EDMElectronicFeaturesGabber

Lebih Dekat Dengan Kultur Remaja Belanda 90’An

Peranan badut kerajaan yang akrab dengan sebutan jester seringkali diremehkan dan didiskreditkan hanya sebatas penghibur untuk kaum bangsawan dan keluarga kerajaan. Padahal dalam setiap tingkah dan guyonannya tersirat sebuah pesan sebagai tanda kewaspadaan untuk segera disadari oleh penguasa.

Menggunakan satir sebagai senjata, seorang jester mengangkat isu dan masalah yang melanda di tengah masyarakat (seperti kekeringan, pembayaran pajak dan upeti terlalu tinggi, keamanan yang rentan) agar sampai pada telinga penguasa. 

Jester memang secara sengaja ditunjuk sebagai informan kerajaan dan dia dibebaskan untuk mencaci dan mencemooh keputusan penguasa tanpa harus takut di hukum. Kendati demikian sedari awal secara bawah sadar, jester telah menunjukan sikap untuk tidak selalu pro terhadap setiap kebijakan yang dibuat penguasa.

Dia terkadang menjelma dari sekedar penghibur menjadi seorang devil advocate untuk memperlihatkan sikap kontrarian. Kisah jester dan penguasa adalah sekelumit sejarah bagaimana seni memiliki latar belakang histori yang terkadang tidak hanya dijadikan sebagai sarana hiburan semata, tetapi sebagai wadah aspirasi untuk menampung pikiran-pikiran alternatif yang diselundupkan untuk menggoyahkan pemikiran dan ketetapan status quo. 

Gabber Lahir Dari Keresahan & Persaudaraan Remaja Rotterdam

Gabber-Rotterdam-90's

Seiring perkembangan dan revolusi zaman, keberadaan seni mungkin semakin jauh dari domain kekuasaan, tetapi perannya sama sekali tidak bergeser. Bahkan hingga saat ini, seni tidak hanya memiliki pandangan kontrarian, akan tetapi berani mengambil sikap secara tegas untuk menunjukan sikap oposisi absolut pada pemerintahan. Semangat ini yang kemudian mengilhami salah satu gerakan musik elektronik bawah tanah di Belanda, yang akrab dengan istilah gabber.    

Ada 2 hal yang membuat mereka terusik dan tergerak untuk melayangkan protes dan resistensi melalui adegan musik elektronik. Pertama, para kaum muda yang tidak tinggal di ibu kota (terutama kawasan kota Rotterdam) menentang kemapanan dan kehidupan serba kapitalistik yang ada di Ibu Kota Amsterdam.

Menjadikan sebuah variabel tokoh-tokoh klasik yang lengkap untuk menceritakan perlawanan menggunakan teorema klasik pertentangan kelas ala Marxisme, dimana para pejuang kaum muda diibaratkan sebagai kaum proletar dan institusi maupun orang-orang yang tinggal di ibu kota adalah subjek tuan tanah yang mereka lawan. 

Kedua, kemunculan gabber didasari dengan adanya pertentangan artistik. Pada awal 1990-an, DJ, pecinta musik, maupun anak-anak muda Rotterdam, menganggap pergerakan musik acid house Amsterdam sebagai gerakan musik yang tendensius dan elitis. Mereka merasa bahwa musik acid house di Amsterdam bersifat eksklusif hanya untuk dinikmati oleh mereka yang berada dalam golongan kelas menengah ke atas.

Akibatnya, para DJ di Rotterdam menaikkan tingkat kecepatan musik hingga di angka sekitar 150-220 BPM, lalu membuat bass menjadi lebih berdistorsi, dan memasukkan beberapa melodi atau sampling-sampling suara yang menjerit. Ide para DJ Rotterdam mengubah bentuk musik elektronik di Belanda kearah yang lebih agresif terinspirasi dari lagu, “We Have Arrived” milik seorang DJ dan musisi asal Frankfurt, Jerman, Marc Acardipane.

Lagu tersebut diklaim sebagai lagu hardcore edm pertama yang pernah dibuat, dan Marc juga dinobatkan sebagai pelopor untuk menciptakan sub-varian techno hardcore, dimana dia yang membuat desain suara musik elektronik terkesan lebih gelap dan bising akan distorsi.

