Lebih Dekat Dengan Enka – Simbol Kultur & Modernisasi Jepang
Enka, yang kini dikenal oleh masyarakat umum sebagai derivatif genre musik tradisional Jepang, telah mengalami banyak evolusi yang dipengaruhi oleh peristiwa sejarah, dinamika sosial-politik, dan perkembangan industri musik di Jepang. Dari asal-usulnya yang terkait dengan gerakan protes status quo hingga menjadi simbol kebudayaan Jepang, enka menggambarkan perjalanan panjang yang tak terlepas dari perubahan sosial, ekonomi, dan budaya.
Pada awalnya, enka tidak dikenal sebagai genre musik, tetapi muncul dalam konteks aksi protes terhadap kebijakan pemerintah Jepang pada masa lalu. Musik ini dikenal dengan nama “enzetsu no uta” (演説の歌), yang berarti “speech song“, digunakan oleh para aktivis untuk menyampaikan pesan revolusioner melalui lagu yang disampaikan setengah nyanyian dan setengah pidato. Musik ini menjadi bagian dari gerakan sosial yang menentang ketidakadilan dan menyuarakan keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
Pada awal abad ke-20, enka berevolusi dari lagu protes menjadi hiburan komersial yang dipengaruhi oleh gaya musik dan skala tangga nada barat. Faktor ekonomi mempengaruhi pergeseran ini, dimana mahasiswa miskin menjual lirik bernuansa humor untuk bertahan hidup. Istilah “enka” sempat diasosiasikan dengan lagu erotis (en = seksi, ka = lagu), tetapi industri musik Jepang kemudian mengubah narasinya menjadi “lagu pertunjukan” (en = pertunjukan) untuk menghapus stigma negatif.
Pada tahun 1920-an, istilah “ryūkōka” (musik populer Jepang yang terpengaruh gaya Barat) mulai diperkenalkan, dan meskipun enka pada masa ini terpengaruh oleh instrumen modern dan skala Barat, musik ini berusaha mengasosiasikan diri dengan keotentikan budaya periode tokugawa Jepang.
Jepang Selama & Pasca Perang Dunia ke-II

Selama perang dunia ke-II pemerintah Jepang memanfaatkan musik untuk propaganda. Lagu-lagu nasionalis (gunkoku kayo) dipromosikan, sementara tema romantis dilarang agar tidak melemahkan semangat bangsa ketika sedang terlibat peperangan. Namun, musisi sering menyelipkan kritik terselubung atau beralih ke genre terlarang seperti jazz sebagai bentuk eskapisme.
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan dampak serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki mengguncang moral bangsa Jepang dan membawa negara ini ke dalam keadaan pesimis. Pasca perang, Dengan terpaksa, Jepang berada dalam masa okupasi oleh Amerika Serikat, yang memberikan bantuan besar dalam rekonstruksi ekonomi dan sosial Jepang. Dalam konteks ini, muncul fenomena baru yang dikenal sebagai “liberation of sex“, yang membawa perubahan dalam pandangan masyarakat Jepang terhadap kesetaran seksualitas dan peran gender.
Meskipun paham feodalistik dan patriarki masih bertahan, enka justru muncul sebagai salah satu bentuk seni yang menunjukkan potensi keharmonisan mengenai kesetaran gender, dengan para penyanyi wanita yang tidak hanya sukses secara komersial tetapi juga berkontribusi besar pada pertumbuhan genre ini. Misora Hibari dan Fuji Keiko adalah contoh bagaimana penyanyi wanita memimpin kebangkitan enka dan memperkenalkan genre ini ke masyarakat lebih luas.
The Virtue of Enka
Pada masa itu, penyanyi pria, seperti Kasuga Hachiro, menjadi pelopor musik enka yang mengadopsi teknik vokal khas, seperti melismatic dan portamento, yang kelak menjadi ciri utama dari enka. Kasuga Hachiro dikenal sebagai penyanyi enka pertama yang membawa jenis musik ini ke industri hiburan Jepang. Saat Kasuga Hachiro memperkenalkan enka pada khalayak luas, istilah enka belum dikenal dan digunakan pada masa itu. Hachiro sukses dengan single “Red Light End Train” pada tahun 1952, yang mencatatkan sejarah penting dalam perkembangan enka.
