Lebih Dekat Dengan Luk Thung – Politisasi Dalam Musik – Bagian III
Bagian Sebelumnya – Bagian II
Bagian Sebelumnya – Bagian I
Jika mengamati secara cermat terkait perkembangan musik luk thung, bobot peranan politik memainkan peran yang sangat vital, dan justru menjadi upaya reduksionis bila latar belakang sejarah-politik Thailand tidak dilibatkan dalam percakapan. Bahkan ketika jenis-jenis musik lainnya yang lahir dari ketegangan konflik politik dan sosial semacam hip-hop, enka, yang telah berhasil menciptakan garis pembatas (demarkasi) dengan politik dan mulai membangun dinasti secara independen melalui industrialisasi musik, lain halnya dengan luk thung yang tetap terlibat dalam garda terdepan wilayah politik praktis yang serba transaksional.
Memasuki periode-periode emas luk thung seperti pada dekade 70’an hingga akhir dekade 90’an, luk thung menjadi sasaran objek yang seksi bagi para politisi untuk mempergunakan sebagai senjata propaganda dan mendukung kepentingan yang melatarbelakanginya. Sebuah kutipan bab pembukaan yang diambil dari “Klin khlon sap khwai”, mengatakan bahwa luk thung tidak hanya berpotensi menjadi politis tetapi juga secara konsisten digunakan untuk tujuan politik sepanjang sejarahnya.
Misalnya, seorang penyanyi Phloen Phromdaen, yang tampil di panggung kubu partai politik “baju merah”, menghasilkan banyak lagu bermuatan komentar politik sepanjang dekade 70’ yang dikemas dalam bentuk phleng phut (lagu-lagu yang berbicara) dengan judul lagu seperti “Mon kan mueang” (Keajaiban Politik), “Monrak luk thung,” dan “Khuekhrit khit luek”. Tidak sedikit lagu itu dilayankan sebagai kritik terhadap kebijakan Perdana Menteri yang menjabat saat itu, Kukrit Pramoj pada tahun 1975.
Seorang penulis lagu, Phloen menciptakan sebuah lagu ketika Thailand dilanda krisis ekonomi asia pada tahun 1997 berjudul, “Ngoen baht loi tua” (Baht Terdepresiasi) yang membandingkan ironisme antara kehidupan serba glamor kaum elit yang mampu bepergian dan menempuh pendidikan di luar negeri, sementara warga Thailand biasa bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer mereka, yang disebabkan kekeliruan kebijakan, namun mereka yang harus menanggung akibatnya.
Bangkitnya Kubu Politik Baju Kuning

Krisis keuangan tahun 1997, mengakibatkan sepertiga kelompok bisnis besar hancur dan menyebabkan tekanan sosial yang meluas, membuka jalan bagi kekuatan politik baru. Sisa-sisa bisnis besar Bangkok yang babak belur menginginkan negara untuk senantiasa membantu mereka mengelola globalisasi. Massa yang sebagian besar tinggal di pedesaan dengan yang dimotori oleh kebencian yang semakin besar terhadap berbagai ketidakadilan, mulai menyadari potensi politik elektoral untuk membawa perubahan.
Seorang pengusaha telekomunikasi dan konglomerat, Thaksin Shinawatra naik ke tahta kekuasaan sebagai perdana menteri dengan berupaya mewujudkan aspirasi dan janji menciptakan negara yang ramah bisnis dan memiliki visi untuk membawa Thailand ke dalam kategori jajaran negara maju. Ketika memulai kekuasaanya, Thaksin membuat citranya sebagai ‘pemimpin rakyat’ yang akan mewujudkan impian para elit bisnis dan mereka yang menuntut kesepakatan yang lebih baik.
Namun langkah-langkah awal kebijakan Thaksin, menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendidikan. Thaksin bahkan bersedia untuk menghapus atau mengurangi beban-beban hutang kelas Petani, membuat Thaksin justru lebih banyak menarik dukungan dari masyarakat kelas buruh, kerah biru, dan petani.
