2022Hip HopReviews

Denzel Curry – Melt My Eyez See Your Futures – Review

Denzel-Curry-Melts My Eyez, See Your futures-artwork

‘Melt My Eyez, See Your Futures’ membuat Denzel Curry menjatuhkan pedang saber merah dari genggamannya, dan menanggalkan segala karakter gelapnya. Sebagai gantinya dia mengambil pedang saber hijau dan siap berdiri dalam sisi kebajikan.

Pada 2013, Denzel Curry memilih undur diri dari Raider Klan (grup soundcloud rap) untuk memulai solo karrirnya. Dengan tidak meninggalkan pengaruh underground hip hop lamanya, yang selalu berkaitan dengan kisah gangster dan kriminalitas dibalut rhyming agresif serta instrumen sampling drill / trap  dominan, Curry memberanikan diri beranjak menuju dunia lebih luas.

Dirinya berhasil mendapat sorot kamera publik atas upaya berdarah-darahnya lewat 2 album studio pertamanya : Nintendo.64 (2013) dan Imperial (2016). 2 album sesudahnya, ‘TA13OO’ (2018) dan Zuu (2019) menjadi jembatan bagi Curry untuk menghubungkan musik hip hop underground yang dapat diterima dalam jangkauan pendengar mainstream.

‘TA1300’ berhasil menyelipkan elemen neo-soul, jazz, dan ragam pengaruh musik southern lainnya ke dalam sekat-sekat hardcore hip hop. Sementara Zuu, dengan hempasan kuat ritmik bouncy nya memproduksi materi instant banger dan straightforward dengan taburan hook-hook catchy disekitaran aransemen musik.

Denzel-Curry-Taboo

4 album penuh konsistensi, gangsta party, dan kesuksesan tidak menghalangi Denzel Curry untuk beranjak dari zona nyaman demi meraih peningkatan level artistik. Curry yang merasa terpanggil mengomentari dan merubah ketidakwajaran perlaku manusia merilis album ‘Melt My Eyez See Your Future’ dipenuhi dengan nilai filosofis dan kebajikan.

Sebelum menguak setiap ayat kebaikan yang ditulis Curry, penelusuran akan darimana dia mendapat karunia untuk menciptakan album ini patut ditelusuri. Dalam beberapa interview, Denzel Curry sudah memaparkan bahwa ide membuat album ini sudah terpikirkan dibenaknya sejak 2018 silam.

6 kata acak yang terusun menjadi sebuah kalimat tanpa makna tertulis dalam file notepadnya, beserta dengan rincian elemen musik yang ingin dilibatkan. Acid jazz, trip-hop, R&B, jazz, boom bap, drum and bass, jungle, funk, neo-soul, dancehall, punk dan synthpop merupakan elemen-elemen musik yang ingin dimasukkan oleh Denzel Curry ke dalam ‘Melt My Eyez, See Your Future’.

Mengalami berbagai kendala, hingga Denzel Curry harus direhabilitasi demi mengatasi masalah mentalnya yang semakin akut, membuat penggarapan album ini tertunda. Tetapi siapa sangka, kembalinya Curry dengan kondisi lebih kuat dan dewasa dapat menyulap proyek terbengkalai ini menjadi sebuah album paling visioner dan dapat menampilkan sisi paling bijaksana dari Curry selama ini.

Denzel-Curry-Photshoot-1

Personal baru Curry dapat merubah kalimat ‘Melt My Eyez See Your Futures’ tanpa makna, menjadi 2 frasa penuh makna kehidupan. ‘Melt My Eyez’ sebuah metafora sisi manusia yang berusaha memalingkan perhatiannya terhadap berbagai distraksi kehidupan. Sementara, ‘See Your Futures’ merupakan pertanyaan refleksi diri, yang membangunkan alam bawah sadar agar segera beranjak dari masa lalu, dan mulai fokus menata kehidupan lebih baik untuk masa mendatang.

Upaya Denzel Curry memepelajari gaya produksi yang diterapkan oleh grup produser musik Soulquarians secara drastis merubah keseluruhan mood, dan warna instrumen pada album ini bila dibandingkan dengan karya sebelumnya. Pada saat pengerjaan album, Curry mengaku sangat terinspirasi oleh album-album garapan Soulquarians seperti  ‘Things Fall Apart’ (The Roots), album-album Erykah Badu, dan D’angelo.

