Lebih Dekat Dengan Luk Thung – Politisasi Dalam Musik – Bagian II
Bagian Sebelumnya
Menjelang masa akhir pemerintahan, Phibun mengumumkan bahwa ia akan ‘mengembalikan demokrasi’ untuk menstabilkan sektor finansial dan kekuatan dominasi militer Sarit dan Phao yang semakin meningkat. Ia mencabut larangan partai politik, melonggarkan sensor pers, berjanji membebaskan tahanan politik, membatalkan banyak pembatasan terhadap warga Tionghoa, mengizinkan ‘Hyde Park’ untuk berpidato, mengesahkan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melegalkan serikat pekerja, dan menjadwalkan pemilihan umum pada tahun 1957.
Namun kebijakan itu justru menjadi senjata makan tuan, untuk mengakhiri kekuasaanya. Menggunakan kekuatan pers, perwira Sarit Thanarat menuduh bahwa Phibun melakukan kecurangan dalam pemilu 1957 dengan melakukan cara-cara kampanye hitam seperti pembelian suara, mengintimidasi pemilih, dan penyelewengan kekuatan militer untuk mempengaruhi hasil pemilu. Selain itu Sarit turut menghasut, dengan mengatakan bahwa pemerintahan Phibun melemah, sehingga kudeta dibutuhkan untuk kembali menstabilkan pemerintahan.
Sarit berhasil menggulingkan Phibun dan menjadi pemimpin de facto Thailand sejak 1957, dan secara resmi ia diangkat sebagai perdana menteri pada 1959. Selama rezim Sarit, Pengetatan diberlakukan mulai dari pers, media massa, dan kebudayaan. Kendati menerapkan pemerintahan yang terasa lebih otoriter dari Phibun dan pengawasan ekstra ketat, Sarit memfokuskan pembangunan infrastruktur besar-besaran, termasuk jalan raya, jembatan, dan sistem irigasi untuk mendukung sektor pertanian.
Hal ini berimplikasi dengan adanya peningkatan dari segi ekonomi Thailand, sehingga membuat penulis lagu-lau phleng ciwit untuk meninggalkan komentar sosial dan beralih pada lagu-lagu yang sifatnya komersil atau terkadang turut disusupi dengan ide-ide nasionalistis.
Kediktatoran Militeristik Gelombang Ke-2 & Bangkitnya Seni Konservatif

Tetapi Sarit justru memiliki pandangan terhadap seni yang cenderung konservatif dan tradisionalis, dia mengupayakan kembali agar musik-musik klasik Thailand kembali menjadi konsumsi budaya bagi masyarakat umum. Sarit menilai musik-musik semacami phleng thai sakon, phleng ciwit, dan ramwong adalah peninggalan warisan pemerintahan Phibun yang modernitas dan kebarat-baratan. Sehingga dengan meminimalisir dan menghilangkan penerimaan, menjadi sebuah bentuk upaya dekolonisasi budaya barat, menuju kebudayaan yang asli dan otentik.
Seperti telah disinggung sebelumnya, pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Sarit, menjadi salah satu tumpuan akan perkembangan ekonomi berbasiskan industrialisasi. Urbanisasi dan perkembangan ekonomi manufaktur di Bangkok meningkat pesat, menciptakan kehidupan masyarakat urban atau perkotaan yang lebih makmur dibandingkan rezim sebelumnya.
Namun penguatan ini, secara tidak sadar telah menciptakan semacam jurang yang kontras antara masyarakat kelas urban, dengan masyarakat kelas rural atau pedesaan, karena pembangunan yang terjadi tidak bersifat merata, bahwa Sarit tengah berupaya untuk memusatkan kekuatan perekonomian pada Bangkok sebagai ibu kota.
Migrasi Isan

Selama Perang Vietnam, terdapat empat pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat yang besar di Timur Laut—di Nakhon Ratchasima, Udon Thani, Ubon Ratchathani, dan Nakhon Phanom—yang menyediakan infrastruktur dan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan. Saat itu pengaruh musik rock Barat mulai digunakan oleh para musisi Isan. Namun, sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, semakin banyak orang Isan (wilayah timur laut Thailand) bermigrasi ke Bangkok untuk mencari pekerjaan.
Meski secara letak geografis, Isan berada dalam wilayah Thailand, namun orang-orang yang berada di wilayah Thailand Pusat memiliki semacam pandangan chauvinistik atau memandang lebih rendah pada masyarakat Isan. Sebagian besar penduduk Isan berasal dari orang-orang beretnis Lao yang menetap. Sentimen ini pun kemudian diperburuk dengan prasangka pemerintah yang mencurigai daerah Isan beserta orang-orangnya sebagai sarang kegiatan dari komunis.
