FEATUREDFeaturesFolkHindustani ClassicalNeoclassical

Lebih Dekat Dengan Hindustani Classical – Musik Klasik Dari Timur – Bagian III

Bagian Sebelumnya – Bagian Ke-II

Bagian Sebelumnya – Bagian Ke-I

Sejarah musik Hindustani antara era Mughal awal menuju transisi peradaban modern telah mengalami berbagai simpang siur, yang tampaknya seperti sebuah upaya disengaja. Pertama, tentu saja oleh pihak Inggris selama era kolonial. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, posisi patronase atau dukungan kolonialisme Inggris terhadap musik Hindustan terlihat membingungkan.

Di satu sisi mereka mengkritisi beberapa seni turunan musik Hindustani (seperti misalnya thumri yang menampilkan penari wanita yang mereka anggap vulgar serta banyak menceritakan kisah lirik percintaan Radha & Krishna secara erotis), sebagai upaya yang amoral, bobrok secara moralitas, dan tidak sesuai dengan ajaran pemerintahan Victoria Inggris. 

Mereka mengkritisi atas dasar dalih bahwa seharusnya musik Hindustani menjadi semacam simbol nasional India dan menjadi musik sakral yang secara murni dikooptasi oleh masyarakat komunitas Hindu sebagai simbol religiusitas yang agung. Kolonial Inggris juga berupaya untuk menyingkirkan atau menyangkal keberadaan pengaruh masyarakat komunitas Muslim, terhadap budaya musik Hindustani baik secara sejarah, maupun keterlibatan yang tengah berjalan.

Inggris mengkritik kebudayaan musik Muslim sebagai sesuatu yang primitif dan keterbelakangan, bahkan pihak kolonial Inggris berupaya untuk merubah sejarah, dimana menurut mereka repertoar musik Hindustan murni berdasar pada Weda (lihat penjelasan awal), yang sama sekali tidak ada keterlibatannya dengan negara-negara komunitas muslim.

Kedua, narasi yang memecah belah ini justru kemudian diterima oleh kaum borjuis Hindu yang mengakses pendidikan-pendidikan Inggris. Hasilnya adalah penerimaan luas terhadap narasi yang pada dasarnya memusuhi, dan mengasingkan para musisi serta penikmat musik Muslim, yang sejatinya secara keterlibatan historis justru sentral berada dalam ekosistem musik klasik Hindustani. 

Kecemburuan Antar Komunitas

Paruh kedua abad ke-19, menjadi saksi historis akan kebangkitan para penulis India untuk menanggapi dan melawan narasi-narasi miring yang dituduhkan kolonial Inggris pada kebudayaan musik Hindustan, dengan memuat publikasi-publikasi musik Hindustani berbahasa Inggris yang kemudian didistribusikan secara luas.

Namun nampaknya, perlawanan yang diupayakan oleh para kaum intelektual borjuis Hindu-Inggris ini tampaknya hanya bersifat parsial, bahwa betul mereka berusaha mempertahankan estetika dan kemurnian musik Hindustani, dengan cara merumuskan ulang beberapa Raga dan Taal, yang pada akhirnya berkorespondensi dengan membuat musik Hindustani kini berada dalam kondisi pragmatis untuk menghasilkan rentetan nada yang relatif mudah dicerna. 

Nampaknya kaum intelektual-borjuis Hindu secara sengaja membiarkan kolonial Inggris membuat narasi-narasi yang berusaha menyingkirkan pengaruh komunitas Muslim, dan ada kemungkinan bahwa kalangan Hindu ekstrimis justru mendukung narasi ini, meski tidak secara langsung menjadi simpatisan yang mendukung pihak kolonial Inggris. Pihak Inggris melakukannya hanya sebatas kepentingan yang menguntungkan mereka secara politis maupun superioritas ekonomi. 

