak mempercayai seutuhnya mengenai cinta, dan ia hanya menjalaninya hari demi hari. “No Reason” meski menerjang dengan tempo up-beat, secara lirik lagu ini yang paling mempertebal dualitas melalui catatan chorus-nya : “Anda adalah Malaikat / Anda adalah Iblis / Tidak memiliki sajak / Tidak memiliki alasan”.

Solo gitar pun seperti tersendat dan mengalami kebingungan antara harus melengking secara lepas atau menahan diri. Pertama kali War mengaplikasikan Banjo dalam musiknya, impresinya begitu positif dalam artian selain pemanfaatanya dijadikan sebagai instrumen pemimpin, ia mampu mengalirkan alunan melodi manis yang mampu mengaduk-ngaduk emosi. Elemen musik yang ditampilkan War mungkin tampak asing bagi sebagian orang, karena pengaruh musiknya yang terlampau konvensional, tetapi War tetap menulis bagian-bagian groovy yang dirasa masih diterima luas dalam industri musik saat ini.

“His Love” menjadi sorotan berikutnya, dimana memiliki kepribadian mencolok dari lagu lainnya, War lebih menaikan jangkauan vokalnya di sini dan kepangan dari melodi kaca gitar listrik dan petikan banjo mampu kembali membuka lamunan masa lalu yang berseri-seri dan menyenangkan. “Test Dummy” sedikit membeberkan masa lalu War secara sonik, dimana ia bermain dalam selingan tempo cepat bertendensi punk-ish. “Sweet Nothing” akan terasa lagu yang memiliki pendekatan paling gelap dan muram, ketika Sunny War hanya memainkan sesaat instrumen kesayangannya dan meninggalkanya untuk berpaling dalam balutan iringan piano berat nan dingin dari kepingan musik soul dan resonansi violin yang menyayat.

Tetapi barangkali ini merupakan lagu paling optimis, ketika ia mengangguk tersadar bahwa kehidupan tidak selalu manis, dan ia justru berhasrat merubah tragedi menjadi mimpi dan menjual jiwanya untuk kebahagiaan fana. War mungkin telah menukar segala peralatan distorsinya, dengan instrumen yang lebih konvensional, dan menjadi seseorang yang lebih gemar di padang rumput alih-alih manggung dalam bar, tetapi kementahan emosinya masih tetap membara di sini.

Entah apa yang dilakukan War, untuk membujuk anak-anak yang seraya membentuk regu paduan suara pada lagu “Baby Bitch” dan mengeluarkan umpatan yang akan terdengar senada frontalnya bilamana bait itu ditulis Bad Brains maupun Black Flag : “Sayang, sayang, sayang jalang / bedebah anda, anda seperti si pantat bau / Hal terindah yang pernah saya lihat / Kamu datang dari mimpi. Sunny War kerap menulis lirik secara komedi satir dalam menanggapi situasi yang getir, sehingga ini tidak menjerumuskannya pada jurang depresif dan putus asa.

Seperti pada lagu penutupan, “Whole”, dimana hampir nasihat optimisnya digunakan untuk mengamini bahwa kehidupan dan stereotip terkadang menyakitkan dan membelokkannya dalam sensasi ironi : “Jangan khawatir, Nak / Jangan menahan stres / Jangan biarkan apapun mencuri senyummu / Dunia ini memang berantakan / Hari ini bisa menjadi yang terakhir / Senang adalah bagaimana Anda harus pergi / Tidak ada bayaran yang bisa membeli jiwamu / bahkan membuatmu terpenuhi.”

Album Americana / Folk / Blues lainnya :

Baca Juga : Panduan Album Bulanan – Edisi Januari 2023

Level III : Sedang

Zopp – Dominion

Panduan-Album-Zopp-Dominon

Zopp yang terdiri atas duo konseptor Ryan Stevenson dan Andrea Moneta beserta rombongan orkestra melepas album ke-2 nya bertajuk “Dominion”. Band progressive rock asal Nottingham ini melakukan relokasi secara musikalitas, menyusuri ornamen musik dari sisi dataran Inggris lainnya, Canterbury rock progresif yang teragregasi dengan jazz fusion. Menulis komposisi berbasiskan melodi kuat yang datang dari pukulan tuts hammond organ beserta melodi sustain mellotron dengan ceruk dimensi ekspresif yang membekas. Bermain dalam harmoni tekstur dan mengesampingkan sejenak nilai virtuoso, mereka mengangkat elemen simfonik dengan gema horn dan semeliwir tiupan suling.

