Lebih Dekat Dengan Folk Han – Musik Rakyat Masyarakat Han
Setiap bangsa umat manusia yang pernah dilahirkan dari rahim ibu pertiwi, meninggalkan napak tilas yang membekas pada roda-roda keberlangsungan dari peradaban yang mereka bangun. Setiap jejaknya dapat ditelusuri, setiap nafasnya dapat dihirup, dan setiap aromanya dapat diendus melalui artefak peninggalan, literatur intelektual, dan buah karya hasil dari pergolakan ekspresi ketakutan akan kematian, dan keenganan akan kehidupan. Musik-musik tradisional atau akrab dengan sebutan musik folk adalah secerca catatan sejarah yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya interaksi, transaksi, dan aksi yang terjadi entah itu dalam lingkup individu, kesukuan, hingga antara kolektif bangsa.
Misalnya, berkaca pada musik folk yang mengakar dan berkembang di negara Belanda, seringkali dijadikan semacam alat resistensi para rakyat “non-berdasi” untuk memaparkan realita kehidupan yang tidak menunjukkan keberpihakan pada mereka, penindasan yang terjadi, hingga ketidakstabilan.
Semuanya terekam dan terarsip dengan jelas melalui repertoar-repertoar yang saling bersahut-sahutan antara sang agen penyampai dengan realitas material yang terjadi, hingga menghasilkan kidung-kidung ratapan sekaligus asa untuk mengupayakan terjadinya pemaksulan pada ketidakadilan.
Lain halnya musik folk di Thailand yang justru malah sebagai alat agen ganda. Musik luk thung (salah satu jenis musik folk Thailand) yang tadinya digunakan untuk karib curhat bagi masyarakat pedesaan, justru semakin berkembang periode dijadikan sebagai alat propaganda nasionalisme oleh pemerintah. Berbicara mengenai evolusi dan perkembangan musik folk, mungkin tidak akan pernah serumit yang pernah ditemukan di negara China.
1000 Wajah Musik Folk di China

Selama ratusan tahun, musik folk di China telah mengalami begitu banyak evolusi dan perubahan aksioma, hingga menghasilkan serentetan sejarah yang begitu panjang. Sejak periode Shang (1600–1046 SM) dan periode Zhou (1046–256 SM) berjaya di masa Tiongkok kuno, penggunaan musik folk berlangsung sebagai penyelengaraan upacara keagamaan guna menenangkan dan memuliakan leluhur dan pahlawan.
Selebrasi simbolik keritualan menjadi elemen kunci pada dinasti Zhou, karena dipercaya sebagai alat penting dalam urusan birokrasi pemerintahan, diplomasi, dan memastikan kekokohan dari kekuasaan.
Pertunjukan musik dan lirik lagu dinilai sebagai alat seremonial yang membantu memfasilitasi interaksi dan membangun kepercayaan antara berbagai partai politik. Saat itu pertikaian mengenai mana bentuk dan estetika musik yang mendekati kebenaran masih absen, sebaliknya, musik tersebut sepenuhnya tunduk pada kemampuan dan tindakan penguasa.
Dialog dan fungsi musik folk seperti ini bertahan hingga abad 4 SM ketika musik dikaitkan dengan keinginan penguasa yang tak terkendali yang secara tidak langsung juga menjadi alat pengungkap akan kekacauan sosial politik yang terjadi.
Pada abad ketiga SM, seorang raja bernama Qin Shi Huang melakukan serangkaian agregasi terhadap sesama kerajaan Tiongkok dengan tujuan penyatuan wilayah kekaisaran yang tersentralisasi oleh sistem pemerintahan yang terpusat.
Di sini musik hadir tidak lagi hanya sebatas sebagai alat seremonial, tetapi dipercaya menjadi salah satu unsur kosmik yang dipercaya dapat beresonansi dalam menciptakan hubungan harmonis dan keterpaduan dari sisi pemerintahan.