Variabel-variabel yang telah disebutkan di atas, seperti peninggalan kebudayaan rezim phibun, industrialisasi dan urbanisasi Bangkok, kesenjangan kelas masyarakat urban dan rural, serta sentimen dan pandangan chauvinistik terhadap masyarakat Isan menjadi pillar-pillar alasan melemahnya posisi musik phlengthai ciwit di mata masyarakat. Baik pemerintah maupun masyarakat kelas urban, menganggap bahwa musik-musik phleng thai ciwit yang lebih berorientasi pada kehidupan masyarakat pedesaan, sebagai budaya keterbelakangan.
Kelahiran Istilah Luk Thung & Serangan Kritik Dari Barat
Fenomena langka terjadi pada tahun 1964 ketika seorang manajer salah satu stasiun saluran televisi, Jamnong Rangsikun menciptakan sebuah istilah bernama “phlengluk thung”. Kemudian istilah tersebut diganti penyebutannya, hingga lahirlah istilah luk thung yang berarti anak-anak ladang.
Sentimen tidak kunjung mereda pasca ditemukan istilah luk thung, beberapa etnomusikologi Barat yang meneliti kebudayaan dan seni di Thailand, mengkritisi dan memberikan citra negatif pada luk thung. Salah satunya soerang etnomusikolog bernama Terry Miller, yang membandingkan musik luk thung dengan musik-musik yang cenderung dianggap memiliki seni yang tinggi seperti musik klasik thailand, dibandingkan musik luk thung yang terlewat sederhana dan populer di kalangan masyarakat bawah.
Beberapa etnomusikologi menyalahkan: “lagu-lagu yang memikat dari musik pop yang dipromosikan secara luas atas hilangnya genre musik rakyat dan klasik Thailand yang lebih autentik” (Lockard 1998, 179). Kemudian Terry Miller meremehkan luk thung ketika ia melakukan studi bahasa Inggris definitif tentang molam pada awal 1970-an dengan mengatakan:
Genre baru, yang disebut pleng look toong (“anak-anak ladang”), ditandai dengan puisi sederhana, sentimen langsung, dan kurangnya kecanggihan secara umum. Subjeknya adalah kehidupan orang-orang biasa, terutama penduduk desa. Untuk gaya bernyanyi, para komposer, yang sebagian besar tinggal di Bangkok, menjarah semua bentuk seni dan rakyat daerah, termasuk mawlumglawn dan mawlum moo.”
Sebagai lanjutan daripada kritiknya, Miller menganggap luk krung sebagai jenis lagu “canggih dan sangat kebarat-baratan dan liriknya . . . relatif halus dan halus”. Luk krung sendiri merupakan jenis lagu yang berkembang di daerah urban, dimana mereka menggunakan pendekatan dan instrumen yang cenderung lebih mewah, elegan, dan canggih. Elemen musik Jazz barat, hingga orkestra menghasi sendi-sendi kreativitas musik luk krung. Musik luk krung dinilai merupakan gabungan dari phleng pudi dan pop Barat.
Gelombang Kemunculan Musisi Luk Thung asal Isan
Perlu dicatat seiring dengan banyaknya imigran Isan yang menetap di Bangkok, banyak yang akhirnya memutuskan untuk menjadi musisi dan penulis lagu dengan memilih musik luk thung sebagai medium. Alasannya, karena musik luk thung cenderung sederhana, dan memiliki relevansi dengan keseharian dan realitas yang mengitari kehidupan mereka. Mereka memasukkan elemen molam (sebuah musik tradisional khas warga Lao dan wilayah Isan) ke dalam musik luk thung.
Waeng mencatat bahwa penulis lagu pertama yang mempopulerkan penggunaan kata-kata Isan dalam lagu-lagu luk thung adalah Pong Prida. Ia memperoleh pekerjaan sebagai pemain khaen dan menyediakan efek suara untuk rekaman penyanyi lain dan pada tahun 1958, ia diberi kesempatan untuk merekam lagunya sendiri bertajuk “Klap ban—Go Back Home”.
Akan tetapi lagu itu dilarang karena diduga lagu tersebut berisi muatan untuk mengkritik pemerintah. Pong Prida tertarik dengan gaya hidup kosmopolitan Thailand di Bangkok dengan mengatakan:
“Semua toko indah seperti yang mereka katakan / Siapa pun yang masuk tidak akan mau keluar”
tetapi merasa jijik dengan chauvinisme yang dialaminya, Pong Prida merespon stigma buruk tersebut:
Kami orang Isan, kami masih peduli dengan rumah dan sawah kami.
Kami datang untuk mencari pekerjaan. Jangan bilang kami pemalas.
