Lebih Dekat Dengan Hindustani Classical – Musik Klasik Dari Timur – Bagian II
Bagian Sebelumnya
Salah satu ciri utama yang membedakan musik India dengan sebagian besar musik daerah belahan dunia lain adalah ketergantungannya pada melodi, yaitu susunan nada yang linier atau berurutan, dan bukan terikat pada harmoni, yang mana kelompok nada dimainkan secara bersamaan, seperti akord, untuk menghasilkan efek musikal. Selain itu, polifoni bersifat monofonik, artinya dalam musik India, hanya ada satu garis melodi yang dikembangkan, berbeda dengan banyak garis melodi yang dikembangkan dalam polifoni Barat.
Konsep Raga & Tala Dalam Musik Hindustani Classical
Penjajaran nada-nada, menurut beberapa aturan tertentu, bila dibunyikan untuk menghasilkan persepsi yang menyenangkan bagi pendengar, dapat disebut Raga. Penjajaran nada-nada berbeda dengan komposisi harmonik yang dibunyikan secara bersamaan oleh akord. Raga adalah komposisi yang semata-mata bergantung pada penjajaran nada, yang dibunyikan secara berurutan, apabila diterjemahkan dalam konsep barat ini terkesan identik dengan konsep skala, namun yang membedakan hanyalah urutan komposisi setiap nada yang mengisi urutannya.
Tetapi patut diketahui bahwa, tidak semua komposisi melodi adalah Raga. Untuk mengarang melodi Raga, seseorang harus mengikuti sejumlah aturan Raga tertentu yang telah disusun secara, cermat sehingga saat mendengarkannya, dapat dipastikan tidak akan ada melodi Raga lain yang bertabrakan, bahkan untuk beberapa saat, kecuali jika diinginkan oleh musisi itu sendiri. Melodi Raga sepenuhnya berasal dari India; tidak ada tempat di dunia yang menyamai melodi Raga, meskipun ada musik melodi murni di berbagai belahan dunia.
Setiap satu set pertunjukan (yang dapat berlangsung selama satu jam atau lebih, atau kurang dari itu) didasarkan pada Raga tertentu – jenis mode (nada yang diatur dengan gerakan melodi yang khas) – dan Tala tertentu – pola ritmis ketukan yang ditekankan dan tidak ditekankan. Konsep Tala terdengar identik dengan Raga, namun memiliki perbedaan kepentingan, dimana Tala diterapkan sebatas aturan-aturan pola pada bagian ritmis dan perkusi musik.
Ada ratusan Raga yang berbeda, tetapi hanya sekitar selusin Tala. Konsep Raga dan Talal ini yang kemudian melekat sebagai daya tarik utama musik Hindustani, dan patut diketahui bahwa meski Raga dan Tala mengandung sejumlah aturan, akan tetapi pada spektrum penerapannya, para pemain bisa saja sangat fleksibel dalam mengadaptasikannya, mengingat telah begitu banyak Raga yang telah diciptakan dan mereka juga tidak menutup kemungkinan untuk para musisi menciptakan Raga-nya sendiri, terhitung seperti Tiansen dan tokoh-tokoh penting lainnya, menciptakan raga yang belum pernah dibuat pada abad sebelumnya.
Perbedaan Antara Musik Hindustani Classical Dengan Carnatic
Pada akhir abad ke-17, terdapat sistem musik classical Hindustani yang “kanonik” dan kemudian dikendalikan oleh para musisi yang berasal dari lingkungan istana dan para elit Mughal. Jenis musik Hindustani ini disebut sebagai kalawant (kata tersebut hanya berarti “artis” tetapi memiliki makna khusus dalam konteks ini), yang mengkhususkan diri dalam menyanyikan dan memainkan dhrupad dan memainkan komposisi yang berasal dari dhrupad pada rabab.
Baik Karnatik maupun Hindustani, kini menjadi dua subsistem musik klasik India yang kerap kali membuat orang mengalami kebingungan dalam mengidentifikasi perbedaan di antara masing-masing entitas. Keduanya, tentu saja, didasarkan pada Raga sebagai struktur melodi utama, dan memiliki fitur dasar yang sama. Secara format keduanya menampilkan ansambel yang khas namun dengan formasi serupa yang terdiri dari artis utama (vokal atau instrumentalis) sebagai penyedia sumber melodi primer, (dengan latar belakang drone yang disediakan oleh tanpura), pemain perkusi dan, terkadang, pengiring lain pada instrumen dawai, atau harmonium (khusus untuk musik klasik India yang mulai berkembang abad ke-19).
