Betty Blue – Hard Rock Tanpa Kegarangan Di Wajah
“Manis, merona, dan mempesona, Betty Blue merubah musik hard rock setidaknya menjadi lebih mudah diterima dan tidak berbahaya”
Harus diakui sebelum visual kei menjadi suatu hal yang paling banyak dibicarakan dalam skena musik rock Jepang. Musik-musik seperti glam rock, hard rock, maupun stadium rock sempat menjadi fenomena di sana. Ini tidak mengherankan karena pada dasarnya visual kei sendiri sedikit terinspirasi dari gerakan musik barat tersebut yang kemudian dipadukan bersama aksi teater Kabuki dan Shojo. Sayangnya fenomena tersebut disalahartikan oleh sejumlah penggemar bahwa visual kei merupakan wujud counter reaction terhadap skena glam dan hair rock, sehingga pembicaraan selalu berujung pada perdebatan sengit mengenai keunggulan dan kualitas musik.
Berkaca pada perkembangan musik glam dan hair rock di Jepang, ini menimbulkan 2 fraksi berbeda, dimana fraksi pertama mereka yang obsesif untuk menjadi generasi berikutnya dari Motley Crue, W.A.S.P, Dokken, dan Quiet Riot. Kubu lainnya lebih menampilkan rasa nasionalisme yang kuat, dengan cara meminjam elemen-elemen glam dan hair metal untuk dipadukkan dengan kultur musik orisinil. Betty Blue, band hard rock yang beranggotakan 4 orang gadis remaja tidak ingin menghilangkan sifat nasionalismenya dalam corak musiknya. Meski di atas kertas mereka banyak meminjam elemen-elemen musik keras barat seperti kocokan riff–riff bertenaga, pancaran synth berwarna, dan pukulan drum bergaya new wave. Namun tidak dipungkiri mereka kerap mengisinya dengan harmoni, progresi akor, serta warna vokal yang begitu ketara oleh nuansa J-pop dan J-rock.
Mereka tidak menampilkan ekspresi kegarangan dan ketangguhan dari raut wajah, melainkan melalui getaran semangat dan hasrat, mereka mampu tetap tegak berada di jalur ini. Sementara interaksi riff gitar terlalu tipis untuk ber-improvisasi, sektor vokal justru lebih memberikan jalur-jalur yang layak untuk ditelisik secara mendalam. Sebuah catatan yang tidak membutuhkan waktu lama dan effort besar untuk menyusuri alurnya hingga mencapai garis akhir. Mereka tidak menuangkan seluruh aransemen pada bentuk formulasi aransemen musik penuh kebisingan distorsi dan tempo yang membuat nafas tersengal-sengal. Ada begitu banyak intervensi dari elemen ballad, J-pop, dan dentingan piano di sini, sehingga album tampak seperti guru yang baik dalam menerangkan karakteristik musik keras yang relatif mudah dipahami.
Baca Juga : Band Noise Rock Jepang, 385 Mencoba Mendalami Emosi Manusia