Dari Sinilah munculah perpecahan, dimana satu pihak pada akhirnya menyudutkan pihak lainnya, untuk menggaet dukungan serta membenarkan ujaran sentimen yang mereka tuduhkan pada pihak lawan. Hal ini berujung menimbulkan friksi antara masyarakat komunitas Hindu dengan komunitas masyarakat Muslim yang telah menetap lama di India. Tetapi patut digarisbawahi bahwa ini bukan merupakan sebuah konflik yang melibatkan identitas, hanya tampak semacam kecemburuan dengan batasan yang hanya terjadi dalam ruang lingkup budaya Hindustani classical

Atas peristiwa ini Musik classical Hindustani pada akhir abad ke-19 dapat dikatakan mengalami periode kemandekan. Para kaum Muslim akhirnya melakukan monopoli untuk menjaga pengetahuan rahasia mereka, dan sengaja menghalangi “kemajuan ilmiah” yang dimungkinkan untuk musik melalui teknologi. Bahkan beberapa pengetahuan penting musik Hindu yang telah mereka kuasai mengenai konsep matematis 22 nada per oktaf, sistem Raga danTtaal, hingga prinsip mikrotonal sengaja mereka kunci dan ini tentunya sangat berdampak, terutama untuk musisi yang gagal memahami teori musik Sansekerta kuno.

Beberapa tokoh Hindustan Hindu yang menonjol seperti Vishnu Narayan Bhaktkandedan Vishnu Digambar Paluskar yang berasal dari Mumbai / Bombay, berupaya untuk menangani masalah ini. Dengan dibantu sejumlah anggota keluarga Tagore yang berasal dari Kalkuta, mereka mengambil inisiatif untuk mengumpulkan dan mencatat ulang pengetahuan-pengetahuan raga maupun tala dari musisi Muslim yang telah diperoleh secara turun-temurun.

Upaya mereka juga didukung oleh sejumlah tokoh Muslim yang bersedia untuk bekerja sama, dimana mereka mencoba menghubungkan sistem teori musik konvensional turun-temurun, dengan apa yang diciptakan oleh musik Hindustan pada abad-19 yang yang mengalami perubahan “standarisasi” yang baru.

Selain mereka memindahkannya untuk komunitas masyarakat yang lebih luas, mereka juga turut mendirikan lembaga pelatihan untuk menghasilkan generasi baru musisi terdidik, yang “merebut kembali” musik India dalam bentuk “murni”-nya akan menjadi bagian penting dari “kebangkitan kembali” kesadaran nasional yang sehat dan dengan demikian pada akhirnya berkontribusi pada perjuangan untuk kemerdekaan politik. 

Tentunya ada segelintir pemikiran baik itu dari komunitas Hindu maupun Muslim, yang berusaha mensintesiskan kembali musik Hindustan agar dapat berlaku secara adil dan berimbang, tanpa didasari oleh sentimen belaka. Namun nampaknya jenis pemikiran ini tidak begitu dominan, dimana sepanjang dekade 19’an sejarah lebih tertarik untuk mencatat peristiwa mengenai pemberontakan India pada tahun 1857 terhadap EIC yang disebut dengan insiden perang Sepoy. 

Adopsi Harmonium Dalam Hindustani Classical

Menjelang pertengahan hingga akhir abad ke-19, orang Eropa menemukan alat musik bernama harmonium. Alat musik harmonium ini pertama kali tepatnya ditemukan pada tahun 1840 oleh seorang berkebangsaan Prancis yang menemukan organ mulut buluh bebas. Dengan cepat musik Eropa mulai mengadopsi harmonium, terutama digunakan oleh para misionaris yang mempergunakan harmonium sebagai pengiring melodi doa, pengganti organ gereja yang mahal.

Harmonium sendiri mulai masuk ke India pada periode sekitar 1860’an, dimana dalam musik Hindustani, harmonium mulai dipakai oleh kelompok qawwali semi klasik, sebagai alat musik yang mengandung simbol spiritual dan kesucian, berkaca dari latar belakang sejarah kemunculan harmonium. Dengan cepat harmonium mulai menyebar dan banyak digunakan sebagai Instrumen pengiring melodi yang ideal untuk pertunjukan vokal Hindustani. Dapat dikatakan harmonium menjadi instrumen yang vital dan menggeser peran sarangi (instrumen yang digesek dengan senar simpatik yang disetel secara rumit) yang sempat menjadi instrumen pengiring vital Hindustani pada periode sebelumnya. 