Minami Haruo dan Hideo Murata juga memainkan peran penting dalam menambah kekayaan musik enka dengan menambahkan elemen-elemen dari seni tradisional Jepang seperti rōkyoku (narasi musikal). Haruo Minami, yang sebelumnya berkarir sebagai pemain rakugo, menggabungkan elemen-elemen tersebut dalam musik pop, dan menciptakan genre long-form rōkyoku, yang membawa popularitas besar bagi musik enka.
Meskipun tantangan dalam industri musik dan kebijakan yang ketat seringkali membatasi ekspresi musikal, penyanyi seperti Mori Shin-Ichi, yang berusaha keluar dari label “penyanyi enka“, menunjukkan bahwa musik enka bisa berkembang tanpa dibatasi oleh stereotip genre. Mori, yang memiliki gaya vokal khas yang berbeda, menantang norma-norma yang ada dengan menyanyikan lagu-lagu enka yang lebih berani dan beragam, serta membawa enka menuju era baru dengan merilis karya-karya yang juga melibatkan genre lain.
Pada masa yang bersamaan, penyanyi seperti Kitajima Saburo membawa enka ke tingkat yang lebih tinggi dengan tema lagu-lagu yang melibatkan karakter wanita dan menggambarkan sisi bersebrangan dari maskulinitas dalam liriknya. Perubahan sosial ini turut mempengaruhi perkembangan musik enka. Di masa ini, stereotip enka yang sebelumnya dipandang sebagai musik erotis dan murahan mulai terkikis.
Sang Permaisuri Gagak
Enka, yang sebelumnya lebih didominasi oleh pria, mulai berkembang pesat dengan hadirnya penyanyi wanita seperti Hibari Misora. Dengan kecakapan vokal dan penampilannya yang berani, Misora menjadi ikon enka yang tidak hanya menguasai pasar tetapi juga membentuk identitas genre ini dalam masyarakat Jepang. Musik enka menjadi lebih diterima oleh masyarakat, terutama dengan munculnya penyanyi-penyanyi besar yang membawa enka ke era keemasan, seperti Hibari Misora, yang dikenal sebagai “Ratu Enka” atau “Ratu Showa“.
Karir Hibari Misora dimulai sejak usia 11 tahun, meski awalnya dikritik karena penampilan “tidak senonoh” (dianggap tidak sesuai dengan norma sosial kewanitaan Jepang saat itu), dan segelintir orang kerap kali dicemooh sebagai gagak, karena suara & lagu nya sebagai lambang kesialan. Ia berhasil membangun identitas unik dengan menggabungkan vokal emosional, teknik vibrato khas, dan penampilan gender-bending (mengenakan busana pria pada saat tampil pada film yang dibintanginya).
Pada dekade 1960-an hingga 1970-an, enka mencapai puncak kejayaannya. Hibari Misora, yang dikenal sebagai ikon musik enka, memainkan peran besar dalam transformasi genre ini. Kariernya yang gemilang menjadikan Hibari sebagai simbol penting dalam dunia musik Jepang, terutama akibat penjualannya yang luar biasa, seperti single “Jyuwa” yang terjual hampir 2 juta eksemplar.
Enka pada era ini menjadi lebih terorganisir dengan adanya label-label rekaman musik seperti CBS, Nippon Columbia yang berperan penting dalam produksi dan distribusi musik enka. Industri ini mengadopsi pola produksi yang efisien, dengan lagu-lagu yang seringkali memiliki aransemen serupa (dalam bahasa Jepang disebut kata ), namun tetap mendapatkan perhatian besar dari penggemar setia. Pada saat yang sama, enka juga mulai menjadi alat untuk memperkenalkan pesan-pesan sosial dan budaya Jepang, serta membentuk identitas nasional pasca perang.
