FeaturesMetalThrash Metal

No Justice For All : Alasan Dibalik Thrash Metal Tidak Mampu Lagi Berjaya

Ke mana hingar-bingar dari riuhan suara thrash metal yang dulu rajin mengoyak-ngoyak telinga para pemuda dengan meninggalkan rasa senang dan menyulutkan kobaran api keberanian dalam diri mereka? Para pelaku maupun penggemar thrash mungkin masih ada, tetapi siulan penghormatan yang mereka dapatkan tidak senyaring dulu dan perhatian yang mereka dapatkan tidak sebesar dulu. Barangkali fenomena ini jarang disadari, dikarenakan lingkungan sub-kultur yang semakin hiruk pikuk dan hampir tidak jauh beda dengan rutinitas yang ada di atas sana. 

Sementara media-media musik besar baik berbasis metal maupun non-metal, seperti menarik perhatiannya untuk lebih tertuju pada keluarga metal dan sub-kultur lainnya yang dirasa lebih banyak menyajikan inovasi bersifat kontinuitas dan tentunya memiliki massa yang lebih membludak. Sangat sulit sekali di era sekarang untuk thrash metal mampu menembus daftar-daftar album terbaik tahunan dari redaksi mereka. Hanya segelintir yang mampu melakukannya dan itu tidak berlangsung selama setiap tahun. Statistik juga menunjukkan bahwa praktisi thrash metal maupun rilisannya di pasar dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara kuantitas. 

Thrash-Metal-50-Albums-Best-1

Thrash metal juga harus menghadapi persoalan dualitas yang serba-dilematis. Di satu sisi anak-anak muda saat ini lebih menggandrungi musik hardcore dan pergi ke gigs hardcore lokal yang jumlahnya begitu bejibun dengan mengenakan fashion yang terkadang sederhana lengkap dengan celana camo atau jaket studded, atau dapat tampil secara hyperbeast. Mereka lebih senang untuk menggerakan kakinya dan memperagakan tarian-tarian two-step, ketimbang mengibaskan rambut ke atas dan ke bawah. 

Sementara sisi lainnya, mereka yang berada dalam gelembung ekosistem metal, mencari musik dengan tingkat kebisingan yang lebih paripurna, okultisme yang lebih menghitam, atau mencari sesuatu yang berbeda, hingga pilihan jatuh kepada menggali musik-musik berlabelkan black metal, death metal, post-metal, beserta turunannya. Imbas dan pengaruhnya sudah jelas, semakin sedikit simpatisan yang rajin memantau kemajuan thrash di era sekarang. Mungkin hanya para royalis dan mereka yang sudah memiliki catatan sejarah personal panjang dengan thrash, yang masih menetap dan mendukung habis-habisan paguyuban ini. 

Tidak hanya dalam dunia bisnis, teknologi, dan ekonomi saja yang melakukan shifting, saat ini kita juga menjadi saksi akan pergeseran besar-besaran yang terjadi dalam lingkungan tercinta kita. Artikel ini akan membahas secara lengkap siklus daripada hidup thrash dimulai dari awal bermula, kedigdayaan, periode lesu thrash metal, hingga membahas mengenai kultur-kultur yang secara tidak langsung telah menjadi disruptif bagi kemajuan thrash. Artikel ditutup dengan memetakan berbagai model masa depan yang memungkinkan terjadi dalam lingkungan thrash metal dan menanyakan apakah thrash metal dapat kembali relevan menduduki tahta teratasnya di kemudian hari. 

Awal Thrash Metal Berasal

Di suatu hari pada tahun 1981, ada sebuah pemandangan yang mencolok bagi beberapa pasang mata ketika mereka memasuki toko rilisan fisik lokal setempat. Dibalik tumpukan dan jejeran plat vinyl dengan sampul album yang begitu berwarna-warni, ada sebuah benda persegi panjang dengan sampul warna serba hitam, dan lambang beserta gambar Baphomet yang melintang di sepanjang benda tersebut.

Tidak, itu bukan kitab satanic karangan Anton LaVey yang terkenal itu, melainkan sebuah plat vinyl yang rilis oleh band asal Newcastle, Venom. Disamping kiri dan kanan vinyl tersebut tertera tulisan yang masing-masing berbunyi “In League with Satan” & “Live like an Angel (Die like a Devil)”. Itu juga bukan mantra pemanggil setan, melainkan 2 judul lagu yang terdapat dalam kepingan piring hitam tersebut.

Keanehan pun semakin timbul ketika plat tersebut mulai diputar pada turntable dan mulai mengeluarkan suara. Suaranya terdengar seperti lagu-lagu keras bergenre hard rock maupun heavy metal, tetapi tidak seperti biasanya. Di sana tidak ditemukannya lengkingan vokal yang meninggi dan menggelegar layaknya Ian Gillan, maupun Robert Plant. Suara rekamannya pun terkesan kasar dan amatir, mereka yang berekspektasi mendengar rekaman-rekaman epik selayaknya pengusung progressive rock pastinya mendapatkan kekecewaan.

Venom-Thrash-Metal-Pertama

Namun yang didapatkan di sini ialah suara serak vokal Cronos yang dibanjiri echo, gempuran drum dengan tempo yang begitu cepat, serta riff gitar yang lebih bertingkah seperti lagu punk yang urakan, namun memiliki liukan melodi solo dan harmonisasi selayaknya band pengusung heavy metal. Pada saat itu media musik maupun orang-orang menyebutkan jenis musik ini sebagai “speed metal”. 

Venom menyatakan bahwa nama Motorhead dan beberapa band punk-lah yang berada di balik pengaruh mereka, sehingga tidak mengherankan Venom mampu memperoleh kecepatan yang mereka inginkan dan berupaya untuk membuat musiknya agar lebih cepat dan agresif lagi. Daya magis Venom ternyata tidak berhenti sampai di situ, secara tidak sengaja temuan mereka justru membuat banyak pemuda dari belahan dunia lain merasa termotivasi untuk membuat musik-musik berkecepatan tinggi. Namun pemuda-pemuda yang merasa paling termotivasi akan hal itu berasal dari benua dan negara yang lokasinya bermil-mil jauhnya dari Newcastle, yaitu sekelompok pemuda yang menetap di sekitaran daerah pantai barat, Amerika Serikat. 

Keinginan saya untuk bermain cepat datang dari band-band tertentu, terutama yang berasal dari Inggris, seperti Motörhead – dan band lain yang saya sukai saat itu, Venom (sumber : Udiscovermusic).” Kata Charlie Benante. Sementara Tom Araya juga mengatakan hal senada mengenai Venom: “Tanpa Venom, kemungkinan besar tidak akan ada Slayer. Album ‘Welcome To Hell’ (1981) dan ‘Black Metal’ (1982) mereka memberikan pengaruh besar pada gitaris kami Kerry King dan Jeff Hanneman (sumber : Udiscovermusic).” 

Mereka bersaing dan berlomba-lomba antara satu sama lainnya, untuk mampu menciptakan musik metal secepat dan secadas mungkin. “Selalu ada persaingan di masa lalu dalam hal kecepatan, dan saling menantang untuk maju. Semua ritme cepat cukup menyenangkan: Anda memasukkan begitu banyak emosi ke dalamnya. Kecepatan saya – sejauh downpicking, dan ritme – saya cukup nyaman dengan itu. Saya tidak melihat bagaimana itu bisa menjadi lebih cepat (sumber : Udiscovermusic)”. Papar James Hetfield

Thrash-Metal-Slayer-1986

Tidak lama setelah itu masing-masing dari mereka pun, membentuk bandnya sendiri: James Hetfield dengan Metallica, Tom Araya beserta Slayer, dan Charlie Benante bersama Anthrax. Pada saat yang berdekatan sekitar tahun 1981-1982, Brian Slagel selaku pendiri dan pemilik dari Metal Blade Records tengah menggarap sebuah album kompilasi bernama “Metal Massacre”. Kompilasi tersebut dikhususkan oleh Slagel untuk band-band yang saat itu masih belum dikontrak label maupun band yang masih tergolong underground.

Ketika “Metal Massacre Vol.1” dilepas ke pasaran pada 1982, salah satu lagu Metallica berjudul “Hit The Lights” terdaftar sebagai lagu penutup dalam kompilasi tersebut. Lagu itu tampil begitu mencolok, dengan kecepatannya yang melebihi daripada jajaran lagu lainnya yang berada dalam kompilasi tersebut, suatu gubahan yang jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah ditemukan pada era-era musik keras sebelumnya.

Saat itu belum ada yang menamai secara khusus jenis musik seperti itu, sehingga James Hetfield maupun band lainnya menyebutkan itu sebagai lagu speed metal. Tahun 1983, Metallica mendepak Dave Mustaine selaku gitaris utama mereka, dikarenakan kasus indisipliner dan juga konflik internal antara sesama personil. Merasa geram, Dave pun memutuskan mendirikan bandnya sendiri yaitu, Megadeth.

Sejatinya masih menjadi sebuah misteri tentang siapa yang pertama kali menciptakan terminologi thrash metal, dikarenakan beberapa sumber menyebutkan orang yang berbeda. Namun setidaknya pernyataan dari sang penabuh drum Anthrax, Charlie Benante menjadi jawaban yang paling mendekati untuk menjawab pertanyaan, tentang siapa yang menemukan term thrash metal”.

“Saya yakin pertama kali yang membuat saya menyadari akan keberadaan istilah “thrash metal” adalah dari sebuah majalah – bisa saja Kerrang! Itu tepat pada saat album kami, “Spreading The Disease (1985)” dirilis. Selain Anthrax, ada empat band lain yang memainkan jenis musik seperti ini – Metallica, Slayer, Exodus dari San Francisco, dan saya pikir Megadeth baru saja mengeluarkan album pertama mereka.”

Masa Kedigdayaan Thrash Metal & Dimulainya Masa Depresi

Memasuki pertengahan dekade 80’an, dengan cepat thrash metal menyebar pada hampir seantero Amerika Serikat khususnya daerah east coast dan west coast.Terdapat 3 titik besar di sana, yang dapat dijadikan rujukan sebagai awal perkembangan masif thrash metal di Amerika. Titik pertama terletak pada San Francisco, dimana band-band seperti Metallica, Exodus, Death Angel, Heathen, Hexx, Attitude Adjustment, dan Vio-Lence tumbuh dan berkembang di sana.

San Francisco, menjadi salah satu kota dari negara bagian California yang harus dibedakan dibanding kota-kota lainnya. Hal ini dikarenakan San Francisco merupakan kota yang secara tersentral paling banyak mengorbitkan band-band thrash metal yang terkenal dan sangat berpengaruh terhadap pergerakan ini. 

Sementara kota-kota lainnya yang masih terhitung dalam negara bagian California, dihitung sebagai titik kedua secara kolektif, karena masing-masing dari kota turut menyumbangkan moniker-moniker thrash yang berpengaruh dalam skena – Machine Head, Defiance dari Oakland,  Cryptic Slaughter dari Santa Monica, Forbidden dari Hayward, Excel dari Venice, Hirax dari Buena Park, Suicidal Tendencies dari Los Angeles, dan Verbal Abuse dari East Bay. Selain di wilayah west coast, thrash metal dengan cepat menyebar di negara bagian dan kota yang tercatat sebagai wilayah east coast.

Anthrax sebagai band yang paling bertanggung jawab mengenalkan thrash metal, namun menyusul nama-nama lainnya – S.O.D, Nuclear Assault, Cro-Mags, M.O.D, Carnivore, dan Ludichrist yang juga membantu persebaran thrash metal di wilayah east coast jauh lebih membumi dan masif. Satu hal yang paling mencolok dalam membedakan east coast dan west coast thrash metal terdengar dari gaya musik mereka masing-masing. 

