2022Hip HopReviews

Kendrick Lamar – Mr.Morale & The Big Steppers – Review

Kendrick Lamar-Cover-Mr-Morale-&-The-Big-Stepper

Dalam catatan ke-5 nya, Kendrick Lamar memaparkan sebuah catatan personal bersifat non-egosentris. Dengan irama, rima, dan suara dia berambisi menyelam pada sisi tergelap dalam hidupnya. Upaya tersebut dilakukan demi menjaga kehangatan dan hubungan emosional yang baik bersama keluarga kecilnya.

Berdiri, menatap tajam di depan cermin dan secara berani mengutarakan kritikan terhadap diri sendiri, merupakan bahan bakar Kendrick Lamar dalam menuangkan kreatifitasnya. Membedah segala kekurangan menjadi berbagai sisi kepribadian, opini, dan perspektif, dirinya tidak gentar untuk terus menyambangi arti sebuah kejujuran dan konektivitas emosional pribadi dalam berkarya. Antusiasme dan pesannya yang tersalurkan dalam rima, beat, dan suara telah banyak menghubungkan dan menggetarkan emosi banyak orang di belahan dunia. Upaya ini membuat Kendrick Lamar dianggap sebagai salah satu storyteller hip-hop terbaik yang lahir di generasi sekarang.    

Kendrick Lamar mengalami perluasan tema dan perspektif setiap kali dia melepas studio album. ‘80. Section’ dengan kisah kehidupan lingkungan terdekatnya, ‘Good KID M.A.A.D City’ dengan kisah kehidupannya di Compton, ‘To Pimp A Butterfly’ narasi membara tentang kultur kulit hitam, serta ‘DAMN’ dengan kisah dualisme kepribadian dirinya. Sayangnya, jawaban mengenai langkah siklus perspektif Lamar berikutnya harus terhenti selama 5 tahun.

Dia tidak merilis album penuh dalam rentan waktu tersebut. Sebagai gantinya dia hanya disibukkan dengan beberapa projek: Mengisi soundtrack film Black Panther, berkolaborasi dengan beberapa musisi, serta meresmikan peluncuran perusahaannya bersama Dave Free, PG Lang Entertaiment. Namun mendengar kabar bahwa Kendrick Lamar hendak meluncurkan ‘Mr. Morale & The Big Steppers’ sebagai catatan ke-5 nya, seperti kembali menghidupkan asa untuk menjawab teka-teki fase Lamar berikutnya.

Kendrick-Lamar-the-hearts-part-v

Perubahan dunia yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun, sangat mempengaruhinya dalam  bercerita dan mengisahkan album ini. Setiap lagu mewakilkan isu berbeda, tetapi semuanya terikat  dalam satu mata rantai yakni kembali kepada catatan personal dari seorang Kendrick Lamar. Bahkan secara lantang dia menembus batasan lebih jauh lagi untuk menyinggung aib yang seharusnya tidak diumbar pada perhatian publik. Namun semuanya Ia korbankan semata untuk mencapai tingkatan kejujuran yang murni apa adanya, meskipun harus meninggalkan goresan luka batin mendalam.

Datang dengan konsep double album, ‘Mr. Morale & The Big Steppers’ menampilkan 2 sisi terikat disertai penekanan gaya narasi berbeda. Sisi pertama menampilkan keadaan dirinya yang masih terjebak dalam lingkaran setan. Dia harus bergumul dengan berbagai isu dan melawan tekanan batinnya dari keadaan pasca traumatis yang terus menghantuinya. Pergumulan langsung terlihat pada lagu pembuka, ‘United In Grief’ yang menerobos langsung mengungkap masalah mental dan traumanya. Refrain vokal pembuka dari Sam Dew & sang istri, Whitney Alford memberikan pesan saling bertolak belakang yang mewakili kebimbangan sisi internal Kendrick. Potongan chord piano mengiringi Kendrick memaparkan masalahnya seperti menggambarkan suatu keadaan seorang narator yang membacakan prolog cerita pada sebuah pertunjukkan drama.