Secara kebetulan anak-anak di Belanda menyukai musik techno agresif dan kemudian para DJ Rotterdam mengadopsi pendekatan itu dan merubahnya menjadi lebih baik sehingga lahirlah gabber. Gabber tidak hanya tumbuh sebagai subgenre musik, lebih dari itu ini justru menjadi sub-kultur pertama yang pernah dimiliki oleh anak-anak dan remaja di Belanda. 

Gabber yang akrab dengan prinsip persahabatan dan persaudaraan, memiliki arti sebagai bahasa gaul, yaitu “saudara”. Kata gabber juga bisa berarti “kawan” jika ditelusuri dalam bahasa Yiddish. Lahir dan besar di Rotterdam, musik gabber kemudian dibawa oleh para supporter fanatik dan hooligan klub sepakbola Rotterdam, Feyenoord yang juga sekaligus menjadi rival abadi dari klub bola asal ibu kota Belanda, Ajax Amsterdam.

Asal-Muasal Musik Gabber

Cikal bakal dan perkembangan dari musik gabber dimulai pada Desember 1989, ketika seorang DJ bernama Rob mengadakan acara konser musik elektronik bawah tanah di Parkzicht pada setiap Jumat Malam. Pada tahun 1992, saat bekerja di konter toko Mid-Town Records di Rotterdam, seorang anak muda lain bernama Paul Elstak mendirikan label hardcore/gabber Belanda pertama, Rotterdam Records. ‘Amsterdam Waar Lech Dat Dan?’ yang terkenal oleh Euromasters adalah rilisan pertamanya, yang ditulis oleh Paul sendiri bersama anggota Holy Noise Rob Fabrie dan Richard van Naamen. Rotterdam Records menjajakan gaya gabber yang murni untuk dibawa dari Rotterdam ke seluruh dunia.

Pada tanggal 4 Desember 1992, DJ Rob dan Paul Elstak bekerja sama menyelenggarakan edisi perdana dari sebuah pertunjukan musik elektronik dengan nama “A Nightmare in Rotterdam” yang berlangsung di Parkzicht. Acara tersebut menampilkan seorang musisi / DJ techno, Holy Noise, serta penampilan lain dari label hardcore/gabber milik Paul  yang baru dibentuk, Rotterdam Records. Edisi Nightmare berikutnya diadakan di Energiehal, aula olahraga dan acara tersebut berhasil menarik perhatian hingga 15.000 pasang mata. 

Acara Energiehal dianggap sebagai ‘tempat sakral” bagi berkumpulnya para pelaku musik gabber di Rotterdam. Dari tahun 1992 hingga bangunan tersebut dihancurkan pada tahun 1999, tempat ini menyelenggarakan pesta dansa besar-besaran setiap bulan, terutama dengan musik latar hardcore / gabber..

Dalam periode waktu yang bersamaan, Antara Juli 1991 dan April 1992, sekelompok pemuda Amsterdam berusia 20 tahun, yang dipimpin oleh Ilja Reiman, mengadakan serangkaian pesta liar ilegal di rumah-rumah kumuh dan gudang-gudang di seluruh kota. Ini adalah awal mula Multigroove sebuah festival musik elektronik bawah tanah pada saat itu. 

Setelah delapan bulan bermain kucing-kucingan dengan polisi, Multigroove akhirnya menetap di sebuah pabrik kacang tua di kawasan industri sebelah barat Amsterdam. Multigroove beroperasi tanpa izin resmi, tetapi alasan utama penggerebekan itu terkait narkoba. Semua pendiri dan DJ yang tampil malam itu ditangkap.

Ilja Reiman dipenjara selama empat minggu dan didenda 1,5 juta gulden, sementara Warehouse Elementenstraat terpaksa tutup untuk selamanya. Dua tahun kemudian, Multigroove bangkit kembali di Hemkade di Zaandam, sekarang sebagai operasi yang sepenuhnya sah.

Dari peristiwa kecelakaan inilah yang justru membuat musik gabber akhirnya sampai berada di kota Amsterdam, jika sebelumnya musik gabber hanya ditemukan dan berkembang di kawasan  Rotterdam. 3 orang teman sekolah, Irfan van Ewijk, Duncan Stutterheim dan Theo Lelie yang saat itu masih berusia 20 tahun, mendirikan sebuah event organizer bernama ID&T. Usaha tersebut secara khusus mulai memproduksi berbagai acara musik dansa dan menjelma menjadi yang terbesar di Belanda pada saat itu. 

