2015Heavy MetalMetalReviews

Iron Maiden : Book Of Souls Review

The Book of Souls menawarkan konsep-konsep paling brilian yang ditawarkan oleh Iron Maiden di era 2000’an namun tetap masih dengan nuansa dan karakteristik Iron Maiden secara keseluruhan yang sudah mereka kibarkan selama lebih dari 40 tahun.

Ketika Iron Maiden mengumumkan akan merilis album studio ke-16 nya yang berjudul The Book Of Souls pada tanggal 4 September 2015. Kabar tersebut langsung membuat hampir seluruh fans musik metal baik fans maiden garis keras ataupun fans musik metal secara umum sekalipun sangat antusias menyambut kedatangan album studio ke-16 yang yang bakal dilepas oleh raksasa heavy metal asal London tersebut. Antusiasme ini tentunya tidak datang begitu saja pasalnya selain Iron Maiden memang sudah dianggap salah satu band metal paling kultus karena dianggap telah berjasa bagi mayoritas fans metal dalam mengenalkan musik metal pada kehidupan mereka masing-masing. Album Book Of the Souls juga merupakan sebuah album yang menjawab penantian panjang para penikmatnya yang penasaran dengan kelanjutan dari kiprah Steve Harris dan kolega pasca album The Final Frontier yang dilepas pada 2010 lalu.

Sama seperti album-album sebelumnya, Iron Maiden selalu menetapkan konsep keseluruhan album yang berperan menentukan konsep visual band seperti artwork, penampilan sang mascot, Eddie The Head, dan tata panggung. Kali ini The Book of Souls menggunakan konsep dari suku mayan peradaban Aztec. Ini juga menjadi kedua kalinya Maiden mengangkat konsep Ancient Myths setelah sebelumnya mereka mengusung tema Mesir kuno pada album Powerslave. Album Book of The Souls merupakan album dengan konsep double album pertama kali yang diusung oleh Iron Maiden selama mereka berkarir selama 4 dekade lebih. Hal trivial menarik lainnya adalah total durasi keseluruhan dari album Book of the Souls merupakan durasi album yang paling lama yang pernah dibuat oleh Iron Maiden dengan total durasi mencapai 92 menit 15 detik. The Book Of Souls sendiri hanya terdiri dari 11 lagu, namun beberapa lagu diantaranya ada yang menyentuh durasi hingga lebih dari 8 menit, seperti track “If Eternity Should Fail” (8:28), “The Red and The Black” (13:33), “The Book of Souls” (10:31), dan track “Empire of The Clouds” (18:04).

Album dibuka dengan track berjudul “If Etenity Should fail”. Track tersebut dibuka dengan sound synth yang membangkitkan nuansa kehidupan suku “Maya” yang mayoritas hidup berdampingan di dalam hutan belantara. Perpaduan antara sang golden voice, Bruce Dickinson dengan lead-lead epik harmonisai gitar langsung menjadi pusat perhatian pada lagu ini. Track selanjutnya “Speed of Light” merupakan tipikal track yang sepertinya sudah menjadi agenda Iron Maiden untuk membuat track-track tipikal seperti ini pada setiap albumnya. Track dengan struktur yang simple, dan straightfoward dengan konsep sound ala-ala heavy metal / hard rock 80’an yang mengakar kuat.

Kemudian “The Red and Black” merupakan track karangan dari seorang Steve Harris tanpa campur tangan personil lainnya. Track dibuka dengan sound bass Harris yang kuat dan berkarakter kemudian masuk rhythm dan lead-lead gitar yang mengisi latar nuansa sound di lagu ini. Bruce Dickinson kembali mengeluarkan ciri-khas rhythmic vocalnya yang bersahut-sahutan, hal yang sudah tidak ditemukan pada album-album sebelumnya ketika Bruce bergabung bersama Maiden untuk kedua kalinya. Harris juga memberikan waktu 4-5 menit pada lagu ini untuk ketiga guitar hero mereka yakni, Adrian Smith, Janick Gers, dan Dave Murray untuk saling unjuk gigi untuk melemparkan lick-lick solo andalannya masing-masing. Namun ketiganya tidak hanya sekedar melempar lick-lick untuk memberikan kesan atraktif dan decak kagum semata. Karena setiap transisi lead section disambung dengan bridge harmonisasi gitar yang tertata dengan rapih dan menghasilkan aura yang epik dan dramatis lewat permainan lead mereka masing-masing yang lebih terarah. Sementara di balik Kit drum, Nicko seperti biasanya mengiringi instrument section para gitaris dan bass dengan fill-fill yang simple, namun elegan dan memancarkan trademark nya yang khas.

Disc pertama ditutup dengan track “The Book Of Souls”. Track dibuka dengan petikan akustik gitar Janick gers. Vocal Bruce tampak lebih mengayun-ngayun dengan banyak menulis vocaline yang sepertinya keperluan untuk sing along di panggung. Track ini memiliki progressi yang lebih ekstrim jika dibanding dengan lagu maiden pada keseluruhan di album ini. Tempo yang semula mengayun-ngayun tiba-tiba seketika berubah menjadi track tipikal up tempo khas maiden. Ketiga gitaris mengubah mode style riffingnya menjadi galloping riff yang berpacu dengan cepat, serta dentuman drum Nicko juga terdengar lebih energik dan menggebu-gebu mengiringi permainan sang ketiga gitaris.