Tentu saja perbedaan paling signifikan terletak pada pemilihan serta penggunaan Raga dari keduanya yang berbeda, kemudian alat musik populer yang beredar dalam ruang lingkup keduanya juga berbeda: alat seperti mridangam dan veena lebih umum di selatan (Karnatik), sedangkan tabla dan sarangi adalah padanannya di India utara. Alat musik dawai utama dalam musik Hindustan adalah veena, sitar, dan sarod. Tidak seperti musik Karnatik, yang memiliki bagian improvisasi terpisah (aalapana) sebelum komposisi, improvisasi dalam musik Hindustani dimasukkan ke dalam bandish atau yang disebut sebagai komposisi.
Periode Transisi Mughal

Pada titik ini, patronase atau sokongan dukungan secara langsung kerajaan lokal India terhadap musik Hindustani semakin gencar dan meluas dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Setelah kematian Raja Aurangzeb pada 1707, kerajaan Mughal mulai mengalami kemunduran. Kekuatan politiknya melemah, sementara wilayah-wilayah di India menjadi lebih otonom, dan kerajaan-kerajaan lokal seperti Nawab Bengal, Maratha, dan Sikh (meski ke-3 kerajaan tersebut, tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan Mughal) mulai meningkat.
Bersamaan dengan dekadensi kekuasaan Mughal yang dimulai pada awal abad ke-18 (1700’an), cerita mengenai perkembangan musik Hindustani classical terasa rumit, mengandung begitu banyak wilayah abu-abu, multi-interpretasi, hingga fakta-fakta tercecer yang sampai saat ini belum terungkap, dikarenakan ketidaklengkapan akses informasi menyeluruh..
Ada begitu banyak penyebab yang mengakibatkan kemunduran Mughal, seperti fragmentasi kekuasaan negara, ketidakmampuan pengadilan untuk menindak secara militeristik mengenai ancaman eksternal atau gubernur provinsi yang semakin otonom (baik Muslim maupun Hindu), sehingga titik kulminasi terjadi pada penjarahan Delhi tahun 1739 oleh tentara penguasa Iran Nader Shah, dan kemudian invasi berulang kali oleh tentara penguasa Afghanistan Ahmad Shah Durrani yang memaksa kaisar Mughal ke pengasingan dari tahun 1759 hingga 1772. Tentunya masih banyak penyebab-penyebab lainnya, yang hingga sekarang masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Masuknya EIC & Pengaruh Inggris Ke India

Bertepatan dengan peristiwa melemahnya Mughal, perusahaan kongsi dagang Inggris yang terasosiasi dalam East India Company (EIC) memperluas pengaruhnya di India, tidak hanya melalui perdagangan, tetapi dengan cara mendirikan pangkalan militer untuk melindungi kepentingan dagangnya. EIC memperoleh izin dari kerajaan-kerajaan lokal untuk mendirikan pos perdagangan, yang kemudian berkembang menjadi koloni kecil di sepanjang pantai India. Pada akhir abad ke-17, EIC mendirikan Fort William di Calcutta (sekarang Kolkata), yang menjadi pusat administrasi dan perdagangan Inggris di India.
Namun seiring berjalannya waktu, EIC tidak lagi hanya memperbesar pengaruh dan mengamankan kepentingan dagang mereka di India, tetapi mulai melakukan proses aneksasi dan memberlakukan kolonialisme terhadap kerajaan-kerajaan India lokal setempat.
Kerajaan Nawab Bengal yang saat itu di bawah pengaruh Mughal, dikalahkan secara telak oleh Inggris melalui EIC yang tercatat dalam buku sejarah sebagai peristiwa perang Palashi/Plassey yang meletus tahun 1757. Nawab Bengal yang saat itu dalam kondisi terdesak tidak memiliki pilihan selain menandatangani perjanjian yang menyerahkan pendapatan dan administrasi Bengal kepada Inggris. Jatuhnya kekuasaan Bengal ke tangan Inggris dari sudut pandang para musisi istana, membuat banyak musisi, hingga kaum royalis, meninggalkan kota, baik untuk sementara atau selamanya, menyebar ke istana daerah yang tampak lebih stabil secara politik maupun finansial.