Perlawanan Dari Amsterdam

Di bawah naungan ID&T mereka menciptakan sebuah ip atau merek bernama Thundersome, dimana kelak merk tersebut yang memiliki andil untuk memperkenalkan budaya dan musik gabber pada masyarakat yang lebih luas. Ditahun yang sama pada saat ID&T didirikan, tepatnya pada tahun 1992  para DJ Amsterdam yang sempat mengisi acara di Multigrove, Dano, The Prophet, dan Buzz Fuzz membentuk grup DJ gabber/hardcore pertama, bersama dengan Gizmo dari Den Haag dan diberi nama Dreamteam.

Thunderdome pertama diadakan pada hari Sabtu, 3 Oktober 1992, di arena seluncur es Thialf, Friesland. Acara tersebut menarik lebih dari 30.000 orang ke provinsi barat laut Belanda dan Dreamteam menjadi headliner atau penampil andalan dalam acara tersebut.  

Kemudian pada tahun 1993, seseorang bernama Fred Berkhout merilis label bernama Mokum Records. Secara tegas, tujuan Fred mendirikan Mokum Records adalah sebagai respon dari gerakan musik elektronik hardcore / gabber Amsterdam atas didirikannya Rotterdam Records yang diluncurkan setahun lalu.

Ada semacam latar belakang yang dapat menjelaskan mengapa baik Rotterdam maupun Amsterdam memiliki DNA rivalitas yang kuat. Keduanya telah berseteru sejak abad-17 dan kemudian itu diturunkan dalam rivalitas mereka terhadap masing-masing klub bola jagoan mereka,

Rotterdam dengan Feyenoord FC dan Amsterdam dengan Ajax FC. Para hooligan Feyenoord pun pernah membawa musik gabber sebagai chants mereka, yang mana ada kemungkinan secara tidak sadar membuat Amsterdam untuk segera membuat musik tandingannya.

Mokum Records pada awalnya, mendirikan musik gabber yang lebih eksperimental dengan 2 anggota dari Dreamteam yakni DJ Dano dan The Prophet menulis rilisan pertama untuk Mokum dengan nama samaran Vitamin.  

Pada tahun yang sama di pusat konvensi Jaarbeurs, Utrecht Thunderdome menyelenggarakan konser dengan edisi terbesar selama tahun-tahun berdirinya ID&T. Acara tersebut sengaja ditampilkan di daerah netral, Utrecht untuk menghindari rivalitas antara Rotterdam dan Amsterdam yang selalu memanas.

Headliner dari acara tersebut menampilkan The Dreamteam, kemudian duo pelopor gabber Rotterdam, DJ Rob dan Paul Elstak, serta DJ New York Joey Beltram dan Grooverider dari Inggris. Thunderdome mendokumentasikan setiap acaranya, yang kemudian diekspor ke seluruh dunia melalui DVD, dan secara nasional disiarkan melalui acara musik Belanda, TMF Hakkeehhh.

Pada tahun 1993, musik gabber semakin berevolusi ke ranah yang keras dan cepat. Dano menjelaskan melalui suatu acara di televisi bagaimana rekaman yang dibuatnya setahun lalu akan terasa “begitu lambat” untuk dimasukkan dan dimainkan ke dalam set DJ dalam waktu beberapa bulan. 

Paul Elstak mendirikan grup DJ sendiri di Rotterdam tahun 1994, untuk menjawab gebrakan dari The Dreamteam. Dia menamai grupnya dengan sebutan Forze DJ yang menampilkan Paul Elstak, bersama DJ Lars dan DJ Panic. Tetapi tidak lama berselang, Darrien Kelly dan DJ Neophyte kemudian bergabung. Forze Records kemudian diluncurkan pada tahun 1994 sebagai sub-label dari Rotterdam Records.

Lingkungan Refleksi Dari Musikalitas

Ada semacam latar belakang antropologis yang mengikat mengenai daerah atau kota-kota yang dianggap memiliki kehidupan lebih keras, perubahan cuaca ekstrim, dan banyaknya sudut yang gelap cenderung akan menghasilkan karya-karya yang representatif terhadap situasi dan kondisi yang mengitarinya.