Dukungan Thaksin terhadap kaum miskin dan kelas pekerja mengubah musik, luk thung, menjadi wadah aspirasi perjuangan politik. Pada September 2002, Thaksin mengumumkan bahwa ia ingin tetap berkuasa selama enam belas tahun, dengan mengacu pada salah satu judul lagu milik Suraphon Sombatjaroen yang paling terkenal, “Sixteen Years of Our Past.”.
Namun pihak royalis (pendukung raja), serta jajaran elit di Thailand melihat bahwa upaya Thaksin justru mengancam hegemonik kepentingan dan kekuasaan para elit dan Raja. Masyarakat yang jauh lebih mengelu-elukan nama Thaksin dibandingkan raja, membuat khawatir jika rakyat berpihak sepenuhnya pada Thaksin dan melupakan peranan sang raja. Para royalis serta elit yang tergabung dalam partai Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) alias partai “baju kuning” melayangkan berbagai protes dan demonstrasi terhadap pemerintahan Thaksin.
Para relawan dan anggota partai “baju kuning” menuding bahwa Thaksin sedang berupaya untuk membangun kekuasaan absolut, merepresi dan membatasi pers, serta membuat demokrasi di Thailand menjadi tidak sehat. Mereka tidak segan untuk melayangkan gugatan bahwa pada saat pemerintahan Thaksin, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan permainan politik hukum dalam wilayah abu-abu sering digunakan untuk mengamankan ambisi dan kepentingan pribadi semata.
Thaksin & Dukungan Politik Baju Merah

Thaksin sendiri mendapat dukungan dari partai Front Persatuan untuk Demokrasi melawan Kediktatoran (UDD) yang dikenal dengan gerakan politik “baju merah”. Sedari dulu, gerakan “baju merah” merupakan ekspresi politik yang mewakili dan menjadi wadah aspirasi masyarakat, dimana pesertanya sebagian besar berasal dari lapisan masyarakat bawah, para aktivis, serta intelektual yang memiliki rencana besar, wawasan yang lebih luas, serta memiliki rasa sentimen pada pemerintahan yang seringkali menciptakan ketidakadilan dalam hal pemberian pendapatan, kesempatan, dan kesetaraan. Umumnya para anggota partai “baju merah” berasal dari daerah utara dan Isan, daerah-daerah dengan budaya yang berbeda dibandingkan oleh Thailand pusat.
Dari sini memungkinkan sebuah teori politik paradoks terjadi, mengapa demikian? Sebuah posisi incumbent biasanya akan diambil oleh status quo, atau pemerintah yang sedang menjalankan kekuasaan serta kedaulatannya, sementara posisi oposisi biasanya berada di tangan penantang kekuasaan yang seringkali datang dari kalangan masyarakat sipil untuk mengingatkan, menegur, bahkan tidak segan menggulingkan kekuasaan, menuntut agar sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang diciptakan penguasa mampu membuat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
Akan tetapi dalam peristiwa ini, posisi incumbent justru berada di antara koalisi antara rakyat yang mendukung pemerintahan perdana menteri Thaksin, sementara kedudukan oposisi berada dalam genggaman para royalis, elit yang menentang pemerintahan menteri Thaksin, dan membela kepentingan raja.
Catatan Hitam

Namun berkaca dari berbagai peristiwa yang telah mewarnai peta Thailand, setiap fraksi tidak dapat didefinisikan secara hitam-putih bahwa satu fraksi memiliki nilai yang mutlak berada dalam kebaikan baik secara moral, etika, dan kebijakan, dan berlaku pada hal sebaliknya.
Itu terjadi pada tahun 2006, ketika Aliansi Rakyat untuk Demokrasi atau partai “baju kuning”, memperoleh momentum untuk membalikan keadaan dan menggulingkan kekuasaan, setelah keluarga Thaksin (Shinawatra) menjual perusahaan telekomunikasinya, Shin Corporation, kepada Dana Negara Singapura Temasek seharga 73 Miliar Baht (1,8 Miliar Dolar).
