2022Dark AmbientDungeon SynthIndonesiaInstrumentalLokalReviews

Marma – Meadows and Untold Things – Review

Marma-Meadows-And-Untold-Things

Melalui “Meadows and Untold Things”, Marma dapat mengubah entitas musik dungeon synth dan dark ambient menjadi sebuah praktik kontemplatif yang erat berhubungan dengan perbedaan sudut pandang, labilitas emosi, dan pertentangan perasaan yang selalu dialami oleh manusia setiap harinya.

Ketika tidak ada lagi narasi dan pesan verbal yang mengikat untuk menyeragamkan pemikiran, musik telah berubah fungsi menjadi sebuah perjalanan spiritual absurdisme yang penuh misteri. Proyek dungeon synth / dark ambient asal Jakarta, Marma mencoba menghadirkan esensi serupa melalui album studio ke-2 nya bertajuk “Meadows and Untold Things”. Melalui percakapan saya dengan Loka (selaku satu-satunya motor penggerak Marma), dirinya menyebutkan bahwa dalam musik instrumental, ada lebih banyak ruang untuk interpretasi oleh pendengar.  

Dengan kata lain hal ini berkaitan secara tidak langsung dalam meningkatkan kreativitas dan improvisasi Marma untuk memunculkan beragam kemungkinan yang terjadi. Tak ayal “Meadows and Untold Things” yang berisikan 15 lagu ini memunculkan begitu banyak ragam dan warna musik yang terkesan tidak terlalu terikat antara setiap lagu. Marma memunculkan pemikiran dan interpretasi beragam, mulai dari rasa ketenangan, kedamaian, hingga mampu memancarkan sudut-sudut yang menyoroti rasa kehampaan, kehilangan, dan kegelapan. 

Marma sendiri enggan menerapkan aturan-aturan terlalu kaku yang berdampak pada pembatasan ruang geraknya dalam bereksplorasi. Kali ini materi keseluruhan album mencoba untuk membaurkan elemen-elemen neoclassical, dark-ambient, folk, comfy synth, hinga aura fantasi dungeon synth. Loka seolah mengarahkan pendengarnya untuk lebih fokus melakoni perjalanan spiritualnya masing-masing alih-alih terlalu memusingkan musik dari segi performa dan tekstur. 

Marma-Loka-Dark-Ambient-Dungeon-Synth

“Opus No.1” membuka album dengan pergerakan synth ramping, minimalis, tanpa banyak intervensi perubahan emosi, cocok sebagai tembang pembuka karena tidak terlalu banyak mencuplik elemen inti dari keseluruhan album. “Opus No.1” dapat menarik minat orang untuk bertanya-tanya mengenai upaya berkelanjutan album ini.

“Moonlight, Let Me Dwell” menjauhkan dari tempat berpijaknya “Opus No.1”. Pendengar seperti diusung pada dimensi berbeda, dimana kali ini potongan musik ambient, dan tiupan suling menusuk, serta bunyi-bunyian serangga membentuk bayangan nuansa malam begitu sunyi yang surealis. 2 Lagu berikutnya, “Beyond Boundaries” & “Carved Desires” Bergerak pada kekuatan fantasi musik dungeon synth yang mengakar kuat, dengan build-up homogen. Tetapi saya merasa “Carved Desires” bergerak lebih jauh untuk menyusuri warna emosi yang lebih mengharukan, karena lagu tersebut seperti mengupayakan penyatuan paradoks yang diperdengarkan antara lagu-lagu sebelumnya. 

“Nature Morte Serenade” merupakan lagu pertama yang menampilkan kolaborator, dimana Marine Fevrier (Arsule) kali ini dipercaya untuk mengisi narasi vokal yang menemani tekstur synth yang lebih berair kali ini. Saya merasa lagu ini merupakan sekuel dari lagu nomor 2, “Moonlight, Let Me Dwell” yang dibangun dalam spektrum dan panorama night vibes serupa. 