West coast masih terpengaruh dengan gerakan band-band metal Inggris, sejenis Iron Maiden, Judas Priest, Saxon, Venom, dan lainnya. Sedangkan dikarenakan east coast memiliki minat yang tinggi terhadap budaya hardcore, akibatnya gaya pengemasan musik band-band thrash di sana turut terpengaruh oleh musik hardcore.

Dari sinilah istilah daripada cross-over thrash metal berasal, dimana east coast thrash memadukan unsur musik thrash metal dan hardcore secara bersamaan ke dalam musik mereka. Setidaknya ada 3 faktor penting yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai kesuksesan daripada musik thrash metal di masa lampau, yaitu popularitas, hal artistik, dan persebaran.

Secara popularitas, beberapa band thrash metal yang tadinya tidak terasosiasi oleh label manapun, akhirnya dikontrak oleh label-label dengan nama yang cukup diperhitungkan dalam kancah metal maupun industri musik secara umum. Testament dan Overkill yang dikontrak oleh label metal ternama asal New York, Megaforce Records sejak debut mereka, Megadeth pernah tergabung dalam roster Capitol Records, sebuah label yang pernah bekerja sama dengan musisi besar seperti ABBA, Deep Purple, The Beatles, dan The Beach Boys, lalu Carnivore yang sempat dipinang oleh salah satu major label terbesar, Roadrunner Records, Sepultura yang pernah dikontrak Road Racer Record anak perusahaan dari Roadrunner Records, dst…

Thrash metal pun berserakan mengisi acara-acara konser live mulai dari skala bar lokal setempat, stadium raksasa, hingga venue-venue besar sekelas Madison Square Garden. Beberapa band thrash pun rajin tampil di salah satu acara musik MTV sebuah acara musik paling bergengsi pada masanya. Secara penjualan, Metallica memberikan kontribusi dan sumbangsih terbesar pada skena thrash dalam hal ini. Album ke-3 mereka yang dilepas tahun 1986, “Master of Puppets” menjadi album thrash metal pertama yang meraih sertifikasi platinum dari RIAA dan mereka memenangkannya sebanyak 6x. 

Secara artistik, thrash metal mampu membawa artistik musik metal ke level berikutnya. Jika menyimak musik dari album-album seperti “Reign in Blood” (Slayer), “Bonded By Blood” (Exodus), “Darkness Descends” (Dark Angel), dan Endless Pain (Kreator), metal-metal dengan jenis seperti itu secara pasti tidak akan pernah ditemukan di era-era terdahulu.

Metallica-Moscow

Musiknya jauh lebih cepat, bising, dan yang terpenting belum pernah ada yang mampu membuatnya selain daripada thrash metal pada masanya. Saat itu memang secara bersamaan lahir pergerakan musik metal / hard-rock lainnya, glam metal yang juga populer. Namun glam hanya merombak penampilan secara visual agar terlihat lebih necis dan bersahabat, beserta dengan pakainya yang serba glamor dan lebih menyerupai wanita. 

Lagipun para penggemar glam kerap kali dijadikan bahan bulan-bulanan oleh penikmat thrash, dikarenakan musik glam yang dianggap terlalu lembek, berlebihan dalam berpakaian, dan menjadi biang tempat perkumpulannya para posser yang tidak tahu menahu mengenai budaya metal. Meskipun dinarasikan dalam bentuk serangan dan provokasi, sebenarnya ini mengindikasikan secara tersirat bahwa thrash metal memang membuat gap perbedaan dan secara tidak langsung menjadi barometer yang dapat ditunjukkan, bahwa seperti inilah musik metal yang sesungguhnya.

Hingga sekarang apa yang diperbuat dan dicatatkan oleh para punggawa thrash metal masih menjadi landasan berpikir bagi para band metal generasi penerus untuk membuat musik yang jauh lebih cepat dan cadas.

Grafik-Rilisan-Thrash-Metal-per-Tahun-1990s

Sementara dari sisi persebaran, thrash metal mengalami laju signifikan dan jangkauan yang begitu terdesentralisasi. Bahkan thrash metal tersebar hingga pada negara-negara yang tak terduga. Belum jauh meninggalkan Amerika Serikat, thrash metal dengan cepat terdengar gaungnya di wilayah Kanada, hingga di sana bermunculan band thrash esensial seperti: Razor, Sacrifice, Voivod, Annihilator, Exciter, hingga Slaughter.

Menyambangi negara-negara Amerika Latin, yang mungkin tampak terlalu eksotis bagi kultur musik metal, di sana justru bermunculan nama-nama thrash metal yang melegenda hingga saat ini. Sepultura, Vulcano, Sarcofago, dan Holocausto dengan bangga memainkan alat musik mereka sekencang-kencangnya, sembari mengibarkan bendera Brasil.

Menyeberangi samudra dan menyusuri dataran yang sama sekali tampak asing bagi Amerika, benua eropa menyambut thrash metal dengan penuh antusiasme dan euforia.Negara Jerman menjadi paling vital dalam skena thrash metal, hingga mereka memiliki julukan “Big 4” nya sendiri yang terdiri atas : Kreator, Sodom, Destruction, dan Tankard. Laju pertumbuhan thrash metal begitu membludak dari tahun ke tahun dan momentum berparas optimistik ini dibantu dengan kegembiraan warga Amerika di akhir dekade 80’an, ketika tembok Berlin runtuh. Namun memasuki awal daripada dekade 90’an, keadaan berbalik 180 derajat.

Amerika sempat mengalami krisis selama 2 tahun pada awal 90’an, yang meningkatkan angka pengangguran pada masa itu. Pemulihannya terasa begitu lambat dan industri-industri manufaktur melandai dan tidak dapat pulih seperti sedia kala. Setelah kembali stabil yang hanya berlangsung selama beberapa bulan, masa kelam berlanjut selama periode 1992 – 1994. Amerika sedang dilanda oleh kecemasan krisis persaingan daya globalisasi.

George W. Bush yang saat itu menjadi presiden Amerika, tersingkir darI kekuasaan nya. Warta berita di berbagai stasiun televisi tidak ada habisnya menyiarkan berita mengenai kematian tentara-tentara Amerika yang sedang berperang di Mogadishu. Silicon Valley sedang mandek dan tidak bisa mengeluarkan rancangan-rancangan perusahaan startup ajaib seperti biasanya. Singkatnya Amerika sedang mengalami pergeseran besar-besaran yang terjadi di hampir segala penjuru sektor yang mereka miliki. Namun pergeseran yang terjadi, tergambar dalam satu kata ber-stigma negatif, yaitu “depresif”. 

Grunge, Awal Disruptif Secara Sengaja dan Tidak Sengaja

Satu-satunya yang diinginkan Amerika adalah segera lepas dari rentetan masalah, akan tetapi pemulihannya begitu lambat. Rasanya saat itu, sangat sulit untuk membicarakan hal mengenai kepercayaan diri dan harapan, karena realitas yang tampak sangat berseberangan. Apa yang tercermin daripada kondisi Amerika saat itu, secara tidak langsung seperti memantul pada skena musik thrash. Sempat mengalami masa hingar-bingar kejayaan sepanjang awal dekade 90’an, semuanya berubah ketika memasuki pertengahan dekade 90’an. 

Munculnya grunge yang tampak begitu representatif dengan kondisi lingkungan sekitar saat itu, lebih berhasil menarik simpatisan. Memiliki nasib dan pesimisme yang senada, membuat orang-orang seperti terkoneksi secara langsung dengan apa yang diutarakan musik grunge, meski kemunculannya baru beberapa bulan. Rasa-rasanya sudah menjadi rahasia umum bila pertengahan dekade 90’an, banyak pasang mata tertuju pada kebangkitan grunge. Musik yang lahir dan besar dari kota Seattle ini sudah selayaknya menjadi trendsetter dan gaya hidup baru bagi remaja-remaja pada masanya.

Akan tetapi, kemunculan grunge tidak hanya semata sebagai kultur disruptif bagi thrash metal, melainkan bisa jadi dikaitkan dengan ajang “balas dendam” secara personal. Hal tersebut bermula dari penampilan ikonik Alice in Chains di pagelaran festival thrash metal terbesar, Clash of the Titans. Ketika thrash metal mengalami masa kedigdayaan pada awal dekade 90’an, Clash of the Titans digelar secara eksklusif untuk beberapa punggawa thrash metal ternama dalam rangka mempromosikan masing-masing daripada album terbaru mereka.

Concert-Alice-in-Chains-Clash-of-the-Titans

Tur berlangsung selama 2 babak, dimana babak pertama headliner diisi oleh Slayer, Megadeth, Testament, dan Suicidal Tendencies. Saat itu Megadeth tengah mempromosikan album terbarunya, “Rust in Peace”, Slayer mempromosikan “Seasons in the Abyss”, Testament memperkenalkan “Souls of Black”, dan Suicidal Tendencies memperkenalkan album “Lights…Camera…Revolution! “. Tur yang berjalan selama 3 minggu tersebut sukses digelar. 

Kemudian babak kedua Clash of the Titans dilanjutkan pada pertengahan tahun 1991, dimana ada sedikit perubahan line-up. Slayer, Megadeth, masih menjadi aktor utama, sementara Suicidal Tendencies dan Testament masing-masing digantikan oleh Anthrax dan Death Angel. Akan tetapi sebelum konser dihelat, Death Angel mengalami kecelakaan bis yang mengakibatkan kerusakan dan luka yang cukup serius bagi para punggawanya. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk mengisi Clash of The Titans, pihak Death Angel menawarkan Alice in Chains untuk menggantikan posisi mereka. Singkat cerita berangkatlah Alice in Chains bersama dengan 3 punggawa thrash metal raksasa tersebut.

Menurut Kerry King dalam dokumenter “Get Thrashed”, Alice in Chains selaku band pembuka yang tampil di hadapan 20 ribu thrashead, selalu tampil mengecewakan. Mereka dicaci, dihujat, dan diteriaki oleh penonton, bahkan Kerry King sendiri pun sempat melempari mereka dengan botol air kencing. Sementara Scott Ian pentolan gitaris Anthrax justru memuji mentalitas Layne Staley selaku frontman Alice in Chains. Ia (Scott) berkata bahwa Layne justru mendongak ke arah penonton, mencaci balik penonton dan terus memainkan musik tanpa peduli cacian penonton. 

Namun tidak sangka album debut Alice in Chains, “Facelift” laku keras, salah satu single mereka “Man in the Box” meledak di pasaran dan banyak permintaan untuk diputar di stasiun-stasiun radio. Tidak usah menunggu gempuran pengusung grunge lainnya dan lahirnya “Nevermind” untuk mengkudeta thrash metal, melejitnya “Man in the Box” dan “Facelift” merupakan kode keras bahwa masa thrash metal segera berakhir dalam waktu dekat dan efek kejatuhan dari singgasananya begitu dramatis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah thrash metal, mereka dihadapkan pada “ancaman” yang serius di depan mata.

Alice-in-Chains-Clash-of-the-Titans-Live-1

Sejumlah band merespon dengan cepat demi menghadapi gempuran musik grunge. Metallica misalnya yang “meremajakan” formula thrash metal agar menjadi lebih aksesibel melalui ‘Black Album’. menabrakan riff-riff berpacu kencang dengan pukulan drum beradrenalin tinggi sudah bukan menjadi orientasi utama lagi bagi mereka. Musiknya bergeser menjadi sesuatu yang lebih menghentak secara patah-patah, dan James Hetfield pun tidak ragu melantunkan tembang-tembang balada sedih di sana. Itu masih secuil dari sederet upaya pemain besar thrash lainya untuk menghadapi serangan disruptif grunge.