Seiring dengan popularitasnya, enka tidak lepas dari politik dan kontroversi. Pada era 1970-an, acara musik NHK Kouhaku Uta Gassen menjadi ajang penting yang menampilkan penyanyi-penyanyi enka. Namun, di balik panggung, ada spekulasi tentang hubungan gelap antara NHK dan kelompok Yakuza, yang membuat beberapa penyanyi terlibat dalam skandal. Hibari Misora sempati mengalami penurunan popularitas setelah keluarganya dikaitkan dengan Yakuza, yang menyebabkan kritik tajam dari masyarakat.
Namun, meskipun ada kontroversi ini, kontribusi Hibari terhadap perkembangan musik enka tidak dapat disangkal. Seperti halnya tokoh-tokoh besar dalam musik jazz semacam John Coltrane atau Louis Armstrong, Hibari telah memberikan dampak besar terhadap evolusi enka dan memperkenalkan elemen-elemen baru dalam genre ini, yang masih dilestarikan hingga kini.
Kembang Enka Yang Saling Bermekaran
Enka mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1960 hingga 1970-an, di mana industri musik Jepang mulai mengorganisir enka dengan lebih efisien. Salah satu penyanyi yang turut memainkan peran besar dalam sejarah musik enka adalah Chiyoko Shimakura. Dikenal dengan kemampuan vokalnya yang menyentuh dan ekspresi emosional yang kuat, Chiyoko mulai mengagumi Hibari Misora sejak usia muda dan kemudian menjadi salah satu penyanyi enka yang sukses.
Meskipun kariernya dihiasi dengan berbagai tantangan pribadi dan tragedi, termasuk kecelakaan yang mengancam penglihatannya dan permasalahan finansial yang signifikan, Chiyoko tetap berhasil mempertahankan popularitasnya dan tampil dalam acara bergengsi seperti NHK Kouhaku Uta Gassen. Ia juga mencatatkan prestasi sebagai penyanyi enka yang paling banyak tampil dalam acara tersebut, dengan 35 kali tampil dari 1957 hingga 1986.
Fuji Keiko, dengan suara khasnya yang parau dan gaya lirik yang mengangkat isu sosial, muncul sebagai penyanyi yang di karikatur oleh pihak label sebagai pembawa elemen pemberontakan dalam enka. Ia dikenal dengan penampilannya yang berbeda, termasuk rambut bob yang ikonik. Fuji menggabungkan elemen blues dalam lirik-liriknya yang menceritakan tentang perjuangan perempuan dan kelas bawah (pada awalnya), yang semakin memperkenalkan musik enka kepada kalangan yang lebih muda.
Namun, meskipun berhasil mengukir kesuksesan, Fuji Keiko mengalami kesulitan dalam mempertahankan popularitasnya karena perubahan dalam industri musik enka itu sendiri, yang mulai menuntut kesan lebih “terbuka” dan beradaptasi dengan tren yang lebih modern. Hal ini mengarah pada perubahan besar dalam pengertian dan definisi “enka” yang dikenal hingga saat ini.
Sayuri Ishikawa, yang memulai karirnya sebagai penyanyi idol pada usia muda, berkembang menjadi salah satu penyanyi enka yang paling sukses. Dengan vokalnya yang indah dan prestasi gemilang di berbagai ajang musik, Sayuri mengukuhkan dirinya sebagai penerus legasi musik enka setelah kepergian para tokoh besar seperti Hibari Misora dan Chiyoko Shimakura. Single “Tsugaru Straits Winter Scenery” menjadi titik balik dalam karier Sayuri, yang membawa namanya ke puncak kesuksesan. Tentunya kesuksesan dan keotentikan daripada musik enka tidak terlepas daripada teori yang diaplikasikan menjadi bentuk aransemen keseluruhan maupun filosofis estetis yang ditanamkan.