Sekali lagi Marma mencoba memberi perubahan radikal pada flow keseluruhan album, dimana kali ini “Among The Hallucination” seperti bergerak mengawang-awang di ambang perbatasan realitas dan mimpi, dengan nada low-key berfrekuensi rendah, ini seperti membawa pada kepribadian seseorang yang bahkan tidak dikenali oleh dirinya sendiri. Serupa dengan fungsionalitas lagu ini, dimana meski bergerak dalam koridor yang kohesif dikarenakan implementasinya yang minimalis, tetapi saya merasa Yudha Kelana (Svardans) selaku kolaborator di sini memberikan sentuhan berbeda pada warna musik lagu ini, menjadikan “Among The Hallucination” menampilkan kepribadian berbeda dari jajaran lagu Marma lainnya. 

Baca Juga : Great Mercenary – First Story of a Young Mercenary & Magical Tree – Review

tidak seperti deretan lagu sebelumnya yang cenderung bergerak tidak beraturan, 2 lagu berikutnya, ““Embraced by Dementia & Wandering Soul” begitu mengikat dan berkesinambungan antara satu lainnya. Saya mendapatkan bahwa “Wandering Soul” lebih bekerja secara reflektif dalam mencoba mendeskripsikan nuansa yang dinarasikan melalui judul lagu. Sementara “Embrace by Dementia” menggambarkan manusia yang dipenuhi oleh rasa kebingungan dan jalan tidak menentu, “Wandering soul” memiliki pandangan lebih optimistik, ditandai dengan semakin berkembangnya lagu setiap kali merengkuh detik demi detik. 

“Forsaken” merupakan lagu pemutus siklus dari kisah sebelumnya, sekaligus memberi prolog baru yang penuh dengan teror dan rasa kehilangan. Suara synth kali ini lebih menggema seperti dihujani oleh bongkahan es dan mimpi buruk disaat bersamaan. “Fall Into Mournful Cycle”  sebuah soundtrack untuk mengitari tanpa henti lingkaran-lingkaran kesedihan pasca kehilangan. Performa lagu mencoba untuk memvisualkan dengan pendekatan lebih minimalis, dimana lajunya seperti bergerak di tempat dan tidak berkembang. Ini merupakan sebuah penegasan seseorang yang telah berjalan jauh, namun masih terperangkap dalam lubang kesedihan yang sama setiap harinya.

Saya bertanya-tanya apakah “Everything Means Nothing” merupakan konklusi akhir atas reaksi berantai mengenai “kehilangan” yang coba divisualisasikan pada 2 lagu sebelumnya. Diawali oleh bunyi-bunyian angker yang dihasilkan dari kotak suara usang, nampaknya manusia tidak begitu dapat melupakan rasa kehilangannya secara cepat dan terus mencoba membuka kembali lembar-lembar masa lalu, meski terkesan pahit sekalipun. 

Lagi, semakin terperosok dan terjepitnya manusia dalam siklus kegelapan, ini dapat merubah perspektif seluruh kehidupannya menjadi tak bermakna. Iring-iringan synth bernada rendah bergerak lebih berhati-hati seolah menjadi kawan baik untuk menemani keputusasaan, hingga akhirnya di penghujung lagu dihadapkan pada bunyi-bunyian tak nyaman yang secara tersirat seperti mendorong untuk berbuat perilaku-perilaku destruktif.

“When we Fall” kemunculan lagu ini dalam “menyelamatkan” dari perilaku destruktif dirasa tepat. Dengan memiliki komposisi lagu paling megah di antara jajaran tracklist, Marma membanjiri aransemen lagu dengan potongan elemen neoclassical bernuansa surgawi, meski ada rasa haru di sana, tetapi lagu ini juga meninggalkan citra lebih positif dan seolah menjadi pengingat bahwa setiap individu manusia memiliki kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan meskipun dengan cara tertatih-tatih sekalipun. Saya rasa ini menjadi salah satu highlight terbesar dalam rangkaian album, dimana saya pribadi mengharapkan untuk lagu dengan formulasi serupa dapat naik menjadi salah satu aransemen prioritas bagi musikalitas Marna.

Saya pribadi, mencoba beranggapan bahwa “When We Fall” sebuah epilog yang efektif untuk menutup album ini, tetapi 3 lagu terakhir mampu kembali menghadirkan beberapa twist yang membuat perasaan kembali sedikit terombang-ambing. “End on End” tidak terlalu bergeming dalam memberikan emosi dominan apapun, lagu ini seperti memiliki fungsionalitas after-effect dari kejadian yang mengguncang sebelumnya, sehingga dengan getaran synth yang begitu datar ini hanya sebagai tempat perhentian sementara. 