Musik Sebagai Bahasa Perantara Ilahi & Kosmos

Sejak saat itu literatur dan tulisan dari para kaum intelektual dan pemikir yang berupaya menghubungkan bunyi dengan unsur kosmos menjadi tajuk hangat, terlebih ketika dalam masa-masa Perang sesama kerajaan terjadi. Para pemikir Tiongkok memahami adanya relasi khusus antara bunyi dan berbagai aspek perasaan manusia, sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa apapun yang bersangkutan dengan bunyi dapat dijadikan alat deteksi untuk memahami sisi mendalam dan metafisik manusia selain dari penampilan mereka.
Penggunaan istilah “sheng 生” (yang berarti kemunculan, menghasilkan) yang sering muncul dalam musik folk China mengungkapkan gagasan bahwa musik dihasilkan melalui alam, bukan melalui cara manusia, beriringan dengan konsep penciptaan kehidupan dan pemberian kehidupan merupakan aspek-aspek kunci dari proses penciptaan organik ini. Para pemikir memaparkan bahwa pola harmoni dasar kosmos sudah melekat dalam bunyi dan bahan baku musik, sebagaimana dasar-dasar kehidupan melekat dalam benih-benih tanaman..
Pemahaman ini terus diinisiasikan secara turun-temurun selama rezim kekaisaran dinasti Qin (221 M) dan dinasti Han, yang menghadapi tantangan besar untuk menggabungkan dataran China yang terpecah oleh berbagai wilayah kekaisaran dan kerajaan. Sebuah literatur berjudul “Discourse on Music” karya Xunzi penuh dengan bagian-bagian yang membuktikan peran sosial-psikologis dan politik musik di pemerintahan China.
Bila musik memiliki nada-nada yang menggoda dan liar menyebabkan seorang individu menjadi jahat, dan bila itu diciptakan oleh jajaran penguasa, itu dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, kekacauan, dan konflik, tentara akan menjadi lemah karena bermalas-malasan, pertahanan melemah dan mengundang pihak musuh untuk menyerbu.
Di sini, musik memunculkan sikap dan perilaku yang secara langsung berdampak pada tingkat kekacauan sosial yang semakin dalam. Xunzi tidak sendirian dalam merekomendasikan bahwa musik membantu menyatukan adat istiadat budaya. Banyak teks dari akhir Negara-negara Berperang dan periode kekaisaran awal juga menggambarkan bagaimana musik dapat “menyatukan hati-pikiran rakyat (tong min xin 同民心)” sehingga memfasilitasi kontrol terpusat atas berbagai wilayah masyarakat.
Perlu digaris bawahi bahwa konsep kosmik di sini tidak merujuk secara harfiah pada tatanan dan kesimetrisan dari tata surya planeter. Kosmik di sini bisa diartikan pada susunan keselarasan dari manusia itu sendiri, atau bisa meluas hingga pada hubungan antar kosmik atau sesama manusia yang diatur oleh sistem pemerintahan.
Menyambung dengan konsep antara hubungan suara sebagai salah satu unsur pencipta keselarasan kosmik, maka para pemikir dan kaum intelektual Tiongkok, berpendapat bahwa menciptakan musik akan berpengaruh pada tatanan kosmis sesuai dengan sifat musik itu diciptakan
Pertukaran Budaya Sebagai Pemicu Perkembangan

Sedari dulu, pertukaran budaya musik dunia luar merupakan salah satu dorongan terpenting untuk memajukan peradaban, terutama perkembangan musik folk di Tiongkok. Namun memasuki dinasti Han, budaya musik pribumi Tiongkok menunjukkan karakteristik yang beragam, namun memiliki satu tujuan. Budaya musik ini adalah hasil pengembangan diri yang terus-menerus terjadi terhadap akulturasi budaya musik dunia, terutama di negara-negara tetangga.
Lagu-lagu folk di tangan suku-suku Han dan suku minoritas dijadikan sebagai simbol untuk lagu-lagu kerja dan sekaligus dapat menjadi media untuk merekam mitos, sejarah, dan legenda. Pengelompokan lagu-lagu folk Han dibedakan berdasarkan karakter musikal dan ritme yang merepresentasikan jenis pekerjaan atau suasana tertentu. Jenis lagu folk Han yang paling umum ialah Haozi (Lagu Kerja), Shange (Lagu Gunung) dan Xiaodiao (Lagu-lagu pendek).
