ClassicFEATUREDFeaturesFolkHindustani Classical

Lebih Dekat Dengan Hindustani Classical – Musik Klasik Dari Timur – Bagian I

Dalam tradisi Weda di India, musik dipandang sebagai ekspresi dari yang ilahi atau kosmis, yang melampaui batas-batas pengalaman indrawi biasa. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa musik, adalah cara komunikasi yang diturunkan para dewa-dewi kepada setiap penyembahnya. Musik india pada zaman Weda menggaungkan referensi konsep Nada Brahma, yaitu sebuah keyakinan mengenai musik sebagai peralatan simbolik suara ilahi yang menyelimuti alam semesta.

Saat itu musik-musik di India merujuk pada Veda (kumpulan teks yang terdiri dari 4 teks utama: Rigveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda) yang diyakini sebagai wahyu ilahi (shruti) yang diterima oleh para resi (orang suci). Veda mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ritual, filsafat, ilmu pengetahuan, dan seni.

Samaveda disebut sebagai Veda cabang musik dan dianggap telah menjadi dasar bagi musik India. Samaveda terdiri dari himne-himne Rigveda yang diatur dalam melodi (yang nantinya menjadi fondasi sekaligus alasan yang mengakar mengapa musik Hindustani sangat berorientasi pada melodi dibandingkan sistem harmoni).

Asketisme & Inklusivitas Spiritualisme

Hindustani-Classical-Abstract-Concept
Images By : Headfield

Barangkali ini menjadi sesuatu yang rumit jika dilihat, bahwa asketisme terlihat seperti hanyalah satu-satunya jalan spiritualitas yang ditawarkan, demi sebuah kemurnian dan kesucian.  Asketisme memang tidak dipungkiri menjadi domain yang paling mendominasi dari cara orang-orang melihat konsep spiritualitas sebagai katalisator untuk berprasangka secara nihilistis terhadap kehidupan material, dan berpaling sepenuhnya pada penyucian jiwa dan penguatan metafisis setiap individu. 

Akan tetapi dalam tradisi spiritualitas Timur, terdapat satu konsep spiritual yang justru mungkin akan tampak berseberangan meskipun sejatinya tidak. Konsep itu justru menawarkan sebuah kekosongan, perjalanan ke dalam batin yang jauh untuk mencari sesuatu yang tidak mendapatkan suatu kualitas baru yang langsung ditambahkan di depan mata.

Menawarkan perjalanan spiritualitas yang melebur dengan kekosongan itu, dan menjadi inklusif dan menyatu sepenuhnya dengan kehidupan. Jika spiritualitas pada sudut asketisme selayaknya dua zat yang melekat satu sama lainnya, sehingga perubahan sifat, wujud, dan kualitas dapat disaksikan secara langsung, spiritualitas inklusivisme ini selayaknya bunga yang bermekaran di taman. Prosesnya tidak akan dapat dilihat dalam semalam, tetapi secara perlahan membawa perubahan transformatif yang indah dan harum. 

Lantas apa benang merah yang dapat ditarik dari domain ke-2 konsep spiritualitas itu menuju entitas musik Hindustani classical yang terus berkembang? Sepanjang dinamika dan perkembangan musik Hindustani classical dari masa ke masa, dua konsep ini terus berseliweran dan melekat di antara kisah, selayaknya semut-semut yang mengerubungi gula. Bahkan semasa Inggris memasuki India dan melakukan upaya kolonialisasi, mereka menggunakan narasi-narasi ini untuk menciptakan situasi yang menguntungkan bagi mereka, tetapi itu akan dibahas lebih lanjut nanti. 

Narasi yang telah terlanjur beredar, mengatakan bahwa musik Hindustani classical terkategorisasi ke dalam jenis Weda, musik yang mengedepankan aspek spiritualitas, keilahian, dan memiliki sifat religius. Akan tetapi narasi-narasi itu sengaja dimunculkan dan dikembangkan untuk mencoba mengaburkan realitas sejarah secara sengaja, mengenai perkembangan yang sesungguhnya.  Sejatinya perkembangan musik Hindustani classical, sedari awal terlahir justru dari proses pertukaran budaya antara komunitas masyarakat Hindu dan masyarakat Muslim yang telah berlangsung secara turun-temurun dengan periode waktu berabad-abad lamanya.