Misalnya Kreator yang bergeser dan menyusuri teritori musik gothic dan industrial, Exodus yang melakukan perjalanan eksodus ke ranah industrial dan hip-hop, Sodom yang acuh tak acuh dengan terus menginjak pedal gasnya, Sepultura mengambil perjalanan kembali ke “Roots”, dan Dave Mustaine beserta kolega mendapat tekanan dari pihak “pemilik modal” yang menaungi mereka untuk mempermak diri agar menyerupai Nirvana dan Kurt Cobain sebagai salah satu role model dan poster-boy terbesar bagi anak-anak muda waktu itu.

Upaya mereka dalam “menyelamatkan diri dari kapal yang terkepung oleh kepulan asap itu” semata-mata bukan untuk kepentingan bersama skena thrash metal, melainkan loncatan mereka hanyalah bersifat kepentingan pribadi. Separuh upayanya mungkin terlihat berhasil, seperti “Black Album” yang diganjar sebagai album terlaris Metallica sepanjang masa, “Youthanasia” membuat penggemar Megadeth sumringah meskipun jelas terdengar di sana, musik mereka mulai terkontaminasi dengan gaya riff patah-patah bertempo sedang.

Sementara Sepultura, Exodus, dan Kreator mulai mendapat getah empedunya. Alih-alih merubah formula musik dengan tujuan menjaring penggemar baru, para penggemar militan justru melontarkan kritik bernada cercaan bagi masing-masing dari mereka, karena dianggap telah melenceng jauh dari pakem utama musik thrash metal. Sabbat, Nifelheim, dan Aura Noir boleh sedikit berbangga hati karena sepak terjang mereka di sepanjang pertengahan dekade 90’an tidak menampilkan gelagat perubahan arah menuju komersil.

Tetapi kita sama-sama mengetahui bahwa titel mereka sebagai “band influential” hanya relevan bila diucapkan terhadap sesama ruang lingkup thrash metal. Ketika topik pembicaraan sudah meluas pada skena musik cadas secara umum apalagi meringsik pada pembahasan musik populer secara keseluruhan, ketiga band tersebut tidak dapat bercakap banyak.

Pantera

Satu-satunya kolektif yang mampu membuat thrash metal sedikit bertenaga di kancah mainstream adalah Pantera. Band yang berasal dari Texas tersebut merupakan hasil dari shifting yang semula berangkat dari pergerakan glam metal menuju thrash metal dengan kadar suara yang lebih groovy. Memang terdengar sedikit ironis, bahwa Pantera yang saat itu digadang-gadang sebagai salah satu tonggak utama thrash metal di kancah mainstream pertengahan dekade 90’an justru lahir dari skena glam metal yang kerap pada masanya sering dicemooh dan didiskreditkan oleh penggemar maupun pelaku thrash metal baik secara lelucon maupun serius.

Kesuksesan Pantera hanya cukup memberikan senyum simpul pada penggemar thrash, sebuah “hiburan sesaat” untuk membisikan optimisme semu, bahwa thrash metal sedang baik-baik saja. Padahal dari lubuk hati terdalam, mereka mengetahui percis bahwa grunge tetap berjaya dan terus menjadi daya tarik utama pemuda-pemuda yang terjerat berbagai masalah kehidupan untuk menjadi bagian daripada komunitas grunge. Hal tersebut tidak mengherankan, karena selain daripada kesederhanaan musik grunge, tingkat relevansi daripada nilai lirik musik grunge jauh lebih membumi dan mengenai tepat sasaran terhadap audience mereka. 

Namun tolong jangan disalahartikan bahwa thrash metal benar-benar mati tanpa tersisa pada era ini. Sisi internal daripada skena thrash metal sendiri masih sangat subur dan memiliki ekosistem yang baik di sini, ditandai dengan ratusan band thrash metal yang masih aktif manggung maupun merilis materi anyar. Namun yang menjadi titik kritis di sini adalah kesempatan mereka untuk melakukan penetrasi atau lompatan pada bagian ekosistem musik yang lebih luas sudah tidak sebesar dulu dan grunge menjadi “kompetitor” langsung yang menghadang jalur tersebut. 

Pesimisme terhadap kehidupan, masalah adiksi, dan suicidal thoughts menjadi narasi bersifat kejujuran yang dibangun di sekitaran lirik grunge. Tetapi secara tidak sengaja “gaya hidup pesimis” seperti ini menjadi pendorong utama musik ini begitu diminati kaula-kaula muda pada masanya. Namun tidak lama dampak merugikan nya mulai terasa, ketika bisikan-bisikan negatif itu berubah menjadi sebuah tindakan yang represif bagi sang pelaku seni.

Kurt Cobain meledakan kepalanya sendiri pada tahun 1994 usai bergelut dengan berbagai masalah depresi yang berkepanjangan dan adiksi. Beberapa punggawa grunge lainnya justru merasa insecure dengan ketenaran mereka yang serba mendadak, yang membuat performa mereka jeblok dan tidak stabil dikarenakan terbayang-bayangi oleh fenomena star-syndrome

Kurt-Cobain-Death

 

Kisah Pearl Jam, “mungkin” dirasa lebih baik dari rekan-rekannya, karena mampu bertahan. Akan tetapi mereka juga harus kehilangan sesaat gitaris mereka, Mike McCready yang pergi direhab pada tahun 1995, karena mengalami masalah kecanduan heroin akut. Layne Staley juga mengalami problematika serupa, ketika sepanjang pertengahan dekade 90’an Staley terus didera oleh masalah kondisi fisiknya yang memburuk dikarenakan efek samping dari penyalahgunaan heroin.

Belakangan, tahun 2002 Staley ditemukan tewas mengenaskan di apartemennya dengan kondisi badan yang hanya menyisakan berat 39 Kg. Dokter mengotopsi mayatnya dan menyatakan bahwa Staley meninggal diduga overdosis speedball sebuah campuran zat yang terdiri dari kokain dan heroin. 

Bersamaan dengan peristiwa naas yang menimpa para pahlawan grunge, berakhir jugalah era keemasan grunge. Tidak lama setelah itu, menjelang akhir dekade 90’an hingga awal dekade 2000’an muncul berbagai jenis musik cadas baru yang merenggut “tahta” yang telah ditinggalkan grunge diantaranya: nu-metal, alternative rock / metal, metalcore, garage rock revival, hingga emo.

Tetapi sejak matinya grunge hingga detik ini nampaknya tidak ada sedikitpun memunculkan sebuah indikasi bahwa thrash metal akan kembali menjadi sang pemuncak rantai dalam ekosistem subkultur dan pergerakan grafik daripada performa mereka justru melandai seperti industri manufaktur yang tak pernah pulih kembali. 

Baca Juga : Pure Wrath – Hymn to the Woeful Hearts – Review

Kegagalan Thrash Metal Kembali Menjadi Pemuncak Rantai

Arus utama sudah bukan menjadi pasar relevan lagi bagi thrash metal dan mereka sangat sadar akan hal itu, sementara para pemain besar lebih sibuk menciptakan karya tanpa memperdulikan lagi respon daripada penggemar maupun komunitas. Satu-satunya kemungkinan yang bisa dicapai thrash metal untuk menjadi sang “pemuncak rantai” kembali adalah menjadi primadona dalam ruang lingkup komunitas metal itu sendiri.

Tetapi shifting besar-besaran sedang melanda di komunitas ini dan perubahannya sangat terasa radikal. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan dan sudah mulai terdeteksi, ketika mulai bermunculan berbagai subkultur metal baru seperti black metal, death metal, sludge metal, post-metal, dan metalcore pada sepanjang dekade 90’an. Namun memasuki dekade 2000’an shifting yang terjadi semakin gencar dan begitu massif.

metal-genres
Sumber : Astral Noize

Menurut Peter Thiel dalam bukunya “Zero To One” ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk mencapai sebuah kemajuan. Kemajuan secara horizontal merupakan kemajuan yang bersifat ekstensif atau mengerjakan suatu hal dengan meniru apa yang sudah terbukti berhasil sebelumnya. Apabila diperluas, kemajuan secara horizontal dapat digambarkan dengan satu kata, yaitu globalisasi.

Sementara jenis kemajuan lainnya, adalah kemajuan secara vertikal yang memiliki sifat intensif yang berarti mengerjakan hal baru yang belum pernah dikerjakan sebelumnya. Kata paling tepat untuk menggambarkan kemajuan ini adalah teknologi. Jangan terpaku bahwa teknologi harus selalu berkaitan dengan industri robotik, sains, dan komputer Jika dipahami secara tepat teknologi didefinisikan sebagai menciptakan cara baru atau memperbaiki cara lama secara eksponensial untuk menuntaskan suatu masalah dan memberikan kemudahan.   

Kebanyakan orang mendambakan konvergensi adanya kesetaraan dan keseragaman yang terjadi di hampir setiap wilayah. Orang-orang mengira bahwa negara maju adalah sebuah bentuk preposisi negara ideal yang telah mencapai segalanya, dan tugas dari negara berkembang hanyalah tinggal mengikuti cara-cara mereka, atau singkatnya globalisasi sebagai kunci kemajuan dunia. Namun ini lebih rumit dari kelihatannya, dan tidak ada jaminan bahwa globalisasi membawa kesetaraan akan kemakmuran yang didambakan itu. 

Mari ambil contoh ketika Negara Amerika memasok energi dengan jumlah produksi yang sangat besar setiap harinya, anggaplah Indonesia meniru cara serupa. Namun dikarenakan kesiapan instalasi daripada infrastruktur yang tidak memadai selayaknya Amerika, akibatnya Indonesia justru mengalami pencemaran yang lebih besar daripada sebelumnya.

Jika anda berpikir agar globalisasi juga diterapkan pada infrastruktur yang serupa dengan Amerika, itu hanya menimbulkan masalah berkelanjutan lainnya seperti biaya instalasi yang membengkak, sumber daya manusia yang harus ditingkatkan, dan biaya pajak yang semakin meningkat, dimana taraf kehidupan dari masing-masing negara memiliki perbedaan. 

Ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa cara Amerika dalam memasok energi akan berubah kedepannya menjadi lebih efisien. Sementara cara lama mereka yang mulai ditinggalkan karena dianggap sudah tidak layak terlanjur didistribusikan melalui proses globalisasi pada negara-negara lainnya.

Globalization-Freepik-by-Macrovector
Image by macrovector on Freepik

Tentunya itu merupakan sebuah malapetaka dan sampai kapanpun negara berkembang tidak akan pernah setara dengan negara yang berada di kelompok negara maju. Tentunya kita harus menyepakati bersama premis mengenai negara berkembang harus setara dengan negara maju itu perlu, tetapi tidak ditempuh dengan cara globalisasi. Sampai sini jelaslah bahwa teknologi merupakan jawaban dari semua ini.    

Mungkin terdengar sulit atau mustahil pada awalnya menciptakan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tetapi teknologi memiliki keunggulan untuk bergerak lebih fleksibel dan terkendali seutuhnya. Sesuai dengan definisinya, teknologi sangat terfokus dalam memecahkan masalah, sementara globalisasi hanyalah bersifat mendistribusikan suatu solusi, sehingga tugas si pencipta teknologi hanyalah memanfaatkan dan menyesuaikan sumberdaya yang ada sebaik-baiknya untuk mewujudkan teknologi yang sudah direncanakan. Teknologi memiliki keunggulan terkendali seutuhnya, dikarenakan perencanaan secara keseluruhan dilimpahkan tanggung jawab-nya kepada sang pencipta. 