Baca Juga : Mengenang Lemmy Kilmister, Sang Godfather of Heavy Music

Disc kedua dibuka dengan track berjudul “Death Or Glory”. Track pembuka kali ini memiliki nuansa yang lebih menggebu-gebu dan epik bagaikan sebuah lagu hymne untuk para prajurit yang siap terjun ke medan pertempuran dengan gagah dan berani. Namun justru di bagian chorus vokal Bruce malah melemah dengan menghasilkan chorus yang lebih catchy, melodic, dan tidak sesuai dengan nuansa yang sudah dibangun sejak awal lagu ini.

Selanjutnya track “Tears of a Clown” adalah track yang didedikasikan khusus untuk mendiang sang aktor dan komedian kawakan Robin Williams yang meninggal bunuh diri karena depresi pada tahun 2014 lalu. Lagu ini memiliki nuansa yang lebih murung, dan sedih dibanding track-track sebelumnya seolah Iron Maiden juga turut berkabung dengan peristiwa menyedihkan yang dialami Robin di akhir hayatnya. Seluruh bagian lagu ini seperti sebuah puisi kesedihan yang menggambarkan kisah Robin secara gamblang ketika mulai mengalami masa-masa depresinya. “Tears of A Clown” memang merupakan track paling pendek di album ini namun pesan dan maknanya yang mendalam dapat membuat para pendengarnya memutar secara berulang kali dan turut larut merasakan nuansa kesedihan pada lagu ini.

Track “Man of Sorrows” memiliki rasa yang berbeda dengan memiliki nuansa sound prog-rock 70an yang kuat namun dimodifikasi dengan riffing-riffing heavy metal khas maiden. Sektor gitar juga lebih banyak menjelajah dan merambah scale-scale yang berbeda dibanding track-track sebelumnya. Album ditutup dengan track “Empire of The Clouds” yang ditulis sendiri oleh Bruce Dickinson. Bruce yang latar belakangnya sebagai seorang pilot tergerak hatinya untuk kembali mengangkat kisah tentang dunia penerbangan. Kali ini Bruce menceritakan kisah peristiwa kecelakaan balon udara British 101 Airship di Perancis Utara yang terjadi pada saat pelayaran perdananya pada tanggal 5 Oktober 1930. Selama 18 menit kedepan Iron Maiden menceritakan dan menggambarkan kisah memilukan tersebut. Lagu dibuka dengan dentingan piano dari Bruce diiringi dengan marching-drum pattern dari Nicko. Kemudian perlahan vocal Bruce masuk dan mulai menarasikan tragedi pilu tersebut. “Empire Of The Clouds” tidak hanya menjadi karya ter epik yang pernah dibuat oleh Iron Maiden selama 4 dekade mereka berkarya. Tetapi juga mereka mencoba menyentuh territori musik yang belum pernah dijamah sebelumnya dengan lagu ini. “Empire Of The Clouds” berhasil menutup album dengan nuansa yang epic, megah, namun sekaligus juga meninggalkan kesan yang mengharukan dan menyedihkan dibalik peristiwa yang diangkat.

Secara keseluruhan The Book Of Souls memang tidak banyak menampilkan suatu hal yang berbeda yang ditawarkan oleh Iron Maiden mungkin hanya lagu “Empire of The Clouds” yang sedikit memberikan warna baru pada sound Maiden. Tetapi album The Book of Souls menampilkan momen-momen yang epic, dan memorable secara merata bahkan di beberapa lagu filler sekalipun. Transisi setiap lagu di album ini dieksekusi dengan lebih luwes, dinamis dan terarah dibanding beberapa album Iron Maiden sebelumnya. Tetapi untuk penempatan lagu di keseluruhan album beberapa dirasa kurang pas.

Produksi akhir album ini terdengar lebih raw, dan dirty jika disandingkan dengan album seperti Brave New World atau Dance Of Death yang memiliki output detil produksi sound yang clean. Mungkin saja The Book of Souls sengaja dibuat dengan pendeketan produksi sound seperti demikian karena memang beberapa lagu di album ini mengangkat kisah dan tragedy-tragedi murung, dan sedih. Vocal Bruce memang sudah tidak bisa menjangkau nada-nada tinggi secara maksmimal lagi seperti ketika diusianya yang masih belia. Beberapa vocaline bahkan ada yang terdengar false-not dan beberapa part ada yang dipaksakan ketika berusaha menjangkau nada-nada tinggi. Namun perlu di CATAT bahwa pada saat proses rekaman album ini, Bruce juga sedang berjuang menghadapi kanker tenggorokannya. Tentu ini sebuah Effort yang sangat luar biasa, dimana dia masih bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya di bawah tekanan yang besar seperti itu.

Album The Book of Souls menawarkan konsep-konsep paling brilian yang ditawarkan oleh Iron Maiden di era 2000’an namun tetap masih dengan nuansa dan karakteristik Iron Maiden secara keseluruhan yang sudah mereka kibarkan selama lebih dari 40 tahun.

Rating : 8/10

Baca Juga : Soulreaper : Asupan Musik Tercadas di Indonesia (Eps – 01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link