Adegan techno di Detroit telah memperlihatkannya ketika, kota yang dulunya dianggap sebagai daerah industrialisasi terbesar kini meninggalkan banyak puing-puing bangunan yang terbengkalai. Kondisi kehidupan yang  dikelilingi oleh besi-besi karatan dan jejak serpihan-serpihan teknologi telah menginspirasi anak-anak muda di sana untuk menciptakan musik techno dengan pemandangan yang lebih suram, serta beat yang terasa statis maupun melodi dengan suara yang minimalis. 

Begitu pula yang terjadi di Berlin, ketika melihat reruntuhan tembok Berlin yang meninggalkan peristiwa suram, telah menggerakan hati anak-anak muda di sana untuk membuat musik hardcore techno yang lebih keras dan agresif, sebagaimana mereka memandang cara bertahan hidup dan kondisi kehidupan di sekitar kota mereka. 

Hal ini diamini oleh salah satu pemilik label rekaman Clone Records, bernama Serge Verschuur pada saat diwawancara oleh electronicbeats. Dia berkata:

“Dalam pikiran saya, ada juga hubungan alami antara kota-kota seperti Rotterdam dan Detroit—serta Berlin. Kota-kota ini dingin, gelap, dan keras, dan bagi saya, hal itu tercermin dalam techno yang dihasilkan kota-kota ini. Selain itu, ketika saya kedatangan seniman dari Detroit yang berkunjung ke Rotterdam, mereka selalu mengatakan bahwa mereka merasa di rumah karena ada begitu banyak orang kulit berwarna di sini. Sangatlah normal untuk tidak berkulit putih di Belanda, dan itu adalah sesuatu yang membuat sebagian besar orang Belanda merasa bangga.”  

Bahkan di Parkzicht, tempat dimana gabber lahir di Rotterdam, para DJ mulai memainkan musik dari Plus 8, Richie Hawtin, dan banyak sekali musik Detroit dengan menggunakan drum mesin 909 dikenal memiliki suara lebih agresif dan bertenaga dibanding TR 808 yang lebih banyak digunakan dalam musik hip-hop

Gabber Lebih Dari Sekedar Musik

Dengan cepat gabber menjelma tidak hanya menjadi komunitas para DJ untuk berkumpul dan memainkan jenis musik yang sama, tetapi telah berubah menjadi semacam sub-kultur atau bahkan bisa dikatakan menjadi kultus. Mereka memiliki basis penggemar berloyalitas tinggi yang berasal dari kaum-kaum muda yang pro terhadap kultur-kultur alternatif. Mereka menciptakan tren penampilan sendiri dengan mencukur habis rambut khusus kaum pria dan memangkas rambut sependek mungkin (untuk kaum perempuan). 

Mereka juga memiliki identitas dress code tersendiri dengan mengenakan sepatu kets Nike Air BW, atau Big Window. Mereka juga mengenakan tampilan pakaian serba olahraga untuk tujuan praktis: agar mereka bebas menari dan berkeringat di sepanjang acara pesta dansa. Mereka juga memiliki tarian eksklusifnya sendiri yang bernama Hakken (berarti ‘memotong’ atau ‘memotong’).

Gabber seringkali dianggap sebagai kaum skinhead dan sering dikaitkan dengan citra negatif terkait penggunaan narkoba berat, tindakan kekerasan, dan rasisme. Akan tetapi, kaum gabber mengaku tidak pernah benar-benar menganut ideologi politik apa pun, mereka hanya meminjam “asas perlawanan” hanya untuk menyuarakan kebebasan atau sebagai pelampiasan katarsis untuk melemparkan emosi-emosi negatif mereka.

Menuju Pada Kesuksesan

Sejak pagelaran besar Thunderstorm disiarkan di Televisi lokal, gabber kemudian beralih dari sekedar gerakan subkultur anak muda, menjadi komoditas yang mulai dilirik oleh perusahaan dan media komersial. Musik gabber pernah dijadikan sebagai latar musik untuk iklan produk makanan sereal Belanda ternama, Duyvis dipsaus dan bahkan sempat digunakan untuk iklan Kit-Kat yang khusus tayang di wilayah Belanda. 

Dorongan gerakan untuk mengeksploitasi gabber ke arus pasar utama ternyata dilakukan secara internal, yaitu para pelaku utama dari penggerak subkultur ini sendiri yang mencoba mempromosikan gabber ke pasar pragmatis. 