Dalam globalisasi pilihan hanyalah mengikuti rancangan yang sudah ditetapkan lebih dulu oleh Negara atau pihak yang dijadikan acuan untuk ditiru, dan jika pun ada perbaikan rencana dari pihak penerima, perbaikannya hanyalah bersifat incremental. Teknologi akan terdengar paradoks, dikarenakan hampir semua teknologi mutakhir pemecah masalah terbesar umat manusia justru lahir dari keterbatasan dengan ruang lingkup yang kecil. 

Hal tersebut dikarenakan para pencipta teknologi dipaksa untuk terbiasa memanfaatkan sumberdaya seadanya, namun harus mampu memecahkan masalah secara brilian. Akibatnya mereka terdorong untuk berpikir lebih kreatif dengan menghasilkan teknologi pemecah masalah yang jauh lebih efisien, ramping, dan murah.

Hampir tidak pernah terlihat perusahaan-perusahaan besar menciptakan teknologi mutakhir, jika pun ada itu disebabkan oleh 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka sudah melakukannya sejak masih berbentuk startup dan masih menjadi budaya perusahaan hingga kini. Kemungkinan kedua adalah perusahaan lama yang mengakuisisi startup pemain baru.

Thrash-Metal-vs-Black-Metal-Death-Metal-Kemajuan-1

Sekarang kita kembalikan lagi pada fenomena yang terjadi dalam skena metal. Dengan memahami uraian di atas akan sangat mudah menangkap maksud dibalik kami mengkategorikan thrash metal di era sekarang mengalami kemajuan bersifat globalisasi, sementara skena sub metal lainnya, taruhlah death metal dan black metal mengalami kemajuan bersifat teknologi.

Ketiganya sama-sama mengalami regenerasi yang ditandai dengan banyaknya bermunculan pemain-pemain baru di masing-masing skena, tetapi apa yang membuat thrash metal terisolasi mengalami kemajuan berdasarkan globalisasi, sementara yang lainnya tidak? Lantas mengapa ini justru menghambat laju daripada kemajuan thrash metal

Perlu diketahui bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan ruang kreativitas penciptaan musik tidak akan pernah disosialisasikan dan disepakati secara bersama keberadaanya, berbeda dengan masalah di berbagai sektor industri riil yang memiliki masalah nyata yang disepakati sebagai musuh bersama, serta tidak jarang pemerintahan turun tangan untuk mensosialisasikan masalah yang sedang dihadapi. Namun dalam ruang kreativitas bermusik bukan berarti tidak ada masalah nyata yang harus dihadapi. Sejatinya sudah terpampang jelas salah satu masalah terbesar yang harus dipecahkan oleh musisi melalui penciptaan karyanya adalah kata “kreativitas” itu sendiri. 

Mungkin ini luput dari pengamatan dan jarang disepakati oleh kebanyakan orang, tetapi hal yang menjadi pertanda bahwa sebuah pergerakan genre musik dikatakan sukses mengalami kemajuan, ditandai dengan banyaknya kolektif yang melakukan terobosan dan inovasi untuk menghasilkan karya yang berbeda dari patokan karakteristik awal yang dicetus oleh genre musik yang menaungi kolektif-kolektif tersebut.

Taruhlah band seperti Deafheaven atau Alcest yang tergolong sebagai pengusung black metal melakukan terobosan dengan cara mengkonsolidasikan beberapa elemen dasar black metal seperti tremolo riff, shrieking vocal dengan melodi melankolis dan sentimentil dari elemen shoegaze atau post-rock, hingga mereka diberi julukan label genre sendiri sebagai pengusung post-black metal

Black-Metal-Diagram-sub-genres

Tidak jarang mereka mengintegrasikan clean vocal merdu, suatu hal yang tidak akan dijumpai ketika awal mula skena black metal terbentuk. Contoh ekstrim lainnya seperti Deathspell Omega, Pensées Nocturnes, maupun Aosoth yang tidak hanya membuat black metal terdengar 666x lebih mengerikan, tetapi mampu merubah black metal yang awalnya terdengar minimalis dan amatir menjadi sebuah karya avant-garde megah yang kompleks. 

Tentunya anda akan dianggap sinting bila mengatakan bahwa Deafheaven, Alcest memiliki kesamaan dengan Deathspell Omega, Aosoth, dan Pensees Nocturnes hanya karena mereka semua sama-sama memainkan black metal. Pernyataan ini sama saja dengan anda menyepakati bahwa mesin cuci dan ponsel adalah kesamaan, karena keduanya adalah barang elektronik, atau yang lebih parah menyamaratakan para politisi sayap kiri dan politisi sayap kanan, hanya dikarenakan memiliki kesamaan profesi sebagai politikus. Keduanya jelas memiliki motif, bentuk, fungsionalitas, serta perspektif seni yang bertolak belakangan meski sama-sama berada di bawah payung black metal

Sementara dalam skena death metal, kasusnya pun serupa. Pergerakan slamming death metal sebelum menjamur seperti sekarang ini, mereka awalnya merupakan produk daripada “kemajuan bersifat teknologi” dalam skena death metal, karena mampu menghasilkan inovasi berupa musik yang dianggap “lebih menjijikan” dan ganas dibanding para pendahulunya. Sementara band sejenis Necrophagist, Obscura membawa death metal ke ranah lebih sophisticated, kompleks, dan akan dianggap transcendental bagi pemahaman awal death metal.

Perhatikan di sini bahwa kami mengambil contoh-contoh yang saling bertolak belakang untuk membuktikan bahwa terobosan bersifat teknologi dalam kemajuan kreativitas bermusik jauh lebih bebas dan fleksibel. Satu-satunya hal yang dibutuhkan hanyalah pemikiran yang sedang difokuskan untuk menciptakan sebuah karya unik yang belum pernah dibuat sebelumnya. 

Sekarang mari tengok pada ruang lingkup thrash metal yang memiliki kemajuan bersifat globalisasi. Sesuai dengan pemahaman dan esensi awal dari globalisasi, artinya mayoritas dari kaum regenerasi atau kami lebih senang menyebutnya sebagai revivalis thrash metal hanyalah meniru atau membuat musik dengan menggunakan cara-cara lama yang sudah dilakukan para pendahulunya.

Seharusnya anda sudah dapat memahami penjabaran efek dari globalisasi di atas, bahwa suatu bagian, wilayah, atau komunitas yang terpapar oleh efek globalisasi tidak akan pernah bisa memimpin dan akan selalu terbayang-bayangi. Dengan kata lain mereka para revivalis thrash secara tidak sengaja dan tidak langsung telah menciptakan “perangkapnya” sendiri untuk bersedia dibandingkan dengan band-band yang sudah merilis banyak album-album thrash metal legendaris di masa lampau. 

Thrash-Metal-Simillarity-Behavior

Mungkin anda bergumam bahwa musik tidak untuk dibandingkan, tetapi fakta berbicara bahwa para generasi thrash metal di era modern ini hampir selalu dibandingkan dengan para pendahulunya secara kesamaan struktur musik. Evile yang kerap dicap sebagai persilangan antara Metallica dan Slayer, Municipal Waste yang kerap dianggap “peranakan” dari D.R.I dan Suicidal Tendencies. Toxic Holocaust yang selalu dikaitkan oleh Sodom, dan tentunya masih banyak lagi segudang contoh lainnya yang bernada serupa.

Secara teknis memang mereka tidak meniru 100% apapun yang dilakukan para pendahulunya, tetapi anda tidak perlu menjadi super kritis untuk menyimpulkan bahwa formula musik yang dibawakan mulai dari struktur riff, gaya vokal, gaya beat drum, solo gitar tidak ada sesuatu yang benar-benar baru di sana. Sekali lagi, perubahan yang terjadi hanyalah bersifat incremental.

Pernyataan-pernyataan tersebut secara kasat mata mungkin mengarahkan pada kesimpulan tunggal bahwa para revivalis thrash metal tidak memiliki karakteristik dan jati dirinya sendiri, padahal ada makna lain yang tersirat dibalik itu semua. Pernahkah terpikir di benak bahwasanya mereka memiliki kemampuan yang minim atau sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menjaring audience baru yang belum terpapar oleh thrash metal seumur hidupnya?

Sudahlah cukup jelas mereka-mereka yang mampu mengomentari bahwa suatu band memiliki kemiripan dengan band tertentu sejatinya merupakan penggemar thrash metal lama yang sudah berpengalaman mendengarkan berbagai macam band. Jika pun ada audience baru yang datang dari ekosistem non-metal, alur mereka mengenal thrash hampir dipastikan tetap diawali dengan band-band generasi terdahulu dikarenakan prestise yang mereka peroleh di masa lampau. Sementara para revivalis thrash hanya berharap-harap cemas agar mereka segera ditemukan dalam tumpukkan musik cadas yang semakin melimpah ruah secara kuantitas dan variatif secara kualitas.

Hardcore-Modern-Behavior-Listener

Turnstile, Knocked Loose, dan Code Orange adalah contoh bagus untuk memberikan perspektif sebaliknya. Tak peduli seberapa bencinya para puritan hardcore pada mereka, tetapi nyatanya ketiga band tersebut terbukti ampuh dalam mendatangkan banyak audience baru yang belum mengenal budaya hardcore sebelumnya. Para penggemar baru ini langsung jatuh cinta dengan gempuran musik hardcore yang dibawakan ketiga band tersebut, tanpa harus tahu lebih dulu silsilah bahwa band hardcore sejenis Bad Brains, Amebix, Discharge, Cro-Mags, dan The Exploited itu eksis.

Mengubah dan memandu mereka nantinya untuk terjun ke dalam skena hardcore yang lebih orisinalitu merupakan perkara mudah, tetapi yang jauh lebih sulit adalah mengubah cold market agar tertarik pada sesuatu hal yang belum diketahuinya merupakan tantangan yang jauh lebih nyata. Dapat dikatakan mayoritas daripada revivalis thrash metal gagal dan hampir tidak sanggup melakukan ini.

Mungkin anda bertanya-tanya mengapa inovasi bersifat teknologi dalam ruang kreatifitas musik itu penting dan akan cenderung memberikan kemajuan bersifat eksponensial bagi perkembangan suatu ekosistem musik yang dipengaruhinya? Barangkali mereka yang sekarang dianggap sebagai “inovator”, awalnya hanya memiliki motivasi untuk membuat karya-karya musik yang unik atau hanya sebatas sarana terapeutik bagi sisi personal mereka.

Tetapi ingat teori paradoks tentang teknologi, bahwa teknologi muncul justru dari ruang lingkup yang kecil dan terbatas. Secara keorganisasian format band adalah wadah yang sangat ideal untuk mewujudkan teknologi dalam ruang kreativitas penciptaan karya. Keorganisasian yang hanya berisikan 3-6 orang namun memiliki visi serupa jauh lebih memungkinkan untuk mengguncang peradaban, dibandingkan memiliki 1000 orang dengan visi yang tercerai-berai. 

Sementara mereka menyempitkan dan membatasi ruang kreatifitas hanya tertuju pada perasaan, pengalaman, dan ketertarikan personal terhadap jenis-jenis seni tertentu. Dengan kata lain mereka 100% fokus terhadap daya penciptaan karya musiknya sendiri dan sama sekali tidak terbebani dengan visi ambisius yang sifatnya tak terkendali sepenuhnya seperti “ingin mengembalikan kejayaan kultus musik tertentu”, “ingin menyerupai suatu band tertentu”, “menjadi rockstar berikutnya”, atau “meneruskan apa yang sudah para pendahulunya lakukan”.