Pada saat proses transaksi, Thaksin menggunakan celah hukum keuntungan modal, sehingga memungkinkan dia mampu menjual perusahaanya bebas pajak. Ini menjadi semacam sinyal hijau bagi partai “baju kuning” bahwa dugaan mereka terbukti benar, dan momentum tersebut dimanfaatkan dengan baik.
Malam, 19 September 2006, saat Thaksin berada di New York untuk berpidato di hadapan PBB, militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Meskipun kudeta tampak umum terjadi di Thailand, ini adalah pertama kalinya dalam hampir 50 tahun kudeta yang dilakukan dengan mengerahkan tank ke ibu kota berhasil Kelompok kudeta mengklaim bahwa pemerintahan Thaksin telah melakukan penghinaan terhadap Raja, mencampuri badan-badan konstitusional, dan menyebabkan perpecahan sosial. Namun, ada juga kepentingan oportunisme militer yang terselip dalam pesan protes politik “baju kuning”.
Tujuan utama rezim kudeta adalah untuk menyesuaikan keseimbangan kekuatan politik dengan menetralkan Thaksin, mengurangi peran politisi terpilih, dan mengembalikan kekuasaan kepada birokrasi dan militer. Model untuk proyek ini adalah era pasca-1976 ketika banyak pemimpin kudeta terlibat dalam pengendalian pemberontakan komunis.
Namun jatuhnya Thaksin, tidak membuat bahwa konflik antara ke-2 gerakan politik ini usai. Bahkan terlalu dini, untuk mengatakan bahwa konflik telah usai ketika Thaksin tidak menjabat lagi, dan 2 tahun kemudian ia dijatuhi hukuman pengasingan karena terbukti bersalah. Faktanya, hingga sekarang posisi jabatan menteri silih berganti diisi oleh baik kubu partai “baju merah”, maupun partai “baju kuning”.
Dualisme Luk Thung Antara Gerakan Politik Baju Merah & Baju Kuning
Meningkatnya protes sosial di Thailand sejak tahun 2005 ditandai oleh peningkatan dramatis dalam penggunaan musik dalam konteks politik. Tidak seperti gerakan politik kiri Thailand tahun 1970-an, yang mengukuhkan musik phleng phuea chiwit sebagai genre musik spesifik sebagai lambang protes dan perlawanan, konflik partai “baju kuning” dan kelompok “baju merah” yang terjadi pada dekade 2000’an, bersama-sama memanfaatkan hampir setiap jenis musik yang ditemukan di Thailand.
Lebih jauh, partai “baju kuning” yang pro-kerajaan tampaknya mendapat dukungan yang besar dari industri hiburan Bangkok. Hal ini terlihat jelas ketika musisi, aktor, dan sutradara film terkenal Phongphat Wachirabanjong menerima penghargaan sebagai aktor pendukung terbaik di acara Penghargaan Nataraja (untuk TV Thailand) pada tahun 2010. Di tengah tepuk tangan meriah, ia berpidato, “Jika Anda membenci Ayah (Raja), menghina Ayah, dan berniat mengusir Ayah dari rumah ini, saya katakan, jika Anda tidak lagi mencintai Ayah, Anda harus pergi, karena ini adalah rumah Ayah.”
Banyak genre musik menjadi kesukaan anggota partai “baju kuning” seperti phleng plukchai (mars patriotik), musik klasik Thailand dan Barat, luk krung, jazz, musik elektronik, dan rock alternatif Thailand. Jika melihat garis besarnya, genre yang mereka sukai menandakan status tinggi dan diproduksi oleh dan untuk segmen masyarakat perkotaan yang paling makmur.