Mengatur tone gitar pada elemen hangat, memanfaatkanya sebagai penghasil butiran nada counter melody mengesankan yang berpasangan bersama kelip synth dan dekorasi instrumen elektrik lainnya.Terkadang terlalu banyak repetisi dan one-dimensional, bahkan sempat tersesat pada lembah perenungan di “Uppmärksamhet” dan mengalami ling-lung sesaat dalam pusaran ritem rumit pada “Reality Tunnels”. Untungnya, mereka kembali menemukan tempat berpulang, pada penghujung album, “Toxicity” yang mengembalikan kekuatan aransemen kaleidoskopik secara tekstur dan variasi ritme ke tempat semula.    

Ironomi – himorogi

Panduan-Album-Ironomi-himorogi

Shinto tidak hanya sekedar mitologi maupun aliran kepercayaan spiritual di Jepang, tetapi telah menyatu erat terhadap entitas kebudayaan negeri sakura tersebut. Salah satu sub pembahasannya merujuk pada kepercayaan turun-temurun bahwa roh-roh surgawi tidak hidup di atas langit ketujuh sana, melainkan bersemayam di berbagai elemen alam sekitar.

Esensi tersebut yang coba ingin dijelaskan oleh duo Junya Yanagidaira (Piano) & Yu Isobe (17-String Koto) yang tergabung dalam moniker Ironomi. Mereka melepas album studio ke-10 nya bertajuk “Himorogi”, lalu menerapkan impresionisme dalam potongan modern classic piano minimalis, yang secara integral terdiri dari segaris melodi kuat yang mampu merubah warnanya sesuai kehendak dan interpretasi. 6 lagu di album memiliki tema alamnya secara terpisah, dan keduanya menghubungkan dengan aransemen musiknya secara kohesif. “Ami-Saki”, misalnya yang hendak menonjolkan pesona kemekaran langit, diilustrasikan dalam dentingan piano minimalis yang ditekan pada 2 interval nada, nada meninggi sebagai penegasan kemurnian dan penempatan langit yang menjulang dan bersinar.

Sementara Isobe sedikit menggetarkan Koto 17-senarnya, untuk memberi kesan hutan rimbun melambai-lambai yang tertiup angin dingin dan interval nada piano rendah sebagai pijakan tanah subur. “Sakura-Ame” & “Ama-Yadori” yang meskipun sama-sama memiliki tema dasar tentang hujan, namun dimodelkan dalam aransemen yang berbeda. “Sakura-Ame” seperti lebih utuh melukiskan keadaan terjadinya hujan ketika mulai berhadapan dengan langit dipenuhi awan gelap yang mulai mengepung, setetes air mulai berjatuhan, hingga diakhiri dengan guyuran curah hujan yang deras.

Yanagidaria menggeser per melodi piano dengan jemarinya secara lincah di sini, merayap pada hampir setiap jangkauan tangga nada, untuk memberikan curah air dengan persebaran yang merata. Sementara, “Ama-Yadori” seperti meneduhkan tubuh pada sebuah gubuk pengungsian sembari melihat curah air yang mengelilingi. Piano dengan kor tekstur berat di sini, dilingkari dengan kelihaian Yanagidaria memainkan melodi yang gesit dan licin sembari meninggalkan harum semerbak dari musik era klasik-romantisme.

“Chumu” menutup aliran spiritual dengan prinsip Zazen, sebuah pemikiran kembali pada akal bermula, dan permulaan merupakan seubah dari ketiadaan. Atas dasar ini lagu tersebut bergeming dalam resonansi rendah tanpa begitu banyak polesan instrumen yang berseliweran, keheningan tiada ketara, dan bergerak mengangsur hilang pada akhirnya. 

Rome Streetz & Big Ghost Ltd. – Wasn’t Built In A Day

Rome-Streetz-Big-Ghost-Ltd-Wasn't-Built-in-a-day

Sebelum berjalan melintasi seluk-beluk distrik east-coast dengan predikat sebagai salah satu rapper ter-hardcore saat ini, Big Ghost Ltd pernah menulis blog pribadi dengan menggunakan nama samarannya itu hingga kini. Ia terinspirasi dari Ghostface Killah, anggota Wu-Tang Clan – meniru cara menggetarkan suaranya yang lantang dan memanfaatkannya untuk mengolok-ngolok gaya rapper modern arus utama yang dinilai terlalu lembek, hingga ia melahirkan istilah trennya sendiri sebagai “pergerakan rap spa”.