Teori & Filosofis Musik Enka

Meskipun sering dikaitkan dengan nuansa tradisional Jepang, sesungguhnya enka berkembang dalam kerangka pemahaman musik yang lebih luas, termasuk pengaruh kuat dari westernisasi dan elemen-elemen musik Barat. Enka tidak lahir sebagai produk murni dari tradisi musik Jepang, tetapi lebih sebagai hasil dari akulturasi yang menggabungkan berbagai pengaruh budaya dunia, seperti musik klasik Eropa, jazz, dan blues.
Pada awalnya, musik Jepang, yang terisolasi selama periode Tokugawa, tidak mengenal konsep harmoni yang ada dalam musik Barat. Masyarakat Jepang cenderung mengapresiasi melodi daripada harmoni, dan tangga nada yang digunakan pun lebih sederhana, seperti skala pentatonik. Musik tradisional Jepang seperti gagaku dan musik teater noh juga menggunakan struktur musik yang sederhana dan terfokus pada melodi.
Namun, dengan masuknya Restorasi Meiji pada tahun 1868, Jepang mulai membuka diri terhadap pengaruh Barat, termasuk dalam bidang musik. Pemerintah Jepang mengadopsi berbagai skala nada Barat, termasuk skala mayor, minor, dan pentatonik, yang kini menjadi bagian integral dari musik enka. Dalam hal ini, enka mengadopsi prinsip-prinsip dasar musik Barat, tetapi tetap menjaga kesederhanaan dalam interpretasi dan aplikasinya.
Kesederhanaan adalah prinsip pertama dalam musik enka, yang tercermin dalam cara masyarakat Jepang mengapresiasi musik dan dalam penerapan teori musik. Pada masa sebelum pengaruh Barat, masyarakat Jepang tidak mengenal harmoni vertikal, melainkan lebih mengutamakan harmoni horizontal melalui perubahan skala yang bertahap. Hal ini masih dapat ditemukan dalam musik enka modern, di mana penggunaan skala pentatonik mayor dan minor lebih dominan, menghindari disonansi yang dihasilkan oleh jarak setengah nada atau semitone.
Dalam hal aransemen musik, kesederhanaan juga tercermin pada tekstur musik enka yang umumnya menggunakan teknik homofoni. Di sini, vokal menjadi melodi utama, didukung oleh instrumen yang lebih bersifat pendamping. Selain itu, instrumen perkusi dalam musik enka biasanya dimainkan dengan volume yang lebih rendah untuk tidak mengganggu fokus utama pada vokal.
Prinsip kedua adalah keselarasan utuh, yang mengacu pada pentingnya kekonsonan dalam musik enka. Dalam musik, kekonsonan diartikan sebagai gabungan suara yang terdengar selaras dan seirama ketika didengar. Enka menekankan pada penggunaan skala yang tidak memiliki disonansi signifikan, menjaga suara agar tetap harmonis dan mudah dicerna oleh pendengarnya. Hal ini sesuai dengan tradisi musik Jepang yang lebih mengutamakan keselarasan daripada kompleksitas harmonik yang ada dalam musik Barat.
Dalam teori musik, ini tercermin pada penggunaan skala pentatonik yang lebih stabil dan konsonan, tanpa adanya jarak setengah nada yang bisa menyebabkan ketegangan antara bunyi yang satu dengan yang lainnya. Fokus utama musik enka adalah pada penyampaian vokal dan lirik, dengan harmoni yang sederhana agar pesan yang ingin disampaikan lebih mudah diterima oleh pendengar.
Prinsip ketiga adalah keestetikan absolut, yang mengacu pada nilai keindahan yang dipertahankan dalam setiap aspek musik enka. Musikalitas dalam enka didesain untuk memaksimalkan ekspresi vokal, dengan memperhatikan teknik vokal yang halus dan penuh pertimbangan, seperti melismatic, portamento, dan vibrato. Teknik-teknik ini digunakan untuk memperkaya ekspresi vokal, memastikan bahwa setiap nada dan pelafalan memiliki kekuatan emosional yang mendalam.
