AbstrakFree JazzJazzPost-Bop

Miyazawa Akira – Penolakan Gratifikasi Gelar Avant-Garde Jazz Demi Keleluasaan

“‘Kiso’ menjadi album bersejarah bagi pemain saksofon jazz, Miyazawa Akira beserta koleganya, karena telah memberi keleluasaan bergerak dari rentang kelembutan hingga kesemrawutan. Menghindarkan mereka dari tuntutan harus selalu tampil eksperimental dan eksentrik setiap saat.” 

Dunia boleh saja terlambat menyadari potensi John Coltrane muda, tetapi itu tidak menghindarkan fakta bahwa dia merupakan salah seorang saksofonis tenor yang berdiri di garda terdepan dalam mengupayakan gerakan separatisme pada kultur musik jazz. Coltrane menemukkan potensi sebenarnya jazz yang tidak hanya sekedar musik pengiring acara santap romantis dan saling bersulang menenggak minuman yang memabukkan – melainkan jazz menjadi ajang mengaktivasi kesadaran spiritual menyeluruh yang menyentuh kesucian dan membuka potensi diri yang belum pernah digubris oleh raga. 

Beberapa catatan rekaman Coltrane memperdengarkan liukan frasa dan melodi yang mengagungkan kemasyhuran sang pencipta, memposisikan diri sebagai pria flamboyan yang tengah mencoba berkomunikasi tanpa sebiji huruf pun, hingga merayakan sekaligus menghormati mereka yang telah berjuang demi komunitas kulit hitam. Seketika itu Coltrane berubah menjadi emosional dan tempramental, liurnya yang mengalir deras dikonversi menjadi teriakan saksofon dengan nada meninggi, persis seperti Malcolm X yang tengah berapi-api sembari menarasikan perjuangan separatisme pada setiap pidato-nya.

Praksis mendisrupsi diri sendiri yang ditunjukkan Coltrane demi meraih transformasi telah tersebar ke pelosok dunia. Ajaran ini sampai hingga ke telinga Akira Miyazawa yang juga merupakan seorang saksofonis tenor sekaligus komposer kelahiran Nagano, Jepang. Sejak album debutnya, “Yamame” Akira sudah memutar berbagai improvisasi nada secara bertahap yang tidak terikat oleh tonik (nada dasar) percis seperti yang pernah Coltrane perbuat. Akan tetapi melihat para koleganya yang juga memiliki kemampuan ajaib dalam berimprovisasi,

Akira mengarahkan grup kuartet jazz-nya untuk segera merilis materi-materi yang lebih rumit. Agaknya keputusan ini juga terpengaruh dari pola pikir Coltrane yang semakin meluas ketika album “A Love Supreme” (1965) dilepas dan menjadi salah satu album jazz tersukses secara komersial maupun pengaruh artistik. “Kiso” (1970) merupakan salah satu dari sekian album Akira beserta kuartet-nya yang penuh dengan kejutan dan menunjukan probabilitas keberhasilan rendah bagi para awam dalam berspekulasi menebak gerak-gerik mereka di sepanjang album. 

Jazz-Akira-Miyazawa-Quartet-Kiso

Album dibuka dengan judul lagu yang serupa dengan album, “Kiso” dan langsung menjadi perjalanan paling panjang dalam album yang memakan waktu 17 menit lebih. Selama 3 menit lebih, Akira melenggang sendirian bersama saksofonnya tanpa dilandasi oleh instrumen pengiring apapun. Menasbihkan diri sebagai seorang pemimpin tulen yang mampu bersandar sepenuhnya pada kebebasan dalam berimprovisasi menaiki dan menuruni tangga nada.

Namun perjalanan yang ditempuh tidak semulus dari perkiraan awal, dengan cepat perkusi Takeo Moriyama secara malu-malu memasuki panggung dan mulai menebar gangguan tipis sebelum akhirnya tingkat interupsi melonjak dengan masuknya piano Masahiko Sato yang penuh memainkan not-not tidak selaras dan semakin membentuk jurang pemisah yang begitu curam. 