Ketika saatnya menanam padi, semua orang Isan akan pulang
Elemen-elemen lirik utama luk thung terlihat jelas yakni seputar kemiskinan, migrasi perkotaan, daya tarik dan bahaya kota besar, romantisme pedesaan, dan kebanggaan ethno regional Isan.
Lebih jauh, Pattana menemukan bahwa molam dan luk thung memungkinkan para pekerja migran Isan untuk mempertahankan identitas budaya mereka, dan bahwa lirik lagu populer timur laut mencerminkan bagaimana identitas daerah Isan diperkuat oleh budaya migrasi pekerja transnasional.
Meski di tengah stigmatisasi masyarakat urban Thailand bahwa luk thung seperti musik yang telah “ketinggalan jaman”, namun nyatanya musik luk thung tetap populer di beberapa kalangan, bahkan nantinya luk thung menjadi semacam salah satu simbol kebudayaan Nasional Thailand, ketika mereka menghadapi krisis pada akhir dekade 90’an.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemajuan ekonomi di Bangkok, telah membuat orang-orang Lao yang berada di pesisir Isan, bermigrasi dan menetap demi mencari pekerjaan di sana. Mereka merasa memiliki ikatan emosional dengan luk thung (dulu masih bernama phleng thai ciwit), karena musik mereka seperti menceritakan latar belakang kisah mereka.
Melihat situasi dan kondisi ini, para penyanyi phleng thai ciwit, mulai memasukan unsur-unsur yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Isan yang mayoritas beretnis Lao, untuk menarik simpati dan segmentasi market para imigran.
Sang Pangeran Luk Thung
Seorang penulis Thailand bernama Waeng Phalangwan, berargumen bahwa masyarakat Lao-Isan telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan luk thung. Hal itu juga yang akhirnya menarik para penulis lagu seperti Suraphon Sombatjaroen, Phongsi Woranut menulis lagu-lagu dengan unsur Isan.
Suraphon Sombatjaroen sendiri dikenal sebagai “pangeran musik luk Thung” dan sekaligus menjadi salah satu tokoh legendaris di Thailand berkat pengaruh, keterampilan menyanyi, hingga ketenarannya. Dia seringkali bahkan disandingkan dengan figur seperti The Beatles atau Elvis Presley versi Thailand, karena memiliki pengaruh dan karisma yang begitu kuat di negara asalnya.
Suraphon dianggap memiliki gaya pertunjukan yang unik, dan memiliki atribusi kemampuan yang kerap kali sering ditonjolkan dalam percakapan mengenainya, bahwa Suraphon menulis semua lagunya sendiri. Musiknya dikatakan sebagai lagu tema untuk tahun 1960-an di Thailand. Telah banyak artikel, buku, maupun tesis penelitian mengenai seberapa unik dan pentingnya Suraphon sebagai salah satu simbol kebudayaan dan seni terbaik yang pernah dimiliki Thailand.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Suraphon memasukkan unsur-unsur Lao-Isan ke dalam lagu ciptaannya, akan tetapi menurut Waeng,yang dikonfirmasi oleh produser sekaligus orang dekat Suraphon, Surin Phaksiri (2002, 162), bahwa Suraphon tidak memiliki keturunan Laos, tidak mampu berbahasa Isan, dan ia menyanyikan kata-kata Isan semata upaya menarik perhatian masyarakat Isan.
Akan tetapi, bersama dengan adiknya, T. Ngekchuan, Suraphon melatih kepenulisan lagu, dan Suraphon mengaku banyak terpengaruh dan mengkonsumsi musik-musik khas Isan, sehingga tidak mengherankan dia mampu menulis lagu luk thung dengan mengelaborasikan kultur Lao-Isan, meski bukan berasal dari sana. Pada awal karirnya, Suraphon membawakan ramwong, dan ada yang menduga bahwa dia telah meniru gaya penulisan lagu dan penampilan Benjamin (seorang penyanyi Ramwong paling terkenal saat itu).
Namun kehadiran Suraphon mampu menggeser popularitas Benjamin yang telah ia bangun selama 5 tahun, dan Benjamin merasa Suraphon telah meniru gayanya dan membuat Benjamin kesal. Suraphon merilis lagu-lagunya melalui Dornjendi sebuah label buatannya sendiri. Lagu-lagu seperti “Hen hua jai phi laeo”, “Nao ja tai yu laeo”, “Luk kaeo mia khwan”, “Alai rak” menjadi populer. Suraphon tidak sendiri, terkadang ia bernyanyi bersama artis luk thung lainnya, Phongsri Woranut, atau bahkan menulis lagu untuk dinyanyikan oleh Phongsri Woranut.