Guncangan emosi kemudian melonjak seiring dengan bertambahnya kecepatan lagu dihujani dengan terjangan drum tersenggal-sengal, serta liukan licin dari melodi synth. Flow Kendrick berpacu dan bertarung melawan ketukan, sambil terus bercerita mengenai ketenaran dan perilaku konsumerismenya yang sama sekali tidak mampu melepaskan dia dari masalah mental dan traumanya. Kendrick Lamar berusaha untuk menyatukan emosi dengan audience-nya melalui sebuah pesan bahwa kita merupakan suatu kesatuan dalam bertarung melawan kesuraman dan masalah pribadinya masing-masing.

Beranjak pada lagu ‘N95’ ini merupakan lagu yang memiliki pertumbuhan pesat dalam jajaran album. Tentunya itu semua berkat chemistry apik dari Kendrick dan sepupunya, Baby Keem yang mendongkrak kinerja lagu ini secara keseluruhan. Kendrick menghidupkan mode trap-nya sehingga merubah dekorasi instrumen dengan taburan beat-trap, ritem bass memantul-mantul, serta getaran nada-nada rendah synth.

Keduanya mengungkap kesadaran akan kehidupan dalam panggungg hiburan yang dipenuhi dengan sandiwara dan manipulatif. Secara parallel mereka menyinggung masalah yang terjadi saat ini, seperti melakukan sebuah komparasi tersirat, bahwa kehidupan dalam dunia entertainment sama problematiknya dengan kehidupan yang dijalani secara biasa. Pertukaran flow diantara mereka begitu cair dan tidak terasa canggung. Keduanya saling terbuka untuk memamaparkan setiap masalah.  

‘Worldwide Stepper’ datang dengan narasi lebih padat, karena Kendrick menjejali berbagai lapisan permasalahannya menjadi satu. Kisah mengenai pengalamannya menjadi seorang ayah, menghadapi krisis kepenulisan lagu selama 2 tahun, perselingkuhan, hingga isu-isu rasial menjadi topik utama. Narasinya begitu kuat di sini, bahkan dia mengkritisi isu rasial secara vulgar dan toxic dengan berterus terang bahwa dia pernah meniduri wanita kulit putih.

Kendrick menganggapnya sebagai sebuah upaya balas dendam sekaligus menghina secara simbolik mengenai hubungan terlarang antara ras. Ini merupakan salah satu lagu dengan narasi tergelap sekaligus memiliki tema dengan tingkat urgensi paling serius. Kendrick memaparkan setiap masalahnya begitu cepat dengan suara datar dan dingin seolah menempatkan dirinya pada keadaan acuh tak acuh dalam menghadapi situasi tersebut. Gaungan suara-suara bernada rendah dan berat pada instrumen membentuk serangkaian proyeksi gambaran sebuah sudut gelap yang penuh dengan ancaman.

Sayangnya instrumen bergerak terlalu statis, dan tidak begitu memberikan getaran emosional. Peralihan sekejap nuansa pada pertengahan lagu justru membuyarkan gambaran awal yang sudah dibangun dengan cukup apik. Dengan kata lain instrumen menghambat lajunya lagu untuk melontarkan emosionalnya secara nada dan irama.

‘Die Hard’ Membuka kembali lembaran Kendrick Lamar mengenai masalah insecurity dalam membina sebuah hubungan sehat. Narasi dan penjabarannya tidak sedalam lagu lainnya. Mungkin ini hanya sebuah bentuk kekhawatiran yang terlintas secara kilat dalam benaknya. Sehingga dengan cepat dia menemukan solusi dan konklusi baiknya pada akhir lagu untuk mengatasi masalah ini. Tabuhan beat-beat komersil, dengan denyut bass tidak begitu menggambarkan secara langsung terhadap pesan yang disampaikan dalam lagu ini.

Flow Kendrick terdengar underperformed jika dibandingkan dengan Kadhja Benet, Bixst, dan Amanda Reifer selaku musisi tamu yang berkontribusi di sini. Hal ini berkaitan dengan performa Kendrick pada 3 lagu sebelumnya, dimana flow-nya begitu kuat dalam menampilkan karakter dan pesonanya masing-masing. Dengan kata lain ekspetasi yang serupa tidak dapat bekerja dalam performa vokalnya di sini.