Masa Dimulainya Asimilasi Budaya India

Hindustani-Classical-Muslim-Hindu
Images By : MYind.net

Asimilasi budaya di India berkembang pesat pada periode kesultanan Delhi (1206 – 1526), akan tetapi awal mula kontak budaya antara umat Hindu dengan umat Muslim telah dimulai sejak Abad ke-7, ketika pedagang Arab berlabuh di Selatan dan Barat Daya India. 

Munculnya kesultanan Delhi semakin mempertebal hubungan asimilasi budaya antara komunitas Hindu dan Muslim. Ada beberapa bentuk seni, dimana budaya sinkretis Hindu dan Muslim dapat diamati seperti arsitektur, lukisan, sastra, dan tentu saja tersaji dalam musik Hindustani classical. Dalam repertoar musik Hindustani, jenis atau genre sub-turunan khayal adalah contoh cemerlang hasil dari budaya sinkretis (tetapi khayal baru berkembang ketika India memasuki periode Mughal).

Pada periode kesultanan Delhi, masyarakat India menerima imigran-imigran dari Iran Timur, Iran Timur Laut, dan Afghanistan. Di antara para imigran ini, terdapat seniman, pengrajin, ulama, dan sufi yang memperkenalkan seni maupun budaya mereka di anak benua India. 

Kesultanan Delhi, yang didirikan oleh dinasti Muslim, membawa pengaruh besar terhadap budaya dan seni di India Utara. Musik klasik di bagian India Selatan terus memiliki fungsi yang dominan religius yang sebagian besar berpusat di sekitar kuil, dan bahkan ketika dimainkan di istana, konten tematiknya tetap religius, yang disebut sebagai musik carnatic

Sebaliknya, sintesis budaya, membuat tradisi India Utara lebih terbuka terhadap pengaruh, tidak hanya dari lagu-lagu rakyat sekuler di wilayah tersebut, tetapi juga terhadap tradisi musik Asia Tengah yang dibawa ke anak benua dari seberang perbatasan. Selama beberapa abad, musik India Utara berevolusi menjadi tradisi terpisah dan disinilah awal daripada istilah musik Hindustani dikenal, yang terdiri atas campuran dari berbagai pengaruh musik dan kebudayaan.

Penguasa Muslim, terutama dari dinasti seperti Khalji dan Tughlaq, menjadi pelindung seni dan mendorong asimilasi antara tradisi musik India dan Persia. Gerakan sufi berkembang pesat di bawah Kesultanan Delhi, terutama karena dukungan dari penguasa Muslim. Sufi seperti Nizamuddin Auliya dan Amir Khusrau menjadi tokoh kunci dalam menyebarkan ajaran Sufi melalui musik dan puisi.

Teori Spekulasi Pencipta Sitar & Tabla Sebagai Fondasi Hindustani Classical

Teori yang beredar luas di masyarakat, menyatakan bahwa Amir Khusrau-lah yang telah menciptakan alat-alat musik seperti Sitar dan Tabla, yang kelak menjadi ciri khas instrumen utama dalam musik Hindustani. Kendati demikian, sejarah mengenai lahirnya alat-alat musik tersebut belum jelas dan masih dalam tahap koridor perdebatan.

Gagasan tentang asal usul sitar terbagi dalam beberapa kelompok. Pandangan yang paling menonjol, terutama dalam catatan populer, seperti telah disinggung sebelumnya melibatkan penyair dan musisi Asia Tengah-India, Amir Khusrau yang tinggal di istana Delhi pada awal abad ke-14. Amir Khusrau, secara umum dikatakan, menciptakan sebuah instrumen berdasarkan model instrumen dawai India yang sudah ada, dan memberinya nama Persia, “seh-tar” dengan arti berdawai tiga. 