Jika Suraphon saat itu dijuluki sebagai “Pangeran Luk Thung”, Phongsi Woranut diberi julukan sebagai “Ratu Luk Thung”, karena memiliki popularitas dan pengaruh yang sama besarnya dengan Suraphon. Suraphon dan Phongsri sendiri sering menyanyi dan membawakan lagu bersama. Tetapi hubungan hangat dari keduanya hanya berlangsung sebentar, ketika Suraphon dan Phongsri mengalami konflik kesalahpahaman yang terjadi pada awal dekade 60’an.
Perselisihan Pangeran & Ratu Luk Thung
Saat itu Phongsri mengingat bahwa Marsekal Lapangan Sarit telah mengumumkan jam malam pukul 9:00 untuk angkatan bersenjata di Bangkok, beserta regu band Suraphon (yang terdiri banyak anggota angkatan udara), terpaksa beristirahat selama beberapa minggu. Karena memiliki urusan yang menyangkut sang ibunda, Phongsri bertanya kepada Suraphon untuk mengizinkan Phongsri pergi ke Nakhon Sawan untuk bernyanyi bersama band Angkatan Darat Phayong Mukda selama seminggu.
Awalnya, Suraphon tidak merestui, tetapi salah satu anggota band Suraphon, Somphot Selakun, dari Suraphon membujuknya agar mengizinkan Phongsri pergi dan akhirnya Suraphon setuju. Phongsri mengatakan dia terlalu sibuk untuk mendengarkan siaran radio saat berada di Nakhon Sawan, jadi dia kembali ke Bangkok tanpa menyadari bahwa jam malam telah dicabut.
Ketika Phongsri pergi ke rumah Suraphon untuk memberi tahu bahwa dia telah kembali, istri Suraphon, Srinuan menyambutnya, tetapi kedua wanita itu terkejut ketika Suraphon menuduh Phongsri mengkhianatinya dan memerintahkan Phongsri untuk meninggalkan rumah. Sejak kejadian itu Phongsri dan Suraphon tidak pernah bersama bahkan berbicara satu sama lain lagi. Konflik keduanya bahkan sempat memanas ketika mereka berada dalam tahun-tahun awal sejak memutuskan untuk pisah jalan.
Perpisahan ini jelas bukan merupakan suatu kemunduran bagi karier Phongsri seperti yang diasumsikan Suraphon, dan Phongsri malah mendapat manfaat dari belas kasihan penonton luk thung maupun industri musik. Beberapa penulis lagu dan kolega lain bahkan berusaha menjulurkan bantuan pada Phongsri. Marah dengan keberhasilan Phongsri, Suraphon menulis lagu “Kaeo luem dong”, sebuah lagu yang berisi serangan pada Phongsri, karena telah berkhianat dan meninggalkan grupnya:
Phongsri ingat bahwa ia merasa hancur ketika pertama kali mendengar lagu ini di radio, tetapi tidak ada niatan untuk membalas. Teman dekat Suraphon, Samniang Muangthong, menyadari ketidakadilan serangan ini dan melihat peluang untuk menyamakan kedudukan sambil tetap membantu karier Suraphon. Samniang diam-diam meminta Somphot Selakun, yang juga mengetahui cerita lengkapnya, untuk menulis dan merekam lagu untuk Phongsri.
Ketika lagu berjudul “Sarika luem phrai” muncul, Suraphon sangat marah karena liriknya bahkan lebih kasar daripada yang ditulis Suraphon. Lagu-lagu itu laku keras dan Phongsri membalas lagi lewat lagu bertajuk “Sarika long rang”. Melihat “musuh-nya” tengah berseteru dengan Phongsri, Benjamin memanfaatkan ini dengan menulis lagu berjudul “Yathiang kan loei” yang berisi kecaman terhadap Suraphon karena menyerang Phongsri dan lagu tersebut berisi dugaan bahwa Suraphon telah meniru gaya bernyanyi Benjamin.
Perhatian Suraphon, kini teralihkan dengan menanggapi Benjamin melalui lagu berjudul “Sip niu kho khama”. Suraphon memberi tahu lewat lagu tersebut bahwa Benjamin sebaiknya tidak turut campur dan menyangkal tuduhan Benjamin. Pada akhirnya pemenang besar dari argumen ini adalah Suraphon dan Phongsri, yang terus memproduksi lagu dengan penyanyi lain dalam grup mereka.
Akan tetapi tidak ada upaya rekonsiliasi dan perdamaian antara Suraphon dan Phongsri. Konflik dan ketegangan di antara ke-2 nya terus berlanjut hingga akhirnya Suraphon meninggal secara mengenaskan pada tahun 1968. Kehidupan Suraphon berakhir tragis ketika ia ditembak mati saat tengah tampil di sebuah acara Nakhon Pathom pada tahun 1968. Media populer Thailand (televisi, film, dan surat kabar) tidak bosan-bosannya menampilkan citra romantis Suraphon sebagai seorang jenius yang terbunuh di masa jayanya.