Frustasi dan keputusasaan Big Ghost pun terhenti, ketika ia bertemu dengan para awak Griselda Records, sebuah label hip-hop yang tidak hanya frontal mempertahankan esensi kultur hip-hop asli, tetapi jangkauan mereka pun sangat besar dan luas. Jelas bagi Big Ghost, ini seperti menemukan resort yang diidamkannya selama ini, terlihat dalam beberapa tahun terakhir ia gemar berkolaborasi dengan, Conway the Machine salah satu figur paling bersinar sekaligus co-founder Griselda Records.

Namun saat ini Ghost berhasrat untuk berpatner dengan kader griselda lainnya, Rome Streetz dalam melakukan kombinasi rima secara one-two maupun saling bertukar pikiran. Gaya daripada instalasi instrumentasi album-album garapan punggawa Griselda sangat mudah diidentifikasi dan menjadi ciri khas, dimana kasus serupa pun ditemukan pada album ini, sebuah gaya abstract hip-hop dengan sensasi lo-fi. Tempo yang lebih mengalun perlahan, sampling dengan debu dan noda khas seperti meninggalkan perasaan plunderphonics (teknik interpolasi ataupun sampling dari musik-musik lawas). Ketukan drum tidak dihiraukan sebagai jeda atau perhitungan tanda berakhirnya setiap bar, masing-masing rapper terlalu asik memainkan sajak sampai mereka bebas kapanpun ingin berhenti atau langsung menabrakan baris selanjutnya.

Bass pun merangkap dengan detak rate yang rendah, sementara piano dapat digunakan dengan tempo lambat berputar-putar dan permainan nada minor mencekam paranoia seperti pada lagu “Suicide”. Lagu yang menghadirkan Conway dan Luke Cage sebagai tamu, dan jika akrab dengan rilisan terakhir Conway, “God Don’t Make Mistakes” pembawaanya mirip dengan salah satu lagunya, “Piano Love”, sampling instrumen yang akan membuat Igor Stravinsky bangkit dan segera loncat menuju kursi pianonya. Teknik scratching yang sering berkumandang pada sudut-sudut kota Bronx pada tahun 80’an kembali menjadi salah satu aspek instrumen terpenting pada beberapa titik album.

Keresahan Ghost terdahulu pun kembali tumpah di sini, ketika tema lirik yang mengitari di antara kritik keras mengenai hip-hop modern yang telah menganggap mengacuhkan beberapa nilai asli hip-hop. “Gem Drop” salah satu track yang paling kritis menangani masalah ini, ketika Streetz dan Ghost memutuskan untuk menginterpolasi salah satu lagu diss fenomenal milik Mobb Deep (‘ Drop A Gem On ‘Em’) untuk menggerutu. Dimainkan dengan tempo lebih lambat seperti plat 45 RPM yang diputar pada turntable berkecepatan 33 ½ RPM, lagu ini juga lebih mengeksplorasi sisi sampling pada nada interval yang gelap dan menghantui.

Streetz & Ghost pun berhasil membujuk sang veteran dari lembah Shaolin, Method Man untuk menyetujui gagasan mereka. Meth mengangkat mic-nya pada “Pz Q Nz” dengan pusaran piano minimalis yang berputar-putar dan beat lebih mengeras. Sajaknya tidak melentingkan makna acuan untuk nasihat, tetapi permainan kata dan perpindahan flow nya masih cekatan sebagaimana identitas Meth. Mengayun dalam mengkombinasikan suku kata yang berhubungan dengan nuansa latin dan tampak begitu lincah.

Tidak ada yang terlalu mengejutkan di sini, karena memang setiap lagu dirancang dengan desain dan pola serupa terutama pada instrumen. Ghost, Streetz, maupun seluruh MC yang terlibat hanya ingin memfokuskan pada konten lirik dan aliran rima yang membuat pasang telinga melebar sambil tertegun akan kemahiran dan kemaharan sang rapper.