Sungguh tidak ada yang salah memiliki visi ambisius yang disebutkan tadi, namun itu bertentangan dengan sifat paradoks teknologi. “Ingin mengembalikan kejayaan kultus musik tertentu”, dan “menjadi rockstar berikutnya” adalah 2 pernyataan visi yang perlu melibatkan variabel dari luar kendali dengan persentase yang besar agar dapat terwujud.

Visi seperti “ingin menyerupai suatu band tertentu” atau “meneruskan apa yang sudah para pendahulunya lakukan” jelas merupakan cara dan sifat daripada globalisasi. Sementara mereka para “inovator” yang serba terbatas secara tidak sadar justru memberikan perubahan yang begitu signifikan terhadap kemajuan sekitar lingkungannya. 

Mari gunakan kembali contoh posisi Deafheaven atau Alcest dalam skena black metal untuk menjelaskan kemajuan apa yang diberikan atas ketidaksengajaan inovasi yang mereka perbuat. Hal yang paling mencolok jelas memberikan sudut dan perspektif baru ke dalam nilai artistik black metal secara sonik, penampilan, maupun interpretasi lirik, tetapi ini mengindikasikan 2 hal terhadap kemajuan yaitu kemudahan akses dan memberikan kreativitas yang lebih leluasa.

Sesuai dengan esensi awal daripada tujuan penciptaan teknologi sebagai penyedia cara atau sarana untuk memecahkan masalah dan memberi kemudahan, dalam hal ini Alcest maupun Deafheaven memberikan kemudahan bagi penggemar non-black metal untuk masuk ke dalam ekosistem black metal tanpa harus mengetahui seluk-beluk daripada gerakan black metal. Bagaimana bisa itu terjadi? Berikut penjelasannya.

black-metal-behavior-listening

Sekarang mari uraikan secara kasar apa yang menjadi unsur-unsur pembangun daripada karakteristik musik Alcest maupun Deafheaven. Bila diuraikan keduanya memiliki benang merah serupa, meski keduanya memiliki cara pengeksekusian yang berbeda. Baik Alcest maupun Deafheaven terdiri atas kondimen post-rock, shoegaze, black metal, dan mungkin anda sedikit bergumam bahwa ada elemen dream-pop yang menggantung di sana. Sampai sini anda mungkin sudah mulai menyadari, bahwa cara ini memberikan kemudahan bagi mereka pecinta shoegaze, post-rock, maupun dream-pop agar mulai masuk dan segera mengakrabkan telinga mereka dengan musik black metal sajian dari Deafheaven maupun Alcest.

Ini merupakan cara ampuh untuk mengenalkan citarasa dan budaya musik black metal secara parsial, kepada audience non-black metal tanpa harus mendorong mereka keluar seutuhnya dari gelembung preferensi musik utamanya. Penikmat shoegaze, post-rock, maupun dream-pop setidaknya masih memungkinkan untuk mendengar ragam elemen yang tampak familiar dalam tubuh musik Alcest maupun Deafheaven, seperti gaya clean vocal yang digenangi oleh efek reverb, melodi gitar bercorak post-rock, dan lain sebagainya.

Sementara secara paralel mereka juga menerima beberapa unsur musik yang baru dari serapan elemen black metal seperti shrieking vocal, tempo yang lebih intens, dan distorsi yang lebih tajam dan pedas, dibanding menghasilkan suara noisy yang kabur. Cara ini memang tidak akan membuat 100% pecinta musik post-rock, shoegaze, maupun dream-pop menyukai Alcest dan menjadi trigger agar segera mulai menyelami musik black metal secara integral, akan tetapi setidaknya cara ini jauh lebih ampuh dan mudah dibanding mendoktrin mereka secara langsung dengan musik black metal sejenis Impaled Nazarene, Diocletian, atau Black Crucifixion yang sangat bertolak belakang terhadap preferensi awal mereka.

Perhatikan bahwa ini hanyalah sebagian kecil contoh dari inovasi yang diciptakan dalam skena black metal dan masih banyak lagi contoh-contohnya seperti : Sigh, Ihsahn, Solefald, dan Arcturus yang berpotensi menjerat penggemar musik avant-garde, Eldamar, Darkspace, dan Midnight Odyssey yang mampu memikat pendengar musik ambient, dan Zeal & Ardor yang dapat menarik perhatian pecinta musik blues, gospel, maupun soul.

Dengan kata lain hal ini memungkinkan untuk black metal semakin meluas dan “membuka diri” untuk menjangkau pasar-pasar yang datang dari latar belakang preferensi musik yang beragam. Sementara jika dilihat dari sisi pelaku ini juga memberikan keuntungan dengan memperluas cakrawala kreativitas musik mereka. 

Black-Metal-Potensi-Gelembung-Baru

Mereka semakin leluasa mencampurkan berbagai unsur black metal maupun non-black metal yang berbeda, atau hanya sekedar pengikut para-para “inovator”. Sekarang lihat berapa banyak band berlabel post-black metal yang muncul ke permukaan dan beberapa diantaranya ada yang sedikit mengupayakan modifikasi seperti Ghost Bath yang memadukan post-black dengan bumbu depresif dan pesimisme atau Oathbreaker yang menabrakan dua kultur musik bertagar “post”, yaitu post-black metal dan post-hardcore.

Penjabaran di atas juga berlaku hal yang sama terhadap kasus daripada perkembangan death metal di era sekarang ini. Tentu ini merupakan sebuah kemajuan yang didambakan, ini memungkinkan para praktisi untuk mengembangkan kreativitas mereka tanpa batas sesuai yang diinginkan dan tidak harus terbebani dan terkekang oleh aturan-aturan lama penciptaan seni yang serba kaku. 

Sementara disaat bersamaan mereka juga tidak perlu risau dan cemas mengenai karya yang sama sekali sepi peminat. Justru yang terjadi sebaliknya, upaya mereka mampu membuka dan menjangkau banyak penikmat musik baru yang berada di luar gelembung ekosistem musik metal maupun black metal.

Cara ini juga dapat mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang sejatinya tanpa sadar didambakan, namun kemungkinan tersebut hanya terpendam pada masing-masing diri seseorang. JIka anda masih bingung dengan pernyataan ini, mari kita jauh mundur ke belakang, dimana peradaban manusia belum mengenal industri penerbangan dan pesawat-pesawat dengan model paling sederhana sekalipun belum ditemukan. 

Pada zaman sekarang, ketika anda mengutarakan pendapat bahwa manusia dapat terbang dan melintasi udara, pendapat itu sama sekali tidak istimewa dan lumrah adanya, dikarenakan industri penerbangan sudah ditemukan, tetapi lain halnya dengan peradaban manusia pada era terdahulu. Barangkali mengutarakan gagasan bahwa manusia mampu terbang dan melintasi udara menimbulkan banyak kontroversi dengan tingkat perdebatan sengit.

Orang akan menganggap upaya itu sebagai upaya bodoh yang menyalahi kodrat ilahi dan menegaskan bahwa udara bukanlah habitat untuk manusia. Kemudian munculah sekelompok nama seperti Wright bersaudara, Alberto Santos Dumont, E.Lilian Todd, dan Victor Tatin yang berani menentang peradaban dengan menemukan model pesawat. 

Pertanyaanya apakah ke-4 orang tersebut sedemikian eksentrik-nya?, sehingga benar-benar tidak ada manusia lain yang berpikir dapat terbang dan melintasi udara selain daripada mereka? Sejatinya di berbagai penjuru dunia di luar sana, terdapat banyak segerombolan orang yang berpikir dan berpendapat bahwa sudah saatnya manusia memiliki habitat di udara.

Namun yang membedakan segerombolan orang itu dengan 4 orang tokoh penemu pesawat ialah, segerombolan orang hanya meyakinkan mulut dan pikirannya untuk menegaskan bahwa manusia mampu terbang, sedangkan 4 tokoh tadi meyakinkan mulut, pikiran, dan tangannya untuk menegaskan bahwa manusia mampu terbang. Sekarang lihat bagaimana pesatnya perkembangan industri penerbangan, menandakan betapa banyak sebenarnya orang yang mengharapkan itu semua terjadi. 

black-metal-menjawab-ekspetasi

Kasus serupa ini juga ditemukkan secara tidak sadar dalam proses mendengarkan dan mengamati musik. Tatakala mendengarkan musik death metal atau black metal, mungkin di luar sana muncul berbagai pertanyaan dan keinginan terpendam seperti: “bagaimana bila seandainya ada bagian clean vokal pada black metal?”, “bagaimana jika black metal hadir dengan lebih melodius?, “bagaimana seandainya black metal hadir dengan kualitas produksi lebih jernih dan lebih kompleks? ”, dst…. Sementara inovasi-inovasi yang terjadi dalam kedua skena musik tersebut secara tidak sengaja telah merealisasikan pertanyaan dan keinginan terpendam orang-orang melalui terobosan musik yang mereka bawakan.  

Lalu bagaimana dengan gambaran daripada ekosistem thrash metal di masa sekarang? Seperti yang terlihat pada ilustrasi di atas. Secara kuantitas revivalis thrash metal sama sekali tidak kekurangan sumberdaya, akan tetapi mereka semua masih terikat dalam gelembung yang sama. Satu-satunya cara agar masuk ke dalam gelembung tersebut adalah mau tidak mau mengakrabkan diri dengan musik dan karakteristik daripada thrash metal secara universal.

Bagi mereka yang sudah lama mengenal thrash metal atau metal secara keseluruhan hal ini bukan masalah berarti, tetapi bagaimana nasib mereka yang berada di luar ruang lingkup thrash metal dan memiliki latar belakang preferensi musik yang sama sekali bertolak belakang? 

Tentunya sebagian besar dari mereka akan kesulitan untuk beradaptasi dengan jenis musik yang sama sekali tampak asing dan tidak familiar. Ini terjadi akibat “kekakuan” daripada bentuk musik thrash metal yang hanya memungkinkan pihak luar yang harus beradaptasi penuh menyesuaikan terhadap cara-cara mereka dan bukan terjadi sebaliknya.

Thrash-Metal-Kebingungan

Sekarang kita kembali pada kasus Alcest tadi, dimana mereka melakukan perombakan dengan cara mengeliminasi beberapa elemen yang dianggap tidak bekerja atau tidak sejalan dengan visi mereka. Semenjak Alcest melepas album debut pada 2007, hingga sekarang mereka sudah tidak lagi menciptakan musik black metal yang mentah, minimalis, dan abrasif seperti demo pertama mereka. Tempo musik menggebu-gebu yang digunakan oleh kebanyakan band black metal pendahulu juga ditinggalkan. 

Intinya selain daripada melakukan inovasi, mereka juga tidak segan menghapus atau menghilangkan cara-cara lama yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Cara ini justru melepaskan Alcest seutuhnya dari bayang-banyang para generasi black metal terdahulu katakanlah band semacam Darkthrone, Mayhem, atau kultus Les Legion Noires.

Tidak ada yang mengatakan bahwa cara Alcest tampak lebih baik atau unggul, tetapi setidaknya cara mereka mengemas musik black metal cukup berhasil dan bekerja untuk menarik atensi dari sejumlah orang yang sama sekali belum pernah bersinggungan dengan budaya musik metal sebelumnya. 