Alasan untuk mengadopsi harmonium sebagai pengiring adalah sangat mudah digunakan, harmonium juga tidak membutuhkan penyesuaian tuning secara lanjutan. Alasan penting lainnya adalah perubahan yang terjadi dalam budaya musik Hindustani itu sendiri. Awalnya, musik Hindustani dimainkan dalam sebuah ruangan yang terbatas dalam regu ansambel, sehingga mengeluarkan bunyi me-ruang atau yang disebut dengan istilah chamber.

Namun ketika musik Hindustani semakin banyak dimainkan dalam pertunjukan langsung, karakteristiknya berubah dari musik chamber menjadi musik yang berorientasi pada performa teatrikal. Bagi vokalis maupun pengiring instrumen, dukungan/pengisian suara yang terasa lebih nyaring namun instan didapat menjadi kebutuhan primer. Atas dasar pertimbangan ini, harmonium dipilih menjadi instrumen pengiring yang tak terelakkan. 

Lagipula sarangi menjadi salah satu sasaran kritik oleh kolonial Inggris, dimana para tawaif (garis keturunan pemain sarangi secara historis), dituduh sebagai germo oleh kolonialis Inggris, sehingga menimbulkan perpecahan sentimen di kalangan antar masyarakat. Akan tetapi sifat kepraktisan daripada harmonium juga meninggalkan konsekuensi terhadap raga yang dipergunakan. Dikarenakan skala nada yang telah disesuaikan menggunakan tuning sedari awal, harmonium tidak dapat secara utuh menggunakan konsep nada mikrotonal yang dibutuhkan untuk memuat banyak variasi raga dalam musik klasik Hindustani. Jadi, dengan mengorbankan shrutis, sarangi hampir sepenuhnya digantikan oleh harmonium saat ini. 

Upaya reduksionisme harmonium dalam mengaplikasikan microtonal dengan cepat menyulut respon kritik yang dilontarkan kritikus Inggris maupun kaum intelektual Hindu, pada awal abad ke-20. Mereka menganggap bahwa harmonium menghancurkan kemurnian nuansa mikrotonal raga Hindustani. Pasalnya, semua harmonium yang digunakan diimpor dari Eropa, dan semuanya telah distandarisasi dengan tuning nada bergaya barat yang terkenal dengan sistem 12 nada alami yang setara sebagai acuan. 

Pada akhirnya, harmonium sempat dicekal 30 tahun, dari tahun 1940 hingga 1971, dan saat itu sarangi sudah mulai direhabilitasi sebagai instrumen untuk pengiring arus utama atau bahkan pertunjukan solo. Namun patut dicatat, bahwa Inggris tidak pernah memberikan tekanan langsung secara politis kepada musisi lokal untuk menggunakan harmonium sejak awal, tetapi adopsinya sepenuhnya merupakan inisiatif para musisi dan penonton.

Dengan kata lain, musisi dan para pendengarnya tampaknya sama sekali tidak terganggu oleh masalah apa pun yang diduga disebabkan oleh penyetelan harmonium,hanya segelintir orang kelompok yang mempermasalahkan hal tersebut. 

Perkembangan Hindustani Classical Pasca Kemerdekaan India

Segera setelah kemerdekaan India dan Pakistan pada tahun 1947 dari tangan kolonial Inggris, ratusan “kerajaan-kerajaan lokal” yang merupakan sisa-sisa terakhir patronase feodal yang didanai secara formal oleh negara dibubarkan dan diintegrasikan langsung ke dalam kedua negara (India & Pakistan).  Saat itu masih banyak musisi yang sebagian besar hingga seluruh hidupnya tergantung pada patronase atau dukungan kerajaan, dan ketika pembubaran itu terjadi mau tidak mau mereka diwajibkan untuk menemukan cara alternatif untuk menghidupi dirinya dengna keterampilan bermusik di luar sokongan bantuan kerajaan. 