Lagu Folk Han Sebagai Pengiring Ritme Bekerja
Penyebutan istilah Haozi memiliki sebutan alternatif yang disebut Laodong Haozi (Lagu Kerja dalam terjemahan bahasa Indonesia). Salah satu dari 3 jenis utama lagu folk Han yang dimainkan atau dinyanyikan selama kerja fisik, dan memiliki fungsionalitas untuk mengatur tenaga kerja. Untuk itu lagu kerja memiliki beban kepraktisan yang lebih dijadikan sebagai prioritas, dibandingkan pemenuhan hasrat artistik atau mengekspresikan estetika sebagaimana sebuah bentuk seni seharusnya dicurahkan.
Seluruh struktur, komposisi, hingga lirik sengaja diarahkan untuk menggambarkan suasana kerja yang utuh. Misalnya pada beberapa bait lirik bagian awal, biasanya merupakan semacam perintah, yang diatur dalam melodi yang dapat diubah sesuai keperluan, sementara bagian chorus merupakan kata-kata pengisi, atau pengulangan sederhana dari lirik penyanyi solo, dengan melodi yang disederhanakan, yang merepresentasikan awak tenaga kerja yang menerima perintah dari ketua atau mandor mereka.
Selain itu, Haozi atau lagu kerja juga memiliki 5 ciri artistik utama:
1. Ekspresi sederhana dan langsung: Sekali lagi, pemanfaatan lagu Haozi adalah untuk kepentingan efisiensi pekerjaan, maka musik ini memiliki karakteristik yang lebih legas dan nyanyian-nyanyian perkasa, yang juga dijadikan sebagai simbolisasi para awak kerja yang menyelesaikan tugasnya dengan menggebu-gebu dan tidak memiliki keraguan sedikitpun.
2. Repetisi intens pada bagian ritmis: Haozi sangat erat kaitannya dengan produktivitas. Kecepatan kerja menentukan karakteristik ritmis lagu kerja. Kecepatan dasar kerja menentukan bagaimana ritme lagu kerjanya diulang.
3. Beberapa lagu yang memiliki materi melodi homofon: Umumnya, keterbatasan budaya pada ruang lingkup tenaga kerja menyebabkan musik yang mereka nyanyikan di tempat kerja seringkali kurang memiliki daya tarik melodi, terutama dalam hal pengembangan, sehingga meski dalam kasus tertentu, lagu yang dinyanyikan tampak berbeda, akan tetapi melodi pada masing-masing lagu dapat memiliki kemiripan melodi dengan derajat yang tinggi.
4. Solois dan Paduan Suara: Secara formasi, lagu-lagu haozi dapat dinyanyikan secara solo, antifonal, dan paduan suara, tetapi sejauh ini gaya yang paling umum adalah yang didasarkan pada “seseorang memimpin yang kemudian direspon oleh para awak pekerja”, dan ini mungkin akan terdengar seperti salah satu metode budaya musik gospel kulit hitam yang menggunakan formasi vokal serupa dengan teknik bernama call n response, yang melambangkan seorang pendeta bersahut-sahutan dengan jemaatnya.
5. Kesederhanaan Struktural: Struktur frase memiliki kesan yang teratur (meskipun bagian solo dapat menunjukkan sedikit kebebasan), dengan narasi paralel dan frase balasan. Kedua, lagu haozi dibuat berdasarkan proses kerja yang berkesinambungan secara terus-menerus, sehingga lagu kerja perlu dinyanyikan secara berulang, dengan akhir yang tidak pasti, karena lagu kerja dapat berakhir sewaktu-waktu, ketika pekerjaan telah selesai.
Jenis-Jenis Lagu Haozi
Lagu haozi sendiri memiliki berbagai jenis sesuai dengan jenis pekerjaan yang diselesaikan, namun dapat dikategorikan menjadi 4 jenis.