Banyaknya  produser terlibat seperti Thundercat, Clutch George, Kenny Beats, Dot Da Genius, Kal Banx, JPEGMafia, dan segudang nama lainnya, Curry seolah membentuk pasukan Soulquarians nya sendiri. Curry dan sederet produser berhasil mengatur beragam elemen musik tradisional seperti boom bap, jazz, R & B, neo-soul, drum n bass agar dapat tetap terdengar modern, relevan, dan fresh dengan memadukan peralihan-peralihan beat trap / drill kontemporer.

Dengan banyaknya elemen terlibat, sudah tentu membuat setiap instrumen pada setiap lagu membentuk karakter yang berbeda antara satu sama lainnya. Meskipun begitu, perpindahan setiap lagu ke lagu menampilkan sisi kerapihan dan tingkat relevansi begitu kuat. 14 lagu saling berhubung seperti mata rantai, dengan warnanya tersendiri, namun dapat membentuk keseragaman yang menghasilkan karakter kuat di album ini.

Denzel-Curry-photoshoot-2

Pemikiran kritis diimbangi dengan kerewelan Curry dalam mengatur lanskap instrumen, serta keterbukaan mengangkat kisah personal menjadi motor penggerak proses evolusi kreatifitasnya di album ini. Curry pergi ke studio membuat lagu-lagu dengan melepas seluruh topeng dan karakter alter egonya.

Tidak ada lagi Zelotron, Raven Miyagi, dan Aquarius Killa beserta dengan aksi kriminal fantasinya. Selama ini, Curry berkamuflase dibalik karakter khalayan dan kisah mafia gangster hanya semata-mata untuk menutupi karakter aslinya dari dunia luar. Tetapi hari ini, dia mampu berdiri tegak dan berani menunjukkan personalnya sebagai Denzel Curry.  

Keterbukaan Curry, dalam album ini langsung ditunjukkan pada 2 lagu pertamanya :  ‘Melt Session #1’ & ‘Walkin’. Lagu-lagu tersebut langsung membahas personal Curry yang paling dalam dan sensitif, yakni mengenai masalah mental dan suicidal thoughts. Sedikit catatan, masalah ini pernah diangkat Denzel Curry pada lagu ‘Cloud Cobain’ (TA1300), namun dia hanya menggores permukaanya saja.

Dalam ‘Melt Sessions #1’, Curry menceritakan pengalaman dia berjuang melawan ketidakstabilan mentalnya secara terus terang, tanpa banyak bersembunyi dengan metafor membingungkan. Bentangan elemen neo-soul, R &B, dan drum and bass dikemas secara dramatis memiliki peran untuk mengirimkan emosional perjuangan Curry ke level lebih nyata.

Ketukan boom bap mengalirkan energy Curry yang tengah bertempur melawan depresinya dengan rasa percaya diri. Sedangkan layer keyboard dan hembusan vokal low-key Bridget Perez yang disajikan secara elegan menggambarkan sedikit ketenangan jiwa. Transisi lagu mengalir begitu halus dan sangat well-executed.

 ‘Walkin’ masih menampilkan problematik serupa, namun kali ini dikemas dengan sebuah cerita kilas balik. Lagu yang mengangkat kisah personal Curry, namun disaat bersamaan dia memanfaatkan kereshannya sebagai jembatan untuk mengkritisi kehidupan sosial yang tidak wajar.

Dari awal hingga pertengahan lagu, ketika Curry menceritakan masa lalunya, instrumen seolah turut menaruh rasa simpatik terhadap dirinya. Tensi sedikit diturunkan, dengan tetap meninggalkan beat minmalistik serta lantunan vokal low-key Perez yang kali ini semakin terdengar larut dalam kesedihan dan tragedi.

Bersamaan dengan perubahan beat dan flow yang semakin terdengar agresif dan marah pada pertengahan lagu, Curry meledakkan emosinya terhadap kekerasan rasial dan ketidakadilan hukum. Amarah demi amarah dibentuk menjadi flow-flow agresif, sekaligus sebagai penanda bahwa Curry tidak sepenuhnya kehilangan jiwa maniaknya.

Album ini mungkin menampilkan catatan paling personal Denzel Curry, tetapi ini tidak sepenuhnya menunjukkan konsep ‘I, Me, & Myself’. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, terkadang Curry dapat memanfaatkan keresahannya menjadi senjata untuk mengkritik perilaku-perilaku ketidakwajaran dalam lingkaran sosial yang juga terdengar relevan bagi kehidupan sehari-hari di sana.