Untungnya performa serba tanggung dari lagu sebelumnya terbalaskan penuh pada lagu ‘Father Time’. Menampilkan potongan tekstur instrumen berwarna dan perubahan ritma serta irama lebih masuk akal, sejauh ini ‘Father’ menonjolkan kinerja terbaik secara instrumental. Loop keyboard dan ketukan santai drum begitu dinamis dalam menggambarkan narasi kompleks hubungan ayah-anak di sini.

Kendrick secara detil memaparkan hubungan dengan ayahnya yang secara emosional telah “menelantarkannya”. Ayahnya memberikan doktrinisasi pada dirinya bahwa setiap pria harus selalu pandai menyembunyikan perasaanya. Anda harus selalu bertarung untuk meraih segalanya dan jangan pernah mempercayai siapapun orang di sekitaran anda. Nasihat ayahnya tampak bekerja dalam merubah dirinya memiliki kepribadian tangguh, tetapi secara bersamaan itu juga menimbulkan kekhawatiran dan trauma dalam dirinya.

Dia menyebutkan bahwa ayahnya terus sibuk bekerja, meskipun ibu dari ayahnya baru saja meninggal. Kendrick mengangkat masalah itu semata untuk memperlihatkan betapa dinginya sikap dan emosi dari ayahnya. Tragedi tersebut meninggalkan kecemasan bagi Kendrick ketika dirinya saat ini memiliki tanggung jawab dan peran kongruen dengan ayahnya dulu.

‘Rich (Interlude)’ secara tidak langsung sedikit menguak apa yang dibalik disk kedua nantinya, dengan menampilkan Kodak Black dalam mengenalkan fungsionalitasnya. Kendrick Lamar sengaja menempatkan Kodak Black sebagai karakter utama di sini, untuk mengisyaratkan setiap orang memiliki kesempatan sama besarnya. Kodak Black sedikit mencibir kepada orang-orang yang mempertanyakan eksistensialnya di sini. Pusaran kord piano tergesa-gesa cukup menghidupkan emosi pengenalan tokoh Kodak Black menjadi lebih ambisius.

Panggung dikembalikan seutuhnya kepada Kendrick pada lagu ‘Rich Spirit’. Dia membahas persoalan baru yang belum disinggung sejauh ini, yakni mengenai kekeliruan dari konsep pemujaan idola secara berlebihan. Sentimen Kendrick begitu jelas di sini, bahwa dia mengkritisi pandangan kekeliruan dari sosok publik figur yang dipandang seolah tanpa celah, padahal tidak demikian. Untuk itu dia merubah tutur katanya menjadi lebih frontal dan mengurangi nilai kesopanannya. Membuka perspektif bahwa dia seorang selebritas jujur yang berusaha tampil apa adanya dan tidak bersandar dibalik integritas palsu yang muluk-muluk.

Sulit untuk menghentikan sentimen Kendrick yang semakin bergejolak di titik ini, karena ‘We Cry Together’ semakin memompa adrenalinnya untuk membahas isu-isu bersifat sensitif. Florence Welch dan Whitney Alford membuka lagu begitu elegan, sebelum polanya berubah seketika. Lagu ini didasari dengan template berbeda: tidak berdiri pada mode trap maupun dipenuhi dengan dominasi peran instrumen.

Pertarungan verbal antara Taylor Peige dan Kendrick Lamar dalam berdebat diikuti dengan ledakan kemarahan begitu intens, telah merubah percakapan toxic ini menjadi salah satu momen paling penting dalam disk pertama. Lagu ini menganalogikan kemarahan dunia hip-hop yang diwakilkan oleh Taylor kepada Kendrick Lamar, karena sang rapper absen selama 5 tahun. Sementara Kendrick menolak untuk menuruti setiap komitmen yang dilontarkan Taylor, karena itu menguras emosi dan tenaganya. Namun analogi lebih masuk akal dari lagu ini mencoba menggambarkan sebuah pertengakaran toxic dari pasangan-pasangan di luaran sana. Pada dasarnya pertengkaran mulai pecah akibat kedua belah pihak terlalu obsesif dalam membahas masalah-masalah sepele yang tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan mereka.

