Groza : The Redemptive End Review
Groza tidak sekedar mengkonsolidasikan elemen post-rock, melodic black metal secara sembarang. Transisi dan sisi dinamisme dari setiap lini pun diperhatikan agar mencapai aspek fluiditas yang solid dan natural. Groza dapat menciptakan ledakan rangkaian melody epic dibalik nuansa dan hegemoni kegelapan.
Groza, sebuah kata dalam bahasa slavic yang memiliki berbagai makna mengerikan seperti terror, badai, dan lainnya. Tetapi dalam “bahasa” black metal, kosa kata Groza lebih dikenal sebagai judul full length perdana milik pasukan melodic black metal asal Polandia, “Mgla”. Tetapi 1 dekade setelah Mgla merilis album debutnya tersebut. kosa kata Groza di dunia black metal mengalami perluasan makna. Groza juga sekarang dikenal sebagai sebuah project quartet black metal yang terlahir di Germany. Groza terbentuk pada tahun 2016, namun mereka baru muncul kepermukaan 2 tahun kemudian setelah merilis album debutnya berjudul “Unified in Void“.
Tidak ada informasi komperhensif mengenai asal usul Groza dan informasi setiap personil. Tetapi jika melihat profil band ini di Metal Archives, anda malah akan menemukan informasi yang jauh lebih mind blowing dari sekedar informasi asal-usul Groza. Disana anda akan dikejutkan dengan rating album “Unified In Void” diberi rating 0% oleh 3 reviewer. Mungkin anda akan bertanya-tanya, dan mulai memiliki asumsi sendiri kenapa itu bisa terjadi?. Tetapi jangan salah paham terlebih dahulu, bahwa band ini dicap “jelek” bukan karena mendukung suatu pandangan ekstrimis tertentu. Tetapi alasan konkrit dan satu-satunya karena band ini meniru konsep “Mgla” secara utuh mulai dari nama band, kostum. hingga songwriting yang ada pada album debut mereka.
“Mini cancel culture” yang menimpa Groza menurut saya rasa sangat tidak fair. Hanya karena mereka baru melepas sebuah album full-length dengan penampilan dan musik yang dianggap sebagai imitator belaka. Bukan berati band tersebut akan terjebak seperti itu selamanya. Sementara diluaran sana masih banyak para clone dari Dissection, Darkhtrone, Marduk, tetapi mereka malah dipuja-puja. Namun Groza punya itikad baik untuk meluruskan segala stigma negatif yang dituduhkan pada mereka lewat album keduanya, “The Redemptive End”.
Baca Juga : Baxaxaxa : Catacomb Cult Review
“The Redemptive End” merupakan langkah kongkrit Groza untuk menyingkirkan dan membuang stigma terhadap mereka yang dicap sebagai carbon copy. Groza menolak untuk mengkonstruksi formula sound yang serupa dengan album pendahulunya bahkan dengan mgla sekalipun. Mereka mencoba melakukan “perjalanan spiritual” nya sendiri dengan melebarkan ekspansi songwriting ke berbagai ranah yang belum dijangkau sebelumnya. Pada “The Redemptive” End kita akan mendapatkan 6 lagu dengan total durasi mencapai 42 menit. Durasi yang hampir 2x lebih panjang dari album pendahulunya ditambah dengan beberapa lagu berdurasi lebih dari 7 menit. Menandakan ada sebuah improvment yang terjadi pada album ini.
Untungnya improvement yang dibawakan langsung menonjol sejak track pertama album ini dikumandangkan. Track dibuka dengan judul “Sunken In Styx” yang terbagi menjadi 2 bagian. “Sunken In Styx – Part I : Submersion” membawa atmosfir yang berbeda dari materi Groza biasanya. Petikan akustik gitar folky yangi dibangun dengan tekstur atmosfir yang berkabut, serta transisi ala post-rock. Membuat track ini lebih cocok disandingkan dengan jajaran para band penganut term post-black. Ketimbang disandingkan dengan para copycat “Mgla”.
Kemudian “Sunken In Styx – Part II : Descent” merupakan sisi koin sebaliknya dari track pertama. Track ini langsung dibuka dengan gempuran blast-beat dan tremolo riffing yang intens. Tetapi meskipun menghasilkan suara-suara yang riuh. Karakteristik yang ditonjolkan dari segi riffing terdengar lebih melodic. Secara bergantian sektor gitar menghasilkan melody dengan perasaan gloomy, dan emosional secara bersamaan.
“Elegance of Story” merupakan judul yang tepat untuk merefleksikan isian keseluruhan track ini. Track yang dibangun dengan melody, dan transisi yang elegan namun dinarasikan dengan lirik-lirik yang secara ironi bersebrangan dengan “keindahan” yang ditawarkan pada track ini. Track “The Redemtive End” harus dikatakan memiliki komposisi sound yang paling berorientasi atmospheric dan “post” term dibanding track lainnya. Transisi dibangun secara ascending dan bergerak lamban. Track ini mungkin langsung membuat para penggemar “kvlt” black metal akan melewati lagu ini.
Baca juga : Choria : A Dismal Repertoire Review
Tetapi bagi yang haus dengan estetika perpaduan sound black metal dengan sisi melankolis patut menyimak lagu ini. Track ini tidak seutuhnya menghilangkan porsi blackened karena sektor drum di album ini justru menyerbu dengan eksplosif. Tetapi dari segi songwriting dan transisi track ini seperti lebih terpengaruh dengan band sejenis Falls of Rauros, atau Harakiri for The Sky. Bahkan pada track ini, porsi akustik gitar lebih diperpanjang untuk menambah dinamisme & panorama yang lebih folky. Track ‘Nil’ merupakan sedikit hiburan bagi para penggemar “kvlt” black metal. Meskipun pada track ini juga ditemukan passage yang melodic. Tetapi karakteristik sound dilagu ini cenderung lebih jahat dengan interval tangga nada minor yang lebih ditonjolkan.
“Homewards” merupakan track verdict yang digunakan untuk merangkai segala nuansa yang ada dialbum ini. Selama 10 menit para pendengar akan diombang-ambing oleh komposisi sound yang bergerak naik turun. Sisi aggresif dari Groza dengan sisi melankolis Groza saling mengisi lagu ini secara bergantian. Track kemudian ditutup dengan petikan akustik gitar yang secara perlahan memudar dalam kesunyian.
Mungkin sisi songwriting dialbum ini terdengar dinamis dan memiliki improvement yang lebih dari album pendahulunya. Tetapi terkadang pada beberapa track ditemukan transisi sound yang serupa, dan tidak menawarkan sesuatu yang outstanding. Mereka hanya mencapai pada kata great dan tidak lebih dari itu. Sementara setiap elemen akustik keluar cenderung memiliki chord progession dan eksekusi yang serupa. Seharusnya part akustik gitar bisa lebih dimprove lagi untuk bisa memberikan warna tersendiri pada setiap track berbeda.
Groza tidak sekedar mengkonsolidasikan elemen post-rock, melodic black metal secara sembarang. Transisi dan sisi dinamisme dari setiap lini pun diperhatikan agar mencapai aspek fluiditas yang solid dan natural. Groza dapat menciptakan ledakan rangkaian melody epic dibalik nuansa dan hegemoni kegelapan. “The Redemptive End” mungkin bukan sebuah album outstanding. Tetapi setidaknya Groza bisa tersenyum lebar. Karena upaya solidnya ini secara perlahan telah berhasil melepaskan dirinya dari bayang-bayang “Mgla” dan siap memulai sebuah evolusi yang baru.
Rating : 7.5/10
Baca juga : Abbath : Outstrider Review