FEATUREDFeaturesFolkLuk ThungPhleng Thai ChiwitPhleng Thai SakonRamwong

Lebih Dekat Dengan Luk Thung – Politisasi Dalam Musik – Bagian I

Setelah melewati masa cengkraman pemerintahan monarki absolut melalui aksi revolusi yang dimotori oleh gerakan Partai Rakyat, pemerintahan Thailand (saat itu bernama Siam), dijalankan oleh sistem monarki konstitusi. Seluruh kebijakan dan pembuat keputusan tidak sepenuhnya lagi berada di tangan raja, melainkan kewenangan raja dibatasi oleh konstitusi dan undang-undang. 

Pada saat bersamaan, gerakan Partai Rakyat terbagi menjadi 2 kubu, kubu pertama diwakili oleh kubu sipil dan intelektual yang diketuai oleh seorang intelektual bernama Pridi Banomyong, sedangkan kubu kedua diwakili oleh perwira Plaek Phibunsongkhram (dikenal Phibun) yang berasal dari kalangan militer. Kedua kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda tentang peran dan tujuan negara yang telah mereka rebut dari cengkeraman kaum royalis.

Pemikiran Pridi terbentuk dari mazhab dan tradisi liberal Perancis dengan sedikit sentuhan sosialisme Eropa. Bagi Pridi, peran negara adalah menyediakan kerangka kerja yang di dalamnya individu dapat ‘berkembang hingga kemampuan maksimal mereka’. Pridi menarik dukungan di antara para pengusaha, pemimpin buruh, dan politisi daerah yang memiliki harapan tinggi terhadap negara yang lebih liberal. 

Sebaliknya, Phibun dan kelompok militer cenderung melihat negara sebagai ekspresi keinginan rakyat, dengan tugas untuk mengubah individu melalui pendidikan, undang-undang, dan manajemen budaya. Meskipun ada perbedaan paham, pada awalnya kedua kelompok tersebut bekerja sama dengan cukup baik, karena takut terhadap kontra-revolusi royalis.

Pemerintahan yang Baru

Luk-Thung-Plaek-Phibunsongkhram

Phibun kemudian diangkat menjadi perdana Menteri, dan dengan posisi sistem pemerintahan yang baru, dia memiliki posisi kekuasaan lebih tinggi sebagai bagai badan eksekutif dibandingkan dengan Raja. Secara perlahan, Phibun membawa pemerintahan Siam menuju gaya militeristik. Wacana untuk mensejahterakan rakyat ala Phibun yang menitikberatkan pada undang-undang, pendidikan, dan manajemen budaya dijalankan secara otoriter. 

Tidak ada kebijakan yang signifikan dalam sektoral Ekonomi, bahkan Phibun cenderung mempertahankan “tradisi lama” dengan mementingkan kepentingan asing, yang membuat beberapa pengusaha lokal simpatisan gerakan Partai Rakyat merasa kecewa. 

Sistem kelas masih melekat dalam masyarakat, dan sebagian besar dihuni oleh buruh dan petani. Akhirnya, seringkali kehidupan rural dan pedesaan para petani tercurah dalam jenis musik Siam bernama Phleng Thai sakon. Para sejarawan menilai Phleng Thai Sakon sebagai satu dari 3 jenis musik yang nantinya menjadi cikal-bakal lahirnya jenis musik luk thung di dekade 50’an. Meski datang dari musik rakyat Siam yang sepenuhnya berbasis keseharian para petani dan kehidupan pedesaan, namun musik Phleng Thai Sakon banyak terpengaruh oleh gaya musik Barat.

Kemunculan Phleng Thai Sakon Sebagai Representasi Kehidupan Rural Siam

Phleng thai sakon tumbuh sekitar akhir dekade 30’an dan bukan budaya yang pertama dalam memasukkan unsur budaya barat ke dalam kesenian Siam terutama dalam bidang musik. Hal ini bisa dilihat secara kilas balik ketika masa pemerintahan Raja Mongkut yang memerintah tahun 1851 – 1868. 

Saat itu, Raja mengizinkan lakhon (drama) kerajaan dipentaskan di luar istana oleh kelompok-kelompok swasta. Penasihat militer asing, seperti Jacob Feit dari Amerika memperkenalkan kelompok musik tiup logam, dan panggung disiapkan untuk menampilkan pertunjukkan campuran antara lakhon dan musik mars serta tari Barat. Hal itu yang akhirnya turut mendorong, musik-musik berformat klasik dan tradisional Siam seperti Khrueang Sai dan Piphat mulai mengadopsi tangga nada barat maupun alat musik barat. 