Baca Juga : Untuk Penggemar Alvvays

Level IV : Sulit

february-album-guide_04-01

LIv.E – Girl in the Half Pearl

LIv.E-Girl-in-the-Half-Pearl

Sejak Motown, Stax Records, & pasukan Soulquarians yang saat ini hanyalah menjadi seperti sebuah manson tua yang penuh kenangan, kini musisi soul / RnB berserakan, tidak tersentral, dan mencari siasat dan taktiknya sendiri untuk sekedar bertahan hidup dalam industri, atau justru menjadi seorang bintang selanjutnya. Liv.E penyanyi kelahiran Dallas yang saat ini menetap di Los Angeles mengakrabkan diri dengan musisi-musisi hip-hop saat ini.

Sebelum melepas album studio ia justru lebih dikenal dalam kalangan pecinta hip-hop karena munculnya selaku kolaborator tampak lebih sering. Tetapi lahirnya “Girl in the Half Pearl” selaku album ke-2 nya bisa jadi memutarbalikan top of mind orang bahwa ia memanglah salah satu penyanyi soul dan musisi multitalenta yang patut diperhitungkan. Pada dasarnya, ia seperti mengilhami esensi dari terminologi “soul” itu sendiri bukan dari secara salah satu entitas jenis musik, melainkan arti bentuk mental harfiah yaitu sebuah jiwa.

Merupakan unsur yang pada dasarnya tidak berbentuk, kasat mata, namun begitu kuat menghidupi dan memberi energi pada apapun organisme yang merayap. Untuk itulah, mengapa representasi musiknya, tidak menerima bentuk pasti dan abstrak, ia seperti mengambil meminjam MPC3000 yang telah dihumanisasikan oleh J Dilla, untuk membuat ketukan drum yang getir, kotor, dan begitu lo-fi sentris. Loop-loop ketegangan dan kebingungan dari jazz sengaja dibiarkan mengalirkan ketegangan psikosomatis.

Liv.E pun berujar bahwa musiknya diciptakan untuk terdengar seperti sebuah pemikiran batin, dan barangkali apa yang diekspresikannya memang seperti sebuah ketegangan konflik dan tensi batin yang meluap. 17 lagu dengan durasi tidak lebih dari 45 menit, membuat Liv.E berpikir dan bertransformasi lebih cepat pada setiap aliran kesadaran emosi dan pikirannya. Peralihan paling spektakuler terdengar dari tembang “Ghost”: lantunan vokal yang pecah, kehadiran secara siluet, dan seperti mengawasi dari kejauhan. Sekonyong-konyong pada lagu berikutnya “Find Out” vokalnya menjadi lebih tegas dan merubah setup nya seperti sebuah di kedai bar usang yang kembali hidup dalam imajinasi.

Kedigdayaannya merubah bentuk instrumen memaksa orang untuk mendengar musiknya lebih aktif sembari terus memastikan agar tidak terjebak dalam overthinking. “Lake Psychobilin”, misalnya yang terlapisi dengan dengungan keras bass nu-jazz,  yang dipermanis dengan ad-libs vokal dan lantai synth-pop yang licin.

“Underground” yang hanya terinstalasi dari sengatan musik drum n bass dan layer vokal yang kembali menghantui seperti melayang bebas di sekitaran basement. Secara keseluruhan vokal, Liv.E memiliki tekstur berminyak dan tidak jarang ia sanggup merubah bentuk suaranya menjadi sesuatu yang membayang, memelas, menggairahkan, atau mencekam – memungkinkan untuk memberikan ruang interpretasi emosi yang lebih luas bagi dirinya. 

Ulthar – Anthronomicon

Ulthar-Anthronomicon

Dengan 2 album solid pada ikat pinggangnya, pendatang death metal yang berbasis di Oakland ini menjelma menjadi salah satu band sensasional dalam skena musik ekstrem. Namun secuil permasalahan muncul ketika penggemar terus menekan agar mereka tetap merilis album penuh dalam rentang durasi pendek dan tidak kelebihan muatan, sementara Ulthar masih merasa lapar dan haus dalam mengeksplorasi visi bermusiknya secara ekstrim. Solusi akhir tersepakati ketika mereka memutuskan melepas album berformat ganda secara serempak dengan masing-masing berjudul “Anthronomicon” & “Helionomicon”.

Pada “Anthonomicon”, perubahan langsung terasa inventif, ketika Ulthar memperdalam kerumitan dan teknikalitas mereka pada penerapan riff dissonant dengan pola aksentuasi yang ganjil. Keseimbangan menciptakan elemen blackened dan death metal malapetaka penghancur semakin nyaring terdengar dan lebih menyatu secara kohesif. Sulit mengevaluasi ketika mereka tengah mencetak cavernous riff kejam, atau mengeluarkan semburan tremolo riffing jahat ala pengusung black metal Skandinavia.