1. Lagu Kerja untuk Transportasi: Jenis lagu ini mengacu pada musik yang melibatkan proses pengangkutan barang dan kerja berat yang melibatkan pengangkutan barang Contoh lagu kerja untuk transportasi yang dapat didengar ialah “Bend Your Back to Hook the Timber (Hayao’gua)” dari Yichun.
2. Lagu-lagu Kerja Teknik: Lagu-lagu jenis ini dimainkan untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lebih teknis seperti menebang dan menggali. Contoh lagu-nya iala : “Tamping Song (Dawo’ge)” dari Macheng
3. Lagu Kerja Pertanian: Dikarenakan pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian dianggap sebagai buah kegiatan yang intensif, sehingga jenis lagu-lagunya tidak terlalu bersemangat, sering kali memiliki melodi yang lebih indah, ritme yang mengalir, serta lirik yang lebih kaya dan lebih bervariasi. Contoh lagu-nya ialah: “Rice-husking Song” (Chongmi Haozi).
4. Lagu Kerja Pelayaran dan Penangkapan Ikan: Pekerjaan pelayaran sendiri masuk dalam kategori yang memiliki pekerjaan sangat beragam, ditambah dengan jalur perairan dan kondisi iklim yang selalu berubah. Atas semua nilai pertimbangan tersebut, lagu kerja tersebut terbagi dalam banyak kategori, yang dapat dikenali dari keberagaman pekerjaannya. Kualitas nada dan irama bagian pertama lembut dan damai. Seiring berkembangnya musik, jangkauan melodi akan meningkat, sementara iramanya menjadi lebih intens, seiring suasana hati semakin bersemangat. Bagian ini berakhir dengan teriakan yang tergesa-gesa dan bersemangat.
Di sini, penyanyi utama menggunakan ritme sinkopasi, yang sebagai simbolisasi untuk menimbulkan rasa ketidakstabilan, dan peringatan bahaya yang akan datang. Penyanyi utama biasanya adalah juru mudi atau nahkoda dalam pelayaran, karena pengalaman dan tekad mereka yang telah berpengalaman mengatasi bahaya. Contoh lagu yang termasuk dalam kategori ini, ialah: “Fishermen Song” (Yumin Haozi, Rice-husking Song (Chongmi Haozi).
Gaungan Tembang Folk Han Dari Pegunungan
Jenis lagu folk han ke-2 ialah Shange atau disebut sebagai lagu pegunungan. Pada dasarnya dinyanyikan di alam terbuka, sehingga memiliki sifat yang moderat dan seimbang antar menghasilkan lagu dengan ukiran artistik merdu, berirama panjang dan bebas, namun tetap memiliki tujuan praktis agar musik dapat menempuh dan beresonansi dengan jarak yang jauh. Shange atau lagu pegunungan memiliki 4 ciri karakteristik lanjutan, yaitu:
1. Lirik yang Jujur dan Lugas: Melodi yang bersemangat menjadi latar untuk menjelaskan kisah-kisah mengenai aktivitas seputar yang terjadi di pegunungan yang disampaikan secara lugas. Ini mengartikan bahwa setiap lagu terhindar dari liku-liku atau ungkapan eufemisme yang membingungkan.
2. Tempo dan Ritme Bebas dan Berkepanjangan: Jika dinotasikan, lagu pegunungan biasanya memiliki panjang yang tidak teratur dan ritme bebas, serta dua komponen yang saling bergantung, yakni bagian naratif dan bagian akhir.
3. Permainan dinamika yang fleksibel dan dominan: Melodi lagu pegunungan memiliki ciri-ciri lompatan, fluktuasi kontur yang drastis, jangkauan yang luas, dan register yang tinggi, sehingga mereka memainkan dinamika keras lembut suara yang lebih ketara, dibanding jenis musik folk Han lainnya..
4. Mayoritas struktur disusun dalam dua atau empat frasa: Lagu-lagu gunung seringkali memiliki frase yang asimetris, dan bila dipadukan dengan ritmis yang tidak menentu, memberikan kualitas sebagai dasar yang membuat struktur lagu menjadi bebas dan seolah tidak terikat oleh bagian-bagian. .
