Edgecrusher – Disrupsi Manipulasi – Single Review

Sebagai band yang memulai debutnya di pusat Ibu Kota, Edgecrusher menghadirkan sebuah tesis baru, di tengah generalitas (bukan universalitas) daripada legiun metal lokal yang saat ini berpatokan pada problematika fetisisme terhadap mutilasi kehancuran total patologis (baca: brutal death metal), atau eskapisme menyusuri belantara hutan liar terselubung kabut tebal melintang di antara sekat-sekat penglihatan (baca: atmospheric black metal). Surplus pertumbuhan AI mendisrupsi sebagian besar lini yang diakselerasi oleh overdosis otoritas elit global demi memenangkan catur permainan politik melalui wabah artifisial covid, adalah grand-tesis yang mereka kemukakan dalam single “Disrupsi Manipulasi” ini.
Edgecrusher mempertemukan personil gitaris Bimo D. Samyayogi yang pernah merajut nada demi nada menjadi hymne kematian melalui gitar elektrik untuk band death metal lawas, Absolute Defance (Tanggerang) – Aloy sebagai gitaris ke-2 yang pernah singgah untuk band metal InColdBlood (Manado) – Oberon Haki alias Obon, mantan stabilisator ritme bertegangan tinggi untuk band death metal Panic Disorder (Jakarta) dan band grindcore Hurt’em (Depok) – vokalis Rilman Fardino alias Rino, yang menggigit bibirnya untuk band hardcore Derau (Jakarta) dan mantan vokalis band industrial metal Supersucks (Jakarta).
Itulah yang menjadi landasan munculnya terminologi “hybrid metal” yang digaungkan Bimo, menggambarkan bahwa Edgecrusher adalah kromosom yang diisi oleh beberapa sel derivatif genus musik keras berbeda, semacam industrial metal, death metal, hardcore, dan thrash metal. Dengan suntikan elemen hardcore yang secara esensinya kerap membawakan lirik-lirik pembelaan terhadap kaum kerah biru maupun putih, ekspresi tema liris bernuansa fragmen surealis berparas nihilistik pada tatanan sistem kapitalistik dalam DNA Edgecrusher menjadi suatu pemakluman.
Nama “Edgecrusher” yang diambil secara literal dari salah satu judul lagu, milik band Industrial metal ternama Fear Factory (album Obsolete), menjadi petunjuk yang jelas mengenai arah musikalitas “Disrupsi Manipulasi” ini, atau mungkin keseluruhan rangkaian debut yang telah direncanakan dirilis akhir tahun.