‘Wost Comes to Worst’ menjadi media orasi Curry mengeluhkan kebijakan-kebijakan serikat dan monopoli kapitalisme yang menimbulkan berbagai dampak kesengsaraan jasmani. Dibanding membalas dengan kritikan bersifat politis, Curry menggunakan metafora simbolik 4 penunggang kuda hari kiamat untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan.

Kelaparan, bencana, peperangan, hingga kematian yang direpresentasikan oleh masing-masing penunggang kuda, terdengar sangat representatif atas apa yang menimpa saat ini akibat ulah institutsi-institusi tidak bertanggung jawab.

Bar demi bar masuk sebelum chorus-chorus mebombardir hingga suara ledakan pistol berbunyi, tanda peralihan lagu berikutnya. Lagu ini dirasa seperti anti-klimaks, jika perannya hanya sebagai interlude untuk lagu berikutnya, durasinya terkesan terlalu panjang.

Dengan pesan lirik kuat seperti ini, ekspetasi yang diharapkan setidaknya dapat menampilkan sisi antusiasme Curry seperti biasanya. Sayangnya, Curry nampak masih mengumpulkan energy sehabis menceritakan problematik kompleksnya pada 2 lagu awal, sehingga di sini Curry lebih mengendorkan urat sarafnya.

‘John Wayne’ dan ‘The Last’ menceritakan bab mengenai kekerasan rasial dan kebrutalan oknum aparat setempat terhadap masyarakat kulit berwarana. Lagi, dengan menggunakan sudut pandang dan pengalaman pribadinya, Curry merubah tema lirik klise dalam hip hop ini menjadi standing point tersendiri .

Dalam ‘John Wayne’, ia bercerita bagaimana saudaranya tewas tertembak polisi, hingga dia harus menenteng senjata kemanapun demi melindungi diri dari aparat yang seharusnya berkewajiban melindungi dia. Lantunan vokal menyayat dari Buzzy Lee di awal, serta JPEGMAFIA mengatur instrumen bergerak lebih sibuk dan abstrak. Ini seolah menjadi penanda bahwa situasi dan problematik yang diangkat menjadi lebih pelik dan serius.

Lagi, flow Curry tidak terlalu terdengar cocok dengan karakter instrumen  dan ledakan pistol dimana-mana. Dikemas dengan minimalis dan warna vokal lembek, flow Curry tidak terlalu banyak bekerja untuk mengangkat performa lagu ini. Plus poinnya, justru kedewasaan Curry semakin tampak di sini.

Dengan keadaan emosional mendukung seperti ini, dia menahan diri untuk tidak menulis lirik berisi umpatan tanpa makna. Curry lebih memilih untuk memaparkan fakta berupa pengalaman personal dan dampak yang terjadi secara rinci dan gamblang. Dia tidak mencoba menghakimi sendiri peristiwa tersebut, ia lebih menyerahkan sepenuhnya pada pendengar untuk menentukan reaksinya sendiri atas peristiwa tersebut.

‘The Last’ masih menggunakan pendekatan serupa, namun Curry merefleksikannya terhadap kejadian yang terjadi saat ini. Dengan ketukan tidak terlalu intens, layer synth dan keyboard  bergerak lebih santai, flow Curry dengan sense catchy dan pop-ish baru tampak bersinar di sini.  

Lagu ini setidaknya dapat mendinginkan kepala, meskipun lirik-lirik lagu ini bermuatan kisah mengenaskan seperti penembakan George Floyd hingga perlakuan tidak adil dalam industri musik. Curry berusaha menenangkan untuk tidak mengambil reaksi berlebihan dan tidak rasional untuk menanggapi kasus-kasus tersebut.

‘Mental’ kembali merangkak pada perjalanan Curry melawan suicidal thought nya, Disajikan dengan groovy beat, dentingan fender rhodes, dan vokal Perez yang seolah memberikan afirmasi diri, membuat jalan lagu ini terdengar lebih positif. Bahkan pancaran aura positif tersebut ikut tersalurkan dalam timbre vokal Curry yang terdengar lebih tegas dan berwibawa.

Dalam ‘Troubles’, Curry mendatangkan T-Pain sebagai kawan curhat untuk saling bertukar pikiran dengan masalahnya masing-masing. Kenny Beats dan DJ Khalil dengan sempurna merancang instrumen dan beat  energik untuk menyatu bersama karakter T-Pain yang selalu membawa warna vokal autotune ceria dan catchy.  