Dekade Baru Luk Thung
Jika musik-musik phleng ciwit sebelumnya, lebih terpengaruh dengan musik Barat seperti cha-cha, irama latin, dan mambo, musik luk thung di dekade 60’an, terpengaruh dengan musik molam, dimana selain mengeluarkan tarikan suara, penyanyi menggunakan alat musik tradisional khas bernama khaen, sebuah instrumen tiup namun berbentuk organ kecil.
Lebih jauh, Pattana menemukan bahwa perpaduan antara molam dan luk thung memungkinkan para pekerja imigran Isan untuk mempertahankan identitas budaya mereka, dan bahwa lirik lagu populer timur laut mencerminkan bagaimana identitas daerah Isan diperkuat oleh budaya migrasi pekerja transnasional.
Musisi seperti Sunthonsanan, Wet Sunthonjamon, dan Kaeo Atchariyakun, memiliki pola pikir khas Thailand dan minat dalam mempertahankan status quo dalam masyarakat Thailand. Bahkan seseorang bernama Luan Khwantham, yang berasal dari Selatan dan hanya mau menerima anak didik yang juga berasal dari selatan.
Kelompok penulis lagu Isan terbesar, yang terdiri dari murid-murid Khru Kor Kaeoprasoet, aktif pada akhir tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an, dan diantaranya meliputi: Loet Srichok, Sombat Bunsiri, Wichian Sitthisong, Samson Na Mueangsri, Samran Arom, Cho Kachai, dan Surin Phaksiri.
Kor Kaeoprasoets merupakan seorang kawan dekat Suraphon Sombatjaroen dan Kor telah menulis biografi mengenai kawannya yang telah menjadi bintang dan meninggal secara mengenaskan. Biografi itu selesai dan dirilis pada tahun 1969, berjudul “Chiwit kan tor su khong Suraphon” (Kehidupan Perjuangan Suraphon).
Gelombang kedua penulis lagu Isan mulai bermunculan dan berkembang menjelang akhir tahun 1960-an, seperti: Phongsak Chantharukkha, Sanya Chulaphon (juga dikenal sebagai San Silaprasit), Thinakon Thiphamat, Prasit Nakhonphanom, Songkhro Samatthaphaphong Surin Phaksiri. Beberapa penyanyi non Isan yang ingin menarik perhatian penggemar luk thung, mereka akan mencari dan menyewa jasa penulis lagu Isan. Tetapi terkadang tidak hanya dari segi musik, penonton seringkali melihat latar belakang dari si penyanyi tersebut, dan akan lebih mudah diterima bila mereka berasal dari keturunan Lao asli.
Secara perlahan, genre ini cukup populer sehingga muncul sebuah program baru, “Phleng luk thung” khusus mendedikasikan untuk jenis musik Luk Thung. Siriphon, mengemukakan bahwa penggunaan istilah phleng luk thung secara bersamaan di media televisi, radio, dan film mengakibatkan diterimanya istilah baru tersebut secara luas. Pada tahun 1965, film “Your Cheatin’ Heart” (1964), yang berkisah tentang Hank Williams, berhasil didistribusikan ke seluruh Thailand dengan judul Phleng luk thung.
Distribusi dan penetrasi yang luas melalui bioskop-bioskop perkotaan dan nang re (karavan film keliling) pedesaan memainkan peran penting dalam menghubungkan semua kalangan penonton, mulai dari penduduk perkotaan yang menikmati acara luk thung melalui televisi, hingga penduduk pedesaan yang mendengarkan acara luk thung melalui radio.
Sebuah acara berbasis kompetisi pertama, beranama “Phaensiang Thongkham” (Rekaman Emas) diadakan pada tahun 1964 dan awalnya tidak mengikutsertakan luk thung. Namun pada pagelaran ke-2 acara yang diselenggarakan pada tahun 1966, luk thung menjadi salah satu dari empat kategori.
Lahir & Berkembangnya Kolektif Luk Thung
Periode akhir dekade 60’an menjadi saksi akan berkembang biaknya grup-grup luk thung baru dan terpecahnya grup-grup lama seperti Jularat, Mukdapan, dan Ruam Daokrajai. Pada tahun 1969, Chai Mueangsing, Sriphrai Jaiphra, Buppha Saichon, Kosit Nophakhun, dan Phanom Nopphon semuanya meninggalkan grup Jularat untuk membentuk grup mereka sendiri, dan Waiphot Phetsuphan dan Rungphet Laemsing meninggalkan Ruam Daokrajai. Grup mendiang Suraphon dilanjutkan oleh istrinya Srinuan dengan nama Sit Suraphon (Anak didik Suraphon), tetapi bintang-bintang dan pemain lama seperti Kangwanphrai Lukphet pergi untuk membentuk grup tur mereka sendiri.