Antara tahun 1995 hingga 1996, Paul Elstak mulai meluncurkan beberapa lagu gabber melalui Rotterdam Records, namun dengan versi yang lebih diperlambat dan lebih fokus untuk banyak menginjeksikan sesuatu yang lebih berwarna dan menghasilkan melodi yang lebih riang. Beberapa karya Paul yang masuk ke dalam kategori itu seperti “Luv U More” dan “Rainbow in the Sky” disebut sebagai musik berjenis happy hardcore

Meskipun musiknya sukses secara komersial, langkah tersebut membuat komunitas gabber garis keras mengucilkan dan mengasingkan karya-karya yang dibuat Paul tersebut. Lalu pada tahun 1995 Mokum merilis ‘I Wanna Be A Hippy’ oleh artis Inggris Technohead, yang menampilkan versi remix oleh Flamman & Abraxas dan Dano. Lagu itu menjadi hit dengan terjual 50.000 kopi di Belanda dan menduduki puncak tangga lagu di beberapa negara di seluruh dunia.

Lagu tersebut juga termasuk ke dalam kategori happy hardcore dan seperti halnya Rotterdam Records, Mokum terus merilis campuran musik hardcore/gabber underground dan musik happy hardcore yang lebih komersial selama sisa tahun 90-an, termasuk artis seperti Party Animals maupun artist yang menampilkan gabber versi parodi seperti Hakkûhbar.

Hegemoni Popularitas Yang Menghancurkan

Hakkûhbar, yang dibentuk oleh Bob Fosko, merupakan aksi parodi gabber pertama yang muncul di Belanda. Lagu mereka ‘Gabbertje’ menduduki puncak tangga lagu Belanda saat dirilis pada tahun 1996. Secara tidak langsung itu menjadi semacam gerbang pembuka untuk semakin banyak aksi parodi lainnya menyusul, yang secara terang-terangan mengejek musik dan budaya tersebut. Ironisnya, itu merupakan awal dari berakhirnya kancah gabber.

Namun dalam masa-masa ini muncul varian baru yang dinamakan Nu-Style Gabber. Gaya ini menampilkan versi gabber dengan distorsi yang telah dikebiri, sehingga menghasilkan kuaritas suara yang lebih terpoles, versi yang diperlambat dengan hanya maksimum berada di angka 180 BPM, serta lebih menitikberatkan pada groove dan melodi. Gerakan ini mulai dipopulerkan oleh Neophyte, B.S.E, dan X-Factor.

Gabber mencapai puncaknya pada tahun 1996. Pada tahun yang sama, saluran musik Belanda TMF meluncurkan acara TV gabber mingguannya sendiri: TMF Hakkeehhh!! Dibawakan oleh MC Thunderdome Drokz dan Da Mouth of Madness, TMF Hakkeehhh!! menyiarkan pesta dansa gabber, wawancara dengan pelaku gabber, dan banyak lagi acara yang dihadirkan pada ruang keluarga ribuan penggemar gabber setiap Senin mulai pukul 10 malam. Acara tersebut menjadi salah satu acara yang paling populer.

Kemudian media dan pers mulai tertarik untuk membahas dan mengupas mengenai kebudayaan gabber. Akan tetapi mereka melakukan framing ke ranah negatif, dimana warta acara berita TV dan surat kabar lebih memusatkan pemberitaan gabber yang dikaitkan dengan hooliganisme, kekerasan bermotif rasial, dan penggunaan narkoba ekstrem yang terkait dengan budaya gabber. Media menuduh bahwa gabber adalah gerakan skinhead yang sedang mempromosikan kekerasan rasial dan fasisme baru, dimana sebenarnya itu tidak benar sama sekali. 

Profil negatif dari media yang berkepanjangan, eksploitasi komersial, parodi, dan paparan berlebihan yang masif menyumbang variabel yang sama besarnya untuk menyebabkan keruntuhan gabber. Pada akhir tahun 90-an, gabber dicemooh dan menjadi bahan ledekan nasional, sehingga akhirnya banyak DJ yang beralih dari musik gabber ke genre lain. 

Mengendalikan Entropi Atau Membiarkan Katastropi?