PAD (partai “baju kuning”) bahkan telah memanfaatkan luk thung, melalui penyanyi lintas genre luk krung Ophat Thosaphon, bintang luk thung selatan Sonthaya Chitmani, aktris dan penyanyi luk thung Sirilak “Joy” Phongchok, dan Artis Nasional veteran Chinakon Krailat, yang terkenal karena menggabungkan berbagai genre musik rakyat Thailand. Penting untuk dicatat bahwa tidak satupun dari penyanyi ini berasal dari Isan, dan semuanya dikenal karena lebih dari sekadar luk thung.
Sementara dalam kubu UDD atau “baju merah”, didominasi oleh budaya dan orang Isan, sehingga dapat dipastikan musik molam adalah genre yang paling banyak ditampilkan di panggung protes “baju merah”. Namun dikarenakan perbedaan bahasa, seringkali ketika musik molam ditampilkan sebagai aksi protes yang disiarkan di televisi Bangkok, mendapat kendala bahwa liriknya tidak dapat dipahami oleh sebagian penonton.
Untuk itu partai UDD menggunakan keuntungan musik luk thung, karena mampu memadukan kata dan bahasa Isan dengan penggunaan bahasa Thailand pusat yang dapat dipahami dan menarik bagi sebanyak mungkin penonton. Survei lagu-lagu Muk Methini menunjukkan bahwa luk thung telah digunakan oleh para “baju merah” untuk meratapi, memuji, dan merayakan.
Banyak bintang besar luk thung di masa lalu, seperti Phloen Phromdaen, Rungphet Laemsing, Phongsri Woranut, dan Dao Bandon, dilaporkan terlihat di berbagai rapat umum “baju merah”, dan baik bintang tahun 1970-an Sayan Sanya, yang merupakan anggota partai politik Thai Rak Thai milik Thaksin, maupun bintang luk thung Isan yang sudah lama, Phonsak Songsaeng, sesekali muncul di panggung.
Sayan, yang memulai kariernya di grup musik Phongsri Woranuts pada tahun 1960-an, albumnya pada tahun 2007 dilarang oleh Departemen Hubungan Masyarakat setelah ia menyampaikan pidato yang mengkritik junta (perdana menteri “baju kuning” setelah Thaksin) yang telah merebut kekuasaan dari pemerintahan Thaksin. Setelah itu, ia tidak terlalu menonjolkan diri, meskipun ia merekam beberapa wawancara politik dan lagu untuk Radio Komunitas Thaksin di Bangkok.
Sebagian besar molam dan luk thung di pihak PAD terjadi setelah dimulainya protes Songkran pada tahun 2010 dalam konteks video YouTube yang menyindir kelompok demografi “baju merah”. Penghinaan dan isu rasialis terhadap genre kelas pekerja seperti itu mengungkap kesenjangan etnis yang mencerminkan kesenjangan politik. Banyak anggota kelas menengah Bangkok, yang sebagian besar berasal dari Tiongkok, percaya bahwa mereka bekerja lebih keras dan berpendidikan lebih baik daripada warga pedesaan Thailand, yang sebagian besar berasal dari etnis Laos.
Secara aksiologis, musik luk thung telah mendapat banyak sekali upaya pembengkokan terhadap refleksi yang ditangkap masyarakat. Para politisi, elit, dan penguasa merefleksikannya secara konveks membusungkan otoritasnya, memperdaya retina dengan segala ilusi cahaya yang telah diciptakan. Mereka dapat menciptakan bayangan “yang seolah tampak nyata” memberikan uluran tangan pada yang memandangnya penuh dengan harapan.
Terkadang secara gamblang menciptakan bayangan maya, besar, dan dipertegak menciptakan semacam ilusi bahwa hegemonik kekuasaan seolah memiliki kekuatan yang melampaui realitasnya, dan melupakan bahwa kedaulatan negara sesungguhnya berada di tangan rakyat.