Bishnupur, sebuah pusat budaya dan musik, terkena dampak aneksasi EIC, dimana Bushupnur tercatat mengalami kemunduran finansial akibat tuntutan pendapatan dari EIC. Pelelangan tanah Zamindari untuk menutupi utang dan penurunan patronase kerajaan mengakibatkan musisi beralih ke patronase lokal atau migrasi ke Calcutta. Perubahan ini merusak ekosistem tradisional musik Hindustani di wilayah pedesaan.
Kolonialisme menjadikan Calcutta sebagai ibu kota politik dan ekonomi, menarik musisi dari daerah yang runtuh seperti Bishnupur dan Murshidabad. Kelas bhadralok (elit terpelajar) di Calcutta, seperti keluarga Tagore, menjadi patron baru untuk mendukung kebudayaan dan musik. Contohnya, Kshetramohan Goswami (gharānā Bishnupur) menjadi guru di rumah Tagore, memadukan tradisi lokal dengan Hindustani.
Tagore, mendirikan sekolah musik pertama di India yang membuka akses bagi kelas menengah untuk mempelajari dan menampilkan musik klasik Hindustani. Inovasi ini merupakan langkah strategis untuk mengadaptasi tradisi lama ke dalam format pendidikan dan pertunjukan publik, sekaligus sebagai bentuk pernyataan identitas budaya yang baru di era kolonial.
Pengasingan Wajid Ali Shah & Perkembangan Musik Hindustani Classical di Calcutta

Pada tahun 1856, terjadi perubahan signifikan dalam patronase musik di Calcutta dengan kedatangan Wajid Ali Shah. Ini bermula ketika Anekasi Awadh dan dampak Uprising 1857 memaksa Wajid Ali Shah untuk mengasingkan diri di Matiyaburj, Calcutta. Sebelumnya, Wajid Ali Shah lahir di sebuah kota bernama Lucknow yang terletak di provinsi Awadh. Dia menjadi penguasa di tanah kelahirannya hingga diberi gelar Sang raja Awadh Nawab, dimana Nawab sendiri disematkan sebagai gelar bagi mereka yang berhasil menjadi raja muda.
Pengasingan sang raja terakhir dari kerajaan Awadh tersebut ke Calcutta yang dilakukan oleh Inggris, membuat Wajid Ali Shah membawa rombongan besar Ustad Hindustani ke Calcutta. Saat itu Wajid Ali Shah diasingkan di sebuah daerah bernama Matiyaburj, dan di sana dia mendirikan Istana, mesjid, dan pusat kebudayaan yang mirip dengan Lucknow, kampung halamannya.
Matiyaburj muncul sebagai titik temu antara tradisi musik Nawabi dari Lucknow dan dinamika budaya urban Calcutta. Di sini, repertoar musik klasik tidak hanya dipertahankan melalui ajaran ustād tradisional, tetapi juga mengalami “Banglafication” melalui pertukaran antara bahasa dan gaya. Perpaduan ini mengindikasikan bahwa, meskipun berada dalam konteks pengasingan politik, interaksi lintas budaya menghasilkan sintesis baru dalam seni pertunjukan musik Hindustan classical.
Ini memperkaya interaksi musik Bengal-India Utara dan membuka peluang bagi musisi lokal untuk belajar langsung dari ahli musikus Hindustani. Di satu sisi, Wajid Ali Shah mempertahankan warisan Nawabi dari Lucknow yang diambil dari kampung halamannya, namun di sisi lain terjadi pencampuran dengan budaya lokal Bengal.
Situasi baru ini membuka peluang bagi interaksi antara ustad Hindustani dan patron-patron Bengali, sehingga melahirkan inovasi baru dalam repertoar dan teori musik klasik. Hal ini menandai pergeseran penting dalam evolusi musik Hindustani classical di wilayah tersebut, karena identitas dan repertoar musik mulai dirombak oleh interaksi antara tradisi lama dan kondisi sosial-politik baru di era kolonial.