Nuansanya semakin realistis, ketika suara pecahan botol, iringan piano tidak selaras, dan hentakan drum semakin mempertegas ketegangan yang terjadi. Kita tahu semuanya bahwa Taylor sangat berhasil dalam menghidupkan perannya sembari mengeluarkan uneg-uneg dan kemarahannya secara totalitas. Percakapannya bersama Kendrick yang menyinggung masalah narsistik, egoistik, cancel-culture,  hubungan seksual, serta kesadaran palsu telah berhasil menghadirkan narasi penuh rasa vulgar dan satir. Mungkin sedikit meninggalkan sensasi komedi di sana, tetapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan pengalaman serupa justru ini menimbulkan sebuah visual traumatis yang kembali diputar dalam alam bawah sadar mereka.

Side pertama ditutup dengan ‘Puple Hearts’ sebuah lagu mellow dramatis sarat dengan penekanan lirik bernuansa cinta dan romantisme. Tentu kita tidak bisa mengharapkan Kendrick menulis sebuah kisah cinta picisan tanpa liku. Dirinya merubah perspektif bahwa cinta itu merupakan sebuah badai perjuangan yang harus dilewati dengan tegar demi mempertahankannya. Serpihan instrumen diturunkan secara aspek peran dan kompleksitasnya agar audience dapat memusatkan perhatiannya pada narasi-narasi bercorak puitis.

Tetapi instrumen menyediakan sandaran romansa dibalut dengan rasa glamor dan candu lewat uraian piano melankolis, tempo mengalun, serta hempasan beat yang menggetarkan hati. Dengan Ghostface Killah ditempatkan pada lagu bernuansa kelabu dan melankolis justru memberikan sudut pandang baru dalam menilai rima dan suaranya. Vokal lantangnya menjadi terdengar lebih berwibawa dan biksajana. Secara narasi dirinya mengungkapkan perasaan begitu detil meski beberapa orang menangkapnya sebagai sebuah narasi berbelit-belit.

Kehadiran Ghostface Killah pada penghujung lagu sungguh menyelamatkan lagu ini dari kehambaran segi flow. Kendrick sendiri lebih memilih bergabung bersama Summer Walker untuk melantunkan nada lebih mellow dan lembut. Sisi kedua dari album ini memperlihatkan Kendrick memiliki inisiatif untuk membenahi dirinya dengan merangkak pada sisi kehidupan lebih terang. Motivasinya dibangun bukan hanya atas dasar kesadaran dirinya, dia melakukannya agar dapat merajut hubungan lebih harmonis dan sehat bersama keluarganya. Dia menghadirkan pandangan-pandangan bersifat lebih spiritual di sini dan kehadiran Eckhart Tolle seorang guru spiritual asal Jerman dalam beberapa lagunya memvalidasi itu semua.

Baca Juga : Elzhi / Georgia Anne Muldrow – Zhigeist – Review

Bagian kedua ini tidak sepenuhnya menunjukkan bahwa Kendrick sudah sepenuhnya terbebas dari berbagai masalahnya. Faktanya beberapa lagu memperlihatkan situasi Kendrick yang masih sibuk bertarung melawan isu kehidupannya, meski posisinya saat ini bisa dikatakan lebih baik. Setidaknya itu tergambarkan langsung pada lagu pembuka ‘Count Me Out’ yang memiliki irama lebih energik. Maknanya sendiri terkesan reflektif, dengan Kendrick berusaha untuk tidak lagi menyalahkan dirinya atas seluruh musibah yang menimpa dirinya. Dia juga mencoba untuk merenung sambil memaafkan diri, yang kemudian diikuti dengan energy positif bersamaan dengan getaran vokalnya yang semakin menguat dan tegas pada penghujung lagu.