Ketangkasan Ulthar terus bertambah selain berhasil menciptakan aransemen penuh liku tajam dan tanjakan hebat, mereka handal sebagai produsen riffage death metal menendang bokong bersifat catchy, bengis, dan groovy secara paralel. Ketika dirasa telah menangkap seluruh esensi dari keliaran dinamika vokal, gebukan drum yang menghunus, dan riff-riff exceptional, penghayatan lebih lanjut tersedia dalam denyut kencang bass yang menggelontorkan serangan mematikan secara bertubi-tubi. Paradoksnya terjadi, ketika Ulthar dirasa masih memuja hegemoni death metal sekolah lama, tetapi setiap passages atau bagian akan terasa terlalu mutakhir dan sophisticated dibanding para moyangnya.   

Ulthar – Helionomicon

Ulthar-Helionomicon

Apabila “Anthronomicon” seperti terdampar pada sebuah planet asing yang dihuni oleh mahluk-mahluk Lovecraftian ganas dan mengerikan, “Helionomicon” adalah sisi yang seperti melentingkan pandangan pada hamparan galaksi tidak beruang, nihil eksistensialisme, dan melayang dalam ketidakpastian. Sisi ini terdiri atas 2 lagu berdurasi panjang, sebuah perjalanan transendental menghantarkan kosmis gelap di depan mata melalui riuhan distorsi dari perpaduan death & black metal. Kerumitan seperti yang ditonjolkan “Anthronomicon” tetap terjaga, tetapi Ulthar di sini lebih menekankan pada atmosfer dan nuansa yang menggelora.

Terlihat transisi antara bagian yang bergerak lebih lambat, hamparan melodi gitar dan bassline terkadang menyerupai kelipan gas nebula yang memberi aroma mengawang-ngawang. Mereka semakin meningkatkan porsi black metal di sini. Menciptakan musik ekstrem secara durasi tidak hanya sebagai gimmick belaka, dimana hasil akhir terkesan seperti sekumpulan lagu yang terputus-putus. Kedua lagu di sini jelas memiliki sequencing layaknya seperti suatu kesatuan lagu utuh, meski pada celah-celah tertentu memasukkan aransemen rumit yang merubah ekspresi musik seketika, tetapi konklusi akhir selalu berkaitan erat terhadap tema musik yang dirancang sejak awal.

7 H. Target – Yantra Creating

Panduan-Album-7.H. Target-Yantra-Creating

Implikasi dari apa yang diperbuat kelompok brutal death metal kelahiran Russia ini memiliki kemiripan terhadap para tech-bros di Silicon Valley. Keduanya sama-sama obsesif terhadap teknologi mutakhir dan ingin melakukan transformasi penuh. Apabila Silicon Valley menciptakan begitu banyak inovasi menggemparkan, 7 H. Target merevolusi begitu banyak aspek-aspek musik brutal death metal. Tidak hanya ingin dicap sekedar brutal dan sadis, akan tetapi mereka seperti ingin dikenal sebagai ilmuwan gila yang menabrakan hal-hal berseberangan pada satu spektrum. “Yantra Creating” adalah hasil eksperimen mutant mereka yang ke-4, dimana tersusupi oleh DNA dan elemen etnis musik India.

Penerapannya benar-benar dilakukan secara harafiah di tengah kegaduhan pedal ganda, dan tarikan vokal yang begitu barbar terus menghardik. Kerumitan melodi gitar meninggalkan kesan esoteris terhadap perjalanan mistis yang menghasilkan biusan elemen psikedelik dan melayang pada perasaan pra-sadar. Jelas mereka juga meletakan begitu banyak labirin dalam kelokan transisi, nampaknya seperti sebuah keharusan agar mereka segera mengangkat kaki menuju passages berikutnya setiap aransemen menyentuh 4 bar. Hempasan riff groovy intimidatif yang berat dan tebal seperti brutal death metal umumnya, masih menjadi senjata ampuh, tetapi karena dinamisme luar biasa membuat daya gedornya lebih ampuh. Vokalnya seperti sesuatu yang memekik dari balik kegelapan kosmis, menghitam dan berukuran gigantic sedikit bersinggungan dengan kemiripan vokal yang diusung oleh trio dissonant death metal, Ulcerate.       