Secara individu, ketika Wajid Ali Shah berada di tengah keterbatasan akibat kejatuhan kekuasaan Nawabi Lucknow, dia tetap aktif menulis dan mengajarkan teori musik melalui karya-karya seperti Ṣaut al-Mubārak dan Banī. Karya-karya ini tidak hanya mendokumentasikan tradisi musik klasik yang ada, tetapi juga menambahkan inovasi—seperti dokumentasi gats untuk tari dan pertunjukan musik teater (rahas). Inovasi ini muncul sebagai respons atas transformasi sosial dan politik yang diakibatkan oleh intervensi kolonial, sehingga membantu menata ulang wacana musik klasik dalam konteks baru. Inovasi itulah yang dibawa Wajid Ali Shah beserta rombongan, ketika mereka mulai memadukan kebudayaan Lucknow dengan Bengali di tanah Matiyaburj.
Kritikan Inggris Terhadap Wajid Ali Shah & Hindustani Classical

Selama “abad transisi” dari tahun 1750-an hingga 1850-an, dua genre “klasik Hindustani” yang paling populer adalah dhrupad dan thumri. Keduanya merupakan hasil dari bentuk pertukaran antara bahasa dan gaya yang telah diperbuat oleh Wajid Ali Shah pada penjelasan sebelumnya. Dhrupad mengalami proses modernisasi, dibandingkan era sebelumnya, membuat salah satu bentuk musik Hindustani ini menjadi semakin diminati.
Thumri adalah turunan musik Hindustani klasik yang dibawakan atau diadaptasi dari repertoar gadis-gadis nautch, dan ghazal, sebuah bentuk musik Hindustani lain yang berorientasi pada lirik (seperti dhrupad dan khayal), dengan lagu yang memiliki refrain berulang, lalu dinyanyikan oleh semua orang termasuk kaum kalawant paling elit. Kelompok penyanyi / penari wanita kashmir beserta instrumentalis pengiringnya menjadi sangat populer di kalangan bangsawan Delhi.
Para pemain ini, yang populer disebut gadis nautch, merupakan katalisator bagi beberapa perubahan besar dalam praktik musik Hindustani secara umum. Mereka membawa tabla dan sitar, yang sebelumnya tidak memiliki hubungan dengan budaya elit Mughal, dan kemudian diklasifikasi dengan sendirinya dan berpengaruh dalam pengembangan khayal lebih lanjut.
Akan tetapi tulisan-tulisan dan laporan perjalanan dari kalangan Eropa, seperti yang ditulis oleh Frederick F. Wyman dan Charles Wentworth Dilke, menggambarkan Wajid Ali Shah sebagai figur yang “dekadens” dan sosok yang lembek. Kritikan tajam terhadap gaya hidup yang dianggap boros dan tidak disiplin ini tidak hanya mencerminkan prasangka kolonial terhadap aristokrasi India, tetapi mempengaruhi cara musik dan penampilan artistik Nawabi dipersepsikan.
Diskursus negatif ini kemudian mendorong para penulis dan pengamat kolonialis Inggris untuk merumuskan ulang nilai-nilai estetika dalam musik Hindustani klasik, agar terlihat lebih “rasional” dan sesuai dengan norma modern yang dianut pemerintahan kolonial. Kritik terhadap kebiasaan privat dan kemewahan yang ditampilkan di istana Matiyaburj termasuk konser musik, tarian, dan pesta yang meriah—menjadi bagian dari argumen politik untuk merasionalisasi intervensi kolonial.
Pemerintah dan media Inggris menggunakan perilaku Wajid Ali sebagai contoh kegagalan moral dan ketidakmampuan mengelola urusan publik. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi persepsi publik dan sistem nilai di kalangan elit India, sehingga menuntut penataan ulang cara pertunjukan musik klasik diregulasi dan dipertahankan agar tetap “beradab” dalam kerangka modernitas kolonial. Kritik-kritik tersebut tidak hanya memengaruhi citra Wajid Ali Shah sebagai patron seni, tetapi juga menstimulasi perdebatan di kalangan cendekiawan India mengenai nilai dan identitas musik Hindustani classical dalam era pascakolonial.
Budaya pertunjukan yang menyangkut mengenai masyarakat dan budaya India, secara langsung dipengaruhi dan diarahkan ulang oleh kolonialisme. Penganiayaan Inggris terhadap penyanyi dan penari wanita, diatur dan dianiaya sebagai “pelacur,” atau kontrol legislatif yang dikenakan pada musisi keliling (berdasarkan Undang-Undang Suku Kriminal antara tahun 1870-an dan 1890-an) adalah contoh konkret intervensi kolonial langsung dalam ekonomi musik.