Meskipun keduanya sedang menceritakan kerasahan masing-masing, tetapi terima kasih pada kedua produser, karena mampu membuat T-pain dan Curry mencurahkan segala uneg-unegnya secara nyaman.

Baca Juga : Elzhi & Georgia Anne Muldrow – Zhigeist – Review

 ‘Ain’t no Way’ mengembalikan masa hey day Curry ketika banyak beroperasi dengan instrument trap / drill. Tentunya, meski lebih berfokus pada menciptakan beat-beat banger bertegangan tinggi, instrumen masih disajikan secara elegan seperti pada keseluruhan rangkaian instrumen pada album.

Rico Nasty benar-benar mengambil perhatian paling atas lewat flow yang dia keluarkan di sekitaran beat. Personanya yang energik, badass, dan frontal memberikan salah satu momen paling banger dalam album ini.

‘X-Wing’ kembali menampilkan sisi pop-ish dan mellow dari Curry. Dilandasi dengan beat trap Atlanta dan potongan instrumen biola, Curry sedikit berjumawa menceritakan ketenaran dan kesirikan orang-orang akan kesuksesannya. Curry bahkan menyebutkan beberapa nama rapper seperti PAC, Mac Miller, dan Biggie yang meninggal di usia muda, sedangkan dirinya di usia ke-27 masih mampu merilis karya masterpiece.

 ‘X-Wing’ masih menampilkan sisi kritis Curry, dimana kali ini perilaku konsumerisme dan materialistis di Amerika yan g menjadi sasarannya. Sindiran Curry berbentuk humor, dimana dalam chorusnya dia berkata lebih memilih membeli X-wing Starfihger (pesawat fictional dalam Star Wars), dibandingkan sebuah Porsche baru. Sebuah sindiran tersirat yang menunjukan Curry berada di kurva berbeda, ketika orang kaya baru lainnya sibuk membeli mobil-mobil baru.

‘Angelz’ menampilkan kisah lebih utuh mengenai perjuangan mental Curry. Kekuatan storytelling yang jelas mampu menguraikan kejadian secara rinci dimulai darimana akar masalah ini bermula, hingga keberhasilan dirinya melewati ujian ini.

Bridget Perez yang menjadi pelantun vokal pada lagu ‘Walkin’ kembali hadir di sini. Perannya tidak lagi sebagai simpatisan terhadap keadaan Curry, tetapi nyanyian halusnya mampu memposisikan dirinya bak seorang malaikat yang mendampingi Curry melewati masa-masa buruknya.

‘The Smells of Death’ merupakan lagu terpendek diantara jajaran lagu lainnya, tetapi ini tidak sedikitpun menghalangi kreatifitas Curry dan produsernya. Sang produser, Thundercat tiba-tiba seperti dirasuki arwah Madlib  dan mengatur rangkaian instrumen menjadi terdengar seperti lagu-lagu pada album Madvillainy milik MF DOOM.

Melihat kembali keseluruhan tematik lirik album ini, Curry tidak hanya menjejali album ini dengan konten edukasi yang terkesan kolot dan kaku. Curry menghubungkan album ini dengan beberapa referensi seni lain yang berpengaruh terhadap dirinya. 2 lagu berikutnya: ‘Sanjuro’ dan ‘Zatoichi’ menyimpan cerita yang berkaitan dengan karya seni Jepang.

Jepang dan Denzel Curry bukan sebuah kombinasi baru, sebelumnya lagu ‘Sumo | Zumo’ (TA1300) menjadikan seni gulat tradisional Jepang, sumo sebagai inspirasi utama. Namun kali ini Curry menampilkan sisi lebih luas mengenai rasa ketertarikan dan hormatnya terhadap kebudayaan ini. Nama ‘Sanjuro’ merujuk pada flim besutan strudara Akira Kurosawa yang rilis pada 1962.

Bersama 454 Sebagai rekannya, Curry mengisahkan kehidupan semasa kecilnya sewaktu di Florida pada lagu ini. Lagu ditampilkan dengan beat trap straightforward, flow intens Denzel dan 454, serta layer instrumen yang diorkestrasi lebih gelap dan suram. Lagu ini menampilkan sisi paling bersebrangan dari konsep lagu lainnya, dan malah mendekati pada Curry semasa album ‘TA1300’.