Penulis lagu Isan awal seperti Benjamin, Pong Prida, dan Kor Kaeoprasoet memang memperkenalkan unsur-unsur budaya Isan ke dalam musik mereka, tetapi secara keseluruhan mereka lebih memiliki orientasi pada kesuksesaan dalam ranah industri musik Thailand secara umum, dengan turut menulis lagu-lagu berformat kebudayaan Thailand pusat yang relatif mapan.
Namun, menjelang akhir tahun 1960-an, tampaknya ada upaya bersama oleh beberapa penulis lagu dan pemain untuk menciptakan varian Isan dari luk thung. Tokoh-tokoh utama dalam kelahiran subgenre baru ini adalah Surin Phaksiri, Saksayam Phetchomphu, Thepphon Phetubon, dan Dao Bandon.
Subgenre luk thung Isan dimulai dengan lagu karangan Surin berjudul “Isan lamphloen” yang ditulis untuk film Bua Lamphu (1971) dan dibawakan oleh aktris dan penyanyi kelahiran Isan, Angkanang Khunachai. Keberhasilan lagu ini membuat Surin bersama temannya Phongsak Chantharukkha, memberanikan diri untuk memulai program radio yang menampilkan lagu-lagu molam yang dibawakan oleh artis seperti Ken Dalao, Bunpheng Faiphiuchai, dan Khampun Fungsuk, serta menampilkan lagu luk thung bercita rasa Isan.Program tersebut sangat populer sehingga stasiun tersebut segera menyiarkan musik Isan selama dua puluh empat jam sehari, dan kaset acara tersebut didistribusikan ke jaringan radio timur laut.
Baik alat musik tradisional khaen (organ mulut buluh dari Lao) maupun phin (kecapi tiga senar dari Lao) seringkali ditemukan dalam gaya musik luk thung modern. Popularitas alat musik ini saat ini dapat ditelusuri kembali masing-masing ke Samai Onwong dan Nophadon Duangphon. Samai, lahir di Phetchaburi tetapi keturunan Isan, membentuk sebuah grup musik bernama Samai Silapin pada tahun 1957 dan mulai mengeluarkan rekaman pada tahun 1966. Grup musik luk thung miliknya merupakan pelopor karena menggunakan khaen sebagai instrumen melodi dan harmoni dalam aransemen homofonik.
Jika pada dekade 60’an perkembangan luk thung ditandai dengan banyaknya penyanyi yang berasal dari kalangan Lao-Isan, perkembangan luk thung pada dekade 70’an ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan musik luk thung yang dibawakan dalam format grup. Pada saat itu grup musik yang paling populer adalah yang dipimpin oleh Sayan Sanya, yang berhasil keluar dari ekor bayang-bayang Phongsri Woranut yang legendaris.
Namun, pada tahun 1973 popularitas Sayan disaingi oleh grup musik luk thung Isan dari Saksayam, yang namanya dicetuskan oleh Surin Phaksiri. Sayan dan Saksayam bergabung untuk tampil di panggung tinju Lumphini dan sekaligus menjadi pertunjukkan terlaris Luk Thung. Surin mempromosikan pertunjukan mereka dengan nama “Luk thung Isan patha luk thung phak klang” (Kompetisi antara lagu daerah Thailand timur laut dan tengah), dan Saksayam kemudian dikenal dengan sebutan “Khunphon phlengluk thung haeng khwaen daen Isan” {Jenius Luk Thung dari Daerah Isan).
Saksayam mencapai puncak ketenarannya dari tahun 1974 hingga 1976, ketika bandnya terkenal karena produksi mewahnya, yang menampilkan banyak rombongan gadis penari, instrumen yang diperkuat, serta sistem suara dan pencahayaan yang besar. Penampil utama Isan lainnya dari tahun 1970-an termasuk Dao Bandon (lahir di Yasothon), yang juga memulai kariernya di grup musik Saksayam, dan Sonchai Mekwichian serta Saengsuri Rungrot, keduanya lahir di Nakhon Ratchasima.
Sang Imigran Bintang
Salah satu faktor kemunculan tiba-tiba bintang penyanyi Isan pada era ini adalah penarikan pasukan Amerika secara bertahap dari Thailand yang terjadi antara 1972-74. Banyak musisi Isan yang pernah bertugas di pangkalan Amerika terpaksa kembali ke dunia musik lokal, dan dengan begitu mereka mencampur musik rock dengan molam.