Level V : Ekstrim

february-album-guide_05

Messiah in the Abyss – Epigram of the Unjust

Panduan-Album-Messiah-in-the-Abyss-epigram-of-the-unjust

Seandainya proyek Messiah in the Abyss tercetus 30 tahun silam di dataran Norwegia atau Prancis, kultus tunggal ini bisa saja berada satu meja divisi bersama para regu Les Legion Noires, atau mungkin ikut menenteng obor menyusri dapur rekaman bawah tanah helvete record hingga ikut terlibat dalam rentetan kasus kontroversi ekstrimis yang dilakukan oleh punggawa-punggawa Norway black inner circle. Tetapi apa yang sudah terjadi, terjadilah, ketika band besutan Zarathustra the Dead asal Venezuela ini setidaknya lebih bebas menginterpretasikan pengetahuan ekstrimisnya ke dalam musik metal black metal tanpa harus risau selayaknya Satyricon pada zaman dahulu yang sempat disatroni keamanan setempat, karena sempat dicurigai tengah merencanakan hal-hal nekat seperti para koleganya.

Pada album ke-6 nya, Messiah in the Abyss tidak muluk-muluk untuk merubah kontur musiknya secara keseluruhan, bahkan enggan untuk menghianati daripada aturan black metal era lama. Zarathustra selaku sang konseptor tunggal masih tetap merendam gitar listrik pada elemen distorsi yang pecah, kualitas suara drum membusuk, serta vokal yang seperti menggeram di balik gua yang mengerikan. Dia menggerakan musiknya dengan cepat, primitif dalam bertransisi, dan begitu sulit untuk menginjak rem secara mendadak. Tetapi apa yang membuat Messiah in the Abyss, memiliki kesan dan kilauan cahaya yang memantul dari jurang terdalam adalah menyisipkan begitu banyak melodi-melodi melankolis kemilau yang eksistensinya tidak tergoyahkan seberapapun instrumen lainnya berupaya untuk meng intervensinya.

Mungkin ini seperti formula penerapan daripada gaya-gaya musik blackgaze masa kini yang memasukkan keindahan pada kekelaman atmosfer musik, tetapi basisnya, Messiah in the Abyss tidak bermaksud merestrukturisasi musiknya agar menjadi jenis black metal yang sedang trendi itu, ia hanya ingin agar penuturan ketidakbermaknaan-nya menjadi sesuatu yang membekas. Suaranya tetap terdengar lusuh, namun meninggalkan nuansa perenungan mendalam, seperti menemukan lembaran surat semasa perang dunia II, yang ditulis dalam secarik kertas yang telah menguning, pinggiran kertas yang hangus terbakar, dan beraroma mesiu.   

Yikii – The Crow​-​Cyan Lake (鸦​青​湖​畔)

Panduan-Album-Yikii-The Crow​-​Cyan-Lake-(鸦​青​湖​畔)

Terbesit suatu pikiran, bahwa apakah ada orang di luaran sana yang pergi mengunjungi deep web bahkan dark web dengan tujuan bukan sekedar mencari berbagai dokumen ilegal dan rahasia, melainkan mencari karya-karya musik yang beredar di sana dan mengunduhnya. Hanya ada 2 kemungkinan jika seseorang melakukannya, pertama bisa saja ia terjangkit ketidakstabilan mental, dan gejala psikosomatis tingkat akut, pasca memutar rekaman audio.

Pada sisi koin yang berseberangan, ia bisa saja terjerat praktik “social engineering” seperti yang dikisahkan buku “Art of Deception” karangan Kevin Mitnick. Jika terlalu takut untuk menghadapi keduanya, setidaknya salah satu kemungkinan dapat direplikasi dan ditarik ke dalam bentuk relatif aman, namun tidak menghilangkan sensasinya dan itu tercermin dari setiap tetes artistik Yikii. Musisi solois asal China ini telah menaruh begitu banyak musik-musik yang memiliki gugus dengan perasaan ketakutan, mimpi buruk, dan absurditas.