Menghidupkan kembali gaya cyber-metal 90’an dengan gitar stem rendah berefek distorsi yang berat, bertekstur solid, dan kuat secara gain– simbal yang berkilau setiap kali dipukul, selayaknya pengrajin besi yang memukuli sebilah besi dan mengeluarkan percikan api, dan derap ritme yang lebih konstan secara bunyi dan mekanis secara permainan.
Ada aspek tekstualitas yang harus dijaga di sini selain daripada aspek brutalitas dan teknikalitas semata yang harus dikedepankan, bahkan bisa dibilang di sini tekstualitas menjadi padanan utama. Disjungsi penempatan riff-riff yang patah, kemudian ditambal sulam dalam nada-nada disonan, itulah yang menjadi sumber mereka mengekstrak karakteristik suara dengan corak yang lebih menghentak atau dalam term disebut groovy.
Gaya blasting drum mereka tidak diletakan pada ciri khas gaya skank beat (seperti: Slayer, Suicidal Tendencies, Demolition Hammer), atau blast-beat dengan kecepatan ultra (seperti: Morbid Angel, Cannibal Corpse). Pemilihan gaya backbeat (Metallica, Cyclone Temple) terasa masuk akal, karena mempergunakan snare yang tidak dilibatkan dalam kecepatan untuk penengah perhitungan metris irama mereka lebih stabil, dan imbasnya aspek groovyness mereka tidak terkubur dalam bisingan kecepatan.
Perbedaan Edgecrusher yang berhasil memisahkan diri dari kromosom tiruan Fear Factory, terletak pada corak vokal Rino dengan teriakan mentah dan penuh murka, seperti gaya vokal-vokal hardcore sekolah lama, plus barisan harmoni vokal gregorian yang mendisrupsi pertengahan lagu. “Propaganda Fear Monger / Virus AI yang Danger / Imunitas Jab Scammer / Thousand Death Trillion Dollar” sebuah upaya alegoris Edgecrusher yang menyanyikan bait-bait ironis dan mengerikan itu di atas harmoni surgawi sakramen dan kesucian dari fungsionalitas dasariah dari musik Gregorian sebagai pelengkap misa maupun bagian integral dari liturgis.
Baca Juga : Dødheimsgard – Black Medium Current – Review
Konsep transhumanisme yang kerap diTuhankan sebagai penyelamat dan penggenapan evolusi manusia, yang benar-benar mengangkat manusia pada alam baka. Mengenai lirik, guratan liris yang bagus mampu menguraikan konsepsi yang pelik dan rumit ke dalam pemilihan diksi yang tajam dan jernih, atau justru sebaliknya persoalan metafisis yang sederhana namun dengan kreativitas terobskurasi ke dalam diksi yang sophisticated dan kaya secara padanan kata. Edge crusher berada dalam persimpangan dengan hanya menatap pada opsi yang ke-2.
Di satu sisi terdapat corak lirik yang bermain penyambungan metafisis sederhana, dengan padanan kata yang tidak umum, rapalan rima, dan tetap mempertahankan esensi kementahan dan frontalitas dari gaya lirik hardcore. “Melindungi Rakyat / Cuman Feses Sapi / Persetan Susah / Bahkan Sampai Mati / Politik Tumbal Kasualti”. Atau pada bait “Semua ganti perangkat / Sebagai Prasyarat /’ Demi Kemaslahatan Masyarakat”. Jika melihat potensinya, bisa saja pengembangan abstraksi dan pemilihan diksi pada lirik dapat mengingatkan pada gaya kepenulisan Daniel Mardhany (ex-Deadsquad, Darksovls, Bonga Bonga)
Tapi di satu sisi masih banyak ditemukan baris lirik terlalu dangkal yang perlu digali secara mendalam, atau elaborasi dwi-bahasa yang terkesan kaku, seperti bait : Thousand Death / Trillion Dollar, atau Semua tergiring / Mudah dipancing / Semua Tergiring / Masuk ke Jaring), hingga punchline lirik yang dipatahkan dengan line tipis seperti (Setan Tertawa / Hahaha hihihi).
Baca Juga : ISON – Stars & Embers – Review

Jika kembali menelisik sel-sel yang ada pada kromosom “Disrupsi Manipulasi”, sel death metal, di sini menjadi penyumbang DNA dengan persentase terendah, bahwa stem gitar rendah sendiri sudah terokupasi ke dalam elementer DNA industrial metal itu sendiri, sehingga tentunya perlu pembuktian lebih lanjut dalam single maupun album penuh Edgecrusher, bahwa DNA death metal di sini benar-benar terinjeksi untuk membangun kromosom hybrid metal yang lebih ganas.
Output daripada produksi musik mereka tergerogoti oleh suara yang terkesan sangat sintetik dan artifisial, terutama pada bagian efek gitar. Sejatinya melakukan peyorasi dan mengkritisi terhadap teknologi dengan menggunakan bantuan teknologi itu sendiri sangat memungkinkan, meski bermain dalam konsep industrial maupun cyber metal sekalipun.
Fear Factory telah melakukan itu (yang mana juga menjadi inspirasi mereka), tetap menggores tekstur gitar dan distorsi yang lebih mentah, tajam, dan desiran noise yang sengaja tidak dipoles, kendati gaya produksi Fear Factory yang secara periode lebih terdigitalisasi dibanding metal era sebelum mereka.
Rasanya gaya produksi yang provokatif dalam pertentangan animisme digital patu lebih dinaikan dari segi keberanian gaya produksi musik, misalnya membiarkan deburan noise berhamburan, Visibilitas garis bass yang lebih dimunculkan, atau desingan simbal yang dibuat lebih nyaring bisa diupayakan.
Baca Juga : Bell Witch – Future’s Shadow Part 1: The Clandestine Gate – Review