Secara instrumental, lagu ini memiliki kasus serupa dengan lagu ‘Die Hard’, dimana instrumen tidak mewakilkan secara langsung konsep lirik yang diceritakan. Setidaknya itikiad baik Kendrick untuk merubah pesan auditorinya menjadi lebih kuat di penghujung lagu patut diapresiasi. ‘Crown’ kembali bercerita mengenai sisi manusia biasa dari Kendrick Lamar. Kita tahu bahwa dia menjadi salah satu poster boy hip-hop paling diagung-agungkan, karena suaranya telah berhasil mengembalikan otoritas musik hip-hop sebagai sebuah sarana untuk mengkritisi kehidupan sosial-politik pada masa sekarang.

Namun ia pun sadar dan tidak terjebak dalam kenaifan, bahwa itu bukanlah jaminan agar semua orang setuju dengan upaya yang dilakukannya. Ditemani hembusan piano, dia membisikan refrain berbunyi ‘I can’t please everybody’ secara merata di sepanjang lagu. Sayangnya tidak ada itikad baik dari sesi instrumen untuk melakukan peralihan nada dan suara, sehingga iringan piano dirasa berputar-putar pada tempat serupa dan terlalu menghabiskan waktu dan energy. Alangkah baiknya bila piano seandainya diberi progresi chord dengan sensibilitas melodik beragam, sehingga lagu lebih leluasa menjelaskan konteks liriknya dengan emosi lebih menyentuh.

‘Silent Hill’ merupakan sekuel dari Kodak Black, dimana kali ini dirinya beraksi secara langsung untuk memaparkan masalah-masalah pribadinya pada sepanjang lagu. Instrumen bekerja cukup optimal dalam menciptakan sebuah ingatan masa lalu yang kelam. Percikan laser synth, beat-trap yang mengetuk lebih keras, serta permainan level suara mengawang-ngawang dari synth memberikan nuansa energy malam yang begitu surreal.

Sebuah usaha efektif dari Kodak Black, bukan merupakan sebuah kesia-siaan menunggu performanya secara langsung. Setelah di disk pertama ia hanya muncul sebagai cameo, vokalnya cukup bersinar bersamaan dengan pancaran instrumen. Dapat dikatakan ini merupakan salah satu performa paling menonjol dari jajaran tamu yang berkontribusi pada disk kedua.

Merangkak masuk pada track berikutnya, Baby Keem kembali muncul untuk menjelaskan trauma masa lampaunya yang tumbuh dalam lingkungan keluarga kurang sehat. Bersamaan dengan pesan spiritual pembuka dari Eckhart Tolle dan iringan biola, narasi Keem menghidupkan suasana menjadi haru sekaligus dramatis. Masuk pada sajian utama, ‘Savior’ menampilkan ambiguitas dari peran seorang Kendrick Lamar. Dengan visual dirinya mengenakan mahkota berduri pada sampul album, banyak mengira bahwa Kendrick memiliki tugas untuk menyelematkan manusia.

Padahal seperti diketahui, sejak awal Kendrick sedang melawan pergumulan masalahnya sendiri. Ini juga berlaku pada lagu ini, dimana dia berusaha mendamaikan diri. Dengan kata lain Kendrick seolah mengambil sisi framing lainnya dari sang juru selamat. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai penyelamat, melainkan memproyeksikan keadaan sang juruslamat yang teraniyaya dan ditolak keberadaanya, karena menyatakan kebenaran.

Tetapi beranjak dari konteks, lagu ini memiliki performa begitu kuat dan menonjol secara instrumental maupun vokal. Ini merupakan penampilan terbaik dalam memposisikan iringan piano dengan hentakan kuat ritmik kick drum untuk membawa perasaan lebih larut dalam haru. Beat-beat yang dihasilkan sangat nyaman bergerak di antara gelombang vokal Kendrick, Babby Keem, dan refrain Sam Dev. Berbicara mengenai vokal, Keem dan Kendrick menampilkan chemistry begitu solid. Terutama Kendrick Lamar yang melemparkan flow dengan penuh gairah. Sebuah lagu yang sarat dengan momen pivotal dari jajaran sisi kedua album ini.