Sementara coba perhatikan dengan seksama daripada mayoritas musik-musik yang dibawakan oleh revivalis thrash. Semua praktik dan cara yang mereka gunakan dalam mengemas thrash metal sudah pernah dipakai oleh para pendahulunya (Metallica, Slayer, Dark Angel, dst…) dan hampir tidak ada bagian yang dirombak total atau di eliminasi. Bagian daripada solo gitar, power chord, beat-beat bergaya skank, karakter tone gitar, pembawaan vokal yang serak dan parau, serta tempo musik yang cepat hampir dipastikan tidak pernah absen dan dieksekusi dengan cara yang serupa pula.    

Adjustment yang mereka terapkan hanya sebatas pada tempo musik yang lebih dipercepat, penempatan pola-pola riff yang ditukar urutannya, menaikan atau menurunkan pitch vokal, atau merubah interval nada pada riff maupun improvisasi solo. Tetapi inti daripada cara pengeksekusiannya masih tergolong homogen dan cenderung tidak ada sesuatu yang baru di sana.

Tentu merupakan sebuah keanehan bila mengharapkan hasil yang baru dan berbeda namun masih mengandalkan cara-cara lama. Tidak mengherankan upaya yang dikembangkan oleh kebanyakan para revivalis thrash hanya akan mampu menjangkau mereka yang sudah “terperangkap” dalam gelembung dan kecil kemungkinan untuk menembus keluar gelembung.

Blackened-Thrash-Potential-Rejection

Mungkin anda bertanya-tanya bagaimana hasil konglomerasi antara thrash metal dengan sub-genre metal lainnya seperti blackened thrash metal, death / thrash metal, atau crossover thrash metal. Apakah ketiganya menjadi cara atau solusi alternatif bagi thrash metal agar memiliki potensi untuk menggaet audience non-metal dan keluar dari gelembung?

Kemungkinan akan selalu ada, tetapi yang menjadi masalah adalah probabilitas. Peluang paling besar yang memungkinkan, adalah menggaet massa penggemar black metal, dan death metal, dimana ini masih sama saja dengan menggaet orang-orang yang berada di dalam gelembung ekosistem musik metal secara keseluruhan.

Perlu diketahui juga, bahwa pada titik ini skena black metal maupun death metal memiliki segmentasi pasar yang semakin beragam, akibat inovasi-inovasi yang hadir dan ini tentunya juga sangat berdampak. Sederhana saja, apakah anda dapat memastikan bahwa penggemar post-black metal memiliki korelasi sebab-akibat yang hampir pasti untuk menyukai musik blackened thrash metal?

Atau apakah anda dapat menjamin mereka yang menyukai deathcore akan menunjukkan loyalitas dan kecintaan yang sama terhadap musik death / thrash metal? Dengan pengamatan sederhana ini saja, sudah memberi cukup bukti bahwa “usaha” thrash metal untuk mengekspansi pasar pada ranah black metal maupun death metal sudah ter filterisasi dengan sendirinya.

Sampai di sini kita dapat menarik kesimpulan tentang mengapa thrash metal tidak lagi sanggup untuk kembali merengkuh tahta pemuncak rantai dari ekosistem musik metal. Minimnya terobosan atau inovasi bersifat teknologi dalam skena revivalis thrash metal justru mengecilkan pasar dan antusiasme daripada peminat mereka dengan sendirinya.

Kehomogenan daripada mayoritas bentuk musik thrash metal dari masa ke masa tidak mampu melepaskan jerat mereka dari gelembung. Sementara ukuran daripada gelembung mereka pun semakin menyusut, bersamaan dengan bergesernya minat orang-orang pada musik black metal, death metal maupun sub-musik cadas lainnya yang menawarkan lebih banyak inovasi.

Baca Juga : 13 Penerus Norwegian Black Metal Saat Ini

Kenapa cara-cara lama tidak berhasil? 

Pada salah satu sesi wawancara, Scott Ian kembali mengenang masa dekade 80’an, ketika Anthrax tidak mencetak profit sama sekali meski sudah melalang buana melakoni sejumlah tur atau merilis album studio. Tetapi kerja keras mereka akhirnya terbayar memasuki dekade 90’an ketika semuanya mulai berjalan mulus. Bagaikan sebidang tanah perjanjian yang akan menumbuhkan benih apapun di atasnya, awal dekade 90’an menjadi ladang yang begitu subur bagi thrash metal.

Puluhan band thrash metal mampu merengkuh kesuksesan hanya dalam kedipan mata dan satu tarikan nafas. Sepanjang awal tahun 90’an menjadi citra yang begitu dikenang oleh penikmat maupun praktisi thrash metal, sampai memasuki pertengahan 90’an yang mulai lesu akibat perpindahan ketertarikan orang terhadap kultural grunge yang semakin menanjak. 

Tetapi setelah thrash metal mundur sejenak untuk menguatkan diri dan akhirnya melahirkan begitu banyak revivalis, mengapa cara-cara serupa tidak lagi memberikan keberhasilan yang sama dengan era terdahulu? Tentunya ada sebuah alasan dan motif yang sangat kuat untuk menggerakan ini, sehingga cara-cara ampuh yang digunakan pada masa lampau, tidak memberikan dampak pada thrash metal agar kembali memuncaki rantai ekosistem. Kami mengamati setidaknya penyebab ini terjadi dikarenakan standarisasi selera yang mulai bergeser.

Scott-Ian-Anthrax

Standarisasi Selera Yang Mulai Bergeser

Mari sejenak melakukan kilas balik pada era 80’an, ketika saat itu anda masih menjadi remaja ekspresif yang dipenuhi oleh rasa keingintahuan terhadap hal-hal eksentrik di luar lingkaran sosial dan amarah yang menggebu-gebu. Anda mulai memilih fashion, hiburan, dan gaya hidup yang representatif terhadap sifat urakan anda itu. Sementara dalam memilih musik, selera anda jatuh kepada musik-musik cadas yang dimainkan dalam kecepatan di luar nalar, vokal yang membikin bulu kuduk bergidik, serta teriakan distorsi gitar yang luar biasa bising.

Berikutnya anda bergegas pergi ke record store terdekat dan segera menyusuri katalog berlabelkan “metal”. Kemudian anda dihadapkan pada pilihan beberapa judul album metal seperti: “Screaming For Vengeance” (Judas Priest), “Powerslave” (Iron Maiden), “Shout at The Devil” (Motley Crue), “Metal Health” (Quiet Riot), “Bonded By Blood” (Exodus), “I.N.R.I” (Sarcofago), dan “Reign in Blood” (Slayer).

Pada awalnya bisa jadi anda lebih dulu memilih piringan hitam maupun kaset album-album milik Judas Priest, Maiden, Motley Crue, dan Quiet Riot. Namun segera ketika anda mulai perlahan terpapar dengan musik thrash metal yang notabene-nya memiliki tingkat keagresifan yang jauh lebih intens dan meledak-ledak, secara tidak sadar selera anda bergeser dan standarisasi anda dalam menilai musik metal pun berubah. Ada kemungkinan tolak ukur anda dalam menilai seberapa tingginya kadar “metal” dalam suatu album, tertuju pada seberapa cepat, bising, dan “mengerikannya” musik metal itu direpresentasikan.

Itu juga akan selalu menarik rasa penasaran, agar tertuju dan haus pada musik metal yang digeber dengan kecepatan tinggi dan amarah penuh konfrontasi seperti apa yang dilakukan musik thrash metal, hingga mencapai titik jenuh, dimana anda siap untuk mengeksplorasi musik lainnya yang jauh lebih bising. Kira-kira seperti itulah gambaran sederhana yang dimaksudkan oleh pergeseran standarisasi selera yang terjadi. 

Patut dicatat meski saat itu musik grindcore, goregrind, stenchcore, dan crust-punk mulai ditemukan pada pertengahan era 80’an, kemudian menyusul ditemukannya death metal dan gelombang pertama prototipe black metal pada periode akhir 80’an, tetapi jumlah mereka masih tergolong sedikit dan kalah massif dibanding thrash metal. Sementara mungkin satu-satunya subkultur musik yang sama-sama menyajikan repertoar tak kalah cadasnya, adalah hardcore dan punk yang sudah lebih dulu memiliki sepak terjang.

Sehingga boleh dikatakan pada saat itu pilihan dan ketersediaan musik ekstrim masih sedikit secara varietasnya. Tetapi pergeseran yang terjadi di era sekarang sangat berbeda dengan era terdahulu dan jauh lebih banyak melibatkan berbagai aspek. 

Dalam bukunya berjudul “The Great Shifting” Prof. Rhenald Kasali memaparkan setidaknya ada 2 jenis model perusahaan maupun startup yang dianut saat ini, yaitu perusahaan atau startup yang berbasiskan model product, dan perusahaan atau startup yang berbasiskan model platform. Jika diurut secara definisi, produk sendiri merupakan sebuah barang atau jasa yang diciptakan dan diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan suatu pasar tertentu.

Misalnya produk-produk makanan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi. Sementara platform merupakan sebuah alat berbasis teknologi aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan serangkaian aktivitas dan keperluan berdasarkan fitur yang disediakan oleh platform itu sendiri. Misalnya pada platform berbasis marketplace, pengguna memungkinkan untuk melakukan sejumlah aktivitas dan keperluan yang disediakan oleh fitur marketplace, yaitu berbelanja, berniaga, atau melakukan transaksi.

Keduanya jelas memiliki ciri khas dan perbedaanya masing-masing, tetapi kami secara spesifik lebih menyoroti pada daya penetrasi keduanya mengenai pemenuhan permintaan dan penyelesaian masalah terhadap pasar. Jika diamati lagi secara seksama, kekuatan daripada produk hanya mampu menyelesaikan satu masalah dan hanya mampu memenuhi satu kebutuhan saja. Produk berupa sabun pencuci piring hanya sanggup menyelesaikan masalah piring yang kotor, tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah dahaga (terkecuali anda berhasrat menciptakan konten last hope kitchen, menu es dawet sunlight mungkin menjadi alternatif penghilang haus). 

platform-vs-cross-over
Images by Slideshare

Dengan kata lain satu produk hanya akan terjebak pada satu pasar. Lain halnya dengan platform yang sangat memungkinkan untuk melakukan penetrasi terhadap beragam pasar, karena mampu menyelesaikan berbagai masalah. Platform GOJEK awalnya mungkin diciptakan untuk pasar pemenuhan kebutuhan transportasi, tetapi segera kemudian GOJEK mampu mengekspansi lini bisnisnya untuk merengkuh pasar ekspedisi, kuliner, finansial, hingga sanitasi.

Dengan kata lain satu platform memungkinkan untuk menyelesaikan masalah dan kebutuhan dari ragam pasar yang berbeda. Dalam praktiknya, Prof. Rhenald Kasali mengkategorikan bahwa upaya platform yang mampu mengatasi masalah di berbagai sektor pasar disebut dengan cross-over.

Di era sekarang ketika musik ekstrim dari berbagai familia (hardcore, punk, metal) sudah semakin berkembang pesat dan melahirkan banyak jenis musik dan pergerakan yang begitu menjamur, sudah dipastikan bahwa pergeseran standarisasi yang terjadi jauh lebih besar dibanding dari era-era sebelumnya.

Glorifikasi mengenai musik metal merupakan sebuah karya seni yang padat dengan nilai kompleksitas dan kerumitan semakin digenapi dan direalisasikan dengan baik seiring majunya kreativitas dalam merancang aransemen musik yang sebelumnya sudah sempat disinggung. Tentunya dengan kondisi seperti ini beberapa dari sisi penikmat mulai berharap agar musik metal harus mampu memainkan peranan virtuoso yang lebih meluas dalam hal melakukan improvisasi maupun pengeskplorasian atmosfir musik yang dilukiskan lebih surreal. 