Dengan kata lain mereka hanya dihadapkan 2 pilihan yaitu harus memonetisasi kemahiran bermusiknya secara mandiri atau meninggalkan musik sama sekali dan memilih jenis pekerjaan yang dapat memberi upah menghidupi mereka secara layak. Abad 20 menjadi saksi “eksodus” para musisi Hindustani, dimana sebagian musisi memilih untuk memilih karir sebagai pengajar secara akademis di sekolah-sekolah formal musik, bekerja di sistem radio yang disponsori negara, berakting menyanyikan lagu-lagu semi klasik untuk film dan teater, dan pementas musik yang melalang buana dari kota-kota hingga negara ke negara sekalipun.

Awal abad ke-20 sekaligus menandai dimulainya siklus konser publik musik Hindustani berbayar yang menjadi sumber pendapatan utama bagi beberapa musisi klasik Hindustani, yang berlangsung hingga saat ini. Elitisme dan eksklusivisme Gharana (sekelompok atau komunitas musik Hindustani) secara bertahap memudar pada abad ini, publikasi musik Hindustani yang disalurkan melalui media elektronik, pendidikan akademis, hingga pertunjukan publik secara langsung, membuat akses musik Hindustani lebih terbuka untuk publik (meski tidak seutuhnya, karena tentunya masyarakat kelas bawah masih kesulitan mengakses, perihal permasalahan kapital dan cara akses informasi). 

Media cetak membantu pengarsipan dan dokumentasi musik Hindustani. Kepingan karya yang populer pada saat itu dilestarikan dalam bentuk notasi dan kemudian juga dalam bentuk rekaman, ketika gramaphone mulai ditemukan. Ini membantu penyebaran musik secara nasional yang sempat dibatasi pada kelompok gharana pada abad terdahulu.

Para Maharaja, Nawab, kelas menengah yang kaya dan terpelajar yang berasosiasi dengan pendukung musik menyelenggarakan konferensi All India Radio Music. Konferensi tersebut merupakan sebuah wadah untuk musik klasik India dapat berpindah tempat yang tadinya berasal dari kuil, ke istana Raja, dan kemudian, rumah keluarga bangsawan. Serangkaian promotor, penyelenggara, dan pelindung musik baru mulai berfungsi untuk mempromosikan musik. Selain itu, media fisik maupun pertunjukan lainnya seperti konser, konferensi, rekaman, kaset, CD, semuanya telah menghidangkan musik klasik ke atas piring masyarakat luas.

Musisi Wanita Hindustani Classical Music

Era ini juga memberikan ruang yang lebih luas untuk para musisi dan penyanyi wanita dalam berkarya, maupun mengekspansi karirnya hingga menjadi artis yang tidak hanya dikenal, melainkan meninggalkan napak tilas yang membawa perubahan paradigma dalam ruang lingkup musik Hindustani itu sendiri, maupun perubahan pada lingkar sosial secara general dalam masyarakat India. 

Misalnya, penyanyi thumri dan tappa blasteran India-Inggris Rasoolan Bai, menyanyikan tembang-tembang di siaran radio pada masa ketika wanita diharuskan menunjukkan cincin pernikahan mereka sebagai simbol perizinan dari suami, yang merupakan sebuah penerapan aturan untuk mempersulit atau tidak melibatkan tawaif (telah dijelaskan sebelumnya) dari komunitas musik Hindustani. Dia mampu mengatasi pembatasan ini karena dia telah melanggar norma sosial yang lebih lama dan menikahi salah satu “pelanggannya”. 

Kemudian Begum Akhtar yang lahir pada tahun 1914 di Bhadarsa, India dikenal sebagai “Ratu Ghazal” yang membawa musik Hindustani berformat ghazal dan thumri pada panggung-panggung sentral pertunjukkan musik Hindustani. Dia juga menginterpolasi elemen musik hindustan dengan gaya musik klasik barat, membuat nama Begum Akhtar digadang-gadang sebagai inspirasi banyak musisi perempuan untuk berkarir di bidang musik semi-klasik. 