Sementara ‘Zatoichi’ diambil dari judul sekaligus tokoh pahlawan animasi Jepang dengan nama yang sama. Berbeda dari ‘Sanjuro’ yang tidak berkaitan dengan referensi aslinya, lagu ‘Zatoichi’ mengambil langsung referensi karakter animasi tersebut sebagai pahlawan yang mengalami kebutaan.

Masukknya elemen brackbeat menghentak bersamaan dengan chorus dari Slowthai yang begitu frontal dan in your face memberikan momen banger terakhir di penghujung album. Slowthai yang ditampilkan paling akhir dalam guest appearance lebih dari siap untuk membantu Curry meludah bersama dalam beat untuk melontarkan hal-hal yang mereka tidak sukai.

Lagu ini tidak hanya menjadi reboot untuk mengisahkan kepahlawanan Zatoichi dalam filmnya, di dalamnya memiliki makna multiinterpretasi. Menggunakan pedang saber untuk membasmi musuh tanpa pengelihatan seperti merujuk pada makna awal judul album ini. Memalingkan seluruh distraksi kehidupan dan fokus pada tujuan, dalam kasus Zatoichi adalah membasmi kejahatan sebagai tujuannya.

Tetapi, dilain sisi Curry menanamkan nilai filosofis dari neneknya bahwa ‘orang buta tidak dapat menuntun orang buta lainnya’ untuk mengisyaratkan sesuatu. Kalian tidak bisa selalu bergantung dengan orang lain, sekalipun sosok tersebut terlihat sebagai pahlawan dan orang hebat. Pada dasarnya mereka semua memiliki masalahnya masing-masing yang harus diselesaikan.

 ‘The Ills’ terlihat seperti sebuah summary yang cukup bekerja. Curry mengembalikan fokus awal yakni bercerita mengenai perlawanan inner demon yang bersemanyam dalam dirinya. Sama halnya dengan instrumen yang kembali memainkan elemen-elemen paling dominan di sepanjang album. Jazzy tune dengan beat boom bap minimalis kembali dalam tatanan teratas.

Meskipun dalam album ini berisikan nasihat, kritikan, serta nilai filosofis Curry, dia tidak sedikitpun merasa memiliki posisi lebih layak untuk terkesan menggurui. Dengan banyak membongkar kisah-kisah kelamnya, Curry mencoba membaur bersama masyarakat umum untuk mencoba mengatasi masalah ini secara bersama-sama. Dirinya menampilkan rasa respect tinggi terhadap para rapper yang telah mendahuluinya dengan sesering mungkin menyelipkan nama-namanya dalam bar liriknya.

Album ini menampilkan daya jelajah Curry paling eksperimental dan berbeda dari album lainnya. Keseluruhan instrumen terdengar lebih proaktif dan dinamis dalam menanggapi respon dan celotehan emosional dari Curry maupun rapper tamu lainnya.

Imbasnya pendengar mendapat gambaran emosi lebih jelas dari setiap lagu. Sekali lagi, ini terjadi berkat banyaknya serpihan-serpihan elemen musik yang digunakan oleh Curry. Sisi instrumen sendiri memiliki banyak kosa kata emosi untuk menjelaskan jenis-jenis emosi yang muncul disepanjang album.

Meski dengan daya jelajah paling eksperimental dan kaya, album ini bukanlah album terbaik yang dikeluarkan oleh Curry sejauh ini. Seperti diketahui, nama Denzel Curry besar dikarenakan citranya sebagai seorang rapper underground dengan flow dan attitude badass-nya.

Sementara jika berkaca pada sudut pandang tersebut, album ini tidak banyak menampilkan sisi agresif Curry dan justru malah menampilkan sisi bersebrangan. Namun kehadiran album ini, setidaknya sangat bagus untuk dijadikkan tolak ukur daya jelajah artistik Curry ke depannya.

Sehingga jika seandainya Curry meletakkan album bersifat eksperimental lainnya, fans akan tahu ke mana mereka harus pergi untuk membandingkan dan menilai kualitas album tersebut.

‘Melt My Eyez, See Your Futures’ membuat Denzel Curry menjatuhkan pedang saber merah dari genggamannya, dan menanggalkan segala karakter gelapnya. Sebagai gantinya dia mengambil pedang saber hijau dan siap berdiri dalam sisi kebajikan.

Rating 8.5 / 10

Baca Juga : Nas – King Disease II – Review

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share via
Copy link