Tetapi peneliti menemukan kesalahan identifikasi identitas, sehingga bukan Amir Khusrau, melainkan orang yang bernama Khusrau Khan, yang dianggap lebih dulu memainkan sitar. Menurut ‘Muraqqa-e-Dehli’, sebuah dokumen dari tahun 1738 menyebutkan awal mula Sitar berasal dari Niamat Khan sebagai musisi terkemuka, dan saudaranya, Khusro Khan, serta keponakannya, Firoz Khan, sebagai pemain alat musik terkemuka di istana Mughal di Delhi, saat itu.

Pendapat lain datang, dari salah satu pemain sitar modern India yang hebat, Ravi Shankar, yang mengemukakan pandangan kedua tentang asal usul sitar: “Banyak cendekiawan percaya bahwa sitar telah ada jauh sebelum masa Amir Khusru, dalam berbagai bentuk di berbagai wilayah di India. Sitar disebut tritantri veena … , chitra veena … atau parivadint ….“

Gagasan ketiga tentang asal usul sitar mengacu pada kemunculan kecapi berleher panjang pada pahatan kuil India abad ke-9 dan ke-10, dan menunjukkan bahwa sitar sudah ada sejak masa awal di India. Tidak ada nama spesifik yang disebutkan. 

Terlepas dari perdebatan mana bukti sejarah yang valid, para sejarawan dan arkeolog pun setuju untuk memberi kesimpulan  bahwa Asia Tengah dan Asia Barat, terutama Persia memberikan pengaruh signifikan dalam lahirnya alat musik sitar, yang kemudian terintegrasi sebagai salah satu instrumen utama dan terpenting dalam musik classical Hindustani.

Hindustani Classical Pada Era Kesultanan Delhi

Man-Singh-Tomar

Setelah berdirinya Kesultanan Delhi, para musisi lokal India mulai mempelajari gaya musik Persia-Arab untuk mendapatkan penerimaan di istana kerajaan, mendapatkan pengakuan sosial, dan mempertahankan gaya hidup mereka. Para musisi menggabungkan pengetahuan mereka tentang musik asing dengan musik lokal India yang menarik perhatian para penguasa Islam. Penggabungan mode musik mendorong para cendekiawan dan musisi untuk mengetahui lebih banyak tentang mode musik asli India yang mengarah pada penerjemahan perjanjian musik, interaksi dengan musisi dan cendekiawan daerah.

Pada era yang bersamaan, ketika kesultanan Delhi dipimpin oleh Sultan Ibrahim Lodi, salah satu kerajaan yang juga terletak di India Utara, bernama kerajaan Gwalior memberikan sumbangsih terhadap perkembangan musik Hindustani. Menurut informasi yang beredar, sang Raja  bernama Raja Man Singh Tomar (1486 – 1516) yang kala itu memimpin Gwalior, begitu menggemari dan rajin mengikuti kajian-kajian yang berhubungan dengan musik serta memiliki pengetahuan komprehensif dan mendalam mengenai musik India.


Singh Tomar, kemudian menyusun “Mankutuhal”, sebuah teks musik yang sengaja dibuat demi mendokumentasikan berbagai bentuk musik India pada masanya (Hindustani termasuk salah satu di antaranya). Upaya Singh Tomar membantu mendemokratisasi musik Hindustani klasik, membuat lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Selain itu, salah satu jenis musik Hindustani, yang menggunakan olah vokal dan nyanyian, dhrupad mencapai kejayaanya di bawah era ini.

Memasuki Periode Mughal

Hindustani-Classical-Mughal-Empire
Images By : BBC

Proses akulturasi terus berlangsung, ketika memasuki era Mughal yang dimulai dengan Babur pada awal abad ke-16. Masyarakat India abad pertengahan mengalami modifikasi budaya yang tiada henti karena evolusi masyarakat sinkretis. Para musisi di era Mughal mulai berorientasi untuk menghibur para elit kerjaan, memadukan lirik dan teknik musik Persia-Arab dengan elemen musik daerah. 

Secara bertahap, konteks pengabdian dalam lagu tidak hanya mencakup ekspresi pengabdian kepada Tuhan, tetapi juga kepada para penguasa Mughal yang menunjukkan bahwa para artis bertujuan untuk mendapatkan perlindungan kerajaan dan status di istana kerajaan. Gerakan Bhakti masih terus berkembang selama era ini, terutama di wilayah India Selatan dan Barat. Namun, di India Utara, gerakan ini lebih terbatas karena dominasi politik dan budaya Muslim.