Jika Begum Akhtar mendapat moniker sebagai “Ratu Ghazal”, Girija Devi yang lahir pada tahun 1929 di Varanasi India, mendapat sebutan sebagai “Ratu Thumri”. Sebagai instruktur dan pelestari aktif musik Hindustani, Girija Devi juga ahli dalam beberapa bentuk musik Hindustani berbasis vokal lainnya, semacam dadra maupun kajiri. Sebagian besar musisi wanita lebih kuat pada aspek vokal, namun salah satu penyanyi legendaris asal Bombay, Kishori Amonkar mampu menciptakan pendekatan raga yang inovatif melalui instrumen swarmandal, yang menjadi ciri khasnya. Kishori juga dikenal sebagai penyanyi Hindustani legendaris yang membawakan jenis khayal

Tokoh Sentral Hindustani Classical Pada Abad-20

Sampai saat ini belum ada dokumentasi sejarah yang dapat menjelaskan secara rinci terkait buntut dari “friksi” dan ketegangan antara komunitas Hindu, Islam, dan kolonialisme Inggris yang mencuat pada abad ke-19, namun pada abad ke-20 “adegan” klasik Hindustani mulai terdefinisikan oleh gabungan musisi Muslim turun-temurun dari berbagai latar belakang yang berasal dari kalangan bangsawan dan terhormat, intelektual komunitas Hindu kelas menengah yang telah memutuskan untuk menekuni musik sebagai karier, dan minoritas musisi turun-temurun yang tidak sedikit yang pada dasarnya berasal dari latar belakang kelas Hindu yang terpandang (secara silsilah tradisionalnya biasanya melibatkan cerita mengenai seorang pakar Muslim bergengsi yang pada suatu saat mewariskan pengetahuannya kepada leluhur pendiri gharana.)

Tidak mengherankan pada era ini baik masyarakat komunitas Hindu maupun Muslim, masing-masing mampu menyumbangkan nama-nama musisi yang berpengaruh. Misalnya dalam komunitas Muslim diperkenalkan nama seperti Ustad Bundu Khan. Ustad Bundu Khan yang lahir pada tahun 1880, di Delhi, India tercatat sebagai pemain sarangi untuk pertunjukan solo pertama, yang kini dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Ustad Bundu Khan memainkan versi instrumen dengan senar yang lebih sedikit. Bundu Khan dianggap sebagai seorang “modernis”, yang memainkan sarangi dengan unik. 

Baik tangan kirinya yang bertugas untuk menyusuri not maupun tangan kanan yang mengeksplorasi kualitas suara, tidak pernah berhenti untuk beroperasi. Atas aksinya yang hiperaktif itu, dia mampu menyusuri variasi not maupun timbre hanya menggunakan versi sarangi yang telah disederhanakan. Hal itu memang berasal dari generasi pendahulunya, namun Ustad Bundu Khan membawanya pada panggunya yang lebih luas.

Kemudian tokoh musik Hindustani yang berasal dari komunitas Muslim lainnya yang perlu disebutkan namanya, ialah Ustad Bismillah Khan yang lahir pada 1916, di Dumraon, India. Dia dikenal sebagai Maestro yang memainkan salah satu jenis instrumen tradisional tiup bernama shehnai. Ustad Bismillah Khan memainkan instrumen shenhai ke panggung-panggung sentral pagelaran musik Hindustani. Bersama dengan shenhai kesayangannya, Ustad Bismillah Khan pernah ditunjuk untuk memainkan shenhai di upacara pertama kemerdekaan India pada tahun 1947.

Seorang musisi Hindustan legendaris, Satya Kinkar Bandyopadhyay dari perwakilan kelompok gharana Bishnupur di Bengal, secara tradisional mengakui bahwa garis keturunan mereka awalnya diajarkan oleh seorang profesional Muslim dari inti Mughal. Satya tentu bukan bagian dari reformis yang berusaha untuk membuat musik Hindustan menjadi eksklusif dan tertutup hanya untuk kalangan komunitas masyarakat Hindu. Satya memainkan instrumen unik bernama Bengali yang diciptakan pada abad ke-19 sebagai substitusi bagi Sarangi. Bengali dinilai cocok sebagai instrumen pengiring melodi untuk penyanyi wanita amatir, namun keberadaan Bengali saat ini hanya dimiliki oleh sekelompok kecil profesional. 

