Luther Alison – Blues Sebagai Media Ketabahan Yang Tangguh
“Dalam debutnya, Luther Alison memainkan musik blues chicago serta elemen rock yang berpadu melawan segala masalah dengan penuh senyum dan ketangguhan hati.”
Ketika Luther Alison beserta keluarga memutuskan pindah ke Chicago, ini sekaligus menjadi titik balik kecemerlangan karir baginya. Selepas dikeluarkan dari sekolah, Luther yang saat itu berusia 17 tahun memilih untuk menekuni musik blues secara intensif. Dirinya mempelajari permainan gitar blues secara otodidak dan dengan cepat namanya mencuat ke permukaan lingkungan musisi blues di Chicago. Di usianya yang masih terbilang belia, Luther sudah bermain bersama bintang blues tersohor seperti Freddie King, Howlin Wolf, dan Jimmy Dawkins. Namun terjebak dalam rutinitas mengasyikan membuat Luther tidak kunjung merilis album debutnya. Album pertamanya bertajuk “Love Me Mama” justru di rilis ketika Luther genap berusia 29 tahun.
9 Dari 4 lagu yang tersedia merupakan hasil daur ulang Luther terhadap beberapa lagu yang ditulis oleh beberapa musisi blues ternama seperti BB.King, Willie Dixon, Elmore James, Fats Domino, dan lainnya. Tetapi dengan gaya vokal serta teriakan gitarnya yang begitu khas mampu menyatukan keberagaman seolah apa yang dinyanyikan oleh Luther di sini semuanya ditulis dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Dengan jeritan vokal yang lebih mengintimidasi dan begitu nyaring, rasanya Luther sangat cocok menggantikan Robert Plant bersama Led Zeppelin andai saja Plant memutuskan untuk hengkang saat itu. Luther sendiri lebih banyak memperagakan lick gitar blues yang sudah terkontaminasi oleh gaungan british rock. Alih-alih memproyeksikan diri sebagai budak kulit hitam yang tersiksa dan depresi, Luther lebih terdengar seperti sosok rockstar yang setiap malam selalu membuat penonton terpukau akan aura dan jiwanya yang begitu karismatik.
Suasana serta ketangguhan hati Luther Allison terlihat tegar, meski tidak semua lagu menampilkan realitas yang baik-baik saja. Mungkin secara tidak sadar ia sedikit tertatih dengan menulis tembang yang terkadang tidak terlalu memberikan efek getarannya kepada perspektif yang berbeda. Dia memang seutuhnya melibatkan proses cara emosinya bekerja dalam menanggapi kesulitan, dimana itu tidak bisa bekerja untuk semua orang yang mendengar nasihatnya. Beberapa diantaranya mungkin lebih senang meratap di balik jendela dan mulai mempertanyakan penyelesaian solutif yang lebih praktis, sementara cara Luther hanyalah tersenyum lebar dalam menyikapinya sembari memainkan alunan nada modis bergairah, bersenandung dengan lepas, dan membiarkan lapisan batu kerikil dalam hatinya menyublim dengan sendirinya.
Baca Juga : Sonny Sharrock – Black Woman, Legenda Jeritan Wanita Ghetto