Melismatic, yang memastikan perubahan nada pada setiap suku kata, portamento, yang memungkinkan peralihan nada secara bertahap, dan vibrato, yang menekankan perubahan nada dengan cepat dan rapat, semuanya bekerja bersama untuk menjaga keindahan suara vokal. Pendekatan ini memastikan bahwa vokal enka tetap menjadi fokus utama, mendominasi aransemen musik tanpa terganggu oleh elemen-elemen yang tidak perlu.
Masa Stagnasi & Krisis Enka

Mulai dari penemuan etimologi istilah “enka” kemudian berevolusi menjadi salah satu genre musik yang berkembang dan sukses dalam industri musik Jepang, enka, telah menghadapi berbagai perubahan besar sepanjang sejarahnya, berinteraksi dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan globalisasi. Dalam perjalanan ini, seperti dalam banyak tradisi filosofis baik dari Jawa maupun Barat yang menyatakan ada pola berulang antara kekacauan dan stabilitas, sebuah dinamika baru kemudian menghampiri perjalanan enka pada dekade pasca mereka mencapai titik puncak keberhasilan.
Pada akhir 80-an hingga 90-an, enka mengalami stagnasi yang signifikan. Meskipun masih ada penyanyi legendaris yang mencapai puncak karir mereka, kekuatan eksternal seperti pengaruh globalisasi, pergeseran budaya, serta krisis ekonomi Jepang, mempengaruhi eksistensi enka. Dunia musik Jepang mulai berkembang dengan cepat dan berfokus pada genre yang lebih modern, sementara enka perlahan menghilang dari perhatian utama industri musik.
Salah satu contoh nyata adalah perjalanan Fuji Keiko. Setelah mencapai puncak popularitas, Fuji mengalami konflik pribadi dan karier yang menurun. Ketidakcocokan dengan manajernya, kegagalan dalam hubungan asmarai, serta masalah fisik seperti polip tenggorokan yang mengganggu vokalnya, mempengaruhi perjalanan kariernya. Meskipun sempat melakukan comeback, kehadirannya tidak mampu mengembalikan gemerlap karir seperti sebelumnya.
Fuji Keiko akhirnya mengumumkan pensiun pada 1979, namun perjalanannya tidak berakhir di situ. Setelah menetap di Amerika dan kembali ke Jepang pada 1981, dia mencoba untuk kembali ke dunia musik. Namun, pada akhirnya, namanya tidak mampu menggema seperti dahulu, meskipun ia menjadi ibunda dari bintang muda, Hikaru Utada, yang kemudian meledak di dunia musik Jepang.
Pada dekade 90-an, enka semakin terpinggirkan dalam industri musik Jepang. Meskipun pasar musik Jepang mengalami pertumbuhan pesat, enka semakin terpinggirkan dengan penurunan minat dari generasi muda yang lebih memilih musik pop, rock, dan genre modern lainnya. Bahkan meski beberapa penyanyi legendaris enka tetap aktif, mereka menghadapi kesulitan untuk menarik perhatian publik yang sudah beralih ke genre lain.
Di sisi lain, krisis ekonomi Jepang pada 1990-an semakin memperburuk keadaan. Penurunan daya beli masyarakat serta pergeseran budaya global membuat enka semakin tidak relevan di kalangan generasi muda. Bahkan, meskipun enka tetap memiliki tempat di beberapa acara besar seperti NHK Kouhaku Uta Gassen, genre ini hanya dihargai oleh penggemar yang lebih tua, sehingga pasar untuk musik enka menyusut.
Beberapa penyanyi besar seperti Hibari Misora dan Chiyoko Shimakura mengalami penurunan karier yang signifikan. Hibari, yang pernah menjadi ikon enka, akhirnya menghadapi masalah kesehatan yang semakin parah, termasuk sirosis hati, yang akhirnya memengaruhi kemampuannya untuk tampil di atas panggung. Meskipun ia berjuang keras untuk kembali tampil di konser besar, kondisinya semakin menurun, dan akhirnya, Hibari meninggal pada 1989, mengakhiri era kejayaan enka yang secara kebetulan juga menjadi akhir daripada periode Showa di Jepang.