Bhakti memperkaya musik Hindustani dengan bentuk-bentuk baru seperti bhajan dan kirtan, yang menjadi populer di kalangan Hindu. Di lain sisi, perkembangan gerakan sufi tetap memainkan peran penting dalam musik Hindustani, terutama melalui jenis musik yang mereka kembangkan qawwali dan ghazal. Namun, pengaruhnya sedikit berkurang karena munculnya gaya-gaya musik Hindustani klasik baru seperti dhrupad dan khayal yang lebih dominan. Khayal menjadi genre musik Hindustani yang paling populer pada fase terakhir periode India abad pertengahan (periode Mughal). Genre ini sarat dengan motif budaya gabungan Hindu-Muslim. 

Kemunculan Hindustani Classical Bergaya Vokal

Baik dhrupad maupun khayal, keduanya merupakan bentuk musik Hindustani yang mengutilisasi peran vokal dan nyanyian. Namun perbedaan keduanya terletak pada fungsionalitas, struktur, penyampaian vokal, dan alat instrumen dasar yang digunakan. Dhrupad berkembang lebih dulu pada era kesultanan Delhi (bahkan menjadi salah satu tradisi musik India tertua yang dulu bernama dhruvapad berevolusi dari prabandh sangeet). Awalnya, dhrupad sering digunakan dalam upacara agama Hindu dan Islam, dengan nuansa sakral dan spiritual. Sedangkan khayal yang mulai berkembang di era Mughal, ketika India berada dalam kondisi mengalami berbagai asimilasi dan sintesis budaya, membuat khayal lebih bersifat sekuler dan sosial.

Sebagai konsekuensi dari penggunaan musik dhrupad yang dititikberatkan pada religiusitas, maupun keperluan ritual keagamaan, menjadikan pusat perhatian para pemain tidak sepenuhnya berada pada kesadaran ekspresi seni seutuhnya. Akibatnya, struktur musik dhrupad terasa kaku dan formal. Durasi tiap komposisi bisa sangat panjang, dengan improvisasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan khayal.

Sebaliknya, khayal yang telah mengalami pembebasan berekspresi sepenuhnya pada aspek musik, membuat strukturnya terasa fleksibel dan improvisational, memungkinkan penyanyi untuk bebas menggunakan kemampuan intuitif nya untuk berimprovisasi Komposisinya lebih pendek dan bervariasi, sering kali mencakup dua bagian utama: antar (bagian pertama) dan mukhda (bagian kedua yang lebih melodius).

Khayal lebih mementingkan ekspresi emosional, dan bisa sangat improvisational dalam melodi dan ritme, yang memungkinkan penyanyi mengekspresikan perasaan dan mood melalui suara mereka. Penyampaian vokal dhrupad sangat kaku, dengan nada yang lebih terfokus pada kekuatan dan kejernihan suara, serta teknik vokal yang sangat terstruktur.

Penyanyi dhrupad sering mengandalkan teknik “ugra” yang berat, mengutamakan kedalaman suara dan kestabilan tonal. Lain halnya dengan penyampaian vokal khayal yang terasa lepas dan ekspresif. Penekanan terjadi untuk mengeluarkan kemampuan improvisasi dan fleksibilitas suara terbaik setiap penyanyi. Penyanyi sering mengeksplorasi nuansa suara dan memperkenalkan variasi dalam akord dan ornamentasi.

Dhrupad lebih menekankan penggunaan instrumen alat musik pada unsur ritmis, sehingga tabla dan pakhawaj (tamborin besar yang dimainkan menggunakan tangan) dipilih sebagai instrumen utama untuk mendampingi vokal, sementara khayal yang mulai mengikuti perkembangan kemajuan musik Hindustani yang lebih maju saat itu, menggunakan instrumen kombinasi antara ritmis yang diwakili oleh tabla serta sarangi atau sitar untuk keperluan melodis, yang memberikan keleluasaan lebih besar dalam ekspresi emosional maupun ekspresi artistik dengan cara berimprovisasi.