Baca Juga : Tyler, The Creator : Call Me If You Get Lost

Lagu ‘Auntie Diaries’ menghadirkan sebuah pandangan dan kekeliuaran masa lalu Kendrick dalam menilai perbedaan orientasi seksual. Di sini dia bermain dengan keberagaman karakter, alur kilas balik, dan stereotype-stereotype dualisme dalam menilai komunitas LGBT. Kendrick Lamar bertutur cerita bahwa lingkungan semasa kecilnya telah mencuci pikiran dan pandangannya untuk memiliki pandangan sinis terhadap orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda. Ironisnya, salah satu anggota keluarga dari Kendrick, yakni pamannya merupakan seorang trans.

Butuh waktu lama agar dirinya dapat menerima pamannya secara terbuka. Rasa bersalah Lamar yang menjadi seorang judgmental dalam ketidak tahuannya terlukis dalam timbre vokal yang terdengar lebih sayup. Pesan Kendrick kepada masyarakat adalah untuk tetap membuka pandangan dan pemikiran mereka untuk lebih menerima keberadaan komunitas ini dalam lingkaran sosial. Dia juga melukiskan kekhawatiran akan kebencian terhadap komunitas ini menimbulkan sebuah perpecahan seperti yang dia alami sendiri dalam keluarganya.

Harus dikatakan sesi instrumen tidak menampilkan cerminan emosional begitu melekat dan termasuk pada jajaran performa instrumen terlemah dalam album. Pada akhir narasi lagu, Kendrick membelokan kisahnya kepada sebuah kasus kontroversial yang menimpa dirinya di tahun 2012. Ketika seorang wanita kulit putih diminta untuk naik panggung menyanyikan lagu ‘m.a.a.d City’, wanita tersebut secara berkala menyebut kata-kata N-word yang secara otomatis membuat perasaan Kendrick terluka.

Dia tidak mengomentari peristiwa ini lebih lanjut, karena narasi tersebut digunakan hanya sebagai peralihan pada lagu berkitunya, ‘Mr. Morale’. Namun teriakan vokal berbunyi: ‘it was one of the worst performances I’ve seen in my life’ pada intro sudah menjelaskan, reaksi tajam Kendrick dalam menilai tragedi tersebut. Namun beralih pada inti permasalahan, ‘Mr. Morale’ kembali mengangkat isu mengenai pelecehan seksual yang menimpa beberapa figur, hingga orang terdekat Kendrick, yakni ibunya.

Kali ini Kendrick bertindak lebih agresif dengan terus melemparkan flow-flow berkarakter banger dan menghentak. Instrumen bergaya drill / trap dengan aura gelap sedikit mengingatkan pada gaya serupa yang diterapkan oleh Denzel Curry pada album studionya, ‘Imperial’. Tidak ada penyelesaian masalah di sini, Kendrick hanya mencoba untuk menyelami kembali peristiwa kelam itu dan menampilkan keadaan pasca traumatis begitu nyata.

‘Mother I Sober’ melengkapi trilogy kisah penyimpangan seksual yang sudah diangkat pada 2 lagu sebelumnya. Dia menggambarkan lebih dalam mengenai masalah pelecehan seksual dengan siklus lingkaran lebih utuh dan lebih personal. Pelecehan seksual terhadap ibunya telah menimbulkan sebuah luka mendalam dan kekhawatiran baginya. Instrumen pun bergerak lebih senyap, larut dalam kesunyian yang dirudung dengan aura lebih pekat. Iringan piano seketika berubah menjadi lebih muram dari biasanya.

Dengan menahan seluruh kepedihannya, dia mulai menceritakan tragedi demi tragedi, melihat bahwa pelecehan seksual sudah lumrah terjadi dalam lingkungan masyarakat kulit hitam dan sudah seperti sebuah kutuk tidak terelakan. Dia selalu dihantui rasa khawatir kalau-kalau pelecehan seksual dapat menimpa dirinya. Namun ia justru terjebak pada perselingkuhan yang semakin menarik dirinya terpuruk dan terperosok masuk ke dalam lingkaran kutukan.