Seiring dengan berjalannya waktu, musik enka beralih ke kondisi yang lebih marginal. Generasi baru penyanyi enka menghadapi tantangan besar untuk bersaing dengan genre lain yang lebih modern, dan meskipun ada penyanyi seperti Kiyoshi Hikawa dan Fuyumi Sakamoto yang mencoba melanjutkan tradisi enka, mereka tetap berjuang untuk mempertahankan relevansi di tengah dominasi genre pop dan rock.
Di luar itu, penurunan dalam penjualan fisik dan ketatnya seleksi untuk menjadi penyanyi enka semakin memperlambat regenerasi. Enka, meskipun tetap ada, kini hanya mengakar di kalangan pendengar berusia lanjut dan sebagian masyarakat pedesaan.
Referensi
- Boscaro, Adriana, Franco Gatti, and Massimo Raveri. 2000. Rethinking Japan: Social Sciences, Ideology & Thought. London: Routledge.
- Coates, Jennifer. 2021. Female Stardom and National Identity in Postwar Japan. London: Bloomsbury Academic.
- Dower, John W. 1993. Japan in War and Peace. New York, NY: The New Press.
- ———. 1999. Embracing Defeat: Japan in the Wake of World War II. New York, NY: W.W. Norton.
- Eto, Mikiko. 2010. “Women and Representation in Japan.” International Feminist Journal of Politics 12 (2): 177–201.
- Gamo, Satoaki. 1986. “On Two or Three Aspects of Enka Singing.” Sounds of Peoples (Tokyo): 385–409.
- Iiboshi, Koichi. 1982. Yamaguchi-gumi Third Generation 1: Ambition. Tokyo: Tokuma Shoten.
- Iokibe, Makoto. 2007. “US Occupation Policy in Japan.” Yokohama International Economic Law Review 16 (1): 1–15.
- Matthews, Freeman H. 1946. The Original Text of SWNCC228 by the State War Navy Coordinating Committee (SWNCC). Appendix 1 of Memorandum by the State War Navy Coordinating Committee to the Secretary of State.
- McLelland, Mark. 2010. “‘Kissing Is a Symbol of Democracy!’ Dating, Democracy, and Romance in Occupied Japan, 1945–1952.” Journal of the History of Sexuality 19 (1): 47–75.
- Mainichi Shimbun. 2016. “Mainichi Shimbun 1946: Welcomes Government Draft of New Constitution. Constitutional Reform Debate Takes Shape in the 1950s.” Mainichi Shimbun, February 8.
- Miyazaki, Shigeki. Legal Studies: A Study on the Occupation. Meiji University Law Institute: 116–132.
- National Diet Library. 2003. “The Birth of the Constitution of Japan: Introduction to the People.” National Diet Library, May 3.
- ———. 1946. Reform of the Japanese Governing System (SWNCC228). Edited by A.D. Reid, B.L. Austin, and R.E. Cox.
- Nishibe, Susumu, and Makoto Takataka. 2009. “Misora Hibari.” In Thoughtful Talks, Asahi Shimbun Publications.
- Oshiyama, Michiko. 2007. Shojo Manga Jenda Hyosho Ron: “Danso no Shojo” no Zo Kei to Aidentiti [Semiotics of Gender in Shojo Manga: Identity and the Creation of “Girls in Drag”]. Tokyo: Sairyu Sha.
- Oshita, Eiji. 1989. Misora Hibari: Jidai o Utau [Misora Hibari Sings an Era]. Tokyo: Shincho Bunko.
- Shigeshita, Kazuo. 1975. “Popular Music of Japan (Part 2): The Structure of Kayokyoku Scales.”
- Sugita, Yoneyuki. 2003. Pitfall or Panacea: The Irony of U.S. Power in Occupied Japan, 1945–1952. London: Routledge.