Perkembangan Hindustani Classical Dalam Kerajaan

Tansen
Images By : Brain Brout

Salah satu kaisar terbesar dalam periode Mughal, Akbar the Great (1551 – 1602) menjadi saksi perpaduan lengkap sistem musik Persia dan India. Ada banyak musisi di istana yang tercampur, baik dari Hindu, Islam, baik dari Iran, Kashmir, Turan, baik pria maupun wanita. Para musisi terbagi ke dalam tujuh ordo dan masing-masing ordo diberikan tugasnya tersendiri.

Ada sebuah ordo bernama Navaratna (Sembilan Permata) yang ditugaskan untuk setiap hari bermain dalam waktu seminggu. Navaratna dipimpin oleh seorang musisi bernama Tansen yang kemudian namanya melegenda. Tansen memimpin kelompok musisi yang terdiri dari 19 penyanyi, 3 orang pelantun mantra, dan beberapa musisi instrumental. Navaratna menggunakan beberapa instrumen utama, seperti: sarmandal, bin, nay, karna, dan tanpura.

Tansen menjadi salah satu legenda hidup dalam perkembangan musik Hindustani maupun perkembangan musik India secara keseluruhan, dikarenakan sanggup menciptakan raga-raga (akan dibahas selanjutnya) baru seperti Miyan ki Malhar dan Darbari Kanada. Bersama dengan Tansen, Istana Mughal menjadi pusat inovasi musik, menggabungkan elemen India dan Persia, dan menciptakan raga-raga yang belum pernah ada dan digunakan sebelumnya.

Bersambung Ke Bagian-II

Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Luk Thung – Politisasi Dalam Musik – Bagian I

Referensi 

  • Bagchee, Sandeep. Shruti: A Listener’s Guide to Hindustani Music. New Delhi: Rupa & Co., 1998.
  • Schofield, Katherine Butler. Music and Musicians in Late Mughal India: Histories of the Ephemeral, 1748-1858. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.
  • Williams, Richard David. The Scattered Court: Hindustani Music in Colonial Bengal. Chicago: University of Chicago Press, 2020.
  • Katz, Max. Lineage of Loss: Counternarratives of North Indian Music. Middletown, CT: Wesleyan University Press, 2017.
  • Bakhle, Janaki. Two Men and Music: Nationalism in the Making of an Indian Classical Tradition. New York: Oxford University Press, 2005.
  • Kippen, James. Gurudev’s Drumming Legacy: Music, Theory and Nationalism in the Mrdang aur Tabla Vadanpaddhati of Gurudev Patwardhan. London: Routledge, 2022.
  • Sampath, Vikram. Indian Classical Music and the Gramophone, 1900-1930. New Delhi: SAGE Publications, 2019.
  • Sanyal, Ritwik, dan Richard Widdess. Dhrupad: Tradition and Performance in Indian Music. Farnham: Ashgate Publishing, 2004.
  • Miner, Allyn. Sitar and Sarod in the 18th and 19th Centuries. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1993.
  • Manuel, Peter. Thumri in Historical and Stylistic Perspectives. New Delhi: Motilal Banarsidass, 1989.
  • Raja, Deepak S. Hindustani Music: A Tradition in Transition. New Delhi: D. K. Printworld, 2005.
  • Yadav, Manoj Kumar. “Early 19th Century Translations in Hindustani/Hindi/Urdu and the Question of ‘National Language’.” Translation Today 13, no. 1 (2019): 208–216. ​
  • Joshi, Alapini. “Changes in Indian Classical Music (Historical, Sociological and Technological Perspective).” Sangeet Galaxy 10, no. 1 (January 2021): 2–15.
  • cd_r0ms. “Reconsidering Hindustani Classical Music.” Rate Your Music. Diakses 12 Januari 2025. https://rateyourmusic.com/list/cd_r0ms/reconsidering-Hindustani-Classicalal-music/.
  • “Hindustani Classical Music History.” Hindustani Classical. Diakses 25 Januari 2025. https://www.hindustaniclassical.com/history.php.
  • Hindustani Classical Music.” Encyclopædia Britannica. Diakses 7 Januari 2025. https://www.britannica.com/art/Hindustani-Classicalal-music.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link