Pada titik ini, ID&T berusaha mengembalikan gabber pada kodrat aslinya dengan mengeluarkan serangkaian EP oleh DJ Promo yang menampilkan versi gabber yang lebih gelap dan lebih kasar, yang terinspirasi oleh karya awal Marc Acardipane dan PCP, membangkitkan kembali komunitas militan gabber yang sempat tercerai-berai akibat eksploitasi komersialitas.

Periode pasca-apokalips membawa kultur gabber pada persimpangan serba dilematis. Masalah dikotomi klasik untuk memilih mengendalikan entropi atau membiarkan katastropi mengambil alih, rasanya telah dialami oleh hampir semua jenis musik yang pernah diciptakan, tak terkecuali gabber. Mempertahankan idealisme awal (termasuk karakteristik musik, kebiasaan, dan etos) memang adalah bagian untuk menjaga sifat ontologis atau alasan mengada dasariah, tentang mengapa kultur gabber itu terbentuk.

Akan tetapi di sisi yang berseberangan, tuntutan evolusi, dan pergerakan yang semakin lama merenggangkan pada keaslian dari alasan mengada dasariah gabber adalah sebagai pemenuhan nilai ontologis yang lebih luhur, yaitu hakikat musik secara generalistisitas itu sendiri yang selalu haus akan perubahan dan evolusi.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Meniadakan salah-satu dari keontologisan yang ada, menentukan faktisitas, atau justru mendekonstruksi semuanya untuk menciptakan entitas baru yang totalitas dan bebas nilai, dari apa yang sudah dibuat sebelumnya?

Sembari bertanya-tanya dan merangkak mencari jawaban, para generasi penerus secara nekat mengambil salah satu jawaban dari opsi yang ditawarkan di atas tanpa pikir panjang. Sejumlah DJ, produser, dan musisi di Eropa memilih untuk tetap mempertahankan idealisme awal gabber, yaitu kembali fokus untuk menciptakan musik techno super agresif, rancak, cepat, dan memiliki sifat misantropis terhadap penerapan sistem melodi dan harmoni secara berlebihan. Mereka juga memanfaatkan teknologi digital platform streaming, untuk menyebarkan karyanya untuk tersedia secara global. 

Tidak mengherankan, skena gabber di era sekarang, tidak hanya tersentralisasi di kawasan negara Belanda, tetapi mulai terdesentralisasi pada beberapa negara di Eropa, Amerika, bahkan Asia. Bagi pecinta dan penikmat musik elektronik di Indonesia, siapa yang tidak kenal dengan Gabber Modus Operandi, grup yang didirikan oleh duo Kasimyn (komputer, synth) dan Ican Harem (vokal).

Mungkin mereka satu-satunya grup gabber yang beroperasi di Indonesia, dan mereka telah melalang buana ke begitu banyak festival musik elektronik dari domestik, hingga mancanegara sekalipun. Bahkan Kasimyn sendiri “bertanggung jawab” penuh meninggalkan jejak-jejak elemen musik gabber pada salah satu album milik ratu pop eksentrik asal Islandia,  Björk dalam album “Fossora” yang dilepas tahun 2022 lalu. 

Di Italia sendiri, skena gabber mulai berkembang di kalangan pecinta musik bawah tanah. Mereka bahkan mengkurasi dan membuat playlist yang sepenuhnya didedikasikan untuk pergerakan gabber di Milan. Terkadang para pembuat lagu dan dj gabber juga terafiliasi oleh label No New Style label, label asal Italia yang memang khusus untuk merilis musik elektronik underground, namun label tersebut tidak hanya merilis musik-musik gabber

Platform Soundcloud adalah tempat yang bagus untuk menambang temuan-temuan artist dan musik baru, dengan gaya beragam. Dj seperti speedfolter, dj kobe, hellcreator, lenz, 909 junkies, rodox trading, dan tripped masih senantiasa memainkan style hardcore / gabber era 90’an. Di soundcloud juga terdapat banyak playlistplaylist yang dikurasi oleh dj dan musisi-musisi gabber yang aktif di sana. 

Tetapi dalam tatanan dunia yang sama, kekontrasan mulai terbentuk ketika pada akhirnya sekelompok dj lainnya mulai menawarkan pemikiran dan hipotesis yang bersifat post-modernisme. Masing-masing dari mereka mulai mempertanyakan apakah musik gabber bisa lebih ditingkatkan lagi untuk menurunkan sifat-sifat baru yang lebih superior.