Namun dalam masa pemerintahan militeristik Phibun, upaya modernisasi semakin gencar dan dipercepat. Merasa kekuasaan dan gerak-geriknya semakin terbatas, Raja Prajadhipok (Rama VII) akhirnya mundur dari jabatan 2 Maret 1935 dan posisinya digantikan oleh Ananda Mahidol (Rama VIII), yang saat itu masih berusia 9 tahun!

Perubahan Nama Siam Menjadi Thailand & Mandat Budaya

Luk-Thung-Luang-Wichit-Wathakan

1939, Phibun merubah nama Siam menjadi Thailand dan 3 tahun setelahnya, dia mengeluarkan dua belas mandat budaya, dimana dalam mandat tersebut, Phibun memerintahkan agar orang Thailand meningkatkan literasi diri dengan mendengarkan berita radio, hiburan, dan seni. Phibun bekerjasama dengan Luang Wichit Wathakan dari kepala Departemen Seni Rupa, keduanya menggunakan gaya lagu barat sebagai alat hegemonik dan propaganda untuk menyemarakan semangat Nasionalisme.

Departemen Seni Rupa, Wichit Wathakan memberlakukan pembatasan ketat pada lakhon, kesenian, dan permainan alat musik dawai Thailand. Tidak hanya itu saja, bahkan Departemen Seni juga mengawasi dan membatasi pemilihan jenis suara dan melodi agar lagu-lagu menyuarakan semangat modernisasi dengan membawa pengaruh musik-musik dari barat. 

Alasan Phibut dan Wichita melakukan modernisasi terhadap kultur dan kebudayaan populer, karena dia ingin menghapus warisan kebudayaan dan kesenian serba feodalistik dan nasionalisme kuno yang berasal dari pemerintahan sebelumnya, menuju budaya Thailand nasional yang lebih modern. 

Penetrasi Phleng Thai Sakon & Sebagai Alat Hegemonik Propaganda

Akibat kebijakan ini, musik phleng thai sakon mulai memasuki ranah industri Film, dan sekaligus digunakan pemerintah sebagai alat propaganda untuk menyuarakan semangat nasionalisme. Bahkan Uea Sunthonsanan, seorang  penyanyi sekaligus pemimpin regu ensembel terkenal di Thailand bernama Suntharaphon, turut bergabung dalam departemen hubungan masyarakat pemerintah, dan menyalurkan ide-ide dan propaganda nasionalisme melalui musik mereka. Jejak itu turut diikuti oleh rekan se-grupnya, Sompong Thipayakarin dan seorang komposer bernama Thanit Ponprasert yang sering mengaransemen perpaduan musik klasik Thailand dan Barat bertemakan nasionalisme.

Pada titik ini, pemerintah berhasil merubah (lebih tepatnya merampas) kebudayaan musik phleng thai sakon sebagai representasi dari saksi hidup kehidupan masyarakat bawah, menjadi alat hegemoni untuk memaksakan dan mendoktrin masyarakat agar patuh sepenuhnya pada pemerintah dan menyembunyikannya di balik label kata “nasionalisme”. Tidak berhenti sampai di situ, departemen seni yang diawasi langsung oleh pemerintah menciptakan seni buatannya sendiri bernama Ramwong. 

Kebudayaan Sintetis Ciptaan Pemerintah

Sama halnya dengan phleng thai sakon, Ramwong merupakan jenis seni tarian dan musik propaganda yang dialiri oleh pengaruh kebudayaan Barat. Tentu dengan predikatnya sebagai musik tarian, Ramwong memiliki tempo dan irama lebih cepat nan bersemangat dibandingkan Phang Tai Sakon, serta menciptakan formasi tarian khusus, dimana pria dan wanita menari dalam sebuah lingkaran. 

Selain itu, Ramwong mengadopsi alat-alat musik elektrik dan sekaligus menjadi jenis musik ke-2 yang nantinya memberikan pengaruh terhadap perkembangan musik luk thung dari sudut elektrifikasi instrumen. Musik Ramwong muncul pada tahun 1944, ketika masa perang dunia II berlangsung, Phibun memperkenalkan jenis musik Ramwong untuk bersaing dengan kebudayaan musik dan tarian populer Barat seperti foxtrot, waltz, dan lainnya.