Baik disadari secara langsung maupun tidak oleh pihak penikmat, kebutuhan serta standarisasi selera mereka berubah atau bergeser. Mereka tidak hanya sekedar mencari jenis musik subkultur yang bergerak dalam akselerasi tinggi, tetapi berpikir lebih kritis untuk menuntut unsur-unsur lainnya agar terlibat lebih jauh seperti nilai kompleksitas, keunikan konsep, hal eksentrik yang lebih ditingkatkan, atmosfir yang semakin cakap dalam menjelaskan situasi secara aural, dan dinamika.

Sementara pertimbangan daripada elemen kecepatan agaknya mulai terdistribusi, sehingga tidak lagi menjadi tajuk utama tetapi masih tetap memiliki peranan sentral. Dengan mudah musik-musik berjenis deathcore, metalcore, black metal, death metal, progressive metal mampu memenuhi dan memanjakan semua hasrat keinginan mereka, atau dengan kata lain jenis musik yang disebutkan, memiliki mindset penyelesaian masalah yang berbasis platform

Death-Metal-Platform-Base

Secara literal, memang anda tidak selalu mendapatkan bahwa semua ekspektasi yang diharapkan agar terpenuhi hanya dalam mendengarkan satu band saja. Akan tetapi mengingat skena musik yang disebutkan di atas memiliki begitu banyak band yang memiliki jenis dan gaya eksekusi yang begitu berbeda, sangat memungkinkan untuk anda bergerak mencari band lain sebagai pemenuhan hasrat ekspektasi tanpa harus keluar dari gelembung ekosistem yang tercipta.

Taruhlah anda menjadi salah satu penggemar band death metal asal New York, Pyrrhon karena kecakapan mereka merajut musik death metal yang begitu kompleks, terdengar berbeda dari kebanyakan band death metal lainnya, serta memiliki nilai filosofis unik. Tetapi kemudian titik jenuh menghantarkan anda pada keinginan pemenuhan hasrat lainnya untuk mencari band yang mampu membagi secara dinamis dalam menempatkan porsi agresif, melodis, serta tata produksi yang sangat baik dan sinematis.

Dengan cepat semua ekspektasi itu terpenuhi ketika anda mulai mendengarkan band sejenis Insomnium, Omnium Gatherum, dan Fractal Gates. Perhatikan alurnya, meskipun anda bergerak dari satu band ke band lainnya, tetapi anda masih berjalan dalam satu gelembung yang sama, dalam kasus ini adalah death metal. Ini memungkinkan terjadi karena seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sifat dari platform-based yang diciptakan ekosistem death metal mampu memecahkan masalah dan memenuhi keinginan secara cross-over

Sekarang mari beralih pada subset peminat musik cadas yang bersikukuh bahwa kecepatan dan nilai keberingasan daripada musikalitas masih menjadi prioritas dan titik kulminasi bagi mereka. Tentunya kita tidak bisa menutup mata bahwa jenis penikmat seperti ini memiliki jumlah yang begitu banyak, sehingga subset ini harus dilibatkan keberadaanya. Thrash metal pada masa idealnya, mungkin menjadi kandidat terkuat untuk dipilih, tetapi seiring berjalannya waktu kemunculan musik sejenis grindcore, gorenoise, crust-punk, dan hardcore yang semakin berkembang memungkinkan untuk jadi bahan pertimbangan dengan memiliki nilai prioritas lebih tinggi.

Sederhana saja, ini menyangkut masalah efektivitas daripada aransemen musik hardcore beserta beberapa turunannya yang mampu menampilkan aransemen yang jauh lebih brutal. Sekarang mari sedikit membedah kulit luar aransemen dari “Unsilent Death” sebuah album yang dirilis oleh punggawa powerviolence / grindcore asal California, NAILS.

Thrash-Metal-Product-Based

Dalam kesepuluh lagu yang hanya memiliki total durasi tidak lebih 14 menit, NAILS secara totalitas mendedikasikan musiknya untuk menciptakan eksplosivitas secara terus-menerus di sepanjang aransemen. Setiap lagu hanya tersusun atas riff-riff sederhana, namun penempatannya langsung diselaraskan dengan ledakan blast-beat yang jelas membuat guncangan semakin berkecamuk. 

Temponya lebih cepat dan beragam, vokal lebih bervariasi, serta desingan daripada noise feedback gitar juga menjadi tekstur penghasil kebisingan yang begitu otentik. Mereka mempertimbangkan untuk memasukkan bagian yang lamban sebagai tempat perhelatan joget moshing atau sebagai konjungsi agar percepatan setelahnya dirasa memiliki efek yang lebih dahsyat. 

Singkatnya NAILS mampu meracik musik lebih ringkas, ramping, dan tidak rumit. Namun secara simultan justru mampu menciptakan musik yang jauh lebih agresif, cepat, dan cadas. Hampir sebagian besar band-band hardcore dan turunan lainnya juga menggunakan prinsip yang sama, dengan cara eksekusi-nya yang berbeda dari masing-masing band.

Beberapa turunan musik hardcore langsung menuju pada inti daripada berita acara, menciptakan musik yang beringas dan moshingable tanpa banyak melibatkan bagian musik yang bertele-tele, atau terlalu banyak berkubang pada repetisi bagian yang serupa. Hal inilah yang mengantarkan thrash metal untuk terhimpit pada jebakan dualisme serba dilematis. 

Disadari atau tidak motivasi utama orang mencari dan mendengarkan musik thrash metal adalah mengharapkan suatu gubahan karya musik yang mengedepankan agresivitas. Rasanya hanya segelintir orang yang mendengarkan thrash metal dengan motivasi mencari tarikan vokal yang merdu, atau mencari perpaduan harmoni yang manis.

Lagipun thrash juga tidak menyediakan solusi optimal untuk kedua hal tersebut. Dengan begini thrash bisa dipertimbangkan memiliki bentuk pemecahan masalah selayaknya bersifat product-based, dimana mereka hanya menyediakan satu-satunya solusi bagi mereka yang mencari musik-musik agresif. Demikian halnya dengan beberapa turunan musik hardcore (grindcore, fastcore, thrashcore, crust-punk, d-beat, dst…) yang hanya menyediakan 1 solusi bagi mereka yang mencari musik-musik dengan kadar agresif yang tinggi. 

Dualisme-Thrash-Metal-1

Keduanya jelas merupakan sifat daripada product-based, tetapi jika melihat uraian daripada aransemen NAILS di atas, beberapa keluarga hardcore jauh lebih unggul dalam memberikan solusi dengan permasalahan serupa. Kita tidak berbicara lebih bagus atau lebih enak mana dari keduanya, karena ini menyangkut masalah selera dan subjektifitas, tetapi membandingkan mana yang lebih agresif dapat lebih terukur secara objektif dan kasat mata. Perhatikan tidak semua keluarga hardcore memiliki sifat product-based, beberapa turunan lainnya semacam mathcore, deathcore, metalcore, dan post-hardcore lebih condong dikategorikan sebagai platform-based, karena dirasa mampu menyelesaikan beberapa masalah sekaligus.      

Hampir dipastikan ini juga menjadi bagian disruptif bagi thrash metal, dikarenakan para penikmat mulai berbondong-bondong untuk lebih mendengarkan musik hardcore dan turunannya, karena dirasa lebih memenuhi keinginan mereka secara superior. Sementara yang menjadi pertanyaan, bisakah thrash metal bergeser menjadi platform-based? Jika diupayakan tentunya sangat memungkinkan ini bisa terjadi, tetapi untuk saat ini kehomogenan daripada bentuk musik mayoritas revivalis thrash belum mampu menggerakan skena ini menuju ke sana. 

Sungguh sedikit sekali jumlah daripada revivalis thrash yang berupaya untuk meninggalkan porosnya, dan mencoba untuk bergerak ke-kiri (untuk aransemen yang lebih efisien dan brutal) atau bergerak ke-kanan (lebih terbuka dalam melakukan upaya inovasi). Mungkin beberapa band yang tergolong dalam keluarga thrashcore sedikit menggeser porosnya ke bagian kiri. Sementara beberapa band thrash yang disematkan tagline “technical thrash metal” menggeser porosnya ke bagian kanan, namun tampak mereka yang menggeser poros justru tidak menjadi tajuk utama dalam scene-nya sendiri. 

Baca Juga : Untuk Penggemar Alvvays

Memprediksi Berbagai Model Kemungkinan Masa Depan Thrash Metal

Perlu digaris bawahi bahwa uraian di atas hanya memaparkan alasan dibalik mengapa di era sekarang thrash metal sudah tidak mendominasi lagi dalam skena musik cadas secara keseluruhan. Namun bukan berarti paguyuban ini mati sepenuhnya dan tersingkir dari peradaban. Itu merupakan sebuah anggapan yang sama sekali tidak benar, karena nyatanya masih banyak band revivalis thrash metal di luar sana yang memproduksi musik thrash yang luar biasa, jika anda memang pencinta sejati daripada kultur musik ini. Jika boleh digambarkan kasusnya serupa dengan perusahaan media cetak terkenal di luaran sana yang kedigdayaannya tergusur oleh kehadiran media sosial.  

Perusahaan seperti Facebook, Instagram, dan Twitter yang menawarkan akses informasi dan berita jauh lebih efisien menggusur dominasi kapitalisasi pasar daripada media cetak sejenis New York Times, The Washington Post, dan lainnya. Akan tetapi bukan berarti perusahaan media cetak itu mati sepenuhnya. Mereka masih bertahan hingga saat ini, hanya saja tidak lagi mendominasi industri media massa, karena dominasi daripada media cetak dianggap telah usai. Tetapi adakah sebuah upaya atau jalan untuk mengembalikan thrash metal pada tahta kejayaan seperti di masa lampau?

Jawabannya mungkin dengan membayangkan bagaimana kehidupan thrash metal di masa depan nantinya. Akan tetapi memprediksi masa depan bagi sebagian orang mungkin akan tampak terdengar sulit dan bersifat kabur, dikarenakan mereka menggenapi bahwa masa depan adalah sesuatu yang bersifat acak dan itu ada benarnya. Untungnya kami menemukan beberapa band yang dapat dijadikan acuan untuk memprediksi seperti apa nantinya masa depan thrash metal, jika seandainya para revivalis mulai berbondong-bondong mengikuti jejak dari beberapa band yang terpilih di bawah ini.

Revocation – Merger Sebagai Solusi

Revocation-Deathless

Secara sederhana merger merupakan penggabungan 2 belah pihak atau lebih perusahaan menjadi satu kesatuan. Biasanya merger dilakukan untuk memenuhi berbagai kepentingan agenda perusahaan seperti melakukan ekspansi pangsa pasar, memangkas biaya operasional, menurunkan daya persaingan, dan lainnya. Sementara merger yang kami maksudkan di sini adalah, menggabungkan 2 atau lebih unsur musik yang berbeda menjadi satu kesatuan. Tentunya dalam kasus ini, merger yang dimaksudkan tidak serumit dan sekompleks apa yang ditunjukkan sebuah perusahaan ketika memutuskan untuk melakukan merger. 

Pertama, jelas tidak ada persaingan yang harus diselesaikan secara asas merger di sini. Kedua, fungsi merger dalam urusan kreativitas musik tidak lain hanya sebatas melebarkan cakrawala daripada visi dan nilai artistik dalam pembuatan musik dan itu terefleksikan oleh Revocation. Hibridisasi antara elemen technical death metal dan thrash metal yang mereka sajikan membuka jalan bahwa thrash metal sejatinya mampu ditingkatkan level kerumitannya menjadi lebih superior namun masih tetap terdengar menghentak selayaknya thrash pada umumnya. 