Pemikiran postmodernisme ini kemudian terbagi 2, bahwa ada yang akhirnya pergi menuju ke arah yang lebih radikalis, sementara lainnya pergi untuk mencari cara yang lebih relativisme. Radikalis di sini, mereka masih tetap senantiasa memegang prinsip konservatif dari musik gabber yang rancak, berdistorsi, dan cepat, namun dengan pengilhaman yang dibawa pada sudut yang lebih ekstrim. 

Bila diterjemahkan, gabber versi radikalis ini justru meningkatkan kecepatan berkali-kali lipat, menciptakan kegaduhan yang lebih kacau balau, dan bahkan bila perlu mereka akan menyisipkan suara-suara yang mengganggu seperti layaknya sebuah terror. Dari pemikiran ini kemudian munculah jenis musik baru semacam speedcore, extratone, terrorcore, splittercore, dan hypertone. Meski dikatakan bahwa sub-sub genre tersebut bukan turunan murni dari gabber (karena masih ada campur tangan dan keterlibatan dengan jenis musik lainnya), tetapi elemen musik gabber masih memegang peranan vital dalam setiap aransemen.

Lalu dalam isi kepala yang berpegang pada prinsip progresif, mereka lebih mempercayai adanya beberapa perubahan dan penyesuaian yang harus diupayakan, untuk membuat kultur gabber dikatakan berkembang. Jika kembali pada gaya turunan seperti happy hardcore maupun nu style gabber yang dijelaskan sebelumnya, itu merupakan salah satu bentuk pemikiran yang progresif. Mereka mulai melakukan filterisasi distorsi dan penjernihan pada kualitas suara, menurunkan tingkat kecepatan, dan melapisi banyak melodi untuk menciptakan varian baru dalam suara gabber

Pemikiran ini semakin berkembang, khusus di Jepang ketika musik-musik gabber mulai dilekatkan dengan kultur doujin, anime, maupun gaya musik J-Core yang memiliki elemen bersifat eklektik. Mereka bisa saja menyulap gabber jauh lebih cepat dan bising, tetapi disaat bersamaan juga dapat menaruh lapisan melodi piano sebagai bantalan, melodi-melodi apregio yang gesit, dan banyak memainkan manipulasi kualitas suara pada synth untuk menghasilkan jenis suara beragam.

Kompilasi seri “Hardcore Syndrome”, misalnya yang menghubungkan elemen gabber terhadap jenis musik elektrnoik lainnya semacam UK Hardcore, J-Core, Dubstyle, Uptempo hardcore, dan masih banyak lagi. Selain itu terdapat nama-nama dj gabber dengan aliran progressive lainnya seperti DJ Myosuke, Roughsketch, laur.

Dalam sirkel doujin akan lebih banyak ditemukan album gabber berformat kompilasi, seperti album kompilasi seri “UnMori”, “Fucking Hardcore Tokyo”, “Noisecore”, “Eastern Hardcore Saga”, “Gabberdiscomegamix”, dan lainnya. Konsekuensi dari lahirnya pergerakan gabber progresif ini akan semakin rumit untuk menentukan garis batas pemisah (demarkasi) antara gabber dengan sub-turunan hardcore lainnya.

Kini gabber progresif menarik perbedaan yang sangat tipis dengan turunan hardcore elektronik lainnya semacam rave, uptempo hardcore, frenchcore, dikarenakan para pelaku gabber profresif sendirilah yang membiarkan musiknya terhibridisasi dengan jenis-jenis musik elektronik yang disebutkan.   

Secara kultur sendiri, gabber hanya mewarisi fashion dan ciri khas musik (yang kemudian termodifikasi oleh para penggiat gabber progressive), tanpa adanya etos dan ideologi tertentu yang melekat, seperti halnya punk dengan D.I.Y. Sehingga ketika siklus fashion telah berputar dan gen sifat kealamian musik mereka akhirnya dimodifikasi atau dieksploitasi, tidak banyak nilai-nilai kemurnian kultur gabber yang bisa ditanggalkan selain masa keemasan dan apa yang mereka perbuat di masa lampau.

Baca Juga : Apakah Ini Jenis Musik Paling Mencekam Di Dunia?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link