Thailand, Jepang, Sekutu, & Perang Dunia ke-2

Images by : Warfarer History Network

Selama periode perang dunia ke-2, Thailand menjalin relasi geo-politik yang pelik antara sekutu maupun negara penentang sekutu. Pada masa periode awal peperangan, Thailand yang dikomandoi oleh Phibun menjalin hubungan erat dengan negara Jepang. Keduanya telah memiliki hubungan akrab sejak dekade 30’an, namun tujuan awal Thailand menjalin hubungan dengan Jepang, agar mereka terhindar dari konflik dan kepentingan negara-negara yang sedang berperang. 

Pada 1941, Jepang melancarkan invasi ke Prancis dan Indochina, Phibun memanfaatkan momentum ini dengan mengirim pasukan untuk merebut tanah kamboja yang sedang dikuasai Perancis saat itu. Secara sepihak, Phibun mengklaim kemenangan, mengadakan parade, dan membangun sebuah monumen sebagai simbol untuk kemenangannya. Jepang turun tangan menengahi perjanjian yang menyerahkan dua wilayah kepada Thailand.

Sejak saat itu Phibun mendorong Thailand agar mereka berperan sebagai mitra Jepang dalam membersihkan Asia dari kolonialisme Barat. Wichit, yang diangkat menjadi menteri luar negeri, bermimpi untuk ‘membuat negara Thailand dan Jepang menjadi pusat kebudayaan Asia Timur. 

Namun fakta yang terjadi justru sebaliknya, Jepang memperlakukan Thailand sebagai negara bawahan, memandang rendah derajat rakyat Thailand, dan menghancurkan ekonominya demi keperluan perang. Memasuki 1943, menyadari Jepang semakin terdesak, para pemimpin Thailand mulai merenggangkan hubungan dengan Jepang. 

Perdana Menteri Jepang mencoba memperbaiki hubungan dengan mengunjungi Bangkok dan mengakui kendali Thailand atas wilayah Melayu dan Shan. Namun, Phibun menolak menghadiri Konferensi Asia Timur Raya di Tokyo dan diam-diam menghubungi Sekutu melalui Tiongkok, bahkan Phibun menyewa intelijen dan memberikan informasi dan rencana Jepang, agar Thailand beserta Sekutu dapat menyusun rencana melawan Jepang.

Setelah invasi Jepang, pemimpin gerakan partai rakyat sipil, Pridi, dikeluarkan dari kabinet dan menjadi bupati. Tidak terima, Pridi mulai mengorganisir sebuah kelompok perlawanan yang menghubungi Sekutu melalui Tiongkok pada 1943. Kelompok perlawanan lainnya juga terbentuk di Amerika dan Inggris, dipimpin oleh Seni Pramoj, duta besar untuk Amerika. Pada awal 1944, kedua kelompok ini bergabung membentuk sebuah gerakan bernama Seri Thai (Thailand Merdeka), yang mengorganisir perlawanan dengan dukungan dari kelompok penyamaran Pridi. Tetapi secara diam-diam, pemerintahan Phibun juga memutuskan untuk melawan Jepang

Pada Juli 1944, kelompok Pridi mampu menggulingkan kelompok Phibun dalam hal  memfasilitasi negosiasi dengan Sekutu dan menghindari diperlakukan sebagai musuh. Seri Thai berencana melancarkan pemberontakan terhadap Jepang, namun Sekutu mencegahnya, hanya ada beberapa operasi sabotase yang berhasil sebelum perang berakhir. 

Inggris ingin menghukum Thailand, terutama untuk mengamankan pasokan beras, sementara Amerika menentang pengaruh kolonial Inggris dan menyatakan Thailand akan diperlakukan sebagai negara yang diduduki musuh. Untuk mendukung Amerika, Pridi mengundang Seni Pramoj kembali dari Amerika, menjadi perdana menteri dan memimpin negosiasi perdamaian. Akhirnya, Inggris puas dengan kompensasi beras, dan Amerika memastikan perbatasan Thailand dikembalikan ke posisi semula.

Meskipun Sekutu dan gerakan Seri Thai telah sepakat menjalin kerja sama untuk melawan jepang, namun pihak Sekutu tidak sepenuhnya mempercayai Thailand, terutama karena pemerintah resmi Thailand, di bawah Phibun, masih menjadi sekutu Jepang secara de jure. Thailand dianggap oleh Sekutu sebagai bagian dari blok Poros, sehingga infrastruktur strategis seperti jalur kereta api, pelabuhan, dan fasilitas militer yang dibangun dan digunakan Jepang di Thailand menjadi target penghancuran Sekutu.