“The Crown-Cyan Lake” sebagai album ke-19 yang dilepasnya, benar-benar merupakan sebuah tempat kedap udara yang mengeluarkan sengatan musik avant-pop / post-industrial yang mengintai dengan itikad “buruk”, arwah-arwah vokal gentayangan yang bergelantungan dalam teknik vokal echo musik ethereal wave. Memainkan seni-hitam tanpa mengeraskan distorsi, mengencangkan pedal, dan berteriak pada vokal justru membuat efeknya jauh lebih merinding, karena Yikii memberi begitu banyak desingan efek rusak dan mengganggu di sela-sela keheningan dingin yang tercipta.

“Moon Dial” membuat efek-efek senar berdecit, seperti sebuah adegan familiar layar film horor Sadako yang merayap keluar dari televisi dan kengeriannya semakin menjadi seiring dengan lajunya lagu. Tetapi vokal Yikii yang kecil dan gemericik suara mainan anak semakin membekukan emosi lagu, dan pergi membengkokan hal naas lainnya.

Pada “Splendor” ia sedikit merentangkan musiknya pada kemegahan seni plunderphonics, sebelum tiba-tiba bunyi terompet bersifat mikrotonal menyeret, memenggal masa lalu yang indah dengan hanya menyisakan mimpi buruk yang terus mengejar. “Sacrifice” mendorong pada adegan yang lebih gigantic dan bombastis, ketika serangan elemen industrial dengan suara sapuan bising yang semakin mengeras, seperti menghadirkan sebuah kereta ekspress yang melaju kencang menuju pelupuk mata.

Vokalnya sesekali mengintip di atas bukit untuk menciptakan nuansa horor yang memukau. Yikii mendefiniskan album ini sebagai gambaran seseorang sleepwalking yang berkeliaran dalam situasi yang mengerikan, tetapi secara eksplisit nampaknya ia menunjuk setiap orang yang mendengar karyanya inilah yang menjadi boneka karakter untuk diajak masuk menyusuri fantasi gelapnya.     

The Necks – Travel

The-Necks-Travel

Trio improvisasi bebas / avant-garde jazz kelahiran Sydney ini telah beroperasi sejak 1987. 30 tahun lebih lamanya, mereka sama sekali tidak mengganti muatan personil dan meletakan belasan katalog diskografi album semasa karirnya. Suatu keunikan terjadi di sini, meski setiap album diisi oleh kepala yang sama, akan tetapi pemikiran mereka begitu membentang luas dan hampir selalu menjadi jaminan, untuk menciptakan karya dengan konsep berbeda ketika tiba saatnya menulis album.

Mereka mungkin bisa tahan dalam keheningan ambient dan pengaturan jazz minimalis yang tenang, tetapi mereka juga sanggup menghardik dengan terjangan improvisasi bersifat atonal yang saling melemparkan statement ketidaksetujuan di antara gagasan-gagasan yang dilemparkan pada setiap instrumen. Latar belakang dibalik munculnya “Travel” selaku album studio ke-19 mereka pun, tergolong nyeleneh. Konsep album ini tidak secara sengaja dihadirkan dalam ledakan brainstorming, yang mereka lakukan hanya rutin mengunjungi studio setiap hari dan melakukan sesi jamming bebas yang terdokumentasikan yang sedikit dilumuri teknik overdub pasca-produksi.

4 lagu dalam album ini, barangkali diambil dari sesi jamming di hari terpisah, dikarenakan motif dan tema dari masing-masing lagu yang tidak menampilkan kesenjangan. “Signal” terlihat lebih mendasar, dimana bass dan drum melekat pada putaran musik yang repetitif dan minimalis, sementara piano melantai dengan pergeseran melodi dan harmoni, seperti sebuah langkah ancang-ancang bagi mereka untuk segera memulai segmen lainnya, sambil terus menerka-nerka kombinasi pas.

“Imprinting” seperti terdengar antara persimpangan yang berkabut sembari melihat kilauan langit dari dongeng 1001 malam, dengan suara piano rhodes yang sayup-sayup namun memancarkan sinar terang magis. Perkusi pun hadir dengan tekstur lebih lembab dan memantul-mantul dibalik selaput kawah tipis yang nampaknya terbentuk efek kibor.

“Bloodstream” selaku penutupan paripurna, menjadi akumulasi dari ketiga gagasan lagu-lagu sebelumnya. Setelah melayang-layang dan putaran piano yang semakin memusingkan, akhirnya lagu ini meledakan transmisinya, dengan tabuhan perkusi ketukan 2/4 yang rapat, pergeseran tangga nada pada piano pun menjadi lebih cepat dan riuh, suara pun menjadi lebih kabur dari sebelumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link