Berbicara mengenai tokoh yang menjadi episentrum dalam hal pertunjukan panggung musik Hindustani, Allaudin Khan menjadi satu-satunya nama yang pantas untuk diletakan sesuai dengan kriteria ini. Musisi multi-instrumentalist kelahiran Bangladesh ini mewarisi begitu banyak elemen dan estetika daripada pertunjukkan panggung musik Hindustani yang diturunkan pada generasi setelahnya, atau para pewaris yang mengakui secara langsung bahwa kiprah mereka tidak bisa lepas dari nama Allaudin Khan. 

Dia merupakan seorang pemikir progresif berwawasan luasan yang berinisiatif memunculkan banyak ide eksperimen dan inovasi demi kepentingan keeleganan, keindahan dalam menyajikan pertunjukkan musik sitar di panggung publik dengan cara yang terbaik. Dia berusaha mensimplifikasi beberapa elemen sebagai upaya adaptif yang khusus ditujukan para penikmat musik kasual, atau mereka yang tidak terlalu mengerti perihal teknis permainan.

Hindustani Classical Menuju Perkembangan Industri & Global

Jika turbulensi pada beberapa abad sebelumnya, membuat perkembangan musik Hindustani sempat tersendat, pada abad ke-20 mereka setidaknya bisa menegakan kepalanya untuk fokus pada eksplorasi dan ekspansi. Musik Hindustani di era ini dapat mencakup semuanya dari hal yang sakral hingga profan sekalipun. Misalnya seorang pemain instrumen Sarod, Amjad Ali Khan mendapat kehormatan sebagai musisi pertama dari India Utara yang diperkenankan tampil di kuil Thriuvaiyut milik Thyagaraja sebagai bentuk penghormatan kepadanya. 

Salah satu pemain tabla terhebat sepanjang masa Alla Rakha, ia tidak hanya tampil dan berkontribusi di acara maupun pertunjukan yang hanya berhubungan dengan musik. Alla Rakha juga menulis musik untuk berbagai film Hindi dan Punjabi, dimana dia juga pernah menulis musik untuk film-film laris seperti “Sabak”, “Khandan”, “Maa Baap”, “Madari”, dan “Bewafa”. Dia mendirikan institut musiknya sendiri di Mumbai dan telah diakui oleh dunia dengan banyaknya penghargaan yang ia raih di San Francisco dan California atas karyanya sebagai pengiring dan solois tampil di luar negeri. 

Ustad Alla Rakha melahirkan seorang putra bernama Ustad Zakir Hussain yang saat ini dikenal sebagai salah satu pemain tabla terbaik. Sejak kecil Ustad Zakir Hussain telah mewarisi bakat sang Ayah sebagai seorang yang mahir memainkan tabla. Pada usianya yang genap 12 tahun, Ustad Zakir Hussain tampil bersama Ayahnya, dan menjadi konser resmi pertama bagi Ustad Zakir Hussain. Dia kemudian mengikuti jejak Ayahnya, menulis musik untuk film-film seperti “Apocalypse Now”, “The Little Buddha In Custody”, Heat and Dust”, “A Perfect Murder”, dan beberapa serial televisi Amerika. 

Ustad Zakir Hussain tampil bersama kelompok jazz asal India, Shakti dan sejauh ini telah merilis 145 album studio. Dia juga menjadi instruktur dan pengajar tabla di berbagai Universitas Amerika, mulai dari Washington, California, Long Beach, Los Angeles, dan kota-kota lainnya. Pada akhirnya, selain memperluas jangkauan pada medium seni berbeda, musik Hindustani pun mencoba untuk mengekspansi secara geografis, dan itu kemudian banyak dilakukan oleh para penamil dan musisi Hindustani hingga saat ini. 