5 April 1945 pihak Sekutu mengirimkan sekitar 4.000 bom ke wilayah Bangkok yang sekaligus merupakan bagian dari kampanye militer Sekutu untuk melemahkan kekuasaan Jepang di Thailand. Keputusan strategis Sekutu seringkali mengutamakan kepentingan militer daripada pertimbangan politik lokal. Akibat serangan ini, sekitar 60% penduduk dievakuasi. 

Jatuh & Kembalinya Kediktatoran Thailand

Luk-Thung-Pridi -Banomyong

Perang Dunia kedua menciptakan ekonomi perang dengan keterlibatan pemerintah yang lebih dalam, memengaruhi lebih banyak penduduk melalui fluktuasi ekonomi. Bahkan setelah melewati masa perang dunia ke-2, tidak serta merta membuat ekonomi Thailand stabil dan membaik. Sebaliknya, Thailand mulai merasakan dampak dan krisis ekonomi atas konsekuensi mereka keterlibatan dalam perang. 

Sektor perekonomian Thailand dapat dikatakan hancur pasca perang dunia ke-2, akibat selalu memenuhi tuntutan Jepang.  ‘Pinjaman’ paksa Jepang telah melemahkan mata uang dan memicu inflasi bagi Thailand lebih dari 1000 persen sejak 1938. Banyak pejabat, yang gajinya tidak sesuai, tergoda untuk hidup dari korupsi. Dengan terganggunya perdagangan, barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka.

Krisis ekonomi pasca-perang menyebabkan tekanan massa dan mobilisasi politik massa. Selain itu, perang membawa Thailand lebih dalam ke dalam politik internasional yang kompleks, melibatkan Jepang, Tiongkok, dan kekuatan barat, terutama AS. 

Jatuhnya Phibun pada akhir tahun 1944 mendorong Pridi kembali menjadi pusat perhatian. Ia kembali ke tugasnya untuk mendirikan demokrasi melalui rekayasa konstitusional, mengawasi pengesahan konstitusi pada tahun 1946, yang akhirnya menciptakan badan legislatif yang sepenuhnya dipilih.

Sisa-sisa sayap sipil Partai Rakyat, dan rekrutan baru-baru ini untuk perlawanan Seri Thai, membentuk partai politik untuk mendukungnya. Ia mulai membersihkan tentara dari Militeris Phibun, dan untuk membatasi keterlibatan militer dalam politik melalui undang-undang.

Namun kekuasaan Pridi tidak bertahan lama, Phibun kembali memerintah dan menggulingkan pemerintahan Pridi. Adanya dukungan gerakan militeristik yang saat itu masih mendominasi di Thailand, Sekutu yang melancarkan gerakan anti-komunisme dan peristiwa tuduhan pembunuhan misterius sang Raja Ananda Mahidol (Rama VIII) menjadi faktor utama kembalinya Phibun pada singgasana. 

Phleng Ciwit Muncul Sebagai Wujud Keprihatinan

Sejak akhir tahun 1950, pemerintah mulai mengganggu pers, mendeportasi warga Tionghoa yang terlibat dalam aktivitas politik, menghancurkan organisasi buruh, dan menggunakan militer dan Sangha untuk propaganda antikomunis. Atas respon ketidakstabilan politik dan krisis Ekonomi yang turut melanda Thailand, muncul turunan jenis musik baru yang berakar dari Phleng Thai Sakon, yakni Phleng Ciwit yang terkadang dikenal sebagai Phleng Talat (lagu pasar), dan Phleng Phudi (lagu orang baik)

Phleng Ciwit disebut juga sebagai lagu kehidupan, atau sebuah lagu dengan tema-tema yang merefleksikan kehidupan masyarakat pedesaan Thailand saat itu. Bahkan beberapa penulis lagu Phleng Ciwit seperti Saengnapha Bunrasri, Saneh Komarachun, Chalor Traitrongson, dan Phaibun Butkhan dengan berani menulis lirik lagu yang berisi kecaman eksploitasi petani yang dilakukan pemerintah dan sebagai lagu yang menunjukkan keberpihakan pada kelas rakyat jelata, dan berupaya untuk menjatuhkan pemerintahan Phibun.

Phleng Ciwit menjadi jenis lagu ke-3 yang dianggap menjadi cetak biru bagi lahirnya pergerakan musik luk thung. Bahkan selama kemunculan dan kiprah yang terjadi pada sepanjang dekade 50’an, Phleng Ciwit dianggap menjadi jenis musik yang paling mendekati dan representatif dengan jenis musik luk thung. Pertama, secara segi liris dan tema lagu, Phleng Ciwit menitikberatkan pada kehidupan pedesaan, rural, yang dikaitkan dengan keadaan sosial-ekonomi kelas bawah, dimana itu terinspirasi dari musik Phleng Thai Sakon.