Perubahan-perubahan dalam tata kelola masyarakat ini berdampak pada kedudukan sosial musisi dan penari, tetapi juga pada genre dan instrumen yang terkait dengan mereka. Sebagai contoh, ketika para gadis penampil justru dikecam sebagai pelacur. Genre yang dinikmati di salon mereka, seperti ṭhumrī, tidak lagi disukai di kalangan tertentu, dicap dangkal atau pornografi, dan—akhirnya—perlahan-lahan “ditebus” melalui proses klasisisasi yang panjang, dan mengarah pada perubahan bertahap dalam penyampaian dan sifat formal lagu-lagu itu sendiri.
Demikian pula, musisi pengiring yang terkait dengan ṭhumri, terutama pemain tabla dan sarangi, sering dianggap sebagai germo, dan juga harus menegosiasikan ketenaran baru mereka dan menemukan cara untuk mendapatkan kembali instrumen mereka. Narasi-narasi kolonial, termasuk kritik dan penggambaran oleh pejabat serta media barat, kerap menggambarkan praktik musik tradisional sebagai tanda dekadensi atau kemerosotan.
Kolonialis seperti Sir William Jones, N. Augustus Willard, dan C. R. Day menulis tentang musik India dengan perspektif yang dipengaruhi oleh pandangan Kristen dan Orientalis. Mereka melihat musik India sebagai sesuatu yang religius, nasional, dan perlu dinotasikan untuk dianggap klasik. Bahkan kolonialisme penjajahan Inggris mengupayakan agar musik Hindustani classical terprivatisasi terhadap pengaruh kebudayan Muslim dengan mendiskreditkan dan mengolok-olok keberadaan kaum Muslim dalam ekosistem musik Hindustani.
Sejak memasuki abad ke-18, narasi yang dominan (meskipun bukan satu-satunya) dalam tulisan-tulisan Inggris adalah meskipun musisi lokal kadang-kadang berhasil memuaskan hasrat estetika selera pihak Inggris dengan menghasilkan melodi yang menyenangkan, itu tidak membuat Inggris berhenti mengecam, bahwa musik ini merupakan tindakan korupsi yang tidak jelas dan tidak koheren, oleh kaum Muslim yang tidak berpendidikan atau primitif dan mereduksinya dari warisan bahasa Sansekerta India kuno yang agung.
Perbedaan Sudut Pandang Estetis Inggris Terhadap Hindustani Classical
Upaya Inggris untuk menjegal keluar pengaruh komunitas Muslim dalam ekosistem musik Hindustani, dapat ditinjau secara politik sebagai memenangkan persaingan dengan cara mengecilkan peran komunitas Muslim, sembari mencoba untuk menarik simpatik dan loyalitas pada masyarakat adat Hindu setempat. Pasalnya ada sebuah dokumen yang mengutip dua laporan koran dalam menggambarkan musisi—terutama dari tradisi Lucknow—dengan dua narasi yang sangat berbeda.
Satu laporan menggambarkan penampilan nautch sebagai simbol kemerosotan moral dan potensi kekerasan, sedangkan laporan lain menampilkan mereka sebagai ensemble yang bermartabat dan dihormati. Perbedaan persepsi ini mencerminkan upaya kolonial untuk menegosiasikan identitas budaya, di mana warisan istana dipertahankan sekaligus dikritik dalam kerangka perspektif moralitas dan modernitas dari perspektif ajaran Victorian, Inggris.
Tetapi apabila ditinjau yang berdasar secara murni estetis mengenai kepentingan apresiasi seni dan pengetahuan musikal, pihak Inggris nampaknya justru memaksakan kehendak, bahwa musik Hindustani dikecam oleh mereka, hanya dikarenakan terjadinya friksi mengenai perspektif perbedaan yang terletak pada pemaparan sistem teori musik yang tentunya berkorespondensi dengan hasil akhir yang tidak sesuai dengan standar kebakuan teori musik Barat.