Surin membangun ketenaran dari karakter radio yang ia ciptakan sendiri, Thitso Sutsanaen, dan menamai grup ciptaanya, Thitso Lam Phloen, yang menjadi semacam grup Isan all-stars. Grup tersebut menampilkan murid-murid Surin: Santi Sammat, Phairin Phonphibun, Sonthaya Kalasin, dan Rungnakhon Phonamnat. Thinakon Thiphamat ditugaskan sebagai penyiar, Sanya Chulaphon di ruang tiket, dan Phongsak Chantharukkha sebagai manajer.
Pada tahun 1977, band tersebut tampil selama lima hari lima malam di pekan raya Phuttha Phisek, mengalahkan rekor sebelumnya dari penyanyi Phloen Phromdaen. Pada tahun 1984, grup tersebut bubar, dan pasca-pemberontakan (sekitar tahun 1980-83) mereda, Surin kembali mengabdikan dirinya untuk menulis lagu.
Menuju Era Anomali
Pada awal 1980-an, konsolidasi terjadi dalam industri hiburan Thailand. Sebuah jenis musik baru bernama phleng phuea chiwit menjadi primadona untuk musik komersial dan, luk thung tampaknya telah kehilangan pangsa pasar, meski tidak ada statistik dan data yang menunjukkan penurunan tersebut. Pemain label baru seperti R.S. Promotion (sekarang RS Public Company Limited), yang didirikan oleh Kriengkai Chetchotisak, dan Grammy milik Phaibun Damrongchaitham, lebih tertarik pada bentuk musik pop Thailand yang lebih dimodernisasi daripada luk thung. Pada tahun 1987, Sayan Sanya dan Yodrak Salakchai, harus bubar karena popularitas musik dan gaya penampilan mereka menurun, yang memunculkan masalah finansial.
Phumphuang Duangjan yang lahir di Suphan Buri merupakan pemain musisi paling berpengaruh pada tahun 1980-an. Album dengan format kaset kaset berjudul “Phumphuang Hang noi, thoi nit” yang dirilis pada tahun 1984 dan album bertajuk “Krasae” pada tahun 1985, keduanya menampilkan komposisi dari Wichian Khamcharoen (Lop Burirat), dan mewakili awal dari periode baru luk thung.
Album tersebut menampilkan perpaduan musik luk thung dengan gaya musik yang lebih modern semacam pop kontemporer dan rock, serta memiliki keterbukaan terhadap lagu-lagu daerah. Kematian tragis Phumphuang pada usia tiga puluh tahun akibat stroke yang disebabkan oleh lupus semakin merangsang minat pada luk thung dan memperkuat posisi Suphan Buri sebagai tanah kelahiran bersifat spiritual yang melahirkan perpaduan genre tersebut.
Cahaya Luk Thung Dalam Kegelapan Krisis 90’an
Selama mengalami masa ekonomi yang pesat pada tahun 1990-an, popularitas luk thung menurun. Rekaman-rekaman import musik luar yang berasal dari Barat dan Jepang telah berhasil mendisrupsi popularitas musik luk thung di masyarakat. Namun ironisnya, masa kelam luk thung justru berakhir ketika Thailand diterpa oleh peristiwa krisis ekonomi Asia yang terjadi pada tahun 1997.
Sama halnya dengan masyarakat Jepang yang merubah paradigma dan pandangan kehidupan kosmopolitan yang awalnya menjadi optimistik menjadi pesimistik, karena krisis yang telah melahirkan banyak dampak buruk, warga Thailand mengalami pergeseran paradigma serupa.
Jika masyarakat Jepang akhirnya meninggalkan gaya musik pop perkotaan mereka, karena gembar-gembor keglamoran kehidupan perkotaan yang cemerlang sudah tidak lagi relevan, masyarakat Thailand akhirnya justru memandang luk thung sebagai sebuah bentuk seni Thailand autentik yang mengembalikan romantisme kehidupan pedesaan, yang sederhana, asri, dimana menjadi sebuah representasi kondisi kehidupan awal masyarakat Thailand, yang kini mereka rindukan, atas upaya kontemplasi dalam memandang kekecewaan terhadap keretakan kehidupan perkotaan yang tercoreng oleh krisis.
Gelombang nostalgia ini disertai dengan asimilasi pengaruh thansamai (modern) yang berkelanjutan ke dalam luk thung, sehingga daya tarik genre tersebut meluas dan statusnya meningkat. Tempat kelahiran bintang luk thung terbesar sejak 1997 berasal dari kota-kota besar Isan. Dari kota Nakhon Ratchasima lahirlah nama musisi seperti Sunari Ratchasima, Kot Jakrapan, dan Takadaen Chonlada, dari Khon Kaen melahirkan nama: Phi Sadoet dan Mangpor Chonticha, dari Udon Thani melahirkan nama Mike Phiramphon dan Fon Thanasunthon, dari Buri Ram melahirkan nama YingliSichumphon, dari Ubon Ratchathani melahirkan nama Tai Orathai, dari Yasothon melahirkan nama Phai Phongsathon dan Monkhaen Kaenkhun, dari Mukdahan melahirkan nama Monsit Khamsoi, dan dari Si Sa Ket melahirkan nama Yingyong Yotbua-ngam. Musik tradisional Thailand, molam turut berubah menjadi sebuah komoditas yang komersil melalui upaya dari artist lintas arah seperti Jintara Phunlap (Roi Et), Phonsak Songsaeng (Khon Kaen), Noknoi Uraiphon (Si Sa Ket), dan Siriphon Amphaiphong (Udon Thani).