Jenis Lagu Folk Han Shange
Terdapat tiga jenis lagu pegunungan yang dibedakan berdasarkan penerapannya, yaitu lagu yang dinyanyikan untuk tujuan umum, lagu di ladang (penanaman padi), dan lagu untuk menggembalakan hewan
1. Lagu-lagu Gunung untuk Tujuan Umum: Mengacu pada lagu-lagu yang dinyanyikan di banyak daerah oleh orang Han. Lagu-lagu ini diberi nama berbeda sesuai dengan asal-usul, daerah dimana lagu tersebut dinyanyikan atau dibuat. Contoh-contoh lagu Gunung untuk Tujuan Umum, ialah: “Jiaofu’diao (Tune of the Stevedore)”, “The Mountain Keeps Us Apart (Liaobujian Meimei Shan Dangzhule)”, “Picking Grapes”, dan “Ganma’diao (Horse Riding Song)”
2. Tianyang Shange (Lagu Penanaman Padi): Secara harfiah, lagu ini memang dilantunkan secara khusus ketika aktivitas penanaman padi, pembajakan, penyiangan dan irigasi pompa berlangsung. Biasanya melibatkan kegiatan yang bersifat musiman dan perlu diselesaikan dalam rentang waktu terbatas yang dipekerjakan untuk bekerja di ladang. Para warga mempercayai bahwa dengan menyanyikan lagu jenis ini akan berdampak terhadap peningkatan produktivitas kerja mereka. Contoh lagu, yang termasuk ke dalam lagu Penanaman Padi ini, diantaranya: “Crossing River with the Lead of a Silk Thread (Yigen Sixian Qianguo’he) of Jiangdu, Jiangsu”.
3. Fangmu Shange (Lagu-lagu Penggembala): Seperti yang tersirat dalam judulnya, lagu ini banyak dinyanyikan oleh para penggembala, dan terutama oleh anak-anak di daerah pedesaan, untuk memanggil ternak mereka, atau hanya untuk dinyanyikan dalam bentuk tanya jawab sebagai selingan hiburan saat bekerja
Sisi Artistik Dari Repertoar Folk Han
Jenis lagu ke-3 dan sekaligus jenis terakhir dari lagu folk Han ialah, Xiaodiao. Tidak seperti 2 jenis lagu sebelumnya Haozi dan Shange, Xiaodiao dinyanyikan di pekan raya kota maupun di daerah pedesaan. Orang dapat menggambarkan genre ini sebagai bentuk lagu folk yang lebih artistik, dibandingkan sebagai lagu untuk kepentingan kepraktisan pekerjaan.
Ciri lainnya ialah, Xiaodiao cenderung dinyanyikan musisi profesional, ketika Haozi dan Shange lebih banyak dinyanyikan secara langsung oleh para awak pekerja. Xiadiao dapat mencakup berbagai macam spektrum subjek lirik, mulai dari peristiwa sosial dan politik, hingga hal-hal praktis kehidupan sehari-hari semacam adat istiadat, percintaan, dan hiburan.Xiadiao memiliki 4 ciri lanjutan yang lebih spesifik, diantaranya:
1. Sebagai tembang yang memiliki peran ganda naratif dan ekspresif: Melodi yang Berliku-liku dan Halus memiliki kekuatan ekspresif sekaligus sarana untuk menampilkan sentimen, karena integrasi lirik dan melodi karakter yang tampak menyatu; suasana musik dibuat dengan menyisipkan konten naratif dan ekspresif dari lirik.
2. Ritme dan panjang yang Teratur dan Seimbang: Xiaodiao biasanya bernada metris, dengan pola ritme yang sederhana, bervariasi, dan terdistribusi secara merata (tidak seperti pola yang panjang dan bebas, serta bergerak maju yang ditemukan dalam lagu-lagu pegunungan atau lagu kerja). Oleh karena itu, secara ritmis genre ini menonjolkan kesatuan di tengah-tengah variasi yang mencolok; ini merupakan faktor yang sangat penting ketika melodi berulang, alat vital musik naratif.