Bersamaan dengan kebranian Kendrick menyusuri luka dan perisitwa kelamnya, corak vokalnya lebih getir, ditambah suntikan vokal siluet Beth Gibbons pada latar yang semakin mempertegas bahwa lagu ini menghadirkan nuansa paling suram. Setelah mengalami pergejolakan emosi begitu intens, lagu ini berakhir dengan Kendrick yang berhasil memutus rantai kutukan itu, dan mulai menjadi pria yang bertanggung jawab dalam membina hubungan asmara bersama keluarga kecilnya.

Sang istri dan putri kedua Kendrick yang baru saja lahir hadir pada akhir lagu, untuk mengucapkan terima kasih, karena Kendrick telah berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi keluarganya dari malapetaka itu. Lagu penutup, ‘Mirror’ menampilkan elemen musik yang lebih meditatif dengan pendekatan instrumen perkusif tradisional, dan juga potongan elemen string & synth bernuansa surgawi.  Sayangnya performa instrumen tidak begitu impresif di sini.

Seandainya instrumen dibuat serupa dengan konsep lagu ‘Hearts : Part V’ mungkin akan memberikan nuansa meditatif lebih eksotis. Secara bersamaan dapat melambangkan kedekatan musik terhadap kultur hitam secara simbolis. ‘Mirror’ merupakan sebuah konklusi dari jawaban Kendrick mengenai tujuan hidupnya. Dia sudah menetapkan bahwa ia lebih memilih untuk memperhatikan lebih dekat keluarga kecilnya, dibanding hidup dalam dikotomi industry musik yang terus mendorong-dorong dirinya sebagai pahlawan bagi banyak orang.

Vokal Kendrick terdengar begitu lepas di sini, meskipun teriakan vokalnya terkesan kikuk dari segi performa, tetapi secara keseluruhan lagu ini berperan sebagai katalis yang menetralkan emosi. Satu-satunya lagu yang tidak terikat oleh narasi dan catatan gelap dari seorang Kendrick Lamar.

Bersamaan dengan hadirnya ‘Mr. Morale & The Big Steppers’, Kendrick Lamar memperluas pandangan bahwa masalah penyimpangan seksual sama membahayakannya dengan ketergantungan alcohol dan obat terlarang. Terkadang itu bisa menimbulkan masalah besar dan siklus yang tidak berkesudahan.

Berkaca pada opini di luaran sana, sebagian orang enggan mendengar album ini dikarenakan narasi dan pesannya yang terlalu gelap, menyinggung sisi personal terlalu dalam, dan banyak mengangkat isu-isu sensitif. Pendapat tersebut ada benarnya, tetapi bukan berati itu merubah keseluruhan narasi menjadi hanya berisikan bualan racun yang vulgar.  Nyatanya, perspektif Kendrick di sini menghasilkan getaran emosi paling realistis dan menyentuh. Orang-orang yang mungkin secara emosional tidak terlibat langsung mengenai isu-isu yang diangkat, setidaknya dapat merasakan dan memiliki gambaran jelas.

Harus dikatakan instrumen memiliki peranan lebih hidup dengan banyaknya timbre yang terlibat. Ketika ‘Damn’ secara instrumental terlalu ter-sentris terhadap gaya instrumen hip-hop kontemporer, ‘Mr.Morale & The Big Steppers’ memberikan ruang bagi instrumen konvensional seperti piano, string untuk bersinar dalam memberikan kontribusi signifikan pada beberapa momen. Setidaknya itu sedikit mengingatkan Kendrick Lamar ketika dirinya mengeksekusi instrumen pada album ‘TPAB’.

Namun bukan berati album ini hadir tanpa celah, karena beberapa performa vokal dirasa flop dan underperformed. Dalam beberapa sudut, peranan instrumen juga terkadang tidak bekerja dan bergeming dalam membawa pesan sarat emosional dari nada dan bunyi. Satu faktor yang bisa dibilang memiliki performa relatif stabil adalah perspektif dan kekuatan storytelling dari Kendrick. Dapat dikatakan peranan storytelling Kendrick “menyelamatkan” album ini untuk tidak terlalu banyak meninggalkan celah-celah berarti.

Baca Juga : Denzel Curry – Melt My Eyez See Your Futures – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link