Mungkin salah satu dari sedikit band thrash metal yang mampu meracik solo gitar yang tidak hanya berisi kumpulan lick yang dimainkan secara cepat.Tetapi Dave Davidson selaku frontman dan gitaris mampu menerapkan phrasing dengan sensibilitas jazz yang kental dalam setiap aksi solo gitarnya. 

Voivod, Mekong Delta, Watchtower mungkin sudah menerapkan cara serupa dengan membuat pendekatan thrash metal menjadi lebih progresif dan teknikal, tetapi Revocation bisa hidup di dalam 2 ekosistem berbeda antara menjadi band pengusung death metal atau thrash metal. Tentunya secara tidak sadar Revocation memiliki pasar dengan jangkauan lebih luas, namun gambaran dari masa depan ini memiliki satu hal yang mengganjal. Dalam keterlibatannya pada aransemen, thrash metal harus rela dominasinya tergeser dan ada kemungkinan band thrash penganut model masa depan ini akan terakuisisi dengan genre yang dianggap lebih memiliki kekuatan atau elemen yang lebih dominan. 

Sekarang lihat Revocation, mereka seringkali dilabeli sebagai band death metal dibanding thrash metal, apalagi belakangan ini album-album seperti “The Outer Ones”, “Deathless”, “Netherheaven” sudah lebih mengarah pada elemen death metal. Kasus serupa juga menimpa Trivium ketika mereka masih merilis album-album yang kental dengan corak thrash. Namun hingga saat ini tetap saja band besutan Matt Heafy cs itu lebih dikenal sebagai band pengusung metalcore. Padahal jika boleh disebut album “We Are The Fire”, “Ascendancy” dan “Shogun” jelas sangat-sangat bisa dikategorikan thrash.

Dengan gambaran masa depan ini, mungkin sudah saatnya bahwa thrash metal akan lebih baik jika mereka tidak berdiri secara independen. Jelas dengan merger seperti ini, selain daripada pangsa pasar mereka meluas, secara tidak langsung aransemen daripada musik thrash akan mengalami perluasan dan peningkatan. Hambatan dari pada model masa depan ini sudah disebutkan di atas, bahwa ada kemungkinan terakuisisi dan model seperti ini pun masih memberikan thrash metal sedikit akses untuk bisa menjaring orang-orang yang berada di luar gelembung daripada ekosistem metal.   

Power Trip – Masa Depan Tidak Jauh Berbeda Dengan Masa Lalu

Barangkali Power Trip secara tersirat merupakan masa depan ideal bagi para revivalis thrash metal di era sekarang. Tanpa banyak bereksperimen muluk-muluk atau meninggalkan jauh akar dari thrash metal terdahulu, Power Trip mendapat begitu banyak sorot perhatian pada saat ini. Karisma serta tarikan vokal khas dari mendiang Riley Gale, juga menjadi faktor pendukung yang membuat brand daripada Power Trip semakin kuat.

Kami melihat bahwa Power Trip satu dari segelintir band revivalis thrash yang mampu menarik perhatian audience dari berbagai kalangan mulai dari penikmat skena thrash maupun hardcore, atau hanya sekedar penikmat kasual untuk mulai tertarik mengandungi thrash metal. Power Trip juga cukup berhasil menumbuhkan kembali minat bapak-bapak beranak 2 yang menganggap thrash metal berakhir di dekade 90’an, untuk kembali tertarik menengok fenomena skena thrash metal yang terjadi saat ini. Mereka juga sempat singgah di Indonesia beberapa kali, untuk tampil di festival Jogjarockarta dan dalam rangka agenda tur Asia.

Sungguh pemandangan yang jarang terlihat, band revivalis thrash mengadakan konser di tanah air dan diadakan pada pagelaran festival yang besar menandakan antusias audience di sini pada Power Trip cukup tinggi. Melihat kesuksesan yang diboyong oleh Power Trip, dengan mereka hanya membawa kembali elemen yang hinggap pada musik metal & hardcore lawas lalu mengolahnya menjadi lebih fresh, kami menyimpulkan bahwa model ini seperti memberikan gambaran masa depan yang tidak jauh berbeda dengan masa lalu.  

Power-Trip

Namun jika seluruh penggiat thrash seandainya mendambakan model daripada masa depan ini, ada kemungkinan kemajuan yang terjadi hanya terasa lebih eksklusif dan loncatan hanya menimpa pada band-band tertentu saja. Tentunya selain daripada Power Trip, di luaran sana masih banyak band pengusung crossover-thrash metal yang malang melintang.

Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang namanya dikenal dan mampu menembus berbagai batasan kalangan di luar thrash metal seperti Power Trip? Municipal Waste mungkin dapat dikategorikan demikian, mereka sendiri juga sudah cukup lama berkiprah. Iron Reagan rasanya sudah memiliki privilege sedari awal, dikarenakan Landphil Hall dan Tony Foresta juga merupakan anggota Municipal Waste. Itu tidak hanya berlaku di skena crossover, tetapi berlaku di skena thrash lainnya, misalnya seperti Toxic Holocaust dan Midnight yang merajai ranah blackened thrash.  

Tentunya kami tidak bermaksud membandingkan dan mengkorelasikan bahwa kemajuan selalu berkaitan erat dengan ketenaran dan popularitas. Ini semata-mata hanya memberikan pandangan serta gambaran, kepada mereka yang menganggap bahwa dengan cara seperti ini akan berhasil membawa thrash metal  kembali pada era kejayaan secara kolektif seperti dulu. Jika wacana tersebut mulai muncul di benak, sebaiknya gagasan tersebut dipikirkan kembali, apakah hal tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi atau tidak. 

Vektor – Berangkat Dari 0 Ke 1

Barangkali di sinilah tempat dan sumber daripada prinsip kepercayaan optimisme serba-kepastian itu berasal. Ketika mereka pada akhirnya dapat meraih kembali kebebasan berkreativitas yang bersifat absolut. Ini akan dengan sendirinya melepaskan mereka dari belenggu dan bayang-bayang bahwa mereka harus meniru apa yang sudah dilakukan para pendahulunya. Di sinilah tempat yang ideal untuk memuja perencanaan dan secara berani mampu menurunkannya menjadi sebuah bentuk maha karya yang konkrit. 

David DiSanto beserta rekannya memang tidak memikirkan secara terperinci dan tidak menyangka bahwa dampak yang ditimbulkan Vektor berada di luar dugaan. Tetapi melihat banyaknya respon positif yang menghampiri Vektor, ini mengindikasikan bahwa sebenarnya terdapat banyak kerinduan di luar sana yang menginginkan agar thrash metal segera menyalakan tombol evolusinya sesegera mungkin seperti yang sudah dilakukan lebih dulu oleh punggawa sub-metal lainnya. Terlepas dari segala kontroversinya, harus diakui Vektor hingga saat ini masih menjadi satu-satunya revivalis thrash yang banyak diperhatikan dari berbagai sudut pengamat musik, karena membawa perubahan yang tampak tidak lazim bagi thrash metal umumnya.  

Vektor boleh jadi meminjam kerangka berpikir dari Voivod dan Watchtower, tetapi kemudian DiSanto memiliki imajinasi tersendiri untuk mengolahnya menjadi sajian yang jauh lebih berbeda daripada pendahulunya itu. Seandainya jika kerangka berpikir yang dilakukan Vektor (bukan meniru secara eksekusi) ini diterapkan oleh para revivalis thrash, sangat memungkinkan bila thrash memiliki lonjakan evolusi yang begitu jauh di masa depan. Jelas dengan banyaknya band yang melakukan terobosan, itu akan dengan sendirinya mendatangkan banyak perhatian. 

Vektor

Wajah daripada skena thrash pun mengalami perubahan yang baik di tangan para regenerasi dan bahkan bisa saja mereka bersiap untuk melampaui capaian para pendahulunya. Tidak perlu melampaui capaian secara prestasi, karena itu juga tidak terlalu penting, tetapi melampaui capaian secara artistik yang memungkinkan untuk membuka lebih luas lagi dalam peningkatan kreativitas penciptaan karya dalam lingkungan thrash metal.

Dengan ekosistem seperti ini tentunya dapat memotivasi banyak kolektif untuk menggerakan jemarinya dalam melakukan inovasi yang lebih jauh lagi. Sehingga tujuan akhir yang mungkin dapat tercapai dengan ekosistem yang baru ini adalah mampu menembus ke luar gelembung, seperti apa yang sudah dijabarkan sebelumnya, mengenai post-black metal yang melakukan hal tersebut.. 

Tentunya dibutuhkan segerombolan kolektif yang memiliki pemikiran serupa, jika ingin mengangkat skena thrash dengan menggunakan cara ini, karena jika hanya seorang diri yang melakukan, itu hanya kembali menciptakan kemajuan bersifat eksklusif. Mungkin dengan cara ini akan membuat sejumlah penikmat konservatif, meninggalkan kapal sesaat karena merasa cara ini tidak selaras dengan apa yang dikehendakinya. Namun tidak usah risau, mereka akan segera kembali duduk manis dan menjilat ludahnya sendiri, ketika melihat ternyata rencana ini berhasil dalam memajukan skena thrash metal.   

Kesimpulan : Stagnasi atau Singularitas?

Sekarang kita sudah terlanjur terjebak dalam stagnasi dan tidak ada yang bisa disalahkan atas hal ini. Masing-masing memiliki persepsi untuk menggerakan dunia idealnya tersendiri. Tidak ada persoalan benar atau salah mengenai hal ini, akan tetapi ini menyangkut pada konsekuensi dan kesiapan dalam penerimaanya. Bagi mereka yang sudah merasa bahwa lingkungan thrash metal saat ini baik-baik saja dan sudah secara lapang dada berdamai dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, tentunya apa yang dipaparkan di atas bukan lagi persoalan berarti. Anda dapat melangkah pergi, kembali menggeber musik thrash metal kesayangan sebagaimana biasanya, dan mengabaikan seluruh isi artikel ini. 

Tetapi bagi mereka yang masih memiliki kegundahan dan hasrat kerinduan agar thrash kembali ke masa puncak, tindakan dengan menggunakan prasangka teori singularitas perlu dilibatkan dalam hal ini – berani menembus batas dan menyusuri berbagai kemungkinan, tanpa harus banyak memalingkan wajah ke belakang sembari dilanda oleh rasa bersalah. Semuanya dimulai dari berpikir dan merencanakan seperti apa kehidupan di masa mendatang. Orang terlalu salah kaprah dengan menganggap bahwa masa depan hanyalah berkutat mengenai masalah waktu. Sehingga orang selalu menganggap bahwa masa depan adalah suatu hal yang selalu bersifat acak dan tidak dapat direncanakan. 

Memang waktu dan masa depan tak terpisahkan, tetapi itu hanya mendefinisikan masa depan secara parsial. Padahal masa depan juga menyangkut mengenai aktivitas apa yang anda akan lakukan nantinya dan merencanakan mengenai apa yang anda lakukan di masa mendatang jauh lebih diterima dan masuk akal, karena itu sepenuhnya berada dalam kendali. Masa depan memanglah sulit diprediksi, namun tanpa perencanaan tidak akan ada yang namanya masa depan.     

Baca Juga : Black Metal – Sebuah Panduan Praktis Menuju Kehancuran – Eps 1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link