3. Alur melodi yang berliku-liku dan bervariasi: Dibandingkan dengan 2 jenis lagu folk Han lainnya, Xiaodiao memiliki perubahan yang lebih halus karena seringnya perubahan motif, melodi cenderung berkembang dalam gerakan bergelombang yang lembut, bukan lompatan atau linier.
4. Struktur musik: Ada dua jenis struktur umum Xiaodiao. Pertama, mengacu pada lagu-lagu yang didasarkan pada pertanyaan dan jawaban, yang kedua pada gaya yang lebih berkembang yang terdiri atas 4 bagian: Qi (awal), Cheng (kelanjutan), Zhuan (perubahan) dan He (akhir), sehingga bergantung pada transformasi materi musik.
Jenis Lagu Folk Han Xiaodiao
Xiaodiao sendiri dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu Yinchang’diao (Nyanyian Lagu), Yaoqu (Balada), dan Shidiao (Lagu Modis).
1. Yinchang’diao (Nyanyian Lagu): Jenis lagu ini meliputi lagu anak-anak, lagu pengantar tidur, lagu pedagang kaki lima, dan nyanyian ritual rakyat. Lagu-lagu ini memiliki fungsi dinyanyikan untuk tujuan praktis dalam kehidupan sehari-hari, namun bukan pekerjaan kasar seperti lagu-lagu haozi, lebih kepada aktifitas biasa. Contoh lagu, yakni: “Shuiniu’er (Water Snail), from Beijing”
2. Yaoqu (Balada): Merupakan bentuk seni yang lebih berkembang dibandingkan dengan Yinchang’diao. Balada biasanya pendek, dengan struktur formal dalam bentuk metris, dan diklasifikasikan menurut isinya, seperti ungkapan keseharian, kesedihan, kegembiraan, penderitaan, percintaan, pengalaman hidup, atau kebahagiaan seseorang.
Beberapa lagu yang ceria dikenal sebagai lagu-lagu cerdas, dan memiliki beberapa taraf kualitas yang dikategorikan sebagai lucu, lucu sekali, mengejek, hingga pada titik tertentu dapat digunakan untuk mencaci, mengkritik perilaku antisosial, atau ketidakadilan dan malpraktik sosial. Contoh lagu dari Yaoqu antara lain: “Embroidering a Small Pouch (Xiu’hebao)”, “Peng’hama (Weighing Crabs)”,
3. Shidiao (Lagu Modis). Shidiao merupakan salah satu bentuk Xiaodiao yang sangat berkembang. Lagu-lagunya memiliki struktur mapan, irama dan melodi yang menarik, serta cara proyeksi suara yang unik. Shidiao dapat mengakomodasi musik dari berbagai gaya daerah dalam bentuk perubahan pada berbagai elemen musik, seperti proyeksi suara, ritme, kecepatan, hiasan, iringan, dan mode.
Contoh lagu Shidiao, antara lain: “Mengjiang’nu (Lady Mengjiang), from Jiangsu”, “Farewell My Love (Song’qinglang), from Liaoning”, “Dropping Watermelon (Shuai’xigua)”, “Flower Drum Tune (Huagu’diao), from Kaifeng, Henan”, “Visiting In-Laws’ Family (Tan’qingjia), from Central Hebei”.
Referensi
- Du, Yaxiong, ed. Introduction to Folk Music of Chinese Ethnic Groups (Zhongguo ge Shaoshu Minzu Minjian Yinyue Gailun). Beijing: People’s Music Publishing House, 1993.
- Jiang, Mingdun. Introduction to Han Ethnic People Folk Songs (Hanzu Minge Gailun). Shanghai: Shanghai Literature and Art Press, 1982.
- Music Research Institute. Overview of Chinese Traditional Music (Minzu Yinyue Gailun). Beijing: Music Publishing House, 1964.
- Sha, Hankun. Structure and Melodic Progression of Chinese Folk Songs (Zhongguo Minge de Jiegou yu Xuanfa). Shanghai: Shanghai Music Publishing House, 1988.
- Zhou, Qingqing. Chinese Folk Songs (Zhongguo Minge). Beijing: People’s Music Publishing House, 1993.