Ini merupakan simbolisasi penolakan secara mentah-mentah dari wacana kerapihan yang disuguhkan Akira sebelumnya. Piano dan perkusi yang semakin bergemuruh secara sengaja bergumul satu sama lainnya, bukan untuk menimbulkan kesan kontraproduktif justru sebagai wujud kooperatif mereka dalam mengandaskan ide awal dan mengajak untuk menyusuri sudut pandang lain. Yasuo Arakawa tidak ingin melewatkan momen untuk mempertunjukkan aksi kilatnya dalam membetot bass-nya yang bergetar begitu kencang.

Akira cukup bijak untuk mendengar “keluhan” para koleganya, dengan memberikan masing-masing dari mereka waktu yang cukup untuk memaparkan ide-idenya. Moriyama bahkan harus meyakinkan secara totalitas pada Akira dengan menunjukkan skill solo drum nya yang penuh dengan adrenalin dan pola pukulan yang begitu instingtif.  

Tetapi konklusi harus segera ditegakkan, dan hasilnya Akira sepakat untuk tidak sepakat dengan para koleganya. Selepas pertengahan lagu hingga menjelang akhir, Akira memang lebih berlari dalam menaiki dan menuruni tangga nada mengikuti kehendak instrumen lainnya, namun ia tetap bersikukuh memilih untuk merangkai melodi tidak beraturan yang meliuk dengan lantang dalam keeleganan, dibanding bersatu menciptakan kegaduhan yang mengacaukan.

Jazz-Akira-Miyazawa-Saxophone

Ketiga koleganya hanya mengajukan banding dengan terus mempertahankan penalarannya disamping permainan saksofon yang begitu mendominasi dan paling menonjol dalam rekaman. Akan tetapi unjuk rasa ini hanya menjadi terdengar reaksioner. Beruntung aksi menggerutu pada akhir lagu yang semakin bergerak dalam koridor kekacauan meyakinkan sekali lagi Akira untuk berpikir ulang dan mempertimbangkan kembali ide kolega-koleganya pada putaran lagu berikutnya. 

“Asama” yang memiliki durasi setengah lebih sempit dari lagu sebelumnya, memaksa mereka bergerak lebih eksperimental dengan cara memadatkan improvisasi pada setiap menit, tanpa menghelat pengenalan instrumen berkepanjangan di awal. Sifat-sifat saling mencemooh seperti pada lagu sebelumnya mungkin masih terdengar, tetapi kali ini Akira lebih banyak menyetujui ide para koleganya dan bergerak secara selaras untuk menciptakan ketidakselarasan yang agung dalam memancarkan kemahiran tingkat tinggi.

Segera setelah bersandar penuh pada eksperimentasi atonaltias dan akselerasi menerjang batas di kedua lagu awal yang cenderung menyulitkan diri untuk mengakses pintu kenikmatan kekal, “Hakuba” justru terdengar lebih meditatif dan penuh kesabaran. Temponya mengendur, tiupan suling dengan suara selaput tipis nya yang nyaring memberi wahyu bahwa ini merupakan sumber suara pembawa kabar menyejukan yang berasal dari kayangan. Jangan lupakan fungsionalitas piano di sini yang seolah dikembalikan pada kodratnya sebagai pengiring lembut yang bersahaja dan berhasil memikat lewat melodi indah nan seksi.

Perubahan tema setiap lagu memang tampak kontras di sini, seperti peralihan “Hakuba” menuju lagu penutup “Hida” yang lebih bernaung dalam kegelapan malam yang menyelimuti. Terkadang perubahan tema juga terjadi pada pertengahan lagu dan mereka sama sekali tidak beritikad untuk menginterpolasi dirinya, seperti yang dipraktikan Coltrane pada lagu “Acknowledge” & “Pursuance”. Artinya ini murni sebuah perputaran improvisasi yang berdasarkan spontanitas dan kecil kemungkinan untuk mengulanginya.

“Bull Trout” (1969) dan “Four Units” (1970) yang dilepas Akira boleh saja terasip begitu rapi dalam katalog avant-garde jazz, tetapi kali ini ia menolak gratifikasi label tersebut dan lebih memilih mundur selangkah untuk memasuki ruang lingkup post-bop. Ini memberi keleluasaan dalam bergerak dari rentang kelembutan hingga kesemrawutan. Menghindarkan mereka dari tuntutan harus selalu tampil eksperimental dan eksentrik setiap saat.

Baca Juga : Ornette Coleman – Mempertajam Masa Depan Jazz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link