Haken – Fauna – Review
Ketika aliran musik progressive rock ini ditemukan sekitar akhir dekade 60’an – awal 70’an, ini menjadi salah satu cabang musik yang melakukan glorifikasi terhadap kepenulisan album yang berbasiskan pada tematik yang dipaparkan secara runut dan konseptual. Imbasnya, beberapa musik progressive rock merancang satu lagu penuh yang memiliki durasi panjang setara album pada umumnya, namun dipecah menjadi beberapa keping lagu yang biasa diterapkan untuk menjelaskan sub-sub tema dari garis besar kisah yang diangkat.
Tradisi tersebut tampaknya masih dipertahankan saat ini, ditandai dengan band-band progressive rock (atau mulai bergeser pada progressive metal) senantiasa merilis album-album konseptual. Haken menjadi salah satu nama yang berdiri di garda terdepan, dalam kancah skena progressive rock / metal modern yang gemar merilis album penuh bermuatan konsep cerita yang ambisius dan mencampurkan kisah fiktif penuh unsur metaforis berbalut komentar sosial.
“The Mountain” (2013), “Affinity” (2016) menjadi 2 album yang disebut-sebut sebagai salah satu album progressive metal / rock modern terbaik, karena tidak hanya solid secara naratif, melainkan mampu menciptakan eksperimen musik yang berbeda dari band progressive kebanyakan. 3 tahun sejak double album mereka,“Vector” (2018) & “Virus” (2020) yang meninggalkan kesan campur aduk antara proyek yang ambisius dan sedikit mengendur dalam menciptakan wow faktor pada album “Vector” yang terbalas lebih baik pada “Virus”, Haken mengumumkan album terbarunya bertajuk “Fauna”, yang mana sekaligus menjadi album studio ke-7 sepanjang karir mereka.
Dengan portfolio Haken yang selalu mencoba sesuatu yang baru dan berbeda pada setiap albumnya, adalah suatu kewajaran bila proyek ini menjadi album yang paling antisipatif dinantikan kehadirannya oleh penggemar mereka ataupun pengamat musik progressive secara umum. Rasa penasaran mulai sedikit menyusut, ketika para punggawa mengumumkan bahwa “Fauna” semacam memutus siklus kebiasaan lama mereka, yang menciptakan sebuah kisah penuh yang berkesinambungan pada setiap lagunya.
Setiap keping lagu pada album ini memiliki cerita dan kesusahannya masing-masing yang tidak saling terkait, tetapi benang merah yang dapat ditarik pada keseluruhan album, Haken memetaforakan jenis-jenis spesies hewan tertentu pada setiap lagu yang memiliki kemampuan atau kebiasaan yang mampu merefleksikan dengan sentimen dan kehidupan sosial saat ini.
Dengan dasar pemikiran seperti itu, telah menggerakan Haken secara langsung bagaimana mereka secara instrumentasi maupun aransemen mencoba untuk menciptakan setiap lagu yang memiliki warna musik berbeda dan mungkin secara keberagaman, tidak selalu mencapai titik temu kesamaan. Mereka mempertebal gagasan ini, ketika meluncurkan 3 single yang masing-masing berjudul “Nightingale”, “Taurus”, dan “The Alphabet of Me” yang masing-masing cenderung menampilkan spektrum ranah musik yang berbeda.
“The Alphabet of Me” jelas yang paling kontras di sini, ketika mereka membantingkan tubuh pada ranah pop-elektronik modern, pemakaian drum-pad elektrik, chorus catchy yang megah, serta interaksi terhadap riff berat hanya tipis-tipis mengiringi bagian reff Menimbulkan sedikit rasa was-was pada segenap penggemar, takut jikalau Haken memiliki nasib yang serupa dengan rekan sejawatnya, Leprous yang telah mencoba formula serupa pada beberapa rilisan terakhir mereka.