GMM Grammy, pada periode 80’an mengabaikan luk thung, akan tetapi pada tahun-taun, dimana luk thung kembali berjaya, mereka telah memulai anak perusahaan yang berdedikasi untuk rilisan luk thung dengan nama anak perusahaan, Grammy Gold. Pada tahun 2000, Grammy Gold mengklaim bahwa album kelima Mike Phiramphon, berjudul “Yachai konchon”, terjual lebih dari satu juta kaset.
Bersambung ke Bagian III
Referensi
- Amporn, Jirattikorn. “Lukthung: Authenticity and Modernity in Thai Country Music.” Asian Music yy, no. 1 (2006): 24-50.
- Baker, Chris, dan Pasuk Phongpaichit. A History of Thailand. 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2014: 104-117, 120-121, 134-147, 270-281
- Miller, Terry E. “From Country Hick to Rural Hip: A New Identity through Music for Northeast Thailand.” Asian Music 36, no. 2 (2005): 96-106.
- McCargo, Duncan, and Krisadawan Hongladarom. “Contesting Isan-ness: Discourses of Politics and Identity in Northeast Thailand.” Asian Ethnicity 5, no. 2 (2004): 219-34.
- Mitchell, James Leonard. Luk Thung: The Culture and Politics of Thailand’s Most Popular Music. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2015: 7-42, 134-139, 157-168, 173.
- Barme, Scot. Luang Wichit Wathakan and the Creation of a Thai Identity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993.
- Collier, Simon, and Ken Haas. Tango! The Dance, the Song, the Story. New York: Thames and Hudson, 1995.
- Connell, John, and Chris Gibson. Sound Tracks: Popular Music, Identity, and Place. London and New York: Routledge, 2002.
- Jaiser, Gerhard. Thai Popular Music. Bangkok: White Lotus Press, 2012.
- Lockard, Craig A. Dance of Life: Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1998.
- Manuel, Peter Lamarche. Popular Musics of the Non-Western World: An Introductory Survey. New York: Oxford University Press, 1988.
- Martin, Peter J. Sounds and Society: Themes in the Sociology of Music. Manchester: Manchester University Press, 1995.
- Reynolds, Craig J. National Identity and Its Defenders: Thailand Today. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2002.
- Shohat, Ella, and Robert Stam. Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the Media. New York: Routledge, 1994.
- Lamnao, Eamsa-ard. “Thai Popular Music: The Representation of National Identities and Ideologies within a Culture in Transition.” PhD diss., Edith Cowan University, 2006.
- Kanokrat, Lertchoosakul. “The Rise of the Octobrists: Power and Conflict among Former Left Wing Student Activists in Contemporary Thai Politics.” PhD diss., London School of Economics and Political Science, 2012.
- Clewley, John. “Thailand’s Quiet Coup: How Music Helped Oust Square Face.” Songlines, no. 41 (2007): 42-43.
- Kitchana, Lersakvanitchakul. “Country Cult and Culture.” The Nation (Bangkok), April 23, 2010. http://www.nationmultimedia.com/home/201o/04/23/life/Country-cult-and-culture-30127716.html.
- “Miss Universe Thailand Sparks Uproar.” Bangkok Post, May 20, 2014. http://www.bangkokpost.com/news/local/410577/miss-universe-thailand-sparks-uproar.
- Ash, Lucy. “Crossing Continents: Thailand’s Red-Shirts 23 Apr 09.” Crossing Continents. BBC Radio 4, 2009. http://www.bbc.co.uk/programmes/b00k3t4j.
- “Blacklist Cut Down to 3 Songs.” The Nation (Bangkok), 2003. Accessed February 12, 2009. http://www.thailandqa.com/forum/showthread.php?t=2o62.
- Condie, Bill. “Thailand’s Culture Police Turn an Opera into a Censorship Drama.” The Guardian (London), November 26, 2006. http://www.guardian.co.uk/music/20o6/nov/26/classicalmusicandopera.
- “Lao Protests Knock Drama off Thai TV.” The Nation (Bangkok), February 14, 2007. http://www.newsmekong.org/lao_protests_knock_drama_off_thai_tv.