Barat yang saat itu mulai memasuki periode romantisme, telah berupaya keluar dari periode musik sebelumnya, seperti classical, renaissance, hingga baroque. Musik-musik barat yang terjadi pada masa periode tersebut telah membiasakan diri dengan sistem chordal, pengiring ritme berlapis, hingga harmoni kompleks yang tidak lagi hanya menuntut keselarasan dan homogenitas, melainkan adanya tandingan premis melodi, sebagai counter argumen dari tema melodi utama. Akan, tetapi dalam periode romantic, peradaban Barat meromantisasi musik pada masa itu, sehingga terdengar seperti repertoar yang menghasilkan keindahan estetis status quo (melihat bentuk representasi yang menjadi tolak ukur keindahan semata), harmonis, dan konsonan secara pragmatis jika dibandingkan dengan periode musik yang telah terjadi pada abad sebelumnya.
Sedangkan musik Hindustani mengalami sifat paradoks antara struktur dan ketersediaan ragam timbre yang terbatas, akan tetapi dengan menggunakan sifat-sifat sistem microtonal yang terbungkus dalam ratusan prinsip raga, gerakan melodi Hindustani akan terasa abstrak dan memiliki pertaruhan besar dengan menyusuri lebih banyak nada dalam lompatan yang terjadi secara skalar bukan secara tonik perubahan kunci.
Tampaknya itu mungkin akan menghasilkan sensasi yang “mengganggu” dan “ganjil” bagi pendengar Barat (terutama Inggris), mengingat dalam musik Hindustani, Raga yang telah berjumlah ratusan tersebut, kemungkinan besar menyusuri rentetan nada bersifat disonan, yang menyebabkan banyak “ketidakstabilan” dalam penyelesaian resolusi rangkaian nada untuk menghasilkan repertoar konsonan menyeluruh.
Namun untuk mengenai masalah perbedaan sudut pandang estetis, tidak ada kepentingan maupun agenda politis yang terselubung. Ini hanya masalah perbedaan budaya dan sudut pandang teori musik yang memang dapat dikatakan memiliki jurang diferensiasi yang cukup lebar antara musik Hindustani dengan periode musik peralihan classical menuju romantic Barat.
Bersambung Ke-Bagian III
Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Enka – Simbol Kultur & Modernisasi Jepang
Referensi
- Bagchee, Sandeep. Shruti: A Listener’s Guide to Hindustani Music. New Delhi: Rupa & Co., 1998.
- Schofield, Katherine Butler. Music and Musicians in Late Mughal India: Histories of the Ephemeral, 1748-1858. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.
- Williams, Richard David. The Scattered Court: Hindustani Music in Colonial Bengal. Chicago: University of Chicago Press, 2020.
- Katz, Max. Lineage of Loss: Counternarratives of North Indian Music. Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2017.
- Bakhle, Janaki. Two Men and Music: Nationalism in the Making of an Indian Classical Tradition. New York: Oxford University Press, 2005.
- Kippen, James. Gurudev’s Drumming Legacy: Music, Theory and Nationalism in the Mrdang aur Tabla Vadanpaddhati of Gurudev Patwardhan. London: Routledge, 2022.
- Sampath, Vikram. Indian Classical Music and the Gramophone, 1900-1930. New Delhi: SAGE Publications, 2019.
- Sanyal, Ritwik, dan Richard Widdess. Dhrupad: Tradition and Performance in Indian Music. Farnham: Ashgate Publishing, 2004.
- Miner, Allyn. Sitar and Sarod in the 18th and 19th Centuries. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1993.
- Manuel, Peter. Thumri in Historical and Stylistic Perspectives. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1989.
- Raja, Deepak S. Hindustani Music: A Tradition in Transition. New Delhi: D. K. Printworld, 2005.
- Yadav, Manoj Kumar. “Early 19th Century Translations in Hindustani/Hindi/Urdu and the Question of ‘National Language’.” Translation Today 13, no. 1 (2019): 208–216.
- Joshi, Alapini. “Changes in Indian Classical Music (Historical, Sociological and Technological Perspective).” Sangeet Galaxy 10, no. 1 (January 2021): 2–15.
- cd_r0ms. “Reconsidering Hindustani Classical Music.” Rate Your Music. Diakses 12 Januari 2025. https://rateyourmusic.com/list/cd_r0ms/reconsidering-Hindustani-Classicalal-music/.
- “Hindustani Classical Music History.” Hindustani Classical. Diakses 25 Januari 2025. https://www.hindustaniclassical.com/history.php.
- Hindustani Classical Music.” Encyclopædia Britannica. Diakses 7 Januari 2025. https://www.britannica.com/art/Hindustani-Classicalal-music.