Kedua, Phleng Ciwit memadukan alat musik tradisional khas Thailand seperti khaen, dengan alat musik modern seperti drum dan gitar, yang terinspirasi dari musik Ramwong. Apropriasi seni yang sekaligus menjadi cerminan kehidupan masyarakat menjadi basis musik luk thung, namun dikarenakan pada dekade 50’an istilah “luk thung” belum dikemukakan dan beredar, maka untuk sepanjang dekade 50’an, Phleng Ciwit dapat dikatakan cetak biru untuk musik luk thung pada era tersebut. 

Bersambung Ke Bagian II

Referensi 

  • Amporn, Jirattikorn. “Lukthung: Authenticity and Modernity in Thai Country Music.” Asian Music yy, no. 1 (2006): 24-50.
  • Baker, Chris, dan Pasuk Phongpaichit. A History of Thailand. 3rd ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2014: 104-117, 120-121, 134-147, 270-281
  • Miller, Terry E. “From Country Hick to Rural Hip: A New Identity through Music for Northeast Thailand.” Asian Music 36, no. 2 (2005): 96-106.
  • McCargo, Duncan, and Krisadawan Hongladarom. “Contesting Isan-ness: Discourses of Politics and Identity in Northeast Thailand.” Asian Ethnicity 5, no. 2 (2004): 219-34.
  • Mitchell, James Leonard. Luk Thung: The Culture and Politics of Thailand’s Most Popular Music. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2015: 7-42, 134-139, 157-168, 173.
  • Barme, Scot. Luang Wichit Wathakan and the Creation of a Thai Identity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1993.
  • Collier, Simon, and Ken Haas. Tango! The Dance, the Song, the Story. New York: Thames and Hudson, 1995.
  • Connell, John, and Chris Gibson. Sound Tracks: Popular Music, Identity, and Place. London and New York: Routledge, 2002.
  • Jaiser, Gerhard. Thai Popular Music. Bangkok: White Lotus Press, 2012.
  • Lockard, Craig A. Dance of Life: Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1998.
  • Manuel, Peter Lamarche. Popular Musics of the Non-Western World: An Introductory Survey. New York: Oxford University Press, 1988.
  • Martin, Peter J. Sounds and Society: Themes in the Sociology of Music. Manchester: Manchester University Press, 1995.
  • Reynolds, Craig J. National Identity and Its Defenders: Thailand Today. Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2002.
  • Shohat, Ella, and Robert Stam. Unthinking Eurocentrism: Multiculturalism and the Media. New York: Routledge, 1994.
  • Lamnao, Eamsa-ard. “Thai Popular Music: The Representation of National Identities and Ideologies within a Culture in Transition.” PhD diss., Edith Cowan University, 2006.
  • Kanokrat, Lertchoosakul. “The Rise of the Octobrists: Power and Conflict among Former Left Wing Student Activists in Contemporary Thai Politics.” PhD diss., London School of Economics and Political Science, 2012.
  • Clewley, John. “Thailand’s Quiet Coup: How Music Helped Oust Square Face.” Songlines, no. 41 (2007): 42-43.
  • Kitchana, Lersakvanitchakul. “Country Cult and Culture.” The Nation (Bangkok), April 23, 2010. http://www.nationmultimedia.com/home/201o/04/23/life/Country-cult-and-culture-30127716.html.
  • “Miss Universe Thailand Sparks Uproar.” Bangkok Post, May 20, 2014. http://www.bangkokpost.com/news/local/410577/miss-universe-thailand-sparks-uproar.
  • Ash, Lucy. “Crossing Continents: Thailand’s Red-Shirts 23 Apr 09.” Crossing Continents. BBC Radio 4, 2009. http://www.bbc.co.uk/programmes/b00k3t4j.
  • “Blacklist Cut Down to 3 Songs.” The Nation (Bangkok), 2003. Accessed February 12, 2009. http://www.thailandqa.com/forum/showthread.php?t=2o62.
  • Condie, Bill. “Thailand’s Culture Police Turn an Opera into a Censorship Drama.” The Guardian (London), November 26, 2006. http://www.guardian.co.uk/music/20o6/nov/26/classicalmusicandopera.
  • “Lao Protests Knock Drama off Thai TV.” The Nation (Bangkok), February 14, 2007. http://www.newsmekong.org/lao_protests_knock_drama_off_thai_tv.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link