- Takemae, Eiji. 2002. Inside GHQ: The Allied Occupation of Japan and Its Legacy. Translated by Robert Ricketts and Sebastian Swann. New York: Continuum.
- Tamanoi, Mariko Asano. 1990. “Women’s Voices: Their Critique of the Anthropology of Japan.” Annual Review of Anthropology 19 (1): 17–37.
- Yano, Christine R. 2002. “The Cultural Logic of Enka’s Imaginary.” In Tears of Longing: Nostalgia and the Nation in Japanese Popular Song, 1st ed., Vol. 206, 13–27. Harvard University Asia Center.
- ———. 2002. “Producing Enka: Lessons in Perseverance.” In Tears of Longing: Nostalgia and the Nation in Japanese Popular Song, 1st ed., Vol. 206, 45–76. Harvard University Asia Center. https://doi.org/10.2307/j.ctt1tfjck1.9.
- Yoshimi, Yoshiaki. 2002. Comfort Women: Sexual Slavery in the Japanese Military During World War II. New York, NY: Columbia University Press.
- Sankei Shimbun. 1974. “Small Traditions.” Sankei Shimbun, 1974.
- Social and Customs Observation Society, ed. Chronology of Modern Customs and Manners: 1945 (Showa 20) – 1985 (Showa 60). Tokyo: Kawade Shobo Shinsha, 1986. p. 64. ISBN 4-309-24089-5.
- Yomiuri Shimbun Culture Department. This Song, This Singer, Vol. 1: 120 Dramas of Destiny. Tokyo: Shakai Shisosha, 1997. p. 48. ISBN 4390116010.
- Yomiuri Shimbun Culture Department. This Song, This Singer (Part 1): 120 Dramas of Fate. Tokyo: Shakai Shisosha, 1997. p. 49.
- “Melody (2) The Pine Tree of Farewell.” Kobe Shimbun, April 30, 1999, evening edition, p. 3.
- “Otomi-san’s Lonely Struggle, His Comeback at the Disco, Even the Shaka-sama Astonished?” Yomiuri Shimbun, January 31, 1979, evening edition, p. 5.
- “Mitsuhashi Michiya Sings with Emotion as Substitute for the Late Kasuga…’Last Train’ with Tears in His Eyes.” Sports Nippon, October 28, 1991, morning edition.
- Yomiuri Shimbun, Tokyo Evening Edition, October 23, 1991, p. 31.
- Association for Recording the Fukuoka Air Raid, Rain of Fire: The Great Fukuoka Air Raid on June 19th (1986), 95–96.
- Yomiuri Shimbun Culture Department. This Song, This Singer, Vol. 1: 120 Dramas of Destiny. Tokyo: Shakai Shisosha, 1997.
- This Song, This Singer (Part 1): Fateful Drama 120. Tokyo: Shakai Shisosha, 1997.
- Sports Nippon. “My Way – Kitajima Saburo.” April 16, 2014, 22.
- Ministry of Internal Affairs and Communications and DPA. “Various Initiatives: Two Years Until Complete Transition to Digital Broadcasting.” Dentsu News Morning Edition (Dentsu).
- Oricon Weekly, ed. Koike Satoshi’s Oricon Data Private Postbox. Tokyo: Original Confidence, 1991.
- Minoruphone. KA-2089 c/w Jaraku no Ame. Kitahara was released in May, Kitajima was released two months later in July.
- Shimakura, Chiyoko. The Shimakura Family – This is My Will. Tokyo: Bungeisha, 2005.
- ———. Uta Goyomi. Tokyo: Yomiuri Shimbun, 1994.
- Social and Customs Observation Society. Chronology of Modern Social and Customs: 1945–2008. Tokyo: Kawade Shobo Shinsha, 2009.
- Konishi, Ryotaro. Women’s Popular Songs. Tokyo: Sankei Shimbun News Service, 2001.
Baca Juga : Lebih Dekat Dengan Folk Han – Musik Rakyat Masyarakat Han