“Taurus” membalik rasa kekhawatiran segelintir penggemar, dengan menyajikan komposisi Haken ketika mereka mulai terpengaruh pada pola riff gitar djenty di 2 album mereka sebelumnya, namun dikemas dengan atmosfir yang lebih gelap. Sementara, “Nightingale” perpaduan kilas balik musik mereka dari era “The Mountain” yang direvitalisasi dengan gaya yang lebih modern dan banyak tersentuh oleh tekstur musik artifisial, tetapi tetap tidak menggeser sepenuhnya gaya khas daripada inti musik Haken, sehingga lagu ini masih tampak seperti lagu “Haken” pada umumnya, meski disodori oleh beragam perubahan pada sudut-sudut tertentu.
Sayangnya memasuki “Sempiternal Beings” terjadi penurunan momentum yang cukup signifikan. Lagu dengan durasi 8 menit yang banyak memiliki bagian lagu yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk diberikan repetisi, karena tidak cukup kuat, namun Haken membuatnya menjadi menggumpal. Memang tidak ada tuntutan khusus untuk Haken selalu membuat banyak labirin perubahan ritem dalam setiap lagunya, atau menaruh ritme ganjil dan sinkopasi yang memukau, tetapi upaya di lagu ini terlalu rendah, dan kita juga mendapat performa vokal yang datar dan tidak biasanya dari Haken.
Sedikit perbaikan bersifat incremental datang menjelang akhir lagu, semacam pola ritme yang berputar, atau solo gitar, tetapi itu tidak terkoneksi dengan baik pada lagu, dan phrasing solo yang dipilih seperti bertolak belakang dan tidak terintegrasi dengan baik. Untungnya, angin positif kembali, ketika “White Rainbow” datang dengan cukup ambisius, meminjam bagian groovy riff ala Katatonia, ketika mereka sempat berubah haluan menjadi progressive metal pada album “The Fall of Hearts”.
Mendapatkan kembali instrumentasi yang dikerjakan dengan baik, bahkan sedikit kejutan dengan menambah guncangan elemen drum ‘n’ bass memberikan penekanan terhadap bagian konjungsi yang mampu ditingkatkan level kerumitannya dan tidak hanya sekedar sebagai tempat transisi belaka. Merasakan kembali kegairah Haken menjungkir balikan struktur dan variasi ritme yang menghibur. 2 lagu berikutnya, “Island in the Clouds” dan “Lovebites” fokus dikerahkan seutuhnya pada domain vokal yang begitu kuat dan memorable secara performa.
“Island in the Clouds” memperdalam sisi atmosfer pada vokal, dan itu terbantu dengan gubahan kepingan instrumental yang bertekstur lebih mengambang dan kontras warna yang cerah. “Lovebites” menyambung argumen di atas, bahwa lagu ini cukup memberi bukti bahwa setidaknya untuk seukuran musikalitas mereka, Haken mampu menciptakan lagu dengan struktur “straightforward” namun tetap solid dan padat. Secara performa maupun tingkat catchyness, lagu ini memiliki adegan vokal terbaik secara melodi maupun harmoni yang ditampilkan.
“Elephants Never Forget” lagu terpanjang dari album ini, sekaligus semacam ringkasan keseluruhan daripada album ini bekerja. Semua unsur yang sebelumnya diperkenalkan, tercecer pada sepanjang lagu ini, dan mereka membuat ritem yang memiliki sifat berbeda, dimana pergerakannya lebih memantul-mantul dan tentunya bumbu-bumbu groovy bertaburan di sana-sini. Anda mendapatkan semuanya di sini, mulai dari kegilaan, kerumitan, kemegahan, dan kesenangan.
“Fauna” mungkin album yang bersifat eklektik dalam pengambilan sumberdaya, ketika mereka mencoba mencuplik kemegahan “The Mountain, mengambil kejelian penerapan instrumen dan sistem produksi yang diambil dari ke-3 album terakhir mereka, dan menaburi dengan sesuatu hal yang bersifat baru di atasnya. Namun ketika datang untuk menyatukan segala unsurnya, “Fauna” dirasa masih cukup banyak meninggalkan rongga-rongga yang perlu diperbaiki agar setiap lagu mampu menampilkan ciri khas dan potensi terbaiknya.
Lagu yang direkomendasikan : Nightingale, The Alphabet of Me, Beneath the White Rainbow, Island in the Clouds, Lovebite, Elephants Never Forget
Rating 7 / 10
Baca Juga : Raven Sad : The Leaf and The Wing Review