Baca Juga : Mengapa Stormkeep Begitu Populer?

Bersama dengan Lody Andrian (Gowa), Marma menggali potensi terdalam umat manusia yang belum terjangkau melalui “Noetic Version”. Meskipun masih bersumber pada dalam raga, dan pikiran manusia, tetapi gemuruh ambient dengan perasaan gigantic, mampu memproyeksikan panorama cosmic yang memiliki kemampuan untuk menyadarkan manusia mengenai intuisi, pemulihan, perasaan, dan pikiran, dan lainnya. 

Album ditutup oleh “Meadows and Untold Things”, dimana peranan dari musik dungeon synth dikembalikan pada takhta teratas aransemen lagu. Sudah terlalu banyak plot twist yang dihadirkan pada sepanjang album, sehingga membuat fungsionalitas lagu ini sebagai epilog tidak begitu berkesan dan sensasional. Meski demikian saya dapat bernafas lega, karena Marma sanggup mengakhiri pergolakan paradoks dari kehidupan dengan tendensi yang lebih positif dan menenangkan. Tanpa menghadirkan happy ending muluk-muluk dan cheesy, Marma menyediakan akhiran album yang terdengar lebih realistis.

15 lagu dengan total durasi mencapai 54 menit, mungkin merupakan sebuah perjalanan melelahkan, apalagi jika menelisik ke belakang mengenai jejak musik ber-tagline “ambient” yang selalu diasosiasikan oleh rasa kemonotonan dan kebosanan, akibat terlalu mengagung-agungkan musik dengan pendekatan minimalis dan repetitif. Tetapi Marma mencoba menepis anggapan itu semua, yang diimbangi oleh upaya-upaya konkrit untuk membawa musik ambient pada level emosional yang lebih menyentuh. Begitu banyak variabel perasaan yang bermain di sini, sehingga perjalanan menikmati album ini tidak lurus hambar begitu saja. Apalagi dengan dukungan kualitas produksi memadai, mampu mendorong nuansa keseluruhan album terkesan lebih hidup.

Saya harus katakan Marma bahkan dapat membebaskan peranan musik dungeon synth dan dark ambient dari belenggu yang mengikat bahwa kedua unsur musik tersebut harus selalu berpatokan pada alam bawah sadar, kisah era terdahulu, dan fantasi yang tidak berkaitan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Nyatanya melalui “Meadows and Untold Things”, Marma dapat mengubah entitas musik dungeon synth dan dark ambient menjadi sebuah praktik kontemplatif yang erat berhubungan dengan perbedaan sudut pandang, labilitas emosi, dan pertentangan perasaan yang selalu dialami oleh manusia setiap harinya.

Baca Juga : Dungeontroll : Mournful Melodies of Ophior’s Grotto Review

Marma mengorbankan estetika flow dari keseluruhan album, untuk mampu memberikan realita mengenai kondisi manusia yang selalu terombang-ambing oleh perasaan ketidakpastian. Sehingga jika dilihat dari sudut pandang awam, album ini terkesan dikurasi secara acak mengenai penempatan tracklist, padahal tidak demikian. Marma seperti dengan sengaja meninggalkan begitu banyak perubahan perasaan secara radikal dan tidak berkesinambungan antar lagu hanya semata menggambarkan secara natural mengenai penegakan eksistensial bersifat paradoks, dimana itu merupakan konsep utama keseluruhan album. 

Bentangan cakrawala musikalitas Marma cukup luas di sini, dimana saya mencoba membagi album ini ke dalam 2 kategori, kategori pertama jatuh pada lagu-lagu bernuansa dungeon synth. Sementara lainnya dikategorikan ke dalam dark ambient dengan nuansa malam begitu melekat. Tetapi saya melihat eksekusinya terkesan tidak saling berkaitan, dimana ini seperti tengah menciptakan sebuah alter-ego yang memiliki karakteristik berlawanan. Saya menafsir mungkin ini merupakan bagian dari konsep album, tetapi saya lebih mengharapkan untuk kedepannya agar masing-masing entitas saling mengisi dan kooperatif pada setiap lagu, sehingga tidak menimbulkan kesan ambigu dan value kohesif dari album dapat lebih ditingkatkan. 

Baca Juga : Marma Menangkap Esensi Optimisme Dari Paradoks Eksistensialisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link