Nama Pandit Ravi Shankar, justru menjadi salah satu yang memiliki domain pengaruh paling besar dan terdepan, dalam hal mengenalkan budaya musik klasik Hindustan pada wajah dunia. Melalui tanah kelahirannya di India, dia dikenal sebagai salah satu pemain sitar terhebat sepanjang masa, karena sanggup merevolusi teknik bermain sitar.

Tetapi namanya semakin dikenal ketika Ravi Shankar sanggup berkolaborasi dengan salah satu punggawa the Beatles, George Harrison, dan keduanya merilis album kolaborasi. Ravi Shankar pun kemudian tampil di festival musik pop monterrey pada tahun 1968, dimana dia memainkan pertunjukan sitar selama 4 jam nonstop!. Dia juga tampil acara Woodstock seri tahun 1969, berkolaborasi dengan musisi jazz, hingga memiliki hubungan pertemanan dengan John Coltrane.

Tidak dapat dikatakan bahwa Ravi Shankar secara mandiri membawa musik Hindustani agar dikenal pada dunia luar, karena itu juga tidak lepas dari pengaruh-pengaruh di balik layar para instruktur, sejarawan, maupun musisi-musisi yang berusaha menampilkan musik Hindustan ke kancah internasional. Namun dibalik kerumitan, dan keotentikan, musik classical Hindustani mampu ditangkap dalam ranah kultur pop dan tersebar hingga ke berbagai pelosok dunia. 

Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Folk Han – Musik Rakyat Masyarakat Han

Referensi 

  • Bagchee, Sandeep. Shruti: A Listener’s Guide to Hindustani Music. New Delhi: Rupa & Co., 1998.
  • Schofield, Katherine Butler. Music and Musicians in Late Mughal India: Histories of the Ephemeral, 1748-1858. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.
  • Williams, Richard David. The Scattered Court: Hindustani Music in Colonial Bengal. Chicago: University of Chicago Press, 2020.
  • Katz, Max. Lineage of Loss: Counternarratives of North Indian Music. Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2017.
  • Bakhle, Janaki. Two Men and Music: Nationalism in the Making of an Indian Classical Tradition. New York: Oxford University Press, 2005.
  • Kippen, James. Gurudev’s Drumming Legacy: Music, Theory and Nationalism in the Mrdang aur Tabla Vadanpaddhati of Gurudev Patwardhan. London: Routledge, 2022.
  • Sampath, Vikram. Indian Classical Music and the Gramophone, 1900-1930. New Delhi: SAGE Publications, 2019.
  • Sanyal, Ritwik, dan Richard Widdess. Dhrupad: Tradition and Performance in Indian Music. Farnham: Ashgate Publishing, 2004.
  • Miner, Allyn. Sitar and Sarod in the 18th and 19th Centuries. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1993.
  • Manuel, Peter. Thumri in Historical and Stylistic Perspectives. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1989.
  • Raja, Deepak S. Hindustani Music: A Tradition in Transition. New Delhi: D. K. Printworld, 2005.
  • Yadav, Manoj Kumar. “Early 19th Century Translations in Hindustani/Hindi/Urdu and the Question of ‘National Language’.” Translation Today 13, no. 1 (2019): 208–216. ​
  • Joshi, Alapini. “Changes in Indian Classical Music (Historical, Sociological and Technological Perspective).” Sangeet Galaxy 10, no. 1 (January 2021): 2–15.
  • cd_r0ms. “Reconsidering Hindustani Classical Music.” Rate Your Music. Diakses 12 Januari 2025. https://rateyourmusic.com/list/cd_r0ms/reconsidering-Hindustani-Classicalal-music/.
  • “Hindustani Classical Music History.” Hindustani Classical. Diakses 25 Januari 2025. https://www.hindustaniclassical.com/history.php.
  • Hindustani Classical Music.” Encyclopædia Britannica. Diakses 7 Januari 2025. https://www.britannica.com/art/Hindustani-Classicalal-music.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link