Lensa yang digunakan mungkin mampu mendistorsi dan memanipulasi kemampuan cahaya yang masuk pada setiap pasang mata, namun musik luk thung bak sinar matahari, pada hakekatnya dia akan selalu memberikan cahaya murni bersinar terang, menyeringai untuk menyambut hamparan padi yang mulai tumbuh dan menguning, tanda sorak-sorai kebahagiaan para petani yang siap memanen meski berpijak pada tanah yang penuh dengan lumpur sekalipun.
Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Folk Han – Musik Rakyat Masyarakat Han
Referensi
- Amporn, Jirattikorn. “Lukthung: Authenticity and Modernity in Thai Country Music.” Asian Music yy, no. 1 (2006): 24-50.
- Baker, Chris, dan Pasuk Phongpaichit. A History of Thailand. 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2014: 104-117, 120-121, 134-147, 270-281
- Miller, Terry E. “From Country Hick to Rural Hip: A New Identity through Music for Northeast Thailand.” Asian Music 36, no. 2 (2005): 96-106.
- McCargo, Duncan, and Krisadawan Hongladarom. “Contesting Isan-ness: Discourses of Politics and Identity in Northeast Thailand.” Asian Ethnicity 5, no. 2 (2004): 219-34.
- Mitchell, James Leonard. Luk Thung: The Culture and Politics of Thailand’s Most Popular Music. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2015: 7-42, 134-139, 157-168, 173.
- Barme, Scot. Luang Wichit Wathakan and the Creation of a Thai Identity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993.
- Collier, Simon, and Ken Haas. Tango! The Dance, the Song, the Story. New York: Thames and Hudson, 1995.
- Connell, John, and Chris Gibson. Sound Tracks: Popular Music, Identity, and Place. London and New York: Routledge, 2002.
- Jaiser, Gerhard. Thai Popular Music. Bangkok: White Lotus Press, 2012.
- Lockard, Craig A. Dance of Life: Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1998.
- Manuel, Peter Lamarche. Popular Musics of the Non-Western World: An Introductory Survey. New York: Oxford University Press, 1988.
- Martin, Peter J. Sounds and Society: Themes in the Sociology of Music. Manchester: Manchester University Press, 1995.
- Reynolds, Craig J. National Identity and Its Defenders: Thailand Today. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2002.
- Shohat, Ella, and Robert Stam. Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the Media. New York: Routledge, 1994.
- Lamnao, Eamsa-ard. “Thai Popular Music: The Representation of National Identities and Ideologies within a Culture in Transition.” PhD diss., Edith Cowan University, 2006.
- Kanokrat, Lertchoosakul. “The Rise of the Octobrists: Power and Conflict among Former Left Wing Student Activists in Contemporary Thai Politics.” PhD diss., London School of Economics and Political Science, 2012.
- Clewley, John. “Thailand’s Quiet Coup: How Music Helped Oust Square Face.” Songlines, no. 41 (2007): 42-43.
- Kitchana, Lersakvanitchakul. “Country Cult and Culture.” The Nation (Bangkok), April 23, 2010. http://www.nationmultimedia.com/home/201o/04/23/life/Country-cult-and-culture-30127716.html.
- “Miss Universe Thailand Sparks Uproar.” Bangkok Post, May 20, 2014. http://www.bangkokpost.com/news/local/410577/miss-universe-thailand-sparks-uproar.
- Ash, Lucy. “Crossing Continents: Thailand’s Red-Shirts 23 Apr 09.” Crossing Continents. BBC Radio 4, 2009. http://www.bbc.co.uk/programmes/b00k3t4j.
- “Blacklist Cut Down to 3 Songs.” The Nation (Bangkok), 2003. Accessed February 12, 2009. http://www.thailandqa.com/forum/showthread.php?t=2o62.
- Condie, Bill. “Thailand’s Culture Police Turn an Opera into a Censorship Drama.” The Guardian (London), November 26, 2006. http://www.guardian.co.uk/music/20o6/nov/26/classicalmusicandopera.
- “Lao Protests Knock Drama off Thai TV.” The Nation (Bangkok), February 14, 2007. http://www.newsmekong.org/lao